You are on page 1of 19

BAB 1

PENDAHULUAN

Acute respiratory distress syndrome (ARDS) merupakan sindrom heterogen dengan


proses patologi dan mekanisme penyakit yang kompleks yang menjadikannya sebagai
penyebab masuknya pasien anak ke dalam PICU dengan mortalitas dan morbiditas
yang signifikan. ARDS lebih jarang dilaporkan terjadi pada bayi dan anak daripada
pada orang dewasa, serta keparahan kegagalan respiratori lebih rendah pada anak-anak
daripada pada orang dewasa.
Definisi ARDS pertama kali dikemukakan pada tahun 1967 oleh Ashbaugh et al.,
sebagai respiratory distress pada orang dewasa dengan berbagai patologi yang
mendasari yang serupa dengan ciri-ciri umum progresifitas respiratory failure dengan
hipoksemia refraktori yang berhubungan dengan menurunnya komplians dan kapasitas
fungsional residu paru-paru disertai dengan infiltrasi difus pada gambaran radiologi
thoraks dan membutuhkan positive end expiratory pressure (PEEP) untuk
meningkatkan oksigenasi jaringan.
Until recently, there were no definitions and diagnostic criteria for acute respiratory
distress syndrome in children have been established. In this article, we review the
evolution of the definition and recent management strategy of acute respiratory distress
Fungsi pernafasan yang utama adalah untuk mengambil oksigen
(O2) dari atmosfer ke dalam sel-sel tubuh dan untuk mentranspor karbon
dioksida (CO2) yang dihasilkan sel-sel tubuh kembali ke atmosfer. Oleh
karena itu, baik anatomi maupun fisiologi paru disesuaikan dengan fungsi
ini. Secara anatomi, fungsi pernafasan ini dimulai dari hidung sampai ke
parenkim paru.6
Secara fungsional saluran pernafasan dibagi atas bagian yang
berfungsi sebagai konduksi (penghantar gas) dan bagian yang berfungsi
sebagai respirasi (pertukaran gas). Pada bagian konduksi, udara seakan-
akan bolak-balik diantara atmosfir jalan nafas. Oleh karena itu, bagian
ini seakan-akan tidak berfungsi, dan disebut dengan “dead space”. Akan
tetapi, fungsi tambahan dari konduksi, seperti proteksi dan pengaturan
kelembaban udara, justru dilaksanakan pada bagian ini. Adapun yang
termasuk dalam konduksi ialah rongga hidung, rongga mulut, faring,
laring, trakea, sinus bronkus dan bronkiolus nonrespiratorius.6
Pada bagian respirasi akan terjadi pertukaran udara (difusi) yang
sering disebut dengan unit paru (lung unit), yang terdiri dari bronkiolus
respiratorius, duktus alveolaris, atrium dan sokus alveolaris.
Bila ditinjau dari traktus respiratorius, maka yang berfungsi
sebagai konduksi adalah trakea, bronkus utama, bronkus lobaris, bronkus
segmental, bronkus subsegmental, bronkus terminalis, bronkiolus, dan
bronkiolus nonrespiratorius. Organ yang bertindak sebagai respirasi adalah
bronkiolus respiratorius, bronkiolus terminalis, dukt us alveolaris, sakus
alveolaris dan alveoli.
Percabangan trakea sampai kepada sakus alveolaris dapat
diklasifikasikan sebagai berikut : bronkus utama sebagai percabangan utama,
bronkus lobaris sebagai percabangan kedua, bronkus segmental sebagai
percabangan ketiga, bronkus subsegmental sebagai percabangan keempat,
hingga sampai bagian yang keenam belas sebagai bagian yang berperan
sebagai konduksi, sedangkan bagian percabangan yang ketujuh belas
sampai ke sembilan belas yang merupakan percabangan bronkiolus
respiratorius dan percabangan yang kedua puluh sampai kedua puluh dua
yang merupakan percabangan duktus alveolaris dan sakus alveolaris
adalah percabangan terakhir yang seluruhnya merupakan bagian respirasi.
Secara rinci dapat dilihat pada gambar.

Struktur dasar jalan nafas telah ada sejak lahir dan berkembang selama
neonatus dan dewasa menjadi sistem bronkhopulmonal. Jalan nafas pada
setiap usia tidak simetris. Apabila dibagi menjadi dua bagian, ada perbedaan
bentuk dan jumlah cabang yang tergantung dari lokasinya. Variasi tersebut
menyebabkan implikasi fisiologi yang berbeda. Alur yang berbeda
menyebabkan perbedaan resistensi terhadap aliran udara, sehingga
menyebabkan distribusi udara atau partikel yang terhisap tidak merata.
Cabang dari bronkus mengalami pengecilan ukuran dan kehilangan kartilago,
yang kemudian disebut bronkhiolus. Bronkhiolus terminalis membuka saat
pertukaran udara dalam paru-paru.
Jalan nafas dilapisi oleh membran epitel yang berganti secara bertahap
dari epitel kolumner bertingkat bersilia di bronkus menjadi epitel kubus
bersilia pada area tempat pertukaran udara. Sillia berfungsi untuk
menghantarkan mukus dari pinggir jalan nafas ke faring. Sistem transport
mukosilier ini berperan penting dalam mekanisme pertahanan paru.
Sel goblet pada trakhea dan bronkhus memproduksi musin dalam
retikulum endoplasma kasar dan apparatus golgi. Sel goblet meningkat
jumlahnya pada beberapa gangguan seperti bronkhitis kronis yang hasilnya
terjadi hipersekresi mukus dan peningkatan produksi sputum.
Unit pertukaran udara (terminal respiratory) terdiri dari bronkhiolus
distal sampai terminal : bronkhiolus respiratorius, duktus alveolaris dan
alveoli. Pada pemeriksaan luar pulmo dekstra lebih pendek dan lebih berat
dibanding pulmo sinistra. Pulmo dekstra dan sinistra dibagi oleh alur yang
disebut incissura interlobaris dalam beberapa Lobus Pulmonis.
Pulmo dekstra dibagi menjadi 3 lobi, yaitu:
1. Lobus Superior dibagi menjadi 3 segmen: apikal, posterior, inferior
2. Lobus Medius dibagi menjadi 2 segmen: lateralis dan medialis
3. Lobus Inferior dibagi menjadi 5 segmen: apikal, mediobasal,
anterobasal, laterobasal, posterobasal
Pulmo sinistra dibagi menjadi 2 lobi, yaitu:
1. Lobus Superior
Dibagi menjadi segmen: apikoposterior, anterior, lingularis superior,
lingularis inferior.
2. Lobus Inferior
Dibagi menjadi 4 segmen: apikal, anteromediobasal, laterobasal, dan
posterobasal.

Fisiologi sistem pernapasan


1) volume dan kapasitas paru
 Volume tidal : banyaknya udara yang masuk dan keluar dari paru-paru tiap
1 kali bernapas (Normalnya 6-7 ml/kgBB)
 Kapasitas inspirasi : banyaknya udrai yang diinspirasi secara maksimum
setelah ekspirasi tidal
 Volume cadangan ekspirasi : banyaknya udara yang dihembuskan dengan
usaha ekspirasimaksimum setelah ekspirasi tidal.
 Volume residu : volume Udara yang tetap ada dalam paru-paru setelah
ekspirasi maksimum
 Kapasitas vital : banyaknya udara yang keluar-masuk paru-paru dengan
ekspirasi dan inspirasi maksimum
 Kapasitas total paru : volume udara yang menempati paru-paru setelah
inhalasi maksimum

Definisi
Pada tahun 1994, American-European Consensus Conference (AECC)
mengusulkan ARDS sebagai berikut :
 Onset akut dari gejala respiratorius
 Chest radiographs dengan infiltrasi bilateral
 Rasio tekanan oksigen parsial (PaO2) dengan fraksi inspirasi oksigen
(FiO2) (P/F ratio) ≤ 200 mmHg
 Tidak ada bukti terjadinya hipertensi atrium kiri yang didefinisikan sebagai
pulmonary-capillary wedge pressure (PCWC) ≤ 18 mmHg
AECC juga memasukkan Acute Lung Injury (ALI) sebagai bagian dari ARDS, dan
ALI didefinisikan sebagai P/F ratio antara 201 dan 300 mmHg.
Berdasarkan definisi ARDS dari Berlin yang dikembangkan pada tahun 2011
menghapus ALI dari bagian ARDS, kemudian membagi ARDS menjadi tiga
subkelompok, yaitu mild, moderate dan severe berdasarkan derajat hipoksemia
yang terjadi.
Tabel 1. Definisi Berlin ARDS

Pada tahun 2015, Pediatric Acute Lung Injury Consensus Conference (PALICC)
menetapkan definisi ARDS yang spesifik untuk pediatric, yang menggunakan
oxygenation index (OI) sebagai ganti dari PaO2/FiO2, mendiagnosis PARDS tanpa
analisis gas darah dengan menggunakan pengukuran non-invasif hipoksemia
berdasarkan SpO2 (oxygen saturation index/OSI) dan kriteria radiografik yang
kurang restriktif. yaitu :
 Tidak ada kriteria umur dalam definisi PARDS
 Mengeksklusikan cedera paru yang berhubungan dengan masa perinatal
 Bayi dan anak membutuhkan ventilasi non-invasif
 Menyertakan penyakit jantung kongenital dan penyakit jantuk kronik
 Menyertakan pasien dengan penyakit paru unilateral dalam mendefinisikan
ARDS.
Tabel 2. Definisi PALICC PARDS

Etiologi
Tabel 3. Penyebab ARDS
Penyebab Langsung (Pulmonal) Penyebab Tidak Langsung (Non-
Pulmonal)
Pneumonia Sepsis berat dan syok sepsis
 Bacterial Trauma signifikan
 Virus : influenza, RSV Perdarahan berat
 Fungal Pancreatitis berat
Aspirasi Reaksi transfuse
Tenggelam Cardiopulmonary bypass
Polusi asap atau kimia Luka bakar
Kontusio paru
Reaksi inflamasi yang menyebabkan ARDS dapat dipicu oleh berbagai cedera
langsung (direk) dan tidak langsung (indirek) pada paru-paru (Tabel 3). Penyebab
langsung terhadap paru-paru ialah pneumonia, aspirasi, trauma thoraks, tenggelam,
dan menghirup asap. Cedera paru tidak langsung ndapat disebabkan oleh penyakit
sistemik, seperti sepsis, trauma kapitis tertutup, trauma multiple, reaksi transfuse,
pancreatitis, dan syok hemoragik. Berdasarkan penelitian dari 146 kasus PARDS,
ditemukan bahwa etiologi infeksi merupakan etiologi tersering dari ARDS: 35%
disebabkan oleh pneumonia bacterial, 20% disebabkan oleh penyakit paru akibat
respiratory syncytial virus (RSV), dan 27% akibat sepsis. ARDS akibat trauma
hanya terjadi pada empat kasus pediatric (3%).
Infeksi bakteri saluran pernapasan bawah merupakan penyebab tersering yang
memicu PARDS. Streptococcus pneumonia dan Pseudomonas aeruginosa
merupakan penyebab pneumonia berat yang berpotensi mengarah ke sepsis dan,
kemudian, ARDS. Beberapa bakteri mungkin berhubungan denan resiko ARDS
yang lebih tinggi

Patofisiologi
ARDS melalui tiga tahap penyakit, yaitu : (1) tahap eksudasi; (2) tahap proliferasi;
(3) tahap fibrosis.
Tahap eksudasi dikarakteristikkan sebagai akumulasi edema cairan-kaya protein
pada alveolus yang menyebabkan cedera pada membrane alveolus-kapiler.
Neutrophil memainkan peran yang penting pada tahap ini. Komplians paru
diperburuk oleh keadaan edema, atelectasis yang menyebar, dan surfaktan yang
tidak aktif yang menyebabkan munculnya fibrin dan protein plasma lainnya dan
mediator inflamasi pada ruang alveolus. Microtrombus berkembang di dalam
vaskularisasi paru, serta sejumlah mediator vasoaktif yang dikeluarkan oleh sel-sel
inflamasi dan endothelium juga turut serta perkembangan terjadinya
resistensi…….. dan abnormalitas ventilasi/perfusi yang menjadi karakteristik dari
ARDS. Derajat cedera epitel dan kemampuan paru dalam membersihkan cairan
edem, bersamaan dengan kembalinya hipertensi pulmonal, merupakan perdiktor
penting untuk ARDS.
Tahap proliferasi terjadi 1 sampai 3 minggu setelah terjadinya cedera dan
dikarakteristikkan oleh perbaikan membran alveolus-kapiler yang telah rusak.
Mekanisme perbaikan ini bukan hanya membutuhkan kordinasi dari faktor-faktor
pertumbuhan untuk adhesi dan migrasi sel. Kemampuan epithelium alveolus untuk
menghilangkan cairan edema bergantung dari beratnya inflamasi dan cedera pada
tahap eksudasi. Sitokin anti-inflamasi seperti IL-10 dan mediator lipid merupakan
mekanisme utama yang bertujuan untuk mengurangi tingkay cedera. Jika cedera
paru dan inflamasi masih ada, pasien mungkin dapat mengalami abnormalitas
fisiologis dan dapat menyebabkan terjadinya tahap fibrosis ARDS.
Tahap fibrosis dapat muncul pada 5 sampai7 hari setelah onset penyakit. Secara
histologis ruang alveolus akan terisi sel-sel mesenkimal dan jaringan paru-paru
digantikan oleh jaringan kolagen. Ditambah lagi perubahan vascular pada tahap ini
dapat menyebabkan terjadinya penebalan pada vaskularisasi pulmonal dan bahkan
obliterasi kapiler. Semua perubahan ini menurunkan toleransi olahraga dalam
pertukaran gas dan menyebabkan penurunan toleransi olahraga pada pasien ARDS
yang telah sembuh.

Diagnosis
Kriteria PALICC untuk mendiagnosis ARDS, yakni sebagai berikut :
a. Umur : ARDS dapat menyerang semua umur pasien pediatrik, dari masa
neonatal hingga masa remaja.
Penyebab hipoksemia akut dari perinatal dikecualikan, termasuk :
 Penyakit paru yang berhubungan dengan prematuritas
 Perinatal lung injury (seperti sindrom aspirasi meconium, pneumonia
dan sepsis yang diperoleh selama proses kelahiran)
 Abnormalitas kongenital (hernia diafragma kongenital atau dysplasia
alveoli-kapiler)
b. Waktu : gejala hipoksemia dan perubahan radiologis harus terjadi dalam 7
hari setelah penyebab pencetus terjadi
c. Disfungsi myocardium : pasien dengan penyakit jantung tidak dikecualikan.
Anak-anak dengan disfungsi ventrikel kiri dengan hipoksemia onset akut
dan perubahan pada radiografi toraks yang tidak diakibatkan oleh kegagalan
ventrikel kiri atau kelebihan cairan dan yang memenuhi semua kriteria
ARDS lainnya
d. Radiografi toraks : adanya infiltrasi konsisten dengan penyakit parenkim
paru dibutuhkan untuk diagnosis, meskipun hanya unilateral.
e. Hipoksemia : oxygenation index (OI = MAP x FiO2/PaO2, dimana MAP
sesuai dengan tekanan saluran udara rata-rata) digunakan sebagai ganti dari
rasio PaO2/FiO2 untuk kuantitas derajat hipoksemua dan untuk menentukan
keparahan ARDS pada pasien pediatric yang menjalani ventilasi mekanin
invasif. Jika PaO2 tidak tersedia, indeks saturasi oksigen (OSI = MAP x
FiO2/SatO2) dapat digunakan dalam kondisi yang sama untuk menentukan
oxygenation index. Saat SatO2 digunakan sebaga kriteria diagnosis ARDS,
terapi oksigen sebaiknya dititrasi untuk mencapai SaO2 ≤ 97% untuk
kalkulasi OSI.
Pada pasien yang sedang menjalani ventilasi non-invasif, tidak ada gunanya
membagi derajat keparahan ARDS. Rasio PaO2/FiO2 sebaiknya digunakan
untuk mendiagnosis pasien non-invasif, ventilasi full mask (CPAP atau
BiPAP) dengan minimal H2O 5 cm. jika rasio PaO2/FiO2 tidak tersedia,
rasio saturasi oksigen (SatO2)/FiO2 dapat digunakan pada pasien ventilasi
non-invasif full mask.

Manifestasi klinis
Manifestasi klinis ARDS dimulai dari cedera akut secara direk maupun indirek pada
parenkim paru. Pada tahap awal, gejala klinik dan pemeriksaan fisik yang
didapatkan bervariasi berdasarkan etiologi penyebab ALI. Passen dengan etiologi
pulmonar akan mengalami gejala respiratorik, sedangkan pasien dengan etiologi
non-pulmonar akan mengalami gejala yang berhubungan dengan penyebab
awalnya (seperti gejala abdomen akut untuk pankreatitis). Pada tahap awal cedera
paru, pasien datap mengalami takipnea ringan dan dispneu terapi tidak ditemukan
adanya .... Pada radiologis.
Setelah kejadian pencetus dan fase inisial, periode laten dengan berbagai durasi
mengikuti. Selama periode laten, pasien mungkin terlihat stabil secara klinis, tetapi
tanda awal insufisiensi pulmonal mulai muncul, seperti hiperventilasi dengan
hipokarbia dan alkalosis repiratorius. Pada pemeriksaan chest radiograph mulai
ditemukan pola retikular karna peningkatan cairan interstisial pulmonal. Saat
cedera paru memburuk, akan terjadi acute respiratory failure yang ditandai ole onset
cepat hipoksemia yang sering tidak dapat diatasi dengan pemberian oksigen. Edema
pulmonar difus dan komplians yang memburuk menyebabkan atelektasis yang
signifikant dan shunting intrapulmonal. Secara klinis, pasien mengalami takipneu
yang cepat dan dangkal dengan peningkatan usaha pernapasan. Retraksi subcosta
dan subclavicula, grunting, dan pernapasan coping hidung merupakan manifestasi
yang sering terjadi pada pasien. Auskultasi paru biasanya menunjukkan adanya
crackles difus. Pada pemeriksaan radiologi ditemukan konsolidasi bilateral dengan
air bronchogram yang menggambarkan terjadinya alveolar filling dan atelectasis.

Gambaran klinis ARDS ialah edema paru atipikal akibat akumulasi cairan yang
berlebihan pada ruang intersticial, yang melebihi kapasitas absorbs sistem limfatik
paru. Hipoksia merupakan gambaran esensial karena rusaknya barier alveolar-
kapiler. Komplians paru menurun (karena volume paru berkurang) dan sebagai
akibatnya pasien akan berusaha mempertahankan ventilasi sementi dengan
mempercepat laju pernapasan (takipneu). Peningkatan permeabilitas kapiler paru
menyebabkan rembesan/leakage cairan kaya protein ke dalam alveoli. Endotel dan
epitel alveoli mengalami remodelling sehingga terjadi disfungsi dan delesi
surfaktan. Selanjutnya akan terjadi atelektasis regional dan penurunan EELV. Hal-
hal tersebut akan menyebabkan hipoksemia yng befrakter karene tidak akan
membaik hanya dengan pemberian oksigen.
Pada awalnya terlihat hipokarbia tetapi sejalan dengan peningkatan usaha napas,
PaCO2 akan meninggi Karena otot pernapasan sudah mulai lelah. Pada auskultasi
dada, terdengar ronki arena kongesti alveoli. Menage kadangkala bisa terdengar
jika jalan napas kecil juga mengalami sumbatan. Air entry akan berkurang pika
terdapan konsolidasi. Kesemuanya merupakan gejala ancaman gagal napas dan
pasien memerlukan tunjangan ventilasi mekanik untuk menghindarkan henti napas.
Pemberian ventilasi tekanan positif akan membuka unit-unit paru yang mengalami
atelektasis agar data mempertahankan pertukaran gas yang adequate.

Penanganan
Tata laksana ARDS secara umum adalah mengatasi penyebab dasarnya, seperti
sepsis, pneumonia atau pancreatitis dan memberikan terapi suportif lain seperti
kecukupan nutrisi, menatasi gangguan metabolik dan ketidakseimbangan elektrolit.
Strategi yang diterapkan dalam manajemen ARDS meliputi tata aksana cairan,
mempertahankan saturasi oksigen yang adekuat dan penggunaan obat-obat
inotropik dan vasopressor untuk mempertahankan curah jantung. Manajemen
ARDS juga meliputi meminimalkan cedera paru sekunder dan komplikasi
ekstrapulmonal. Sebagian besar penderiá ARDS meninggal bukan arena kegagalan
pernapasan tetapi sebagai akibat sepsis atau gangguan multiorgan yang terjadi.

Ventilatory support
Ventilator memicu terjadinya cedera dan infeksi pada paru-paru yang berhubungan
dengan ventilasi. Untuk meminimalisir cedera paru yang mungkin dapat terjadi dan
meningkatkan hasil pengobatan, digunakan strategi volume tidal (VT) rendah dan
level PEEP yang sesuai. Ventilasi dengan VT yang rendah mungkin dapat
menyebabkan hiperkapnia meskipun laju pernapasan meningkat, tetapi PaCO2
sebaiknya tetap berkisar ≤ 50-55 mmHg dan diseimbangkan dengan level
bikarbonat serum tetap diatas pH 7,20.
 Mode ventilasi convensional
Tidak ada data yang mendukung adanya pengaruh dari mode (kontrol
maupun dibantu/assisted) selama ventilasi mekanik konvensional, sehingga
tidak ada rekomendasi untuk mode ventilator yang digunakan untuk pasien
PARDS.
 Volume tidal/Plateau pressure limiations
Volume tidal (VT) yang digunakan ialah berkisar pada atau di bawah
volume tidal fisiologik untuk umur/berat badan (contohnya, 5-8 mL/kg
perkiraan berat badan) berdasarkan patologi paru dan komplians sistem
respirasi
Dapat juga digunakan VT spesifik-pasien berdasarkan keparahan
penyakitnya. VT sebaiknya 3-6 mL/kgBB untuk pasien dengan komplians
respiratori yang buruk dan 5-8 mL/kgBB (mendekati kisaran VT fisiologik)
untuk pasien dengan komplians respiratori yang lebih baik.
Digunakan inspiratory plateau pressure yang dibatasi hingga 28 cm H2O
 PEEP/Lung recruitment
Level PEEP ditentukan oleh marker dari pengiriman oksigen, komplians
system pernapasan dan hemodinamik. Pada ARDS yang buruk, digunakan
PEEP > 15 cm H2O, meskipun dibutuhkan observasi untuk membatasi
plateau pressure.
Level PEEP yang digunakan ialah > 15 cm H2O untuk PARDS yang buruk,
dengan observasi untuk membatasi plateu pressure yang diberikan.
 High-Frequency Ventilation
High frequency oscillating ventilation (HFOV) merupakan alternatif untuk
anak-anak dengan gagal pernapasan hipoksemik refrakter (hypoxemic
respiratory failure refractory) terhadap ventilasi konvensional
menggunakan plateau pressure > 28 cm H2O dengan tidak adanya bukti
klinis dari penurunan komplians dinding dada, serta pada pasien PARDS
moderate ke severe.
 Endotracheal tubes
Cuffed endotracheal tubes (ETT) pada pasien PARDS yang diberikan
ventilasi konvensional dengan memungkinkan kebocoran udara ETT
selama HFOV untuk menambah ventilasi, jika diperlukan, dengan asumsi
Paw (tekanan distensi terus-menerus/continuous distending pressure) dapat
dipertahankan.
 Non-Invasive Positive Pressure Ventilation (NPPV)
NPPV dapat digunakan pada anak-anak dengan imunodefisiensi yang
memiliki resiko komplikasi yang lebih tinggi dari penggunaan ventilasi
mekanik invasive, serta pada anak-anak yang menderita awal PARDS mild
dan moderate, tetapi tidak direkomendasikan untuk PARDS severe.
Penggunaan NPPV dilakukan dengan pemantuan terhadap masalah yang
dapat terjadi, seperti kerusakan kulit, distensi gastrik, barotrauma, dan
konjungtivitis. Pertimbangkan intubasi pada anak-anak yang mendeita
ARDS dan menerima NIPPV tetapi tidak menunjukkan perkembangan
secara klinis atau memiliki perburukan gejala dan penyakit.
Non-Ventilatory Support
 Nutrisi
Nutrisi diberikan pada pasien untuk membantu penyembuhan penyakit,
mempertahankan pertumbuhan dan memenuhi kebutuhan metabolisme.
Pemberian nutrisi secara enteral sebaiknya diberikan pada pasien yang dapat
menoleransinya. Sebuah penelitian pada tahun 2016 mengemukakan bahwa
intake kalori dan protein yang adekuat dapat menurunkan mortalitas
PARDS.
 Manajemen Cairan
Sebuah tinjauan sistematis dari Ingelse et al., mengungkapkan bahwa
kelebihan cairan dapat menyebabkan memburuknya kondisi klinis dan
oksigenasi, sehingga manajemen cairan konservatif disarankan untuk
menjaga volume intravascular yang adekuat, perfusi organ, dan pengantaran
oksigen yang optimal. Pemantauan keseimbangan cairan dilakukan untuk
mencegah terjadinya positive fluid balance.
 Penggunaan Sedasi dan Neuromuscular-Blocking Agents
Pasien PARDS sebaiknya menerima sedasi minimal efektif untuk
memfasilitasi toleransi pasien terhadap ventilasi mekanis dan
mengoptimalkan pengiriman dan konsumsi oksigen serta kerja pernapasan.
Jika penggunaan sedasi sendiri tidak mampu mencapai ventilasi mekanis
yang efektif, maka penggunaan neuromuscular blockade (NMB) bersamaan
dengan sedasi dapat dipertimbangkan.
 Posisi Tengkurap
Posisi ini tidak direkomendasikan oleh PALICC sebagai terapi rutin pada
PARDS tetapi dapat dipertimbangkan sebagai opsi pada kasus PARDS
severe.
 Transfusi Darah
Pada anak-anak yang stabil secara klinis dengan pengiriman oksigen yang
adekuat (tidak termasuk penyakit jantung sianosis, perdarahan, dan
hipoksemia berat), direkomendasikan bahwa konsentari hemoglobin hingga
7 gr/dL dapat dipertimbangkan sebagai pencetus tranfusi RBC pada pasien
PARDS.
DAFTAR PUSTAKA

1. https://www.jscimedcentral.com/Pulmonology/pulmonology-5-1044.pdf
2.
http://spesialis1.ika.fk.unair.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/Konsensus-Diagnosis-
dan-TataLaksana-Sepsis-Pada-Anak.pdf :
6.2.1 Pernapasan Tata laksana pernapasan meliputi: pembebasan jalan napas (non-invasif
dan invasif) dan pemberian suplemen oksigen. Langkah pertama resusitasi adalah
pembebasan jalan nafas sesuai dengan tatalaksana bantuan hidup dasar. Selanjutnya
pasien diberikan suplemen oksigen, awalnya dengan aliran dan konsentrasi tinggi melalui
masker. Oksigen harus dititrasi sesuai dengan pulse oximetry dengan tujuan kebutuhan
saturasi oksigen >92%. Bila didapatkan tanda-tanda gagal nafas perlu dilakukan segera
intubasi endotrakeal dan selanjutnya ventilasi mekanik di ruang perawatan intensif.
Penggunaan obatobatan anestesi untuk induksi disarankan dengan menggunakan
ketamin dan rokuronium, dan menghindari etomidate karena berkaitan dengan supresi
adrenal.15 Pipa endotrakeal dengan balon (cuff) direkomendasikan pada pasien sindrom
distress pernapasan akut (pediatric acute respiratory distress syndrome, PARDS) yang
menggunakan ventilasi mekanik konvensional. Pada pasien PARDS yang menggunakan
high-frequency osscilatory ventilation (HFOV), direkomendasikan menggunakan pipa
endotrakeal dengan sedikit kebocoran untuk meningkatkan ventilasi atau pembuangan
CO2.27
6.2.2 Ventilasi non-invasif 1. Ventilasi tekanan positif non-invasif dapat digunakan sebagai
pilihan awal pada pasien sepsis dengan risiko PARDS atau mengalami imunodefisiensi; dan
tidak direkomendasikan untuk pasien PARDS berat. 2. Masker oronasal atau full facial
merupakan alat yang direkomendasikan, namun harus disertai dengan pengawasan
terhadap komplikasi, yaitu: pengelupasan kulit, distensi lambung, barotrauma, atau
konjungtivitis. 3. Gas pada ventilasi non-invasif harus dilembabkan dan dihangatkan
(heated humidification). 4. Intubasi harus segera dilakukan bila pasien dengan ventilasi
non-invasif tidak menunjukkan tanda perbaikan atau mengalami perburukan. 5. Untuk
menjamin sinkronisasi pasien-ventilator, dapat diberikan sedasi kepada pasien.
6.2.3 Ventilasi mekanik invasif 1. Indikasi ventilasi mekanik pada pasien sepsis adalah
gagal napas atau disfungsi organ lain (gangguan sirkulasi dan penurunan kesadaran) 2.
Modus ventilasi mekanik dapat manggunakan volume controlled ventilation (VCV),
pressure-controlled ventilation (PCV), atau pressure-controlled dengan volume target. 3.
Tidal volume tidak boleh melebihi 10 ml/kg predicted body weight (PBW). 4. Bila tidak ada
pengukuran tekanan transpulmonal, direkomendasikan Pplateau maksimal 28 cmH2O;
atau 29-32 cmH2O pada kasus yang disertai penurunan komplians dinding dada 5. Untuk
memperbaiki oksigenasi, diperlukan titrasi PEEP. Tidak ada bukti metode terbaik untuk
mengatur PEEP optimal, namun harus memperhatikan keseimbangan antara
hemodinamik dan oksigenasi. 6. Target oksigenasi 92-97% pada PEEP optimal <10 cmH2O,
atau 8892% pada PEEP optimal ≥10 cmH2O. 7. Pada PARDS sedang-berat
direkomendasikan permissive hypercapnea dengan mempertahankan pH 7,15-7,30 8.
Pasien yang gagal mencapai oksigenasi dan ventilasi optimal dengan Pplateau >28 cmH2O
pada ventilasi mekanik konvensional, serta tidak ada bukti penurunan komplians dinding
dada, dapat beralih pada terapi high frequency osscilation ventilation (HFOV) atau
extracorporeal membrane oxygenation (ECMO).
6.2.4 Resusitasi cairan dan tata laksana hemodinamik Tata laksana hemodinamik meliputi:
akses vaskular secara cepat, resusitasi cairan, dan pemberian obat-obatan vasoaktif.
Resusitasi cairan harus memperhatikan aspek fluid-responsiveness dan menghindari
kelebihan cairan >15% per hari. Akses vaskular harus segera dipasang dalam waktu singkat
melalui akses vena perifer atau intraosseus. Jenis cairan yang diberikan adalah kristaloid
atau koloid.32-38 Cairan diberikan dengan bolus sebanyak 20 ml/kg selama 5-10 menit,
menggunakan push and pull atau pressure bag technique.39 Pemberian cairan dapat
diulang dengan menilai respon terhadap cairan (fluid-responsiveness), yaitu
menggunakan:40-43 1. Fluid challenge 2. Passive leg raising (kenaikan cardiac index ≥10%)
3. Ultrasonografi a. Pengukuran diameter vena cava inferior b. Ultrasound Cardiac Output
Monitoring (USCOM): stroke volume variation (SVV) ≥30% 4. Arterial waveform: Systolic
pressure variation (SVV) atau Pulse pressure variation (PPV) ≥13% 5. Pulse contour
analysis: stroke volume variation (SVV) ≥13%
Resusitasi cairan dihentikan bila target resusitasi tercapai (tabel 6)44-46 atau bila terjadi
refrakter cairan (tabel 7). Bila tidak tersedia alat pemantauan hemodinamik canggih,
resusitasi cairan dihentikan bila telah didapatkan tanda-tanda kelebihan cairan (takipneu,
ronki, irama Gallop, atau hepatomegali). Namun perlu diingat bahwa gejala ini merupakan
tanda lambat refrakter cairan. Bila pasien mengalami refrakter cairan, perlu diberikan
obat-obatan vasoaktif sesuai dengan profil hemodinamik.47-49 Pemberian obat-obatan
vasoaktif memerlukan akses vena sentral. Pemasangan pada anak dapat dilakukan di vena
jugularis interna, vena subklavia, atau vena femoralis.50 Panduan penggunaan obat
vasoaktif tergantung pada tipe syok (tabel 8). Syok dingin adalah syok yang ditandai
ekstremitas dingin akibat vasokonstriksi perifer, sedangkan syok hangat adalah syok yang
ditandai ekstremitas hangat akibat vasodilatasi perifer. Tahap lanjut dari resusitasi cairan
adalah terapi cairan rumatan. Penghitungan cairan rumatan saat awal adalah
menggunakan formula Holliday-Segar. Pencatatan jumlah cairan yang masuk dan keluar
dilakukan setiap 4-6 jam dengan tujuan mencegah terjadinya kondisi hipovolemia atau
hipervolemia (fluid overload) >15%.51-54
3. https://www.jscimedcentral.com/Pulmonology/pulmonology-5-1044.pdf
4.

You might also like