You are on page 1of 103

LAPORAN SEMINAR KASUS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA COMBUTIO DERAJAT BERAT


GRADE II AB 94,5% DENGAN MASALAH KEPERAWATAN
KEKURANGAN VOLUME CAIRAN
DI RUANG ROI RSUD DR. SOETOMO SURABAYA
TANGGAL 13-25 AGUSTUS 2018

Oleh :
Anggar Dwi Untari, S. Kep NIM. 131723143010
Selvi Ratu Djawa, S. Kep NIM. 131723143011
Rian Kusuma Dewi, S.Kep NIM. 131723143012
Delisa Alfriani, S. Kep NIM. 131723143014
Ika Minarni, S.Kep NIM. 131723143015
Sumariono Efendi, S.Kep NIM. 131723143091
Alfan Fachrul Rozi, S.Kep NIM. 131723143009
Awalludin Suprihadi Putra, S.Kep NIM. 131723143013

PROGRAM PROFESI PENDIDIKAN NERS (P3N)


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2018

1
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul
Daftar Isi 1
BAB I Pendahuluan 2
A. Latar Belakang 2
B. Rumusan Masalah 3
C. Tujuan 3
BAB II Tinjauan Teori 4
I. Konsep Teori Luka Bakar 4
A. Definisi 4
B. Klasifikasi 4
C. Etiologi 10
D. Manifestasi Klinis 12
E. Patofisiolgi 12
F. Perubahan Metabolisme Pada Luka Bakar 32
G. Pemeriksaan Diagnostik 42
H. Penatalaksanaan 42
I. Komplikasi 53
II. Konsep Asuhan Keperawatan Pada Luka Bakar 54
BAB III Laporan Kasus 69
BAB IV Pembahasan 97
BAB V Penutup 100
Daftar Pustaka 101

1
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Luka bakar merupakan jenis trauma dengan angka morbiditas dan mortalitas tinggi.
Memerlukan suatu penatalaksanaan sebaik-baiknya sejak fase awal hingga fase lanjut.
Luka bakar dapat terjadi pada setiap orang muda maupun orang tua dan baik laki-laki
maupun perempuan. Luka bakar dapat bervariasi dari cedera ringan yang dapat dengan
mudah dikelola di klinik rawat jalan sampai luka yang luas dapat mengakibatkan kegagalan
sistem organ dan perawatan yang berkepanjangan di rumah sakit.
Menurut the National Institutes of General Medical Sciences, sekitar 1,1 juta luka-luka
bakar yang membutuhkan perawatan medis setiap tahun di Amerika Serikat. Di antara
mereka terluka, sekitar 50.000 memerlukan rawat inap dan sekitar 4.500 meninggal setiap
tahun dari luka bakar. Ketahanan hidup setelah cedera luka bakar telah meningkat pesat
selama abad kedua puluh. Perbaikan resusitasi, pengenalan agen antimikroba topikal dan,
yang lebih penting, praktek eksisi dini luka bakar memberikan kontribusi terhadap hasil
yang lebih baik. Namun, cedera tetap mengancam jiwa.
Di Indonesia, luka bakar masih merupakan problem yang berat. Perawatan dan
rehabilitasinya masih sukar dan memerlukan ketekunan, biaya mahal, tenaga terlatih dan
terampil. Oleh karena itu, penanganan luka bakar lebih tepat dikelola oleh suatu tim trauma
yang terdiri dari spesialis bedah (bedah anak, bedah plastik, bedah thoraks, bedah umum),
intensifis, spesialis penyakit dalam, ahli gizi, rehabilitasi medik, psikiatri, dan psikologi
Angka mortalitas penderita luka bakar di Indonesia masih cukup tinggi, yaitu 27,6%
(2012) di RSCM dan 26,41% (2012) di RS Dr. Soetomo . Data epidemiologi dari unit luka
bakar RSCM pada tahun 2011-2012 melaporkan jumlah pasien luka bakar sebanyak 257
pasien. Dengan rerata usia adalah 28 tahun (range : 2,5 bulan – 76 tahun), dengan rasio
laki- laki : perempuan adalah 2,7 : 1. Luka bakar api adalah etiologi terbanyak (54,9 %),
diikuti air panas (29,2%), luka bakar listrik (12,8%), dan luka bakar kimia (3,1%). Rerata
luas luka bakar adalah 26% (range 1-98%). Dan rerata lama rawatan adalah 13,2 hari.
Angka mortalitas sebanyak 36,6% pada pasien dengan rerata luas luka bakar 44,5%, dengan
luas luka bakar > 60 % semuanya mengalami kematian. (Martina & Wardhana, 2013).
Salah satu penatalaksanaan penting pada kasus luka bakar yaitu resusitasi cairan.
Dengan memperhatikan prinsip-prinsip dasar resusitasi pada trauma dan penerapannya
pada saat yang tepat, diharapkan akan dapat menurunkan sekecil mungkin angka-angka

2
morbiditas dan mortalitas.Pemberian cairan intravena yang adekuat harus dilakukan, akses
intravena yang adekuat harus ada, terutama pada bagian ekstremitas yang tidak terkena luka
bakar. Tujuan utama dari resusitasi cairan adalah untuk menjaga dan mengembalikan
perfusi jaringan tanpa menimbulkan edema. (Rahayu,2012)
Oleh karena itu, bila terjadi kasus luka bakar perawat dituntut bisa memberikan
penanganan secara cepat dan tepat teruama saat intra hospital, sehingga seorang perawat
perlu memahami keadaan yang mungkin dialami oleh pasien luka bakar.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep teori luka bakar?
2. Bagaimana pendekatan asuhan keperawatan pada pasien dengan luka bakar?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Diharapkan mahasiswa mampu melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien dengan
luka bakar.
2. Tujuan Khusus
Mahasiswa dapat:
a. Menjelaskan kembali konsep teori luka bakar
b. Melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien dengan luka bakar

3
BAB 2
TINJAUAN TEORI

I. KONSEP TEORI LUKA BAKAR


A. Definisi Luka bakar
Luka bakar adalah cedera terhadap jaringan yang disebabkan oleh kontak dengan
panas kering (api), panas lembab (uap atau cairan panas), kimiawi (seperti, bahan-bahan
korosif), barang-barang elektrik (aliran listrik atau lampu), friksi, atau energi
elektromagnetik dan radian (Dewi & Ratna, 2013).
Luka bakar merupakan salah satu jenis luka, dimana terjadi kerusakan jaringan/
diskontinuitas jaringan yang diakibatkan sumber panas ataupun suhu dingin yang tinggi,
sumber listrik, bahan kimiawi, cahaya, radiasi dan friksi (Kristanto & Kalangi, 2013).
Menurut Corwin (2009), Luka bakar dapat timbul akibat kulit terpajan ke suhu
tinggi, syok listrik, atau bahan kimia. Luka bakar (combustio/burn) adalah cedera
(injuri) sebagai akibat kontak langsung atau terpapar dengan sumber-sumber panas
(thermal), listrik (electrict), zat kimia (chemycal), atau radiasi (radiation). (Rahayu,
2012)
B. Klasifikasi Luka Bakar
1. Berdasarkan penyebabnya luka bakar dibagi menjadi:
a. Luka bakar suhu tinggi
Luka bakar thermal disebabkan oleh karena terpapar atau kontak dengan api,
cairan panas dan bahan padat (solid).
b. Luka bakar karena bahan kimia
Luka bakar kimia disebabkan oleh kontaknya jaringan kulit dengan asam atau
basa kuat. Konsentrasi zat kimia, lamanya kontak dan banyaknya jaringan yang
terpapar menentukan luasnya injuri karena zat kimia ini. luka bakar kimia dapat
terjadi misalnya karena kontak dengan zat-zat pembersih yang sering digunakan
untuk keperluan rumah tangga dan berbagai zat kimia yang digunakan dalam
bidang industri, pertanian dan militer. Lebih dari 25.000 produk zat kimia
diketahui dapat menyebabkan luka bakar kimia.
c. Luka bakar karena listrik
Lewatnya tenaga listrik bervoltase tinggi melalui jaringan menyebabkan
perubahannya menjadi tenaga panas, ia menimbulkan luka bakar yang tidak
hanya mengenai kulit dan jaringan sub kutis, tetapi juga semua jaringan pada
4
jalur alur listrik tersebut. Luka bakar listrik biasanya disebabkan oleh kontak
dengan sumber tenaga bervoltase tinggi. Anggota gerak merupakan kontak yang
terlazim, dengan tangan dan lengan yang lebih sering cedera daripada tungkai
dan kaki.
Cedera listrik dapat menyebabkan masalah neurovaskular seumur hidup.
1) Tegangan rendah (kurang dari 500 V paparan) umumnya tidak menyebabkan
kerusakan yang signifikan atau masalah medis.
2) Paparan midrange (200-1000 V) dapat menyebabkan kerusakan lokal untuk
jaringan.
3) Paparan tegangan tinggi (lebih besar dari 1000 V) dapat menyebabkan
hilangnya kesadaran, patah tulang, sindrom kompartemen, aritmia, dan
sering dikaitkan dengan penurunan (Shukla & Sheridan, 2008).
Pada kasus tersambar petir, listrik mengalir melalui tubuh kemudian keluar ke
tanah. Menyebabkan kerusakan internl untuk jaringan dan organ. Pada daerah
masuknya arus listrik biasanya gosong dan tampak cekung. Keparahannya
tergantung pada kekuatan arus dan lamanya durasi kontak dengan sumber.
Listrik mengalir melalui daerah syaraf, pembuluh darah dan tulang, sehingga
yang mengalami cedera parah adalah di bawah permukaan kulit. Cedera yang
terjadi merupakan akibat dari listrik yang mengalir, ada juga cedera termal
karena pakaian pasien terbakar (Shukla & Sheridan, 2008).
d. Luka bakar karena radiasi
Luka bakar radiasi disebabkan oleh terpapar dengan sumber radioaktif. Tipe
injury ini seringkali berhubungan dengan penggunaan radiasi ion pada industri
atau dari sumber radiasi untuk keperluan terapeutik pada dunia kedokteran.
Terpapar oleh sinar matahari akibat terpapar yang terlalu lama juga merupakan
salah satu tipe luka bakar radiasi.
e. Luka bakar karena suhu dingin (Frostbite)
Frostbite adalah luka yang terjadi karena disebabkan suhu yang dingin. Pada
umumnya terjadi pada daerah dengan kondisi alam yang sangat dingin seperti di
puncak gunung bersalju. Bagian tubuh yang paling sering terkena frostbite
adalah daerah ujung jari, hidung, serta telinga. Pada awalnya kulit akan
memucat, tetapi kemudian akan menjadi seperti luka bakar, diawali dengan
munculnya bulae. Pada tahap lanjut kulit akan mengalami pengerasan seperti
perkamen / karton (Perbidkes,2015).
5
Derajat frostbite menurut Perbidkes (2015):
1) Derajat 1 : kulit akan tampak memucat, membeku, tidak melepuh.
2) Derajat 2 : kulit akan mulai timbul bulae, jaringan kehitaman.
3) Derajat 3 : Awal luka berwarna merah tua, kadang-kadang kulit
akan mengeras, jaringan mengering seperti mumi.
Jika terlambat dalam melakukan penanganan maka akan muncul nekrosis pada
area yang terkena frostbite.
2. Berdasarkan kedalaman luka bakar menurut Corwin (2009) :
a. Luka bakar derajat I
b. Luka bakar derajar II
1) Derajat II dangkal (superficial)
2) Derajat II dalam (deep)
c. Luka bakar derajat III
d. Luka bakar derajat IV
3. Berdasarkan tingkat keseriusan luka
American Burn Association dalam Nurarif & Kusuma (2015), menggolongkan luka
bakar menjadi tiga kategori:
a. Luka bakar mayor
b. Luka bakar moderat
c. Luka bakar minor
Terdapat beberapa metode untuk menentukan luas luka bakar meliputi (1) rule
of nine, (2) Lund and Browder, dan (3) hand palm. Ukuran luka bakar dapat
ditentukan dengan menggunakan salah satu dari metode tersebut. Ukuran luka
bakar ditentukan dengan prosentase dari permukaan tubuh yang terkena luka bakar.
Akurasi dari perhitungan bervariasi menurut metode yang digunakan dan
pengalaman seseorang dalam menentukan luas luka bakar. Metode rule of nine
mulai diperkenalkan sejak tahun 1940-an sebagai suatu alat pengkajian yang cepat
untuk menentukan perkiraan ukuran/luas luka bakar. Dasar dari metode ini adalah
bahwa tubuh di bagi ke dalam bagian-bagian anatomi, dimana setiap bagian
mewakili 9% kecuali daerah genitalia 1% (Rahayu, 2012).
a. Rule of nine
1) Kepala dan leher : 9%
2) Dada depan dan belakang : 18%
3) Abdomen depan dan belakang : 18%
6
4) Tangan kanan dan kiri : 18%
5) Paha kanan dan kiri : 18%
6) Kaki kanan dan kiri : 18%
7) Genital : 1%

Gambar 5. Metode Rule of Nine (Rahayu, 2012)

Gambar 6. Luas luka bakar

7
b. Diagram
Menurut Nurarif & Kusuma (2015), Penentuan luas luka bakar secara lebih
lengkap dijelaskan dengan diagram Lund dan Bowder sebagai berikut:
Usia (tahun)
Lokasi
0-1 1-4 5-9 10-15 Dewasa
Kepala 19 17 13 10 7
Leher 2 2 2 2 2
Dada dan perut 13 13 13 13 13
Punggung 13 13 13 13 13
Pantan kiri 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5
Pantat kanan 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5
Kelamin 1 1 1 1 1
Lengan atas kanan 4 4 4 4 4
Lengan atas kiri 4 4 4 4 4
Lengan bawah kanan 3 3 3 3 3
Lengan bawah kiri 3 3 3 3 3
Tangan kanan 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5
Tangan kiri 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5
Paha kanan 5,5 6,5 8,5 8,5 9,5
Paha kiri 5,5 6,5 8,5 8,5 5,5
Tungkai bawah kanan 5 5 5,5 6 7
Tungkai bawah kiri 5 5 5,5 6 7
Kaki kanan 3,5 3,5 3,5 3,5 3,5
Kaki kiri 3,5 3,5 3,5 3,5 3,5
Cara lainnya yaitu mengunakan metode hand palm. Metode ini adalah cara
menentukan luas atau persentasi luka bakar dengan menggunakan telapak
tangan. Satu telapak tangan mewakili 1 %dari permukaan tubuh yang mengalami
luka bakar (Rahayu, 2012).
C. Etiologi Luka Bakar
Menurut Nurarif &Kusuma (2015), luka bakar disebabkan oleh perpindahan energi
dari sumber panas ke tubuh melalui konduksi atau radiasi elektromagnetik. Berdasarkan
perjalanan penyakitnya, luka bakar dibagi menjadi 3 fase:
1. Fase akut
Pada fase ini problema yang ada berkisar pada gangguan saluran nafas karena
adanya cidera inhalasi dan gangguan sirkulasi. Pada fase ini terjadi gangguan
keseimbangan sirkluasi cairan dan elektrolit akibat cidera termis bersifat sistemik
2. Fase sub akut
Fase ini berlangsung setelah shock berakhir. Luka terbuka akibat kerusakan
jaringan (kulit dan jaringan dibawahnya) menimbulkan masalah inflamasi, sepsis
dan penguapan cairan tubuh disertai panas/energi

8
3. Fase lanjut
Fase ini berlangsung setelah terjadi penutupan luka sampai terjadi maturasi.
Masalah pada fase ini adalah timbulnya penyulit pada luka bakar berupa parut
hipetrofik, kontraktur dan deformitas lainnya.
Menurut Kowalak, Jenifer (2011) penyebab luka bakar meliputi :
1. Luka bakar suhu tinggi (termal burn)
a. Dry Heat : jilatan api langsung seperti pada korban kebakaran dan

pengeboman.

b. Moist Heat : luka bakar yang disebabkan oleh air panas

c. Benda panas : logam panas, aspal panas bisa menyebabakan luka bakar

dalam

2. Luka bakar kimia (chemical burn)


Disebabkan senyawa yang asam, basa atau vesikan (zat yang meninmbulkan
lepuhan). Banyak produk kimia yang bisa menyebabkan luka bakar apakah dengan
melalui kontak langsung, terminum maupun terhirup. Tingkat keperahan luka bakar
oleh karena bahan kimia ini tergantung dari :
a. Lamanya kontak
b. Konsentrasi bahan kimia
c. Jumlah jaringan tubuh yang terkena
d. Mekanisme kerja bahan kimia tersebut
Contoh bahan kimia yang bisa menyebabkan luka bakar ; Asam kuat (HCL, asam
Sulfur), Basa kuat (Sodium Hydroxide). Asam kuat menyebabkan nekrosis
koagulasi dan nyeri hebat, sedangkan basa kuat nekrosis likuifaksi, penetrasinya
dalam tetapi nyeri tidak hebat.
3. Luka bakar listrik (Electrical Burn)
Disebabkan oleh sengatan listrik atau petir, akibatnya akan sangat serius karena
menyebabkan kerusakan / kematian pada struktur tubuh bagian dalam sampai pada
kehilangan satu atau lebih anggota gerak.
4. Luka bakar radiasi
Disebabkan bila terpapar dengan bahan radioaktif dalan lumlah yang banyak,
menyebabkan luka bakar yang sifatnya ringan dan jarang menyebabkan kerusakan
kulit yang parah. Derajat keparahan luka bakar akibat radiasi tergantung dari :

9
a. Jenis radiasi
b. Jarak dari sumber radiasi
c. Lamanya paparan
d. Dosis yang diserap
e. Kedalaman penetrasi pada tubuh
5. Frostbite, disebabkan karena suhu yang dingin
D. Manifestasi Klinis Luka bakar
1. Berdasarkan kedalaman luka bakar
a. Luka bakar derajat I
1) Jaringan yang rusak hanya epidermis.
2) Klinis ada nyeri, warna kemerahan, kulit kering.
3) Kulit sembuh spontan dalam 3 sampai 4 hari dan tidak meninggalkan
jaringan parut
4) Tidak timbul komplikasi, misalnya luka bakar akibat sinar matahari
b. Luka bakar derajar II
1) Derajat II dangkal (superficial)
(a) Kerusakan mengenai superfisial dari dermis
(b) Sangat nyeri dan menimbulkana lepuh pada beberapa menit
(c) Organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keeringat, kelenjar
sebasea masih utuh
(d) Penyembuhan terjadi spontan dalam waktu 10-14 hari tanpa
meninggalkan jaringan parut
(e) Komplikasi jarang terjadi walaupun mungkin timbul infeksi sekunder
pada luka.

Gambar 7. Superficial Derma Burn

2) Derajat II dalam (deep)


10
(a) Kerusakan hampir mengenai hampir seluruh bagian dermis
(b) Organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar
sebasea mengalami kerusakan.
(c) Hanya sensitive parsial terhadap nyeri karena luasnya destruksi saraf-
saraf sensorik.
(d) Daerah disekitarnya biasanya mengalami luka bakar superficial yang
nyeri.
(e) Penyembuhan terjadi lebih lama, tergantung epitel yang tersisa.
Dilakukan pembersihan (debridement) secara bedah untuk membuang
jaringan mati. Biasanya penyembuhan terjadi lebih dari sebulan.
(f) Pada luka ini selalu selalu terjadi pembentukan jaringan parut.

c. Luka bakar derajat III


1) Kerusakan meliputi seluruh lapisan dermis dan lapisan yang lebih dalam
2) Organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea
mengalami kerusakan
3) Tidak dijumpai bulae
4) Kulit yang terbakar berwarna abu-abu dan pucat. Karena kering letaknya
lebih rendah daripada kulit sekitar
5) Terjadi koagulasi protein pada epidermis dan dermis yang dikenal sebagai
eskar
6) Tidak dijumpai rasa nyeri dan hilang sensasi, oleh karena ujung-ujung saraf
sensosrik mengalami kerusakan/kematian.
7) Penyembuhan terjadi lama karena tidak terjadi epitelisasi spontan dari dasar
luka

Gambar 8. Full thickness Burn

11
d. Luka bakar derajat IV
Luka bakar meluas ke otot, tulang dan jaringan dalam (Corwin, 2009).
2. Berdasarkan tingkat keseriusan luka
American Burn Association menggolongkan luka bakar menjadi tiga kategori:
a. Luka bakar mayor
1) Luka bakar lebih dari 25% pada orang dewasa dan lebih dari 20% pada anak-
anak
2) Luka bakar fullthickness lebih dari 20%
3) Terdapat luka bakar pada tangan, muka, mata, telinga, kaki dan perineum
4) Terdapat trauma inhalasi dan multiple injury tnpa memperhitungkan derajat
dan luasnya luka
5) Terdapat luka bakar listrik bertegangan tinggi
b. Luka bakar moderat
1) Luka bakar dengan luas 15-25% pada orang dewasa dan 10-20% pada anak-
anak
2) Luka bakar fullthickness kurang dari 10%
3) Tidak terdapat luka bakar paada tangan, muka, mata, telinga kaki, dan
perineum.
c. Luka bakar minor
1) Luka bakar dengan luas kurang dari 15% pada orang dewasa dan kurang dari
10% pada anak-anak.
2) Luka bakar fullthickness kurang dari 2%
3) Tidak terdapat luka bakar didaerah wajah, tangan, dan kaki
4) Luka tidak sirkumfer
5) Tidak terdapat trauma inhalasi, elektrik, fraktur
E. Patofisiologi Luka bakar
Menurut Corwin (2009), beberapa efek luka bakar antara lain:
Perubahan patofisiologik yang terjadi pada kulit segera setelah luka bakar
tergantung pada luas dan ukuran luka bakar. Untuk luka bakar yang kecil (smaller
burns), respon tubuh bersifat lokal yaitu terbatas pada area yang mengalami injuri.
Sedangkan pada luka bakar yang lebih luas misalnya 25 % dari total permukaan tubuh
(TBSA : total body surface area) atau lebih besar, maka respon tubuh terhadap injuri
dapat bersifat sistemik dan sesuai dengan luasnya injuri. Injuri luka bakar yang luas
dapat mempengaruhi semua sistem utama dari tubuh, seperti :
12
1. Sistem kardiovaskuler
Segera setelah injuri luka bakar, dilepaskan substansi vasoaktif (catecholamine,
histamin, serotonin, leukotrienes, dan prostaglandin) dari jaringan yang mengalami
injuri. Substansi-substansi ini menyebabkan meningkatnya permeabilitas kapiler
sehingga plasma merembes (to seep) kedalam sekitar jaringan. Injuri panas yang
secara langsung mengenai pembuluh akan lebih meningkatkan permeabilitas
kapiler. Injuri yang langsung mengenai membran sel menyebabkan sodium masuk
dan potasium keluar dari sel. Secara keseluruhan akan menimbulkan tingginya
tekanan osmotik yang menyebabkan meningkatnya cairan intracellular dan
interstitial dan yang dalam keadaan lebih lanjut menyebabkan kekurangan volume
cairan intravaskuler.
Luka bakar yang luas menyebabkan edema tubuh general baik pada area yang
mengalami luka maupun jaringan yang tidak mengalami luka bakar dan terjadi
penurunan sirkulasi volume darah intravaskuler. Denyut jantung meningkat sebagai
respon terhadap pelepasan catecholamine dan terjadinya hipovolemia relatif, yang
mengawali turunnya kardiac output. Kadar hematokrit meningkat yang menunjukan
hemokonsentrasi dari pengeluaran cairan intravaskuler. Disamping itu pengeluaran
cairan secara evaporasi melalui luka terjadi 4-20 kali lebih besar dari normal.
Sedangkan pengeluaran cairan yang normal pada orang dewasa dengan suhu tubuh
normal perhari adalah 350 ml.
Keadaan ini dapat mengakibatkan penurunan pada perfusi organ. Jika ruang
intravaskuler tidak diisi kembali dengan cairan intravena maka shock hipovolemik
dan ancaman kematian bagi penderita luka bakar yang luas dapat terjadi.
Kurang lebih 18-36 jam setelah luka bakar, permeabilitas kapiler menurun,
tetapi tidak mencapai keadaan normal sampai 2 atau 3 minggu setelah injuri. Kardiac
output kembali normal dan kemudian meningkat untuk memenuhi kebutuhan
hipermetabolik tubuh kira-kira 24 jam setelah luka bakar. Perubahan pada kardiak
output ini terjadi sebelum kadar volume sirkulasi intravena kembali menjadi normal.
Pada awalnya terjadi kenaikan hematokrit yang kemudian menurun sampai di bawah
normal dalam 3-4 hari setelah luka bakar karena kehilangan sel darah merah dan
kerusakan yang terjadi ada waktu injuri. Tubuh kemudian mereabsorbsi cairan
edema dan diuresis cairan dalam 2-3 minggu berikutnya. (Rahayu, 2012).
Kehilangan volume intravena setelah luka bakar besar menyebabkan penurunan
curah jantung dan pengiriman oksigen ke jaringan tubuh. Sistem saraf simpatik
13
diaktifkan sebagai mekanisme kompensasi, dengan pelepasan katekolamin
menyebabkan takikardia dan vasokonstriksi untuk mempertahankan tekanan darah
arteri. Perfusi jaringan dan multiorgan diubah ketika redistribusi aliran darah terjadi
pada awal periode pasca-luka bakar untuk perfusi organ-organ penting seperti
jantung dan otak. Pada awal pasca luka bakar, perlu diamati disfungsi jantung dan
efek inotropik negatif pada jaringan miokardial. Besarnya depresi miokard melebihi
kehilangan volume cairan intravena, mekanisme yang tepat dalam ini belum
diketahui dan merupakan topik penelitian yang terus diteliti. Sekresi lokal mediator
inflamatory sitokin, seperti tumor necrosis factor dan interlekuins, di dalam
myocardium dan aktivasi sistemik dari komplemen anafilatoksin berperan sebagai
kontributor utama pada disfungsi kontraktil jantung. Ketidakstabilan jantung pada
pasien luka bakar semakin diperburuk oleh underresuscitation (hipovolemia),
overresuscitation (hypervolemia) atau peningkatan afterload. Gangguan fugsi
cardiac meningkatkan sekitar 24 hingga 30 jam setelah cedera. Tujuan resusitasi
cairan pada awal pasca luka bakar adalah untuk membantu memulihkan cardiac
output menjadi normal.
Segera setelah injuri luka bakar, dilepaskan substansi vasoaktif
(catecholamine, histamin, serotonin, leukotrienes, dan prostaglandin) dari
jaringan yang mengalami injuri. Substansi-substansi ini menyebabkan
meningkatnya permeabilitas kapiler sehingga plasma merembes (to seep) kedalam
sekitar jaringan. Injuri panas yang secara lamgsung mengenai pembuluh darah akan
lebih menigkatkan permeabilitas kapiler. Injuri yang langsung mengenai membrane
sel menyebabkan sodium masuk dan potassium keluar dari sel. Secara keseluruhan
akan menimbulkan tingginya tekanan osmotic yang menyebabkan meningkatnya
cairan intracellular dan interstitial dan yang dalam keadaan lebih lanjut
menyebabkan kekurangan volume cairan intravaskuler. Luka bakar yang luas
menyebabkan edema tubuh general baik pada area yang mengalami luka maupun
jaringan yang tidak mengalami luka bakar dan terjadi penurunan sirkulasi volume
darah intravaskuler. Denyut jantung meningkat sebagai respon terhadap pelepasan
catecholamine dan terjadinya hipovolemia relatif, yang mengawali turunnya kardiac
output. Kadar hematokrit meningkat yang menunjukan hemokonsentrasi dari
pengeluaran cairan intravaskuler. Disamping itu pengeluaran cairan secara evaporasi
melalui luka terjadi 4-20 kali lebih besar dari normal. Sedangkan pengeluaran cairan
yang normal pada orang dewasa dengan suhu tubuh normal perhari adalah 350 ml.
14
Keadaan ini dapat mengakibatkan penurunan pada perfusi organ. Jika ruang
intravaskuler tidak diisi kembali dengan cairan intravena maka shock hipovolemik
dan ancaman kematian bagi penderita luka bakar yang luas dapat terjadi. Kurang
lebih 18-36 jam setelah luka bakar, permeabilitas kapiler menurun, tetapi tidak
mencapai keadaan normal sampai 2 atau 3 minggu setelah injuri. Kardiac output
kembali normal dan kemudian meningkat untuk memenuhi kebutuhan
hipermetabolik tubuh kira-kira 24 jam setelah luka bakar. Perubahan pada kardiak
output ini terjadi sebelum kadar volume sirkulasi intravena kembali menjadi normal.
Pada awalnya terjadi kenaikan hematokrit yang kemudian menurun sampai di
bawah normal dalam 3-4 hari setelah luka bakar karena kehilangan sel darah merah
dan kerusakan yang terjadi pada waktu injuri. Tubuh kemudian mereabsorbsi cairan
edema dan diuresis cairan dalam 2-3 minggu berikutnya Peningkatan stimulasi
adrenergik merupakan salah satu pemicu infark miokard dan aritmia jantung. Pada
pasien luka bakar, indeks volume diastolic-akhir meningkat sementara ventrikel
kanan mengalami penurunan fraksi ejeksi, yang sangat menunjukkan disfungsi
miokard. Ketidakstabilan jantung pada pasien luka bakar dikaitkan dengan
hipovolemia, peningkatan depresi miokard langsung dan afterload. Selain itu,
hyperaggregabilitas, hiperkoagulabilitas, dan gangguan fibrinolisis akibat dari
cedera akut dapat mempengaruhi infraksi miokard

2. Sistem Renal
Menurunnya volume intravaskuler menyebabkan aliran plasma ke ginjal dan
GFR menurun sehingga haluan urin juga akan ikut menurun. Jika resusitasi cairan
untuk kebutuhan intravaskuler tidak adekuat atau terlambat diberikan, maka akan
memungkinkan terjadinya gagal ginjal akut. Bila resusitasi cairan adekuat, airan
interstitial dapat ditarik kembali ke intravascular dan akan terjadi fase diuresis.
Luka bakar berpotensi untuk menjadi penyebab terjadinya gagal multiorgan
dengan angka mortalitas dan morbiditas yang tinggi. Kombinasi antara luka bakar
pada kulit yang luas serta
kerusakan organ dalam menyebabkan meningkatnya kebutuhan cairan akibat
banyaknya cairan yang hilang. Kerusakan pada jantung dan otot dapat menyebabkan
myoglobulinuria. Myoglobin menyebabkan obsruksi dan vasokontriksi serta
mebyebabkan gagal ginjal.

15
Kehilangan cairan akan mempengaruhi nilai normal cairan dan elektrolit tubuh
akibat dari peningkatan pada permeabilitas pembuluh darah sehingga terjadi
perpindahan cairan dari intravaskular ke ekstravaskuler melalui kebocoran kapiler
yang berakibat tubuh kehilangan natrium, air, klorida, kalium dan protein plasma.
Kemudian terjadi edema menyeluruh dan dapat berlanjut pada syok hipovolemik
apabila tidak segera ditangani (Hudak dan Gallo, 1996).
Menurunnya volume intra vaskuler menyebabkan aliran plasma ke ginjal dan
GFR (Rate Filtrasi Glomerular) akan menurun sehingga haluaran urin meningkat.
Jika resusitasi cairan untuk kebutuhan intravaskuler tidak adekuat bisa terjadi gagal
ginjal dan apabila resusitasi cairan adekuat, maka cairan interstitiel dapat ditarik
kembali ke intravaskuler sehingga terjadi fase diuresis.

3. Sistem Gastrointestinal
Respon umum yang biasa terjadi pada pasien luka bakar >25% adalah
penurunan aktifitas gastrointestinal. Hal ini disebabkan oleh kombinasi efek respon
hipovolemik dan neurologic serta reson endokrin terhadap adanya perlukaan luas.
Pemasangan NGT akan mencegah distensi abdomen, muntah dan potensi aspirasi.
Resusitasi yang adekuat mengembalikan aktifitas gastrointestinal pada 24-48 jam
setelah luka bakar.
Komplikasi yang potensial terjadi pada gastrointestinal ( GI ) komplikasi
potensial yang dapat terjadi: ileus paralitik (tidak adanya peristaltik usus) dan
Curling’s ulcer. Penurunan peristaltik dan suara usus adalah manifestasi dari ileus
paralitik akibat trauma luka bakar. Distensi lambung dan mual dapat menyebabkan
muntah yang dimulai jika tidak terdapat dekompresi lambung. Perdarahan sekunder
lambung akibat besarya stres fisiologis dapat ditandai dengan darah samar pada tinja,
regurgitasi pada material dari dalam perut, atau muntahan berdarah. Tanda-tanda ini
menunjukkan lambung atau duodenum mengalami erosi (Curling’s ulcer).
Perubahan lain yang mempengaruhi saluran pencernaan setelah luka bakar:
membran mukosa menjadi permeabel, permeabilitas memungkinkan untuk
pertumbuhan dari bakteri yang berlebih pada saluran pencernaan, dan bakteri
mentranslokasi ke organ lainnya yang menyebabkan infeksi. Pasien tidak dapat
melawan terhadap bakteri karena mengalami imunosupresi. Selain itu, konsumsi
alkohol yang umum terjadi pada kasus luka bakar, mempengaruhi integritas saluran

16
pencernaan dan respon imun, lebih meningkatkan risiko infeksi dan kemungkinan
komplikasi perdarahan.
Pasien dengan luka bakar juga berisiko untuk sindrom kompartemen abdomen
(Abdomen Compartement Syndrome / ACS). Selama resusitasi, perpindahan cairan
ke dalam rongga perut dapat menyebabkan peningkatan distensi abdomen,
penurunan output urin, hipotensi, dan insufisiensi pernapasan. Perkembangan ACS
berhubungan dengan volume cairan diberikan. Faktor-faktor seperti adanya cedera
inhalasi, cedera termal yang mendalam, glukosuria, tertunda atau resusitasi yang
tidak memadai, dan hemoglobinuria mungkin memerlukan cairan tambahan yang
mungkin tidak dihitung dengan rumus. Tekanan kandung kemih diukur untuk
menentukan perlunya intervensi invasif untuk mengobati tekanan perut. Tekanan
kandung kemih lebih besar dari 25 mmHg dari waktu ke waktu mengindikasikan
peningkatan tekanan perut. Meskipun komplikasi ini tidak selalu terjadi, pencegahan
dilakukan dengan sangat hati-hati dan pengukuran kontinyu cairan yang diberikan
dan output urine menjadi sangat penting.
Ada 2 komplikasi gastrointestinal yang potensial, yaitu ileus paralitik (tidak
adanya peristaltik usus) dan ulkus curling. Berkurangnya peristaltik usus dan bising
usus merupakan manifestasi ileus paralitik yang terjadi akibat luka bakar. Distensi
lambung dan nausea dapat mengakibatkan vomitus kecuali jika segera dilakukan
dekompresi lampung (dengan pemasangan sonde lambung). Perdarahan lambung
yang terjadi sekunder akibat stres fisiologik yang masif dapat ditandai oleh darah
dalam feses atau vomitus yang berdarah. Semua tanda ini menunjukkan erosi
lambung atau duodenum (ulkus curling). Respon umum pada luka bakar > 20 %
adalah penurunan aktivitas gastrointestinal. Hal ini disebabkan oleh kombinasi efek
respon hipovolemik dan neurologik serta respon endokrin terhadap adanya
perlukaan luas. Pemasangan NGT mencegah terjadinya distensi abdomen, muntah
dan aspirasi.
Luka bakar mayor, yang mempengaruhi lebih dari 20% TBSA (total burn
surface area), dengan atau tanpa gangguan pernapasan, merupakan kondisi yang
spesific jika dibandingkan dengan kondisi di unit intensive care secara umum. Pasien
penyakit kritis luka bakar memiliki gejala seperti stres oksidatif yang tinggi, respons
inflamasi yang besar, hipermetabolik dan respons katabolik yang lama dan
berkepanjangan, yang dimana tanda-tanda tersebut berkorelasi dengan tingkat
keparahan dari luka bakar pasien tersebut.
17
Terapi nutrisi merupakan bagian dari terapi luka bakar, dimulai sejak dini dari
permulaan resusitasi. The American Burn Association (ABA) telah mengeluarkan
tatalaksana terapi pada pasien luka bakar, yang dimana termasuk di dalamnya
tatalaksana terapi nutrisi. Mempertahankan intake nutrisi yang adekuat selama fase
akut sangatlah penting untuk meningkatkan penyembuhan luka dan pencegahan
infeksi. BMR (basal metabolik rate) 40-100% lebih tinggi dari keadaan normal,
tergantung pada luasnya luka bakar. BMR tiap orang bergantung pada usia, jenis
kelamin, berat badan, dan tinggi badan. Oleh karena itu, BMR tiap orang berbeda-
beda. Untuk mengetahui BMR bisa menghitungnya menggunakan rumus Harris-
Benedict. Rumus BMR ini dibedakan antara pria dan wanita.
BMR Pria = 66 + (13,7 x berat badan) + (5x tinggi badan) – (6,8 x usia)
BMR Wanita = 655 + (9,6 x berat badan) + (1,8x tinggi badan) – (4,7 x usia)
Respon ini diperkirakan berakibat pada hipotatamus dan adrenal yang
menyebabkan peningkatkan produksi panas. Metabolik rate menurunkan bila luka
telah ditutup. Selain itu metabolisme glukosa berubah setelah mengalami luka bakar,
mengakibatkan hiperglikemia. Rendahnya kadar insulin selama fase emergent
menghambat aktifitas insulin dengan meningkatkan sirkulasi catecholamine, dan
meningkatkan glukoneo dan genesis selama fase akut yang semuanya mempunyai
implikasi terhadap terjadinya hiperglikemia pada klien luka bakar. Hubungan
nutrisi yang agresif diperlukan untuk memenuhui kebutuhan energi yang meningkat
guna meningkatkan penyembuhan dan mencegah efek katabolisme yang tidak
diharapkan. Formula yang digunakan untuk menghitung kebutuhan energi,
dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu berat badan, jenis kelamin, usia, luasnya luka
bakar dan aktivitas atau injuri.
(25 kcal x berat badan (kg) + (40 kcal x % luka bakar) = kcal/hari.
Dukungan nutrisi yang agresif umumnya diindikasikan untuk klien luka bakar
dengan 30% atau lebih, secara klinis memerlukan tindakan operasi multiple,
perlunya penggunan ventilator mekanik, status mental dan status nutrisi yang buruk
pada saat belum mengalami luka bakar.
a. Jalur pemberian nutrisi
Saluran gastrointestinal (GI) umumnya berisiko pada fase awal resusitasi
luka bakar oleh karena stres mayor yang disebabkan oleh luka bakar tersebut dan
juga terapi yang dilakukan untuk mempertahankan hidup. Oleh karena itu, syok
hipovolemik dapat terjadi oleh karena kebocoran kapiler yang besar. Pemberian
18
cairan kristaloid diberikan dalam waktu 24-48 jam pertama setelah kejadian
untuk mempertahankan tekanan darah. Permeabilitas usus juga meningkat secara
bermakna setelah kejadian jika dibandingkan dengan kondisi di ICU lainnya.
Oleh karena itu pemberian nutrisi enteral secara dini (6-12 jam setelah kejadian)
dapat memberikan manfaat secara klinis dan biologis, seperti menurunkan kadar
hormon stres dari respons hiperkatabolik yang dapat berdampak kepada
peningkatan produksi immunoglobulin (Ig), penurunan stres ulcer, dan juga
menurunkan risiko malnutrisi dan kekurangan energi (enegy deficit).
b. Kebutuhan energi
Pasien dengan luka bakar derajat berat akan menimbulkan respons
hipermetabolik yang panjang yang bergantung kepada derajat keparahan dari luka
bakar tersebut, yang dimana respons hipermetabolik ini disebabkan oleh respons
stres endokrin dan respons inflamasi (mediator multipel). Kebutuhan energi
pascaluka bakar mayor meningkat secara bermakna jika dibandingkan dengan
kebutuhan energi basal/dasar (REE – resting enegy expenditure), akan tetapi
peningkatan terjadi berdampak terhadap waktu (peningkatan secara perlahan) dan
juga proposional dengan TBSA.
Pada tahun 70an, dimana pengetahuan dasar tentang burn care baru saja
dibuat, kondisi kehilangan berat badan pada pasien luka bakar mayor
menyebabkan pemberian kalori 5000 kkal/hari adalah normal sehingga
menyebabkan kejadian overfeeding yang sangat berlebihan. Beberapa penelitian
menyebutkan peningkatan REE yang bermakna umumnya terjadi pada 1 minggu
pertama pascakejadian, kemudian secara perlahan akan menurun. Perhitungan
nutrisi pada pasien ICU secara umum berdasarkan berat badan dengan formula
25-30 kkal/kgbb/hari menyebabkan underfeeding pada pasien luka bakar mayor.
Perhitungan dengan penambahan stres faktor berdasarkan formula Harris &
Benedict sering kali salah dan tidak tepat, sehingga menyebabkan overfeeding.
Overfeeding dapat menimbulkan morbiditas seperti infiltrasi perlemakan hati dan
peningkatan risiko infeksi. Oleh karena itu, indirect calorimetry merupakan gold
standard untuk menentukan kebutuhan energi pada pasien, baik dewasa dan anak,
luka bakar. Pasien dengan luka bakar mayor memiliki sensitivitas yang lebih
terhadap overfeeding jika dibandingkan dengan pasien dengan penyakit kritis
lainnya. Oleh karena itu penggunaan larutan dextrose 5% pada minggu pertama
untuk mengkoreksi hipernatremi dan/atau agen sedasi propofol larut lemak perlu
19
dimasukkan ke dalam perhitungan total energi yang digolongkan sebagai sumber
karbohidrat dan lemak dari sumber non-nutritional.
c. Protein dan asam amino spesifik
Kebutuhan protein umum pada pasien dengan luka bakar mayor berkisar
antara 1,5-2 g/kgbb/hari. Asupan protein >2,2 g/kgbb/hari tidak memiliki efek
yang menguntungkan terhadap sintesis protein total. Asupan protein 3
g/kgbb/hari yang pernah dilaporkan pada anak tidak memiliki keuntungan yang
bermakna.
Glutamine merupakan jenis asam amino yang menjadi berguna pada kasus
pasien dengan luka bakar karena merupakan substrat yang dipilih oleh limfosit
dan enterosit. Terdapat beberapa studi kecil yang sudah menunjukkan manfaat
dari penggunaan glutamine pada pasien dengan luka bakar, akan tetapi jalur
pemberian, durasi pemberian, dan dosis yang tepat masih sangat beragam dan
belum dapat ditentukan dengan jelas. Sebuah penelitian besar yang pada saat ini
sedang berjalan di Amerika seharusnya sudah dapat memberikan hasil yang lebih
baik. Pada saat ini, dosis glutamine yang direkomendasikan adalah 0,3
g/kgbb/hari yang diberikan selama 5-10. Pada sebuah studi, pemberian glutamine
kurang dari 3 hari pada pasien anak dengan luka bakar tidak menunjukkan adanya
manfaat yang bermakna.
Ornithine alpha-ketoglutarate merupakan prekursor dari glutamine, sehingga
dapat dijadikan sebagai alternatif, akan tetapi pada saat ini hanya tersedia di
Perancis dalam bentuk sediaan enteral. Pemberian pada fase akut menunjukkan
dapat mempercepat penyembuhan luka. Pemberian dengan dosis 30 g per hari
yang dibagi menjadi 2-3 pemberian dibuktikan efisien untuk memperbaiki
keseimbangan nitrogen. Pada saat ini belum ditemukan penelitian yang
merekomendasikan suplementasi arginine pada pasien dengan luka bakar.
d. Karbohidrat dan kontrol glikemik
Penelitian terkait kebutuhan karbohidrat pada pasien dengan luka bakar
mayor sampai saat ini masih sangat terbatas. Beberapa penelitian yang memiliki
tingkat kepercayaan yang cukup baik memberikan rekomendasi pemberian
karbohidrat sebesar 55-60% dari total kebutuhan energi tanpa melebihi 5
mg/kgbb/menit baik pasien dewasa atau pun pasien anak, atau sama dengan 7
g/kgbb/hari pada pasien dewasa. Terkait kontrol glikemik dan terapi insulin
intensif, perlu diperhatikan pada pasien dengan luka bakar mayor karena
20
pemberian terapi insulin intensif memiliki risiko terjadinya hipoglikemi yang
dimana sepertinya kejadian hipoglikemi ini meningkat pada pasien dengan luka
bakar mayor. Peningkatan hipoglikemi pada pasien dengan luka bakar mayor
disebabkan oleh peningkatan REE pasien dan juga asupan nutrisi yang tidak
teratur (diberikan dengan durasi yang singkat dan tidak teratur) oleh karena pasien
menjalani intervensi yang dilakukan dibawah anestesi, sehingga pemberian
nutrisi enteral harus dihentikan. Kontrol glikemik yang baik adalah mentargetkan
berkisar 5-8 mmol/L dimana telah ditunjukkan memiliki manfaat secara klinis
studi yang dilakukan pada pasien dengan luka bakar. Beberapa manfaat klinis
yang ditunjukkan meliputi, penerimaan graft yang lebih baik, komplikasi infeksi
yang lebih minimal, dan penurunan mortalitas. Rekomendasi khusus untuk
kontrol glikemik pada pasien luka bakar belum ditentukan dengan jelas, oleh
karena itu umumnya klinisi mengacu pada tatalaksana pasien ICU secara umum,
yaitu menargetkan kadar glukosa 6-8 mmol/L (100-150 mg/dL).
Metformin yang dapat menurunkan kadar gula darah melalui beberapa
mekanisme dapat digunakan sebagai alternatif dari insulin, akan tetapi risiko
asidosis laktat perlu diperhitungkan. Selain daripada itu, penggunaan Exenatide,
golongan obat incretin baru yang menghibisi sekresi glukagon, dapat menurunkan
kebutuhan insulin eksogen seperti yang ditunjukkan pada studi awal pada pasien
anak dengan luka bakar.
e. Lemak
Jumlah lemak yang sedikit diperlukan untuk mencegah terjadinya defisiensi
asam lemak esensial, akan tetapi hanya beberapa studi yang tersedia yang
menunjukkan kebutuhan lemak pada pasien luka bakar. Dari 2 studi yang tersedia
ditunjukkan pemberian lemak mencapai 35% dari total kebutuhan energi
memiliki dampak negatif terhadap lama rawat di RS (LOS – length of hospital
stay) dan risiko infeksi jika dibandingkan dengan hanya 15% dari total kebutuhan.
Dengan sediaan komersial saat ini yang memiliki kandungan lemak berkisar 30-
52% dari total kebutuhan energi, pembatasan asupan lemak ini membutuhan
prosedur compounding di rumah sakit. Selain daripada itu, perlu juga dimasukkan
dalam perhitungan untuk asupan lemak yang berasal dari sumber non-nutritional
seperti agen sedatif larut lemak propofol yang dapat berkontribusi mencapai 15-
30 g/hari pada pasien dewasa. Kebutuhan akan omega-3, mono- dan
polyunsaturated fatty acid masih dalam dalam penelitian yang sedang berjalan.
21
f. Kebutuhan mikronutrien
Pasien dengan luka bakar mayor memiliki kebutuhan mikronutrien yang
meningkat, seperti trace element dan vitamin, oleh karena respons
hipermetabolik, kebutuhan untuk penyembuhan luka dan kehilangan melalui
membran kulit, khususnya pada pasien luka bakar dengan luka terbuka (open
wound). Stres oksidatif yang sangat tinggi, bersamaan dengan respons inflamasi
menghasilkan peningkatan kebutuhan aktivitas dari antioksidan endogen yang
sangat bergantung terhadap kandungn mikronutrien di dalam tubuh. Kebutuhan
dari mikronutrien yang tidak terpenuhi akan menunjukkan gejala klinis,
khususnya pada bulan pertama seperti komplikasi infeksi dan juga penyembuhan
luka yang terhambat. Sediaan komersial dari nutrisi enteral atau
multivitamin/trace element parenteral saat ini masih belum cukup untuk menutupi
kebutuhan yang meningkat pada pasien dengan luka bakar mayor. Pengganti
kehilangan dan peningkatan kebutuhan tidak bisa dipenuhi hanya dengan nutrisi
enteral, oleh karena gangguan penyerapan dan juga kompetisi antara trace
element.
Berdasarkan penelitian yang tersedia, dosis vitamin C dan E 1,5-3X dari
AKG dapat meningkatkan penyembuhan luka pada pasien anak dan dewasa. Pada
studi terbaru, pemberian dosis vitamin C tinggi (0,66 mg/kg/jam selama 24 jam)
pada fase awal menunjukkan dapat menstabilkan endotel sehingga dapat
menurunkan kebocoran kapiler dan kebutuhan cairan resusitasi sebesar 30%.
Dosis vitamin D masih belum dapat ditentukan pada saat ini, akan tetapi dosis
umum 400 IU/hari dari vitamin D2 tidak dapat memperbaiki densitas tulang.
Kandungan copper, selenium, dan zinc hilang dalam jumlah besar bersamaan
dengan cairan eksudat, dan kehilangan dapat berlangsung lama jika luka belum
tertutup. Durasi peningkatan kebutuhan trace element pengganti dibutuhkan
sesuai dengan derajat dari luka bakar, seperti 7-8 hari untuk luka bakar 20-40%
TBSA, 2 minggu untuk 40-60% TBSA, dan 30 hari untuk luka bakar >60%
TBSA. Pemberian trace element pengganti secara dini dikaitkan dengan
penurunan peroksidasi lemak, perbaikan pertahanan antioksidan, perbaikan
sistem imun, penurunan risiko komplikasi infeksi, percepatan penyembuhan luka,
dan lama rawat ICU yang lebih singkat. Perlakuan yang sama juga dapat
dilakukan pada pasien anak dengan memperhitungkan dosis trace element
pengganti berdasarkan berat badan dan derajat keparahan luka bakar.
22
4. Sistem Imun
Fungsi sistem immune mengalami depresi. Depresi pada aktivitas lymphocyte,
suatu penurunan dalam produksi immunoglobulin, supresi aktivitas complement dan
perubahan/gangguan pada fungsi neutropil dan macrophage dapat terjadi pada klien
yang mengalami luka bakar yang luas. Perubahan-perubahan ini meningkatkan
resiko terjadinya infeksi dan sepsis yang mengancam kelangsungan hidup klien.
Sistem imun nonspesifik adalah sistem imun bawaan (sudah ada) yang secara
nonselektif memperthankan tubuh dari benda asing atau materi abnormal apapun
jenisnya, bahkan meskipun baru pertama kali terpapar. Respon ini merupakan lini
pertama pertahanan terhadap berbagai ancaman, termasuk agen infeksi iritan
kimiawi, dan cedera jaringan akibat trauma mekanis atau luka bakar.
Komponen-komponen sistem imun bawaan selalu berada dalam keadaan siaga,
siap melaksanakan tindakan-tindakan pertahana yang terbatas dan relatif “kasar”
terhadap semua dan semua penyerang. Dari berbagai sel efektor imun, neotrofil dan
makrofag keduanya adalah spesialis fagositik sangat penting dalaam pertahanan
bawaan. Berbagai respon imun nonspesifik diaktifkan sebagai tanggapan terhadap
pola molekuler generik yang berkaitan dengan agen yang mengancam, misalnya
karbohidrat yang biasanya ada di dinding sel bakteri tetapi tidak ditemukan di sel
manusia. Sel-sel fagositik dipenuhi oleh protein membran plasma dinamai toll-like
receptors (TLR). TLR dijuluki “mata sistem imun bawaan”. Karena sensor imun ini
mengenali dan mengikat penanda-penanda di bakteri sehingga sel efektor sistem
imun bawaan “melihat” patogen sebagai suatu yang berada dari sel “diri”. Saat TLR
mengenali patogen maka TLR memicu fagosit untuk menelan dan menghancurkan
mikroorganisme infeksius tersebut. Selain itu pengaktifan TLR memicu sel fagositik
mengeluarkan bahan-bahan kimia yang sebagian berperan dalam peradangan.
TLR menghubungkan sistem imun bawaan dan adaptif, karena bahaan-bahan
kimia lain yang dikeluarkan oleh fagosit penting untuk merekrut sel-sel sistem imun
adaptif. Selain itu, partikel asing secara sengaja ditandai agar dapat ditelan oleh
fagosit yaitu dengan melapisinya dengan anti bodi yang dihasilkan oleh sel B sistem
imun adaptif.
Kekebalan selular adalah respon imun yang tidak mengikutsertakan antibodi,
tetapi mengikutsertakan aktivasi makrofag, sel Natural killer (NK), sel T sitotoksik
yang mengikat antigen tertentu, begitu sel diaktifkan maka sel imun akan
berkomunikasi melalui sitokin dan kemokin. Sel-sel ini membunuh virus, bakteri
23
dan sel asing yang lainnya dan dikeluarkannya berbagai sitokina sebagai respon
terhadap antigen, dan mengaktifkan sistem komplmen. Sistem imun ini juga
mengikut sertakan fagosit, dan makrofag.
Sitokin adalah molekul mirip hormon yang biasanya bekerja dengan cara
perakrin untuk mengatur repon imun. Sitokin tidak saja dikeluarkan oleh limfosit
dan makrofag tetapi juga oleh sel-sel endotel, neuron, sel glia, dan jenis sel lainnya.
Sebagian dari efek sitokin juga memiliki efek sistemik seperti IL-1,IL-6 yang
menyebabkan demam.
Superfamili lain dari sitokin adalah famili kemokin. Kemokin adalah zat yang
menarik Neutrofil dan sel darah putih lain ketempat peradangan atau respon imun.
Imunitas seluler dirantai oleh limfosit T. Imunita ini bertanggung jawab untuk
menimbulkkan reaksi alergi type lambat dan penolakan tandur jaringan asing. Sel T
sitotoksik menyerang dan menghancurkan sel yang memiliki antigen yang
mengaktifkan sel-sel tersebut. Sel-sel yang berperan pada imunitas selular,
diantaranya :
a. Fagosit
Meskipun berbagai sel didalam tubuh dapat melakukan fagositosis, tetapi sel
utama yang berperan dalam pertahanan nonspesifik adalah sel mononuklear
(monosit dan makrofag) serta sel polimorfonuklear atau granulosit. Sel-sel ini
berperan sebagai sel yang menangkap antigen kuman mengolah dan selanjutnya
mempresentasikannya kepada sel T, yang sdikenal sebagai sel penyaji atau APC.
Kedua sel tersebut berasal dari sel asal hemopoietik. Granulosit hidup pendek,
mengandung granul yang berisikan enzim hidroloitik. Beberapa granul berisikan
pula laktoferin yang bersifaat bakteri sidal.
Fagositosis yang efektif pada infasi kuman dini akan dapat mencegah
timbulnya infeksi. Dalam kerjanya, sel fagosit juga berinteraksi dengan
komplemen dansistem imun spesifik. Penghancuran kuman terjadi dalam
beberapa tingkat sebagai berikut, kemotaksis, menangkap, memakan,
fagositosis, memusnakan dan mencernah.
Semua fase, kecuali fase dau memerlukan tenaga dari fagosit, sedang mikroba
menempel pada fagosit terjadi memlalui tenaga kimiawi antar reseptor
dipermukaan sel dan bakteri atau molekul yang di ikatnya (misalnya
komplenmen, antibodi). Mekanisme untuk fase lima dapat dibagi menjadi
oksidatif atau nonoksidatif, tergantung perlu tidaknya sumber oksigen.
24
Kemotaksis adalah gerakan fagosit ketempat infeksi sebagai respon terhadap
berbagaii fakktor seperti produk bakteri danteri dan faktor biokimiawi yang
dilepas pada aktifasi komplemen.Jaringan yang rusak atau mati dapat pula
melepas faktor kemotaktik. Sel palimorfonuklear bergerak cepat dan sudah
berada ditempat infeksi selama dua sampai empat jam, sedang monosit bergerak
lebih lambat dan memerlukan waktu tujuh sampai delapan jam untuk sampai
ditempat tujuan.
Antibodi sama halnya dengan komplemen (C3b) dapat meningkatkan
fagositosis (opsonisasi). Opsonin adalah molekul besar yang diikat permukaan
mikroba dan dapat dikenal oleh reseptor permukaan netrofil dan makrofag,
sehingga meningkatkan efesiensi fagositosis. Contoh-contoh opsonin adalah IgG
yang dikenal Fcγ-R pada fagosit dan fragmen komplemen yang dikenal oleh
reseptor komplemen tipe 1 (CR1, CD35) dan integrin Mac-1 pada leukosit.bodi
seperti IgG yang dikenal Fcγ-R pada permukaan fagosit diikat oleh mikroba.
Sinyal dari Fcγ-R meningkatkan fagositosis mikroba yang diopsonisasi dan
mengaktifkan makrofag untuk menghancurkan mikroba.
Distruksi mikroba intra seluler terjadi oleh karena didalam sel fagosit,
monosit dan polimorfonuklear, terdapat berbagai bahan antimikrobial seperti
lisosom, hidrogen peroksida dan mieloperoksidase. Tungkat akhir fagositosis
adalah pencernaan protein, polisakarida, lipid, dan asam nukleat di dalam sel
oleh enzim lisosom. Sel polimorfonuklear lebih sering ditemukan pada
imflamasi akut, sedang monosit pada imflamsi kronik.
b. Makrofag
Makrofaga berasal dari bahasa Yunani yang berarti “pemakan sel yang
besar”. Makrofaga adalah leukosit fagositik yang besar, yang mampu bergerak
hingga keluar system vaskuler dengan menyebrang membran sel dari pembuluh
kapiler dan memasuki area antara sel yang sedang diincar oleh patogen. Di
jaringan, makrofaga organ-spesifik terdiferensiasi dari sel fagositik yang ada di
darah yang disebut monosit. Makrofaga adalah fagosit yang paling efisien, dan
bisa mencerna sejumlah besar bakteri atau sel lainnya. Pengikatan molekul
bakteri ke reseptor permukaan makrofaga memicu proses penelanan dan
penghancuran bakteri melalui "serangan respiratori", menyebabkan pelepasan
bahan oksigen reaktif. Patogen juga menstimulasi makrofaga untuk

25
menghasilkan kemokin, yang memanggil sel fagosit lain di sekitar wilayah
terinfeksi.
Makrofag merupakan hasil dari diferensiasi monosit yang berimigrasi
kejaringan, makrofag ini akan terus hidup dalam jaringan sebagai makrofag
residen. Sel kupffer merupakan makrofag dalam hati, histiosit dalam jaringan
ikat, dll.
c. Sel natural killer (NK)
Sel NK berfungsi dalam imunitas nonspesifik terhadap virus dan sel tumor.
Secara morfologis, sel NK merupakan limfosit besar dengan granul besar, ciri-
cirinya yaitu memiliki benyak sekali sitoplasma, granul sitoplasma azurofilik,
pseudopodia dan nukleus eksentris.
d. Sel Mast
Sel mast berperan dalam reaksi alergi dan juga dalam pertahannan penjamu,
jumlahnya mennurun pada sindrom imunodifisiensi. Sel mast juga berperan
pada imunitas terhadap parasit dalam usus dan terhadap invasi bakteri

5. Sistem Respiratori
Dapat mengalami hipertensi arteri pulmoner, mengakibatkan penurunan kadar
oksigen arteri dan lung compliance. Luka bakar dapat mengakibatkan gangguan
respiratori berupa smoke inhalation dan inhalasi injuri.
a. Inhalasi injuri
Ada tiga mekanisme yang menyebabkan cedera pada trauma inhalasi, yaitu
kerusakan jaringan karena suhu yang sangat tinggi, iritasi paru-paru dan asfiksia.
Pada kebakaran dalam ruangan tertutup atau bilamana luka bakar mengenai
daerah muka / wajah dapat menimbulkan kerusakan mukosa jalan napas akibat
gas, asap atau uap panas yang terhisap. Cedera inhalasi disebabkan oleh jenis
bahan kimia terbakar (tracheobronchitis) dari saluran pernapasan. Bila cedera ini terjadi
pada pasien dengan luka bakar kulit yang parah kematian sangat tinggi antara 48%
sampai 86%. Edema yang terjadi dapat menyebabkan gangguan berupa hambatan
jalan napas.
Manifestasi klinis yang dapat diduga dari injuri inhalasi meliputi adanya
luka bakar yang mengenai wajah, kemerahan dan pembengkakan pada
oropharynx atau nasopharynx, rambut hidung yang gosong, agitasi atau
kecemasan, takipnea, kemerahan pada selaput hidung, stridor, wheezing,
26
dyspnea, suara serak, terdapat carbon dalam sputum, dan batuk. Bronchoscopy
dan Scaning paru dapat mengkonfirmasikan diagnosis.
Trauma inhalasi disebabkan oleh berbagai inhalan. Inhalan dibedakan atas
4 macam yaitu:
1) Gas iritan : bekerja dengan melapisi mukosa saluran nafas dan
menyebabkan reaksi inflamasi. Amonia, klorin,
kloramin lebih larut air sehingga dapat menyebabkan
luka bakar pada saluran nafas atas dan menyebabkan
iritasi pada mata, hidung, dan mulut. Gas iritan lain yaitu
sulfur dioksida, nitrogen dioksida, yang kurang larut air
sehingga menyebabkan trauma paru dan distress
pernafasan
2) Gas : karbon dioksida, gas dari bahan bakar (metana, etena,
asfiksian propane,asetilana), gas-gas ini mengikat udara dan
oksigen sehingga menyebabkan asfiksia
3) Gas yang : CO yang merupakan komponen terbesar dari asap,
bersifat hidrogen sianida merupakan komponen asap yang
toksik berasal dari api, hidrogen sulfide
sistemik Gas-gas ini berhubungan dengan pengangkutan
oksigen untuk produksi energi bagisel. Sedangkan toksin
sistemik seperti hidrokarbon halogen dan
aromatik menyebabkan kerusakan lanjut dari hepar,
ginjal, otak, paru-paru, dan organ lain
4) Gas yang menyebabkan alergi, dimana jika asap terhirup, partikel dan
aerosolmenyebabkan bronkospasme dan edema yang menyerupai asma
b. Smoke Inhalation.
Setiap korban kebakaran api harus dicurigai adanya intoksikasi gas CO.
Karbon monoksida (CO) adalah gas yang tidak berwarna dan tidak berbau yang
dihasilkan dari proses pembakaran yang tidak sempurna dari material yang
berbahan dasar karbon seperti kayu, batu bara, bahan bakar minyak dan zat-zat
organik lainnya. Sekitar 50% kematian akibat luka bakar berhubungan dengan
trauma inhalasi dan hipoksia dini menjadi penyebab kematian lebih dari 50%
kasus trauma inhalasi. Intoksikasi gas CO merupakan akibat yang serius dari

27
kasus inhalasi asap dan diperkirakan lebih dari 80% penyebab kefatalan yang
disebabkan oleh trauma inhalasi.
Keracunan karbonmonoksida dapat menyebabkan turunnya kapasitas
transportasi oksigen dalam darah oleh hemoglobin dan penggunaan oksigen di
tingkat seluler. Karbonmonoksida mempengaruhi berbagai organ di dalam
tubuh, organ yang paling terganggu adalah yang mengkonsumsi oksigen dalam
jumlah besar, seperti otak dan jantung.
Efek toksisitas utama adalah hasil dari hipoksia seluler yang disebabkan oleh
gangguan transportasi oksigen. CO mengikat hemoglobin secara reversible,
yang menyebabkan anemia relatif karena CO mengikat hemoglobn 230-270 kali
lebih kuat daripada oksigen. Kadar HbCO 16% sudah dapat menimbulkan gejala
klinis. CO yang terikat hemoglobin menyebabkan ketersediaan oksigen untuk
jaringan menurun.
CO mengikat myoglobin jantung lebih kuat daripada mengikat hemoglobin
yang menyebabkan depresi miokard dan hipotensi yang menyebabkan hipoksia
jaringan.Keadaan klinis sering tidak sesuai dengan kadar HbCO yang
menyebabkan kegagalan respirasi di tingkat seluler.
Penderita trauma inhalasi atau penderita luka bakar harus dicurigai
kemungkinan terpapar dan keracunan gas CO. Pada pemeriksaan tanda vital
didapatkan takikardi, hipertensi atau hipotensi, hipertermia, takipnea. Pada kulit
biasanya didapatkan wama kulit yang merah seperti buah cherry, bisa juga
didapatkan lesi di kulit berupa eritema dan bula.
Efek intoksikasi CO pada tiap system:
No Sistem Efek
1 kardiorespirasi Hipoksia jaringan, iskemia miokard, edema pulmonal,
aritmia dan sindrom miokardial
2 saraf rasa lemah, sakit kepala, nausea, rasa cemas dan
kesulitan berpikir, nistagmus, ataksia dan pada
intoksikasi akut
3 ginjal Rhabdomyolisis dan gagal ginjal akut
4 kulit, otot dan Rhabdomyolisis
jaringan lunak

28
Manifestasi dari keracunan CO adalah sebagai berikut:
Tabel Manifestasi klinik keracunan Carbon Monxida
Kadar CO (%) Manifestasi Klinik
5 - 10 Gangguan tajam penglihatan
11 - 20 Nyeri kepala
21 - 30 Mual, gangguan ketangkasan
31 - 40 Muntah, dizines, sincope
41 - 50 Tachypnea, tachicardia
>50 Coma, mati

Perbedaan smoke inhalation dan inhalation injury:


Trauma inhalasi Intoksifikasi CO
- Luka bakar pada wajah - karboksihemoglobin > 10 %
- Alis mata dan bulu hidung setelah berada dalam
hangus lingkungan api
- Adanya timbunan karbon dan - seperti kulit berwarna pink
tanda-tanda inflamasi akut di sampai merah,
dalam orofaring - takikardi,
- Sputum yg mengandung arang - takipnea,
atau karbon - sakit kepala,
- Wheezing, sesak dan suara - mual,
serak - pusing,
- Adanya riwayat terkurun - pandangan kabur,
dalam kepungan api - halusinasi,
- Ledakan yang menyebakan - ataksia,
trauma bakar pada kepala dan - kolaps sampai koma.
badan

Survey primer pada diagnosis luka bakar terdiri dari :


a. Airway
Pada kasus luka bakar rawan terjadi edema sehingga jalan napas harus segera
dibebaskan. Adanya jelaga di wajah atau rongga hidung merupakan prediktor
trauma inhalasi yang paling berguna. Bila pasien tidak sadarkan diri,
pemeriksaan laringoskopik dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis trauma
inhalasi dan menentukan pilihan prosedur berikutnya (Joffe, 2017)
b. Breathing
Terdapat beberapa hal yang dapat mengganggu proses ventilasi dan oksigenasi
pasien, antara lain; penurunan kesadaran, menghirup asap atau racun (contoh:
karbonmonoksida), serta adanya trauma. Perlu diingat bahwa pada pasien
dengan luka bakar menlingkar pada dada/abdomen dapat mengalami gangguan

29
gerakan ekspansi toraks dan menghalangi pernapasan yang adekuat akibat
adanya eskar. [3]
Apabila survey primer sudah dilakukan dan kegawatdaruratan pada pasien sudah
teratasi, maka dokter dapat melanjutkan ke survey sekunder yang terdiri dari :
a. Anamnesis
Pada waktu anamnesis, perlu ditanyakan pertanyaan dasar untuk penilaian
kegawatdaruratan bedah yaitu AMPLE:
 Alergi (allergy)
 Riwayat medikasi (medication)
 Riwayat penyakit (past medical history)
 Makan terakhir (last meal)
 Kejadian (event) (Rice, 2017)
Saat menanyakan tentang kejadian, perlu diperhatikan adanya beberapa hal yang
merupakan masalah yang sering ditemui pada luka bakar; antara lain 1. trauma
inhalasi, 2. gangguan ekspansi rongga toraks, dan 3. gangguan perfusi.
(Moenajat, 2007)
Pertanyaan yang dapat diberikan untuk mengonfirmasi kecurigaan ke arah
masalah-masalah tersebut misalnya:
Trauma Inhalasi :
 Apakah kejadian yang menyebabkan luka bakar (contoh: ledakan) terjadi di
ruang tertutup?
 Apakah pasien sempat tidak sadarkan diri di ruang kejadian?
 Apakah ada pusing-pusing, mual, dan muntah (tanda-tanda keracunan
karbon monoksida)?
 Apakah pasien merasa sesak?
Gangguan Ekspansi Rongga Toraks :
 Apakah ada nyeri/luka bakar diketahui di daerah dada?
 Apakah ada rasa nyeri saat mengambil nafas/rasa sulit bernafas
Gangguan Perfusi :
 Apakah pasien tampak lebih gelisah dari biasanya? (dapat ditanyakan ke
pengantar/keluarga)
 Apakah pasien merasa tubuhnya dingin?
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik juga sebaiknya fokus pada ketiga masalah utama yang telah
disebutkan di atas, selain secara umum menilai dari ujung kepala hingga ujung
ekstrimitas. (Moenadjat, 2007)
Trauma inhalasi :
 Inspeksi: batuk-batuk yang menetap, suara serak, adanya luka bakar pada
daerah wajah atau leher, jelaga hitam pada hidung, adanya rambut yang
terbakar, sputum kehitaman, penurunan kesadaran/status mental, penggunaan

30
otot bantu napas, napas cepat dan dangkal, dan tanda-tanda kesulitan napas
lain.
 Auskultasi: mengi, stridor.
Gangguan ekspansi rongga toraks :
 Inspeksi: penggunaan otot bantu napas, napas cepat dan dangkal, dan tanda-
tanda kesulitan napas lain, adanya luka bakar dengan eskar tebal di daerah
dada.
Sirkulasi :
 Nilai sirkulasi daerah distal.
 Gangguan perfusi
 Tekanan darah: normal lalu hipotensi dengan sistol <80 mmHg, denyut nadi:
takikardia atau bradikardia, suhu tubuh dingin terutama di ujung ekstremitas,
CRT > 2 detik.
 Inspeksi: kulit pucat, keringat dingin, frekuensi napas cepat dan dangkal,
penggunaan otot bantu napas

6. Cairan dan Elektrolit


Edema cepat terbentuk setelah luka bakar. Luka bakar yang dangkal akan
menyebabkan edema untuk terbentuk dalam waktu 4 jam setelah cedera, sementara
terbakar lebih dalam akan terus membentuk selama periode waktu yang lebih lama
hingga 18 jam postinjury. Hal ini disebabkan oleh peningkatan perfusi ke daerah
luka dan menunjukkan banyaknya kerusakan pembuluh darah dan limfatik di
jaringan. Hilangnya integritas kapiler, dan cairan terlokalisir pada luka bakar,
menghasilkan pembentukan blister dan edema pada di daerah cedera. Pasien dengan
luka bakar lebih parah dapat timbul edema sistemik yang lebih besar Reabsorpsi
dimulai pada sekitar 4 jam dan berakhir sekitar 4 hari setelah cedera. Namun,
reabsorpsi tergantung pada kedalaman cedera jaringan. Pada cedera parsial-
thickness reabsorbsi terjadi lebih cepat karena fungsi sistem limfatik dan
peningkatan perfusinya lebih baik jika dibandingkan dengan cedera fullthickness.
Edema pada luka bakar dapat dihindari dengan menghindari pemberian cairan
yang berlebihan selama periode awal postburn. Pemberian cairan berlebihan
meningkatkan pembentukan edema pada jaringan luka bakar dan non-luka bakar.
Jaringan yang terbakar yang menjadi edeme mulai mendesak jaringan di bawahnya,
ia mulai bertindak seperti pembendung, terutama jika luka bakar berbentuk
melingkar. Edema meningkat, tekanan pada pembuluh darah kecil dan saraf di
ekstremitas distal menyebabkan terhalangnya aliran darah dan terjadinya iskemia

31
konsekuen. Komplikasi ini mirip dengan sindrom kompartemen. dokter mungkin
perlu melakukan escharotomy, sayatan bedah ke eschar (jaringan devitalized
dihasilkan dari luka bakar) untuk meringankan efek konstriksi dari jaringan yang
terbakar.
Resusitasi cairan sangat memperkuat terbentuknya edema pada jaringan baik
yang mengalami luka bakar atau tidak. Cairan yang keluar dari ruangan intravaskuler
sangat menyerupai plasma, baik dalam hal kandungan plasmanya, protein atau
elektrolitnya. Baxter dan Shires telah menunjukkan bahwa kehilangan natrium
sekitar 0,5 – 0,6 meq/kg. bb/% luas permukaan tubuh yang terbakar.
Volume sirkulasi darah menurun secara dramatis selama syok luka bakar. Selain
itu, menguapkan kehilangan cairan melalui luka bakar dapat mencapai 3 sampai 5 L
atau lebih selama periode 24-jam sampai permukaan luka bakar tertutup.
Selama syok luka bakar, tingkat natrium serum bervariasi dalam menanggapi
resusitasi cairan. Biasanya, hiponatremia (natrium deplesi) muncul. Hiponatremia
juga umum selama minggu pertama fase akut, seperti pergeseran air dari ruang
interstitial ke ruang vaskuler.
Segera setelah luka bakar, hiperkalemia (kalium berlebihan) hasil dari
perusakan sel besar. Hipokalemia (kalium deplesi) dapat terjadi kemudian dengan
pergeseran cairan dan penggantian kalium yang tidak memadai.

F. Perubahan metabolisme pada luka bakar


Kasus luka bakar merupakan suatu keadaan stres metabolisme yang melibatkan
respon neuroendokrin. Keadaan ini disebut juga hipermetabolisme. Reaksi pertama dari
luka bakar dienal dengan fase awal/fase akut/ fase syok yang berlangsung singkat, ditandai
dengan terjadinya penurunan tekanan darah, curah jantung, suhu tubuh, dan konsumsi
oksigen, serta hilangnya cairan dan elektrolit yang mengakibatkan terjadinya hipovolemi,
hipoperfusi, dan asidosis laktat.
Reaksi selanjutnya disebut fase flow yang berlangsung selama beberapa minggu
atau lebih. Pada fase ini terjadi kondisi hipermetabolisme dan hiperkatabolisme.
Dibandingkan cedera lainnya, terdapat fase hipermetabolisme yang ditandai dengan
peningkatan pemakaian energi yang disertai kehilangan panas melalui proses penguapan
(evaporative heat loss), peningkatan aktivitas saraf simpatis, (β adrenergik, sebagai respon
neuroendokrin), peningkatan aktivitas selular, dan pelepasan peptida parakrin.

32
Peningkatan evaporative heat loss dan stimulasi β adrenergik ini disebabkan oleh beberapa
hal:
 Jaringan yang mengalami kerusakan (dan atau kehilangan) tidak efektif sebagai sarana
protektif.
 Peningkatan aliran darah ke lokal cedera sehingga panas dari sentral dilepas di daerah
tersebut, dan melalui proses evaporasi terjad kehilangan cairan dan panas yang
menyebabkan penurunan suhu tubuh (energi panas yang digunakan untuk proses
evaporasi kurang lebih 578 kcal/ L air). Dengan peningkatan aliran darah ke daerah
lokal cedera, terjadi peningkatan curah jantung secara disproporsional yang memacu
kerja jantung. Di sisi lain, peningkatan suhu pada daerah luka akibat bertambahnya
aliran ke daerah lokal cedera ini secara teoritis akan mempercepat proses penyembuhan.
Namun pada kenyataannya kehilangan panas (energi) akan diakselerasi oleh adanya
febris.
Kondisi evaporative heat loss dan jaringan luka yang terbuka menyebabkan
terjadinya kehilangan cairan tubuh yang berlebihan, karena perlu mempertimbangkan
Insensible Water Loss (IWL) lebih banyak dari biasanya.
Perhitungan IWL pada penderita luka bakar menggunakan persamaan:

IWL = (25 + %LB) x TBSA x 24 jam % LB : persentase luka bakar


TBSA : Total Body Surface Area
Stimulasi β adrenergik menyebabkan dilepaskannya hormon stres
(katekolamin, kortisol, glukagon), dan adanya resistensi insulin akan menyebabkan
peningkatan laju metabolisme disertai perubahan metabolisme berupa glikolisis,
glikogenolisis, proteolisis, lipolisis, dan glukoneogenesis, selain itu terjadi pula retensi
natrium, dan reabsorpsi air.
Perubahan metabolisme pada penderita luka bakar bukan hanya terjadi oleh
adanya perubahan hormon stres saja, tetapi juga disebabkan oleh mediator sel radang
seperti sitokin, eikosanoid (prostaglandin, tromboksan, leukotrien) dan radikal bebas
yang dilepaskan ke dalam sirkulasi menyusul terjadinya suatu cedera jaringan. Reaksi
dari mediator-mediator ini dikenal sebagai SIRS. Pelepasan sitokin seperti IL-1, IL-2,
IL-6 dan TNF akan menyebabkan keadaan hiperkatabolisme menjadi lebih berat dan
berlangsung lebih lama, keadaan tersebut akan memperburuk perjalanan penyakit pada
luka bakar.

33
Gejala klinik yang timbul pada status katabolik ekstensif ini adalah kelelahan,
emasiasi, kelemahan, gangguan fungsi organ vitaldan balans energi negatif. Untuk
menghadapi kondisi stres, diperlukan kebutuhan energi yang lebih besar, bahkan pada
penderita dengan luas luka bakar lebih dari 40% luas permukaan tubuh akan terjadi
penurunan BB mencapai lebih kurang 20%, pada penurunan BB 10-40% akan dijumpai
kondisi yang dapat disamakan dengan malnutrisi, sedangkan bila penurunan BB
mencapai 40-50% akan menggambarkan kondisi keseimbangan nitrogen negatif
dengan kehilangan massa protein lebih kurang 25-30%, bila kondisi ini terjadi akan
berakibat fatal.
Metabolisme Karbohidrat
Glukosa adalah sumber bahan bakar metabolik utama untuk semua komponen
selular pada proses penyembuhan luka bakar. Pada kondisi trauma berat, khususnya
pada luka bakar terjadi keadaan hiperglikemi yang disebut juga Burn pseudo diabetes.
Level glukosa darah meningkat pada pasien luka bakar dibandingkan level
sirkulasi insulin selama resusitasi. Peningkatan hormone anti-insulin (kotekolamin,
glukagon, kortisol) akan terjadi untuk meng’counter’ efek meningkatnya insulin, dan
diperlukan untuk menjaga glukoneogenesis yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan
energi pasien.
Pada daerah luka terjadi peningkatan aliran darah setempat dan uptake glukosa
tanpa disertai peningkatan konsumsi oksigen, hal ini akan menghasilkan keadaan
metabolisme anaerob yang mengubah glukosa menjadi laktat.
Kesimpulannya, glukosa diperlukan untuk penyembuhan luka dan fungsi imun
yang pada penderita luka bakar disuplai oleh hati dari sekuens glukosa-laktat-glukosa
dari siklus Cory, dan dari pengubahan asam amino yang disumbangkan oleh pemecahan
otot perifer. Suplai glukosa melalui support nutrisi akan mengurangi proteolisis dan
memelihara massa bebas lemak. Akan tetapi pasien luka bakAr mungkin mengalami
kesulitan memetabolisme glukosa ketika diberi asupan lebih besar dari 4-5
mg/kg/menit. Oleh karena itu maka dalam pemberian makanan tambahan harus
dilakukan perhitungan kebutuhan kalori yang sesuai untuk pasien luka bakar dan terdiri
dari lemak dan protein.
Metabolisme Lemak
Normalnya metabolisme lemak menyediakan porsi energi paling besar yang
digunakan pada saat ketersediaan glukosa tidak adekuat. Rendahnya konsentrasi insulin

34
di sirkulasi menyebabkan peningkatan lipolisis dan ketogenesis, dan jaringan perifer
diubah ke metabolisme gliserol, asam lemak bebas, dan badan keton.
Perubahan neuroendokrin yang menyertai luka bakar mengubah metabolisme
lemak secara signifikan. Lipolisis meningkat setelah luka bakar, sebagai respon dari
meningkatnya kotekolamin di sirkulasi, serta gliserol dan asam lemak bebas dijadikan
bahan bakar oleh jaringan yang tidak terbakar. Ketogenesis menurun pada pasien luka
bakar. Badan keton merupakan salah satu sumber energi alternatif utama yang
digunakan selama periode starvasi, hal ini menyebabkan meningkatnya kebutuhan
untuk glukoneogenesis. Efek protein sparring pada lemak terbatas pada luka bakar.
Penambahan kandungan lemak dalam diet yang lebih besar dari 30% dapat merusak
fungsi imun dan tidak akan menyediakan tambahan massa tubuh bebas lemak.
Metabolisme Protein
Penderita luka bakar tidak hanya menggunakan protein untuk glukoneogenesis
tapi juga untuk membentuk protein fase akut, penyembuhan luka, mempertahankan
fungsi imun, serta mengganti hilangnya protein melalui eksudat luka. Karena asam
amino dilepaskan hanya oleh jaringan yang tidak terbakar, maka konsentrasi asam
amino menurun pada pasien dengan luka bakar luas.
Akibat dari perubahan hormonal yang terjadi, proteolisis di otot perifer
meningkat cepat dan dilepaskannya alanin dan glutamin. Alanin adalah amino acid
glukoneogenik penting, dan pengukuran pengeluaran alanin dari otot skelet pada pasien
luka bakar meningkat 3 kali lipat. Besarnya pelepasan alanin perifer ini sebanding
dengan luas luka bakar dan paralel dengan besarnya glukoneogenesis dan ureogenesis.
Disfungsi hepatik sekunder pada sepsis dan adanya penyakit hepatik dapat
mempengaruhi efektivitas perubahan alanin menjadi glukosa dan menyebabkan
komplikasi dalam managemen metabolik. Sedangkan glutamin merupakan bahan bakar
untuk epitel usus, sel imunitas, dan pembentukan amonia di ginjal.
Kesimpulannya, tujuan dari support nutrisi adalah untuk meminimalisasi
proteolisis yang terjadi dalam rangka memenuhi kebutuhan energi, dengan cara
menyediakan sumber alternatif glukosa dan protein.
Metabolisme Air
pasien luka bakar mengalami kehilangan cairan yang sangat banyak. Cairan
tubuh menguap melalui kulit, pasien memerlukan lingkungan pada suhu yang hangat
dan perawatan intensif, dalam 24 jam pertama resusitasi memerlukan cairan sampai 30

35
liter. Munculnya eksudat menyebabkan lebih banyak cairan yang hilang. Selain itu
temperatur tubuh pasien meningkat dan pasien sering mengalami demam.
Metabolisme Elektrolit
Hiponatemia dapat terjadi pada pasien yang penguapan berkurang drastis karena
pemakaian pembalut atau grafting, yang akan mengubah cairan. Atau pada perawatan
menggunakan siver nitrat, yang cenderung menarik natrium dari luka. Hipokalemia
sering terjadi selama periode resusitasi dan selama sintesis protein. Peningkatan serum
kalium dalam darah menandakan hidrasi yang tidak adekuat.
Hipokalsemia terjadi bersama hipoalbuminemia pada pasien luka bakar yang luasnya
lebih dari 30% luas permukaan tubuhnya. Kehilangan kalsium yang berlebihan terjadi
bila pasien diimobilisasi atau dirawat dengan silver nitrat. Magnesium juga mungkin
hilang melalui luka bakar sehingga memerlukan perhatian.
Hipophosphatemia diidentifikasi pada pasien luka bakar berat. Hal ini terutama terjadi
pada pasien yang menerima cairan resusitasi dalam jumlah besar dengan infus
parenteral solusi glukosa dan pemberian antasid dosis tinggi untuk pencegahan stress
ulcer. Kadar serumnya harus dimonitor dan diperlukan suplementasi fosfat.
Metabolisme Mineral
Zinc level terdepresi pada luka bakar. Zinc adalah kofaktor dalam metabolisme
energi dan sintesis protein. Anemia dapat terjadi karena defisiensi besi, dan diterapi
dengan pemberian packed red blood cells.
Metabolisme Vitamin
Vitamin C dihubungkan dengan sintesis kolagen dan fungsi imun, dan diperlukan
dalam penyembuhan luka.Vitamin A adalah nutrien penting untuk fungsi imun dan
epitelialisasi.

TERAPI NUTRISI
Support nutrisi adalah faktor yang paling penting dalam perawatan untuk pasien luka
bakar.penyembuhan luka hanya dapat terjadi pada fase anabolik. Pemberian makanan harus
langsung diberikan setelah resusitasi lengkap. Pemberian makanan enteral yang dini (dalam 4-
12 jam) memperlihatkan penurunan respon hiperkatabolik, menurunkan pelepasan
katekolamin dan glukagon, menambah berat badan, dan memperpendek masa perawatan di
rumah sakit.

36
Tujuan pemberian nutrisi pada pasien luka bakar ditunjukkan pada tabel berikut.

Tujuan pemberian Nutrisi pada pasien luka bakar


1. Meminimalisasi respon metabolik dengan cara :
 mengontrol suhu lingkungan
 mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit
 mengontrol rasa sakit dan cemas
 menutup luka segera
2. Memenuhi kebutuhan nutrisi dengan cara :
 menyediakan kalori yang cukup untuk mencegah penurunan berat
badan lebih besar dari 10% berat badan normal.
 Menyediakan protein yang cukup untuk tercapainya positif nitrogen
balance dan mempertahankan atau menggantikan cadangan protein
 Menyediakan suplementasi vitamin dan mineral yang diindikasikan
3. mencegah ulcer Curling dengan cara :
 menyediakan antasid atau pemberian makanan enteral yang kontinu.

1. Kebutuhan Kalori
Rumus yang telah ada tidak dapat menghitung kebutuhan kalori pasien luka bakar
secara akurat. Persamaan Harris-Benedict kurang dapat memperkirakan kebutuhan kalori
karena tidak melibatkan faktor stress, dan studi yang dilakukan menentukan faktor stres
bervariasi dari 1.5 hingga 2.1.

Pria : 66,47 + (13,75xBB[kg]) + (5xTB [cm]) – (6,76xumur [thn]) x AF x BF

Wanita : 65,51 + (9,56xBB[kg]) + (1,85xTB [cm]) – (4,68xumur [thn]) x AF x BF

AF : Actifity factor = 1,2 - 1,3

BF : Burn factor = 1,5 - 2,1 (deep burn).

Sebaliknya, rumus dari Curreri berlebih untuk mengukur kebutuhan kalorinya, yaitu:

Kebutuhan energi = 25 kcal/kg + 40 kcal/%BS area

37
Saat ini pemberian energi untuk penderita luka bakar tidak boleh melebihi 30-40 kcal/kg per
hari.

Pengukuran metabolic rate pada pasien luka bakar yang dirawat di United State Army
Institute of Surgical Research ( USAISR ) telah digunakan untuk merumuskan nutrisi berdasar
umur, ukuran tubuh, dan luas luka bakar. Analisis yang kini didapat dari kalorimeter linier
dengan plateau REE pada 2-2,5x BMR saat luka bakar 60% atau lebih indirek menemukan
hubungan linier antara metabolic rate dengan luas luka bakar yang bertentangan dengan studi-
studi sebelumnya, yang menemukan kurva dari luas permukaan badan. Studi serupa di
Universitas Toronto mendeskripsikan hubungan linier antara persentase total area tubuh yang
terbakar, basal energy expenditure yang diharapkan ( diukur dengan rumus Harris-Benedict ),
suhu tubuh, jumlah hari setelah terbakar, dan termogenik efek makanan. Kedua studi ini
mengkonfirmasikan rumus berdasarkan studi metabolic sebelumnya yang overestimate
kebutuhan kalori pasien luka bakar pada perawatan masa kini.

Hubungan antara kebutuhan energi dan luas luka bakar konsisten untuk pasien yang
bernapas bebas, tapi variasi data dari pasien yang diberi bantuan ventilasi mekanik membuat
perkiraan kebutuhan kalori kurang akurat. Data kalorimeter indirek pada pasien dengan
ventilasi mekanik dapat menjadi tidak akurat karena adanya ventilasi area yang mati ( dead
space ), kebocoran udara pada sistem ventilatory, dan peningkatan kerja pernapasan selama
sedasi yang inadekuat. Oleh karena itu, kebutuhan kalori pada pasien dengan ventilator
mekanik harus diukur pertama-tama dengan kalorimeter indirek tapi harus dievaluasi respon
pasien terhadap support nutrisi.

Studi longitudinal REE pada pasien luka bakar ditemukan tidak ada hubungan antara
energy expenditure dengan luas luka bakar. Walaupun eksisi total segera dan skin grafting pada
keseluruhan luka bakar dapat menghilangkan respon hipermetabolik, eksisi luka bakar yang
dini dan penutupan luka pada 48-72 jam tidak memberikan efek pada metabolic rate.

Penentuan kebutuhan kalori, baik yang didapat melalui rumus ataupun dari kalorimeter
indirek, harus dikoreksi untuk aktivitas, walaupun sekarang ini dilaporkan pada pasien rawat
inap, yang sakit parah tidak memerlukan koreksi untuk aktivitas, pada pasien luka bakar
biasanya dilibatkan dalam program terapi fisik ekstensif untuk meminimalisasi komplikasi luka
bakar. Biasanya, kalori akhir yang didapat 20-25% lebih besar daripada REE.

Pemberian karbohidrat dan lemak dengan jumlah adekuat untuk memenuhi kalori
mungkin dapat menjadi komplikasi karena perubahan substrat metabolisme dan sistem GI yang

38
telah disebutkan sebelumnya. Secara umum, kebutuhan kalori untuk pasien luka bakar dapat
dipenuhi dengan pemberian solusi enteral standar pada jumlah yang dapat ditolerir oleh sistem
GI. Contoh penentuan kalori menggunakan rumus USAIR diperlihatkan dalam tabel-1.

Tabel 1 . Sampel kalkulasi kebutuhan kalori


1. seorang pria berusia 30 thn dengan 30% TBS luka bakar; TB=70’’, BB= 170 lb
2. BSA (m2) = √70 x 170 = 1,95 m2
3131
3. BMR = 54,337821 -1,19961 (30) + 0,02548 (30) 2 - 0,00018 (30)3 = 36,42 kcal
4. REE = (BMR x [0,89142 + {0,01335 x TBS}] ) x BSA x 24 x AF
REE = 36,42 [0,89142 + {0,01335 x 30}] x 1,95 x 24 x 1,25 = 2752,5 kcal/hari

TBS = total burn size; BSA = body surface area; BMR = basal metabolic rate;

REE = resting energy expenditure; AF= activity factor

Selain itu, rumus Galveston biasa digunakan untuk memperkirakan kebutuhan kalori
pada luka bakar segala umur sama dengan 1800 kcal/m2 + 2200 kcal/m2 dari luka bakar. Untuk
anak kurang dari 3 tahun, rumus polk dapat memperkirakan kebutuhan kalori dengan rumus :

(60 kcal x Kg BB) + (35 kcal x % Luka bakar).

2. Kebutuhan Nitrogen

Penentuan keseimbangan nitrogen pada pasien luka bakar disulitkan dengan kehilangan
protein dari luka terbuka. Pasien luka bakar yang dalam keadaan hipermetabolik dan starvasi
dapat kehilangan 30 gr nitrogen/hari, dengan 20-30% kehilangan terjadi pada pembentukan
eksudat serosa dari luka bakar.

Studi yang dilakukan Waxman dan rekan-rekannya, meneliti kehilangan protein dari
permukaan yang seluruh atau sebagian ketebalan luka bakar. Peneliti-peneliti tersebut
menemukan bahwa rata-rata kehilangan protein/hari melalui luka bakar untuk akhir luka
minggu pertama dapat diperkirakan sebagai berikut:

Protein loss (g) = 1,2 x BSA (m2) x % luka bakar


Pada minggu kedua paska luka bakar kehilangan protein menjadi tinggal setengahnya:

Protein loss (g) = 0,6 x BSA (m2) x % luka bakar


Sedangkan kehilangan Nitrogen melalui luka bakar diperkirakan:

39
Untuk luka bakar hari1-3:

Nitrogen loss (g) = 0,3 x BSA x % luka bakar


Untuk luka bakar hari ke- 4-16 dipergunakan rumus pada tabel dibawah ini, sehingga
kebutuhan protein harian dapat diperkirakan.

Kebutuhan protein per hari dapat dihitung dengan formula berikut ini:

Kebutuhan protein = 6,25 x kebutuhan energi [kcal] / 150

Tabel-2 Nitrogen balance pada pasien luka bakar


Intake = gram protein / 6,25
Output = UUN/ 0,8 + 4 g* + wound factor
Wound factor :
Paska luka bakar hari 1-3 = 0,3 x (BSA) x (TBS)
Paska luka bakar hari 4-16 = 0,1 x (BSA) x (TBS)
4 g = insensible loss
UUN = Urinary Urea Nitrogen
TBS = Total Body Surface area burn (%)
BSA = Body surface area
Positif nitrogen balance pada pasien luka bakar tidak dapat diperkirangan melalui
konsentrasi albumin, prealbumin, retinol-binding protein, atau transferin. Perubahan level
protein visceral sebagai protein penunjang juga tidak memiliki korelasi dengan nitrogen
balance. Pertentangan ini adalah manifestasi dari kehilangan protein yang terjadi melalui luka
bakar, bersamaan dengan variabel volume cairan infus selama periode resusitasi dan
sesudahnya.
Nutrisi Enteral
Indikasi nutrisi enteral:
1. Luas luka bakar >20% permukaan tubuh.
2. Nutrisi alami tidak memungkinkan karena penurunan kesadaran, luka bakar pada wajah,
jejas pada traktus respiratorius, trakeostomi.
3. Adanya status malnutrisi sebelum luka bakar, penyakit kronis yang parah.
Keuntungan nutrisi enteral daripada parenteral adalah:
1. Memproteksi membrane mukosa intestine.
2. Mencegah translokasi bakteri.
3. Lebih fisiologis.
4. Menurunkan resiko infeksi.
5. Lebih murah.

40
Metode nutrisi enteral:
1. Dengan NGT.
2. nasoduodenal / nasojejunal tubes
3. Percutaneous gastrotome (durasi lama sampai 155 hari).

Kandungan nutrisi enteral:


1. Karbohidrat : < 5-7 mg/kg/menit.
2. Protein : 23-25% dengan mempertimbangkan keseimbangan cairan, kadar nitrogen, dan
kreatinin dalam darah atau 2,5-3.0 g/kgBB pada anak-anak.
3. Lemak : <40% kalori nonprotein atau 5-15% total kebutuhan energi.
4. Mikroelemen (Zn, tembaga, Se)
5. Vitamin (vit C, B1, B6, B12, A, E).
6. Immunomodulator (leucine, glutamin, arginin, ornitin-αketoglutarat, asam lemak ω3).
Sebaiknya nutrisi enteral dimulai sesegera mungkin setelah periode syok berakhir, biasanya
hari kedua atau ketiga setelah kejadian luka bakar. Namun penelitian menunjukkan bahwa
nutrisi enteral sudah dimulai dari 6 jam setelah trauma untuk mencegah translokasi bakteri
yang dapat mencegah terjadinya sindrom sepsis. Sehingga sebaiknya nutrisi enteral dimulai
dengan campuran hipokalori (0,5 kcal/ml) dengan kecepatan 25 ml/jam. Jika dapat ditoleransi
baik oleh pasien maka dapat dinaikkan 25 ml/8 jam sampai menjadi 100-120 ml/jam.

Evaluasi Terapi Nutrisi


1. Tanda insufisiensi nutrisi awal adalah kelelahan pada pasien.
2. Toleransi nutrisi enteral dilihat dari: pengukuran residu volume gaster,
perpindahan/transit ke intestine.
3. Pemeriksaan lab rutin : kadar glukosa darah, keseimbangan elektrolit, fungsi ginjal dan
liver, pengukuran metabolisme protein.
4. Pengukuran antropometris : berat badan, BMI, mid-upper arm circumference.
5. Keseimbangan nitrogen (jika fungsi ginjal masih baik) sebagai indicator status dan
efisiensi nutrisi yaitu:
 Nitrogen loss = N urin + 8 mg/kgbb + 0,2 g N/%luas luka bakar.
 Atau dengan cara: N urin = ([urea urin x 0,08] / 2,14) + 4 g.
6. Penanda status protein : albumin, transthyretin/prealbumin, retinol binding protein,
CRP (penanda inflamasi).

41
G. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Doenges (2000) pemeriksaan diagnostik untuk luka bakar, antara lain:
1. Hitung darah lengkap
Peningkatan Ht awal menunjukkan hemokonsentrasi sehubungan dengan
perpindahan/ kehilangan cairan.
2. Elektrolit serum
Kalium meningkat karena cedera jaringan /kerusakan SDM dan penurunan fungsi
ginjal. Natrium awalnya menurun pada kehilangan air.
3. Alkalin fosfat
Peningkatan sehubungan dengan perpindahan cairan interstitial/ gangguan pompa
natrium.
4. Urine
Adanya albumin, Hb, dan mioglobulin menunjukkan kerusakan jaringan dalam dan
kehilangan protein.
5. Foto rontgen dada, bertujuan untuk memastikan cedera inhalasi
6. Scan paru, untuk menentukan luasnya cedera inhalasi
7. EKG , mengetahui adanya iskemik miokard/disritmia pada luka bakar listrik.
8. BUN dan kreatinin, mengetahui fungsi ginjal.
9. Kadar karbon monoksida serum meningkat pada cedera inhalasi.
10. Bronkoskopi membantu memastikan cedera inhalasi asap.
11. Albumin serum dapat menurun karena kehilangan protein pada edema cairan.
12. Fotografi luka bakar, memberikan catatan untuk penyembuhan luka bakar
selanjutnya.

H. Penatalaksanaan
Berbagai macam respon sistem organ yang terjadi setelah mengalami luka bakar
menuntut perlunya pendekatan antar disiplin. Perawat bertanggung jawab untuk
mengembangkan rencana perawatan yang didasarkan pada pengkajian data yang
merefleksikan kebutuhan fisik dan psikososial klien dan keluarga atau orang lain yang
dianggap penting (Rahayu, 2012).
1. Penatalakanaan (pre hospital) berdasarkan penyebab luka bakar:
a. Luka bakar suhu tinggi (api)

42
1) Segera hindari sumber api dan mematikan api pada tubuh, misalnya dengan
menyelimuti dan menutup bagian yang terbakar untuk menghentikan
pasokan oksigen pada api yang menyala
2) Singkirkan baju, perhiasan dan benda-benda lain yang membuat efek
Torniket, karena jaringan yang terkena luka bakar akan segera menjadi
oedem
3) Setelah sumber panas dihilangkan rendam daerah luka bakar dalam air atau
menyiramnya dengan air mengalir selama sekurang-kurangnya lima belas
menit. Proses koagulasi protein sel di jaringan yang terpajan suhu tinggi
berlangsung terus setelah api dipadamkan sehingga destruksi tetap meluas.
Proses ini dapat dihentikan dengan mendinginkan daerah yang terbakar dan
mempertahankan suhu dingin ini pada jam pertama sehingga kerusakan
lebih dangkal dan diperkecil.
4) Akan tetapi cara ini tidak dapat dipakai untuk luka bakar yang lebih luas
karena bahaya terjadinya hipotermi. Es tidak seharusnya diberikan
langsung pada luka bakar apapun.
5) Evaluasi awal
Prinsip penanganan pada luka bakar sama seperti penanganan pada luka
akibat trauma yang lain, yaitu dengan ABC (Airway Breathing Circulation)
yang diikuti dengan pendekatan khusus pada komponen spesifik luka bakar
pada survey sekunder
b. Luka bakar karena bahan kimia
Penatalaksanaan luka bakar karena bahan kimia menurut lukabakar.org (2015):
1) Lepaskan pakaian yang terkena bahan kimia
2) Basuh bagian tubuh yang terkena bahan kimia dengan menggunakan air
mengalir selama kurang lebh 15 menit. Bila bahan kimia yang mengenai
tubuh adalah asam keras, maka netralkan dengan kain yang direndam dalam
laruan bikarbonat. Luka bakar alkali bias dinetralkan dengan menggunakan
cuka. Luka bakar karena karbol bias dinetralkan dengan menggunakan
alcohol.
c. Luka bakar karena listrik
Luka bakar karena listrik bias menyebabkan cidera seperti henti jantung
(cardiac arrest) akibat efek listrik terhadap jantung, kerusakan otot, saraf dan
jaringan oleh arus listrik yang melewati tubuh dan luka bakar termal akibat
43
kontak dengan sumber listrik. Oleh karena itu penanganan luka bakar karena
listrik bisa dilakukan dengan langkah berikut:
1) Menjauhkan atau memisahkan korban dari sumber listrik
Cara paling aman untuk memisahkan korban dari sumber listrik adalah
segera mematikan sumber arus listrik. Sebelum sumber listrik dimatikan,
penolong sebaiknya jangan dulu menyentuh korban, apalagi jika sumber
listrik memiliki tegangan tinggi. Jika sumber arus tidak dapat dimatikan,
gunakan benda-benda non-konduktor (tidak bersifat menghantarkan listrik;
misalnya sapu, kursi, karpet atau keset yang terbuat dari karet) untuk
mendorong korban dari sumber listrik. Jangan menggunakan benda-benda
yang basah atau terbuat dari logam.
2) Memulihkan denyut jantung dan fungsi pernafasan melalui resusitasi
jantung paru (jika diperlukan)
Setelah aman dari sumber listrik, segera dilakukan pemeriksaan
terhadap fungsi pernafasan dan denyut nadi. Jika terjadi gangguan fungsi
pernafasan dan nadinya tidak teraba, segera lakukan resusitasi. Sebaiknya
dicari tanda-tanda patah tulang, dislokasi dan cedera tumpul maupun cedera
tulang belakang. Cedera listrik seringkali disertai dengan terlontarnya atau
terjatuhnya korban sehingga terjadi cedera traumatik tambahan, Jangan
memindahkan kepala atau leher korban jika diduga telah terjadi cedera
tulang belakang.
Korban sambaran petir seringkali bisa disadarkan dengan resusitasi
jantung paru. Jika korban pingsan, tampak pucat atau menunjukkan tanda-
tanda syok, korban dibaringkan dengan kepala pada posisi yang lebih rendah
dari badan dan kedua tungkainya terangkat, selimuti korban dengan selimut
atau jaket hangat.
3) Mengobati luka bakar dan cedera lainnya. (doktersehat,2013)
d. Luka bakar karena radiasi (sinar matahari)
Luka bakar karena radiasi sinar matahari merupakan salah satu luka bakar yang
umum dialami oleh banyak orang. Cara mengatasinya bias dengan mengoleskan
minyak zaitun atau krim dingin ke bagian luka bakar. Sebaiknya korban tetap
diam dan berbaring. Bisa juga diberikan obat khusus untuk luka bakar.
(lukabakar.org, 2015)

44
e. Luka bakar karena suhu dingin (Frostbite)
Penanganan frostbite menurut Perbidkes (2015) :
1) Lakukan pemriksaan A-B-C (airway-breathing-circulation), apabila
pasien mengalami henti jantung maka segera lakukan Resustasi Jantung
Paru (RJP).
2) Jangan pernah menggosok luka yang terkena frostbite.
3) Berikan pasien pakaian yang hangat.
4) Berikan air minum hangat (jika pasien sadar serta mampu untuk minum).
2.Penatalaksanaan intra hospital
1) Resusitasi ABC
Setiap pasien luka bakar harus dianggap sebagai pasien trauma, karenanya
harus dicek Airway, breathing dan circulation-nya terlebih dahulu.
a) Airway
Apabila terdapat kecurigaan adanya trauma inhalasi, maka segera
pasang Endotracheal Tube (ET). Tanda-tanda adanya trauma inhalasi
antara lain adalah: riwayat terkurung dalam api, luka bakar pada wajah,
bulu hidung yang terbakar, dan sputum yang hitam
b) Breathing
Eschar yang melingkari dada dapat menghambat gerakan dada untuk
bernapas, segera lakukan escharotomi. Periksa juga apakah ada trauma-
trauma lain yang dapat menghambat gerakan pernapasan, misalnya
pneumothorax, hematothorax, dan fraktur costae
c) Circulation
Luka bakar menimbulkan kerusakan jaringan sehingga menimbulkan
edema. pada luka bakar yang luas dapat terjadi syok hipovolumik karena
kebocoran plasma yang luas. Manajemen cairan pada pasien luka bakar,
ada 2 cara yang lazim dapat diberikan yaitu dengan Formula Baxter dan
Evans
2) Resusitasi Cairan
Pasien luka bakar memerlukan resusitasi cairan dengan volume yang
besar segera setelah trauma. Resusitasi cairan yang tertunda atau yang tidak
adekuat merupakan resiko yang independen terhadap tingkat kematian pada
pasien dengan luka bakar yang berat. Tujuan dari resusitasi pasien luka bakar
adalah untuk tetap menjaga perfusi jaringan dan meminimalkan edema
45
interstitial. Pemberian volume cairan seharusnya terus menerus dititrasi untuk
menghindari terjadinya resusitasi yang kurang atau yang berlebihan.
Pemberian volume cairan yang besar ditujukan untuk menjaga perfusi jaringan,
namun jika berlebihan dapat menyebabkan terjadinya udema dan sindrom
kompartemen pada daerah abdomen dan ekstremitas. Paru paru dan
kompartemen jaringan akan dikorbankan untuk meningkatkan fungsi ginjal,
yang bermanifestasi sebagai udema post resusitasi, kebutuhan trakeostomi,
kebutuhan fasciotomi pada ektremitas bawah, dan kompartemen sindrome
pada abdomen.
Sampai saat ini belum ada kesepakatan tentang jenis cairan yang harus
digunakan untuk resusitasi luka bakar, namun setiap jenis cairan masing
masing mempunyai keuntungan dan kerugian tergantung kondisi pasien. Yang
paling penting adalah apapun jenis cairan yang diberikan, volume cairan dan
garam yang adekuat harus diberikan untuk menjaga perfusi jaringan dan
memperbaiki hemostasis.

Berikut jenis-jenis cairan:


a) Kristaloid
Beberapa protokol resusitasi menggunakan kombinasi kristaloid,
koloid dan cairan hipertonik telah dikembangkan (Tabel 1). Resusitasi
cairan isotonic kristaloid digunakan pada sebagian pusat penanganan luka
bakar dan umumnya memberikan hasil resusitasi yang adekuat. Bufer
cairan kristaloid seperti ringer lactate merupakan cairan yang paling
popular untuk resusitasi sampai saat ini. Formula resusitasi klasik yang
dimodifikasi oleh broke dan parkland dikembangkan dari formula Evans
and Brooke yang menyarankan pemberian 2 ml/kg/% total tubuh yang
terkena luka bakar selama 24 jam pertama.
Formula Evans telah dikembangkan sejak tahun 1950 dan merupakan
jenis formula pertama yang menggunakan persentase total permukaan
tubuh yang terkena luka bakar. Formula Brooke merupakan modifikasi dari
formula evans yang mengandung persentase kristaloid yang relatif lebih
besar dibandingkan koloid pada Formula Evans. Modifikasi formula
Brooke murni menggunakan cairan kristaloid. Konsep terbaru yang
dikembangkan oleh Baxter dan Shires menghasilkan perkembangan dari
46
formula Parkland yang memberikan volume cairan kristaloid sebesar
4ml/kg/ % luas permukaan tubuh yang terkena luka bakar. Setengah dari
volume cairan resusitasi diberikan pada 8 jam pertama dan setengahnya
lagi diberikan pada 16 jam berikutnya. Tetapi, perlu diperhatikan bahwa
formula ini merupakan suatu penuntun yang sederhana untuk terapi cairan
dimana pasien harus dimonitor secara ketat untuk mengoptimalisasi
resusitasi syok akibat luka bakar. Beberapa peneliti menggunakan rumus
Parkland dalam menghitung kebutuhan cairan terutama untuk pasien
dengan area luka bakar yang luas.
Kristaloid adalah cairan yang paling sering digunakan untuk resusitasi
syok akibat luka bakar. Sampai saat ini tidak ada studi yang prospektif yang
dapat memperlihatkan bahwa koloid atau salin hipertonik memiliki
manfaat yang lebih dibanding kristaloid isotonik dalam resusitasi pasien
luka bakar. Selain itu kristaloid isotonik lebih murah dibanding koloid.
Kekurangan penggunaan kristaloid adalah volume yang digunakan relatif
lebih besar untuk resusitasi syok akibat luka bakar sehingga berpotensi
menyebabkan udema jaringan. Hal ini bisa terjadi jika pasien tidak
dimonitor ketat, terutama jika penumpukan cairan terjadi diruang
interstitial. Kebanyakan studi tidak memperlihatkan insiden edema paru
pada pasien yang menerima resusitasi dengan kristaloid. Holm dan kawan
kawan20 mengkonfirmasi bahwa kebanyakan pasien pasien luka bakar
tidak memperlihatkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah paru.
Komplikasi potensial yang lain akibat resusitasi kristaloid yang berlebihan
adalah hipoalbuminemia dan ketidakseimbangan elektrolit, namun
perubahan ini tidak signifikan dengan tingkat morbiditas dan mortalitas .
b) Koloid
Secara teoritis koloid memberikan keuntungan lebih dalam menjaga
volume intravaskuler dengan volume yang lebih sedikit dan waktu yang
lebih pendek dibandingkan kristaloid. Pada pasien dengan endotel yang
intak, koloid lebih bertahan lama dibanding kristaloid dalam kompartemen
intravaskuler. Protein plasma memegang peranan yang penting dalam
mempertahankan volume vaskuler dengan memberikan tekanan koloid
osmotik yang berlawanan dengan tekanan hidrostatik intravaskuler.

47
Pada pasien luka bakar terjadi peningkatan permeabilitas vaskuler
terhadap cairan elektrolit dan koloid sehingga penggunaan koloid pada 8-
24 jam pertama setelah luka bakar dipertanyakan. Akibat peningkatan
permeabilitas vaskuler pasien luka bakar, koloid mungkin saja tidak
bertahan lebih lama dalam sirkulasi dibanding dengan kristaloid sehingga
aliran koloid ke interstitial dapat memperburuk edema. Namun, tingkat dan
durasi permeabilitas vaskuler terhadap protein plasma belum sepenuhnya
jelas dan sangat tergantung pada beratnya luka bakar. Beberapa pendekatan
empiris terhadap penggunaan koloid pada resusitasi syok luka bakar telah
dibuat.
Beberapa ahli menganjurkan untuk menghindari penggunaan koloid
dalam 24 jam pertama setelah trauma luka bakar. Mereka berpendapat
bahwa koloid belum menunjukkan adanya keuntungan dibandingkan
kristaloid dan dapat memperburuk edema. Kelompok lain menganjurkan
penggunaan koloid protein pada 8-12 jam pertama setelah luka bakar,
sedangkan kelompok ketiga menganjurkan penggunaan koloid protein
selama resusitasi syok luka bakar. Semua pendekatan tadi masih tidak jelas
karena belum ada bukti ilmiah yang kuat yang mendukung pendekatan
manapun. Studi terhadap binatang menunjukkan bahwa koloid yang
diberikan dalam 8 jam pertama setelah luka bakar secara signifikan
menurunkan kebutuhan cairan total21. Beberapa peneliti melaporkan
bahwa pemberian albumin pada 6-8 jam pertama setelah luka bakar tidak
meningkatkan insiden komplikasi pulmoner.
Resusitasi koloid dalam 24 jam pertama setelah luka bakar tidak
menunjukkan adanya perbaikan outcome bila dibandingkan dengan
resusitasi kristaloid. Lebih lanjut, meta analisis terbaru menunjukkan angka
mortalitas 2,4 yang lebih tinggi pada pasien luka bakar yang menerima
albumin pada resusitasi awal dibanding dengan pasien yang hanya
mendapatkan kristaloid. Meski demikian, meta analisis ini diragukan
metodologinya. Secara keseluruhan konsensus menyatakan bahwa tidak
ada bukti yang cukup untuk menentukan apakah pemberian albumin dalam
resusitasi luka bakar menguntungkan atau merugikan. Karena biaya yang
lebih besar dan keuntungan yang sedikit, koloid tidak digunakan secara
rutin di Amerika Serikat untuk resusitasi awal pada pasien luka bakar,
48
namun banyak institusi tetap melakukan pemberian albumin sebagai
bagian dari protokol resusitasi terutama pada anakanak dimana kadar
protein plasma menurun secara cepat setelah luka bakar
c) Cairan hipertonik
Saline hipertonik baik sendiri maupun bersama sama dengan koloid
telah dianjurkan oleh beberapa praktisi untuk resusitasi awal pada pasien
luka bakar. Salah satu keuntungan dari cairan hipertonis adalah
mengurangi kebutuhan volume untuk mencapai tingkat yang sama dengan
cairan isotonis. Secara teoritis pengurangan volume dari koloid yang
dibutuhkan ini akan mengurangi resiko terjadinya udema paru dan udema
jaringan sehingga dapat mengurangi tindakan intubasi trakea. Cairan saline
hipertonik memperlihatkan ekspansi volume intravaskuler dengan jalan
memindahkan cairan dari intraseluler dan interstitial kompartemen.
Bagaimanapun ekspansi intravaskuler ini bersifat sementara.
Beberapa peneliti telah memperlihatkan besarnya total cairan yang
dibutukan untuk resusitasi tidak akan berkurang bila digunakan cairan
hipertonis pada awal luka bakar.
Walaupun semua keuntungan cairan hipertonik yang digunakan untuk
resusitasi luka bakar perlu dipertimbangkan, cairan hipertonik mungkin
berguna pada keadaan dimana sulit untuk menggunakan volume cairan
yang besar dan pada pasien dengan penyakit penyerta yang mempunyai
resiko gagal jantung. Hingga saat ini belum tidak ada kesepakatan yang
menyatakan cairan hipertonik mana yang paling menguntungkan.
Beberapa penelitian telah mempelajari penggunaan cairan hipertonik saline
dan hipertonik laktat salin. Akan tetapi, terdapat laporan yang
memperlihatkan tingkat mortalitas yang lebih tinggi pada pasien yang
menerima laktat salin hipertonik dibandingkan dengan yang menerima
cairan isotonik. Pada beberapa kasus, koloid telah dikombinasi dengan
cairan hipertonik pada resusitasi luka bakar. Griswold dkk melaporkan
penambahan volume pada pasien yang menerima albumin dan fresh frozen
plasma yang digabungkan dengan cairan salin hipertonis, dan Jelenko dkk
melaporkan berkurangnya insiden eskariotomi, penggurangan hari dengan
ventilator dan berkurangnya volume cairan yang dibutuhkan pada pasien
yang menerima kombinasi albumin dan saline hipertonis dibandingkan
49
pasien yang hanya menerima caiara kristaloid isotonis dimana hal ini
berbeda dengan hasil yang diperoleh Gun dkk yang tidak memperhatikan
volume cairan saat memberikan fresh frozen plasma yang digabungkan
dengan cairan saline hipertonis34 . Kekuatiran utama dalam penambahan
cairan salin hipertonis adalah berkembangnya hipernatremia. Konsentrasi
sodium serum lebih dari mEq/L telah dilaporkan terjadi pada 40%- 50%
pasien yang menerima salin hipertonis untuk resusitasi luka bakar.
Huang dkk melaporkan beberapa kasus kematian yang berhubungan
dengan tehnik ini. Karena adanya potensi gangguan elektrolit yang berat
dan sedikitnya bukti yang menunjukkan bahwa resusitasi dengan hipertonis
akan meningkatkan tingkat mortalitas, cairan garam isotonis digunakan
pada sebagian besar pusat resusitasi luka bakar. Karena adanya beberapa
resiko dan komplikasi cairan hipertonis hanya digunakan oleh para ahli
yang mempunyai pengalaman menggunakannya.
Sebagai bagian dari perawatan awal pasien yang terkena luka bakar,
Pemberian cairan intravena yang adekuat harus dilakukan, akses intravena
yang adekuat harus ada, terutama pada bagian ekstremitas yang tidak
terkena luka bakar. Adanya luka bakar diberikan cairan resusitasi karena
adanya akumulasi cairan edema tidak hanya pada jaringan yang terbakar,
tetapi juga seluruh tubuh. Telah diselidiki bahwa penyebab permeabilitas
cairan ini adalah karena keluarnya sitokin dan beberapa mediator, yang
menyebabkan disfungsi dari sel, kebocoran kapiler.

Tujuan utama dari resusitasi cairan adalah untuk menjaga dan


mengembalikan perfusi jaringan tanpa menimbulkan edema. Kehilangan
cairan terbesar adalah pada 4 jam pertama terjadinya luka dan akumulasi
maksimum edema adalah pada 24 jam pertama setelah luka bakar. Prinsip
dari pemberian cairan pertama kali adalah pemberian garam ekstraseluler
50
dan air yang hilang pada jaringan yang terbakar, dan sel-sel tubuh.
Pemberian cairan paling popular adalah dengan Ringer laktat untuk 48 jam
setelah terkena luka bakar. Output urin yang adekuat adalah 0.5 sampai
1.5mL/kgBB/jam.
Hal-hal penting sehubungan dengan resusitasi luka bakar:
(1) Resusitasi cairan bertujuan untuk mencukupi kebutuhan cairan tubuh
(2) Resusitasi pada luka bakar adalah seni keseimbangan, di satu sisi
mengisi deficit air intravaskuler dan disisi yang lain adalah mencegah
mencegah potensi kelebihan air, yang biasanya dijumpai suatu odema
pulmonal, peningkatan tekanan vena central dan sindroma
kompartemen
(3) Perbedaan pemberian cairan resusitasi pada pasien dewasa dan anak –
anak
(4) Resusitasi yang berlebihan pada luka bakar yang sangat luas akan
sangat berhubungan dengan mudahnya terjadi reaksi adverse pada
pasien
(5) Suatu studi multisenter baru – baru ini menyatakan adanya peningkatan
angka kematian dan kejadian pneumonia bila pasien diberikan
resusitasi cairan >5ml/kg/%TBSA
(6) Penggunaan Ringer Asetat pada luka bakar
Dua cara yang lazim digunakan untuk menghitung kebutuhan cairan
pada penderita luka bakar yaitu :
(a) Cara Evans
Menghitung kebutuhan pada hari pertama:
(1) Berat badan (kg) X % luka bakar X 1cc Nacl
(2) Berat badan (kg) X % luka bakar X 1cc larutan koloid
(3) 2000cc glukosa 5%
Separuh dari jumlah (1). (2), (3) diberikan dalam 8 jam pertama.
Sisanya diberikan dalam 16 jam berikutnya. Pada hari kedua diberikan
setengah jumlah cairn hari pertama. Pada hari ketiga diberikan
setengah jumlah cairan yang diberikan hari kedua. Sebagai monitoring
pemberian lakukan penghitungan diuresis.

51
(b) Cara Baxter
Merupakan cara lain yang lebih sederhana dan banyak dipakai. Jumlah
kebutuhan cairan pada hari pertama dihitung dengan rumus :
Baxter = % luka bakar X BB (kg) X 4cc
Separuh dari jumlah cairan yang diberikan dalam 8 jam pertama,
sisanya diberikan dalam 16 jam. Hari pertama terutama
diberikan elektrolit yaitu larutan ringer laktat karena terjadi
hiponatremi. Untuk hari kedua diberikan setengah dari jumlah
pemberian hari pertama.
1) Infuse, kateter, CVP, oksigen, Laboratorium, kultur luka
2) Monitor urine dan CVP.
3) Topikal dan tutup luka
(a) Cuci luka dengan savlon : NaCl 0,9% ( 1 : 30 ) + buang
jaringan nekrotik.
(b) Tulle
(c) Silver sulfa diazin tebal.
(d) Tutup kassa tebal.
(e) Evaluasi 5 – 7 hari, kecuali balutan kotor.
4) Obat-obatan
(a) Antibiotika : tidak diberikan bila pasien datang < 6 jam sejak
kejadian.
(b) Bila perlu berikan antibiotika sesuai dengan pola kuman dan
sesuai kultur.
(c) Analgetik : kuat (morfin, petidine)
(d) Antasida : kalau perlu
Modified Brooke Resuscitation formula
0-24 Hours
1. Adults and children > 10 Kg:
Lactated Ringer’s: 2-4 ml/kg/% burn/24 h (first half in first 8 h)
Colloid: None*
2. Children < 10 kg:
Lactated Ringer’s : 2-3 ml/kg/% burn/24 h (first half in first 8 h)
Lactated Ringer’s with 5% dextrose: 4 ml/kg/h
Colloid: None
52
24-48 Hours
All Patients:
 Crystalloid: To maintain urine output. If silver nitrate is used, sodium
leaching will mandate continued isotonic crystalloid. If other topical is
used, free water requirement is significant. Serum sodium should be
monitored closely. Nutritional support should begin, ideally by the
enteral route.
 Colloid: (5% albumin in lactated Ringer’s):
0%-30% burn: none
30%-50% burn: 0.3 ml/kg/% burn/24 h
50%-70% burn: 0.4 ml/kg/% burn/24 h
>70% burn : 0.5 % ml/kg/% burn/24 h

*Increasingly, early colloid infusion (generally 5% albumin) is being


used in patients with very large burns, particularly is they are young or
resuscitation is not going smoothly.
Note: The modified Brooke Formula is a common consensus formula
that is only useful n individual patients if adjusted to physiologic
endpoints. Like all resuscitation requires the bedside presence of a
physician capable ofregularly evaluating resuscitation endpoints.

I. Komplikasi
Menurut Corwin (2009), komplikasi yang muncul pada pasien luka bakar antara lain:
1. Setiap luka bakar dapat terinfeksi yang menyebabkan cacat lebih lanjut atau
kematian. Staphylococcus aureus resisten metisilin adalah penyebab tersering
infeksi nosokomial pada pasien luka bakardi rumah sakit. Infeksi adalah penyebab
utama morbiditas dan mortalitas pada papsien yang awalnya bertahan terhadap luka
bakar luas.
2. Lambatnya aliran darah dapat menyebabkan pembentukan bekuan darah sehingga
timbul (cerebrovascular accident), infark myocardium atau emboli paru.
3. Kerusakan paru akibat inhalasi asap atau pembentukan embolus. Dapat terjadi
kongesti paru akibat gagal jantung kiri atau infark miokardium, serta sindrom
distress pernapasan pada dewasa. Gangguan inhalasi asap dan luka bakar luas dapat
meningkatkan mortalitas.
53
4. Gangguan elektrolit dapat menyebabkan disritmia jantung dan henti jantung.
5. Syok luka bakar dapat secara irreversible merusak ginjal sehingga timbul gagal
ginjal dalam satu atau dua minggu pertama setelah luka bakar. Dapat terjadi gagal
ginjal akibat hipoksia ginjal atau rabdomiolisis (obstruksi mioglobin pada tubulus
ginjal akibat nekrosis otot yang luas).
6. Penurunan aliran darah ke saluran cerna dapat menyebabkan hipoksia sel-sel
penghasil mucus dan terjadi ulkus peptikum.
7. Dapat terjadi koagulasi intravascular diseminata (DIC) karena destruksi jaringan
yang luas.
8. Pada luka bakar yang luas atau menimbulkan kecacatan, trauma psikologis dapat
menyebabkan depresi, perpecahan keluarga, dan keinginan bunuh diri. Gejala-gejala
psikologis dapat timbul setiap saat setelah luka bakar. Gejal-gejala dapat muncul
berulang-ulang kapan saja seumur hidup yang mengakibatkan pasien terus menerus
mengalami duka cita.
9. Beban biaya pada keluarga pasien pengidap luka bakar yang luas sangatlah besar.
Apabila pasien orang dewasa, yang hilang tidak saja penghasilan tetap perawatan
pasien tersebut ahrus terus-menerus dan mahal.

II. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN LUKA BAKAR


A. Pengkajian
1. Anamnesa
1) Data demografi : Meliputi nama, usia, jenis kelamin, agama, alamat rumah,
pendidikan terakhir, suku bangsa, status perkawinan, pekerjaan, dan diagnosa
medis.
2) Keluhan utama: luka terbakar akibat...
3) Riwayat kesehatan sekarang
(a) Penyebab luka bakar : termal, kimia, listrik atau radiasi
(b) Waktu luka bakar : hal ini penting karena kebutuhan resusitas cairan dihitung
dari waktu cidera luka bakar, bukan dari waktu tibanya di RS.
(c) Tempat dimana terjadinya luka bakar : area terbuka atau tertutup
(d) Adanya masalah medis yang menyertai
(e) Alergi, khususnya sulfat karena banyak antimikrobia topical mengandung
sulfat

54
4) Riwayat kesehatan dahulu : Apakah sebelumnya klien pernah mengalami nyeri
dada, hipertensi, diabetes melitus atau hiperlipidemia. Kaji mengenai obat-obat
yang biasa diminum oleh klien pada masa lalu.
5) Riwayat kesehatan keluarga
6) Kaji pemahaman pasien dan orang terdekat (keluarga) tentang tindakan, masalah
dan perasaan tentang cidera
2. Primary Survey
a. Airway
Periksa kepatenan jalan nafas, benda asing di jalan nafas, ada/tidaknya terdengar
suara stridor.
b. Breathing
Kaji pernafasan, meliputi gerakan dada, irama, kedalaman, penggunaan otot
bantu nafas dan retraksi serta suara nafas.
c. Circulation
Periksa perfusi, CRT, tanda-tanda syok hipovolemi.
3. Secondary survey
a. Pemeriksaan Fisik
1) Kaji luka bakar
(a) Luas luka (presentase)
(b) Kedalaman luka
(c) Inspeksi bagian luar kulit terhadap luka bakar listrik. Luka bakar ini baik
bagian dalam dan luar luka, pada bagian luar luka sering lebih berat dari
pada bagian dalam luka.
2) Kaji cidera inhalasi asap pada luka bakar api pada area kepala, muka lehe
atau dada.
3) Pengkajian persistem
(a) B1 Breathing
Serak, batuk mengi, partikel karbon dalam sputum, ketidakmampuan
menelan sekresi oral dan sianosis, indikasi cidera inhalasi,
pengembangan thorak mungkin terbatas pada adanya luka bakar lingkar
dada, jalan nafas stridor (obstruksi laringospasme, odema laryngeal),
bunyi nafas abnormal (gemericik karena odema paru, stridor karena
odema laryngeal), terdapat secret jalan nafas dalam (ronkhi)

55
(b) B2 Blood
Hipotensi (syok), penurunan nadi perifer distal pada ekstremitas yang
cidera, vasokonstriksi perifer umum dengan kehilangan nadi, kulit dingin
dan putih pucat (syok listrik), takikardi karena syok/ansietas/nyeri,
distritmia (syok listrik), pembentukan odema jaringan.
(c) B3 Brain
Perubahan orientasi, penurunan refleks tendon dalam pada cedera
ekstremitas, aktifitas kejang (syok listrik), laserasi korneal, kerusakan
retinal, penurunan ketajaman penglihatan (syok listrik), rupture
membrane timpanik (syok listrik), paralisis (cidera listrik pada aliran
saraf). Terdapat keluhan nyeri.
(d) B4 Bladder
Haluaran urin menurun/tidak ada selama fase darurat, warna hitam atau
kemerahan bila terjadi myoglobin, terjadi kerusakan otot dalam jika ada
diuresis (setelah kebocoran kapiler dan mobilisasi cairan ke dalam
sirkulasi),
(e) B5 Bowel
Penurunan bisinh usus pada luka bakar yang lebih besar dari 20% sebagai
stress penurunan motilitas/peristaltic gastrik, anoreksia, mual muntah
(f) B6 Bone
Penurunan kekuatan/tonus otot, keterbatasan rentang gerak pada area
yang sakit,

4. Analisa Data
DATA ETIOLOGI MASALAH
DS : Klien mengeluh sesak Deformitas tulang Ketidakefektifan pola
nafas dada, keletihan otot- nafas
DO : otot pernafasan,
- Takipneu hipoventilasi
- Dispneu
- Fase ekspirasi
memanjang
- Penggunaan otot bantu
nafas
- Suara nafas tambahan
- Pernafasan bibir
- Pernafasan cuping
hidung

56
DATA ETIOLOGI MASALAH
- Pola nafas abnormal
(irama, frekuensi,
kedalaman)
DS : - Kehilangan cairan Kekurangan volume
DO : aktif cairan
- Kulit kering
- Kelemahan
- Membrane mukosa
kering
- Peningkatan HR,
hematocrit,
konsentrasi urin, suhu
tubuh
- Penurunan berat badan
tiba-tiba, haluaran
urin, tekanan darah,
tekanan nadi, volume
nadi, pengisian vena.
- Turgor kulit buruk
- Perubahan status
mental
-
DS : - Penurunan volume Penurunan curah
DO : sekuncup jantung, jantung
- Kulit lembab kontrkatilitas dan
- Perubahan warna kulit frekuensi jantung
- Oliguria
- Penurunan nadi perifer
- Perubahab tekanan
darah
- Takikardi
- Palpitasi jantung
- Perubahan EKG
- Distensi vena jugularis
- Edema
- Murmur jantung
- Penignkatan CVP
- Dispneu
- Bunyi nafas tambahan
- Tampak gelisah

DS : Klien mengeluh atau Saraf yang terbuka, Nyeri akut


merintih kesakitan penanganan luka bakar
DO :
- Ekspresi wajah nyeri
- Focus menyempit
- Focus pada diri sendiri

57
DATA ETIOLOGI MASALAH
- Adanya keluhan
tentang intensitas dan
karakteristik nyeri
- Perilaku gelisah,
merengek, menangis,
waspada
- Perilaku distraksi
- TTV abnormal
- Perubahan selera
makan
- Sikap tubuh
melindungi area nyeri
DS : - Agen cidera : Luka Kerusakan integritas
DO : bakar terbuka kulit
- Adanya kerusakan
integritas kulit : lesi,
kemerahan, luka bakar
- Benda asing menusuk
permukaan kulit

DS : - e Resiko infeksi
DO :
- Gangguan integritas
kulit (luka bakar)
- Leukemia
- Imunosupresi
- Turunnya hemoglobin
- Kurang pengetahuan
untuk menghindari
pemajanan pathogen
- Malnutrisi

DS : - Hipermetabolisme dan Ketidakseimbangan


DO : kebutuhan bagi nutrisi : kurang dari
- Berat badan 20% atau kesembuhan luka kebutuhan tubuh
lebih di bawah rentang
berat badan ideal
- Bising usus hiperaktif
- Diare
- Gangguan sensasi rasa
- Membrane mukosa
pucat
- Tonus otot menurun

DS : - Menurunnya sirkulasi Resiko ketidakefektifan


DO : darah ke otak perfusi jaringan otak
- Adanya luka bakar (hipoksia otak)
- Hipoksia
- Embolisme

58
DATA ETIOLOGI MASALAH
- Gangguan
metabolisme
- Hipovolemia
DS : - Menurunnya sirkulasi Resiko ketidakefektifan
DO : darah ke ginjal perfusi ginjal
- Adanya luka bakar (hipoksia ginjal)
- Hipoksia
- Gangguan
metabolisme
- Hipertensi
- Hipovolemia

DS : Klien menolak Trauma (perubahan Gangguan citra tubuh


perubahan penampilannya pada tampilan tubuh)
karena luka bakar
DO :
- Berfokus pada
penampilan dan fungsi
tubuh masalalu
- Gangguan fungsi
tubuh
- Gangguan pandangan
tentang tubuh
seseorang
(penampilan, struktur,
fungsi)
- Menghindari melihat
tubuh
- Perasaan negative
tentang tubuh
- Takut reaksi orang lain

B. Diagnosa Keperawatan
Masalah keperawatan yang biasanya muncul pada luka bakar adalah :
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan deformitas tulang dada, keletihan
otot-otot pernafasan, hipoventilasi
2. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif (evaporasi
akibat luka bakar)
3. Penurunan curah jantung berhubungan dengan penurunan volume sekuncup jantung,
kontrkatilitas dan frekuensi jantung
4. Nyeri akut berhubungan dengan saraf yang terbuka, penanganan luka bakar
5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan agen cidera (luka bakar terbuka)

59
6. Resiko infeksi berhubungan dengan hilangnya barrier kulit dan terganggunga respon
imun
7. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
hipermetabolisme dan kebutuhan bagi kesembuhan luka
8. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan menurunnya
sirkulasi darah ke otak (hipoksia otak)
9. Resiko ketidakefektifan perfusi ginjal berhubungan dengan menurunnya sirkulasi
darah ke ginjal (hipoksia ginjal)
10. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan trauma (perubahan pada tampilan tubuh)
11. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi mengenai
proses penangangan luka bakar
12. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan dan pola interaksi.

C. Perencanaan Keperawatan
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan deformitas tulang dada, keletihan
otot-otot pernafasan, hipoventilasi
Tujuan dan kriteria hasil
Intervensi (NIC)
(NOC)
NOC: NIC:
a. Respiratory status : a. Posisikan pasien untuk memaksimalkan
Ventilation ventilasi
b. Respiratory status : Airway b. Pasang mayo bila perlu
patency c. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
c. Vital sign Status d. Keluarkan sekret dengan batuk atau
suction
Kriteria hasil: e. Auskultasi suara nafas, catat adanya
a. Mendemonstrasikan suara suara tambahan
nafas yang bersih, tidak ada f. Berikan bronkodilator :
sianosis dan dyspneu g. Berikan pelembab udara Kassa basah
(mampu mengeluarkan NaCl Lembab
sputum, mampu bernafas dg h. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
mudah, tidakada pursed lips) keseimbangan.
b. Menunjukkan jalan nafas i. Monitor respirasi dan status O2
yang paten (klien tidak j. Bersihkan mulut, hidung dan secret
merasa tercekik, irama nafas, trakea
frekuensi pernafasan dalam k. Pertahankan jalan nafas yang paten
rentang normal, tidak ada l. Observasi adanya tanda-tanda
suara nafas abnormal) hipoventilasi
c. Tanda Tanda vital dalam m. Monitor adanya kecemasan pasien
rentang normal (tekanan terhadap oksigenasi
darah, nadi, pernafasan) n. Monitor vital sign

60
Tujuan dan kriteria hasil
Intervensi (NIC)
(NOC)
o. Informasikan pada pasien dan keluarga
tentang tehnik relaksasi untuk
memperbaiki pola nafas.
p. Ajarkan bagaimana batuk efektif
q. Monitor pola nafas

2. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif (evaporasi


akibat luka bakar)
Tujuan dan kriteria hasil (NOC) Intervensi (NIC)
NOC: NIC :
a. Fluid balance a. Pertahankan catatan intake dan
b. Hydration output yang akurat
c. Nutritional Status : Food and b. Monitor status hidrasi (kelembaban
Fluid Intake membran mukosa, nadi adekuat,
tekanan darah ortostatik), jika
Setelah dilakukan tindakan diperlukan
keperawatan selama….. defisit c. Monitor hasil lab yang sesuai
volume cairan teratasi dengan kriteria dengan retensi cairan (BUN, Hmt ,
hasil: osmolalitas urin, albumin, total
a. Mempertahankan urine output protein )
sesuai dengan usia dan BB, BJ d. Monitor vital sign setiap 15menit –
urine normal, 1 jam
b. Tekanan darah, nadi, suhu tubuh e. Kolaborasi pemberian cairan IV
dalam batas normal f. Monitor status nutrisi
c. Tidak ada tanda tanda dehidrasi, g. Berikan cairan oral
Elastisitas turgor kulit baik, h. Berikan penggantian nasogatrik
membran mukosa lembab, tidak sesuai output (50 – 100cc/jam)
ada rasa haus yang berlebihan i. Dorong keluarga untuk membantu
d. Orientasi terhadap waktu dan pasien makan
tempat baik j. Kolaborasi dokter jika tanda cairan
e. Jumlah dan irama pernapasan berlebih muncul meburuk
dalam batas normal k. Atur kemungkinan tranfusi
f. Elektrolit, Hb, Hmt dalam batas l. Persiapan untuk tranfusi
normal m. Pasang kateter jika perlu
g. pH urin dalam batas normal n. Monitor intake dan urin output
h. Intake oral dan intravena adekuat setiap 8 jam

3. Penurunan curah jantung berhubungan dengan penurunan volume sekuncup


jantung, kontrkatilitas dan frekuensi jantung
Tujuan dan kriteria hasil (NOC) Intervensi (NIC)
NOC : NIC :
a. Pompa Jantung efektif Cardiac Care
b. Status sirkulasi a. Catat urine output
b. Pantau EKG 12 lead

61
Tujuan dan kriteria hasil (NOC) Intervensi (NIC)
Kriteria hasil c. Fasilitasi bedrest dan lingkungan
a. HR klien dalam kisaran : 60- yang tenang
100 x/mnt d. Posisikan supinasi dengan elevasi
b. Respirasi Rate klien dalam kepala 30° dan elevasi kaki
kisaran 12 –16 x/mt e. Anjurkan mencegah valsava
c. Cardiac index dalam batas normal manufer atau mengejan
d. Tolerannsi aktifitas dalam batas f. Berikan makanan dalam komposisi
normal lunak
e. Ukuran jantung dalam batas normal g. Berikan oksigenasi dan medikasi
f. Warna kulit dalam batas normal
h. Monitor tanda tanda vital,bunyi
g. Tidak terjadi disritmia
h. Tidak ada suara jantung frekuensi dan irama jantung
i. yang abnormal i. Monitor parameter hemodinamik
j. Tidak terdapat angina dan perfusi perifer
k. Tidak terdapat edema
l. perifer, edema pulmo Circulation care
j. Monitor kulit dan ekstremitas
k. Monitor tanda tanda vital
l. Monitor pemenuhan cairan
m. Evaluasi nadi dan edem perifer

4. Nyeri akut berhubungan dengan saraf yang terbuka, penanganan luka bakar
Tujuan dan kriteria hasil (NOC) Intervensi (NIC)
NOC : NIC :
a. Kontrol nyeri Manajemen nyeri :
b. Tingkat kenyamanan a. Lakukan pengkajian komprehensif
terhadap nyeri (PQRST), observasi
Kriteria hasil : tanda nonverbal adanya
a. Klien mengenali faktor penyebab ketidaknyamanan
nyeri b. Gunakan teknik komunikasi
b. Klien mengenali lamanya (onset) terapeutik untuk mengetahui
nyeri pengalaman nyeri
c. Klien mampu menggunakan c. Kaji lstsr belakang budaya yang
metode nonfarmakologik untuk mempengaruhi respon nyeri
mengurangi nyeri d. Tentukan dampak nyeri terhadap
d. Klien menggunakan analgetik kualitas hidup (ex: tidur, selera
sesuai kebutuhan makan, aktivitas, kognisi, mood,
e. Klien melaporkan nyeri terkontrol dll)
f. Klien melaporkan skala nyeri e. Sediakan informasi tentang nyeri,
berkurang misalnya penyebab, onset dan
g. Klien melaporkan frekuensi nyeri durasi nyeri, antisipasi
berkurang ketidaknyamanan karena prosedur
h. Ekspresi wajah postur tubuh rilek tertentu
i. Klien melaporkan skala nyeri f. Kontrol factor lingkungan yang
berkurang dapat mempengaruhi respon klien
j. Klien melaporkan kenyamanan terhadap ketidaknyamanan (ex:
k. Klien mengekpresikan kepuasan suhu ruang, kebisingan, cahaya)
dengan control nyeri g. Ajarkan teknik nonfarmakologi
l. TTV dbn (ex: biofeedback, TENS, hypnosis,

62
Tujuan dan kriteria hasil (NOC) Intervensi (NIC)
relaksasi, guided imagery, terapi
music, distraksi, terapi bermain,
terapi aktivitas, acupressure,
aplikasi panas/dingin, dan
massase).
h. Tingkatkan istirahat dan tidur.
i. Monitor kepuasan pasien dengan
manajemen nyeri yang dilakukan
j. Observasi reaksi nonverbal dari
ketidaknyamanan
k. Evaluasi pengalaman nyeri masa
lampau
l. Evaluasi efektivitas intervensi
m. Kolaborasikan pemberian
analgetik

5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan agen cidera (luka bakar terbuka)
Tujuan dan kriteria hasil (NOC) Intervensi (NIC)
Tissue integrity Pressure management :
a. Monitor kulit adanya kemerahan
Dengan kriteria hasil : b. Anjurkan pasien menggunakan
a. Integritas kulit yang baik dapat pakaian yang longgar.
dipertahankan c. Jaga kulit agar tetap bersih dan
b. Perfusi jaringan kulit baik kering.
c. Menunjukkan pemahaman dalam d. Anjurkan mandi air hangat, batasi
proses perbaikan kulit dan sabun sewaktu mandi
mencegah terjadi cedera berulang e. Anjurkan menggunakan buku-
buku jari untuk menggaruk bila
tidak terkontrol.
f. Hindari komentar tentang
penampilan pasien
g. Kolaborasi dengan dokter dalam
pemberian terapi antilipemik.

6. Resiko infeksi berhubungan dengan hilangnya barrier kulit dan terganggunga


respon imun
Tujuan dan kriteria hasil (NOC) Intervensi (NIC)
NOC : Kontrol infeksi
a. Imumune status a. Terapkan unversal precaution
b. Knowlegde : infekction control b. Batasi pengunjung bila perlu
c. Risk kontrol c. Beri higiene yang baik
d. Monitor tanda dan gejala infeksi
Kriteria hasil:
(local dan sistemik)
a. Klien bebas dari tanda dan gejala
infeksi e. Ajarkan teknik cuci tangan
b. Klien menunjukkan kemampuan f. Ajarkan pada pasien dan keluarga
untuk mencegah timbulnya infeksi tentang tanda dan gejala infeksi dan

63
Tujuan dan kriteria hasil (NOC) Intervensi (NIC)
c. Jumlah leukosit normal kapan harus melaporkannya kepada
d. Klien menunjukkan perilaku hidup petugas
sehat g. Kolaborasi dokter bila ada tanda
infeksi

Proteksi infeksi
a. Ganti letak IV perifer dan dressing
sesuai dengan petunjuk umum
b. Gunakan kateter intermiten untuk
menurunkan infeksi kandung
kencing
c. Tingkatkan cairan dan nutrisi
d. Inspeksi kulit dan membran mukosa
terhadap kemerahan, panas, drainase
e. Pertahankan teknik aseptic dalam
tiap tindakan
f. Ganti peralatan perawatan pasien per
prosedur protocol
g. Lakukan pemeriksaan kultur bila
suspek infeksi dan laporkan
hasilnya pada petugas yang
berwenang
h. Tingkatkan intake nutrisi dan
cairan
i. Tingkatkan tidur dan istirahat
j. Kelola pemberian antibiotic
k. Ajarkan pada pasien dan keluarga
cara menghindari infeksi
l. Monitor tanda dan gejala infeksi
sistemik dan lokal

7. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


hipermetabolisme dan kebutuhan bagi kesembuhan luka
Tujuan dan kriteria hasil (NOC) Intervensi (NIC)
NOC: NIC:
a. Status nutrisi: nutrient intake Nutrition Managemen:
b. Weight control a. Kaji adanya alergi makanan
b. Kolaborasi dengan ahligizi untuk
Kriteria Hasil: menentukan jumlah kalori dan
a. Adanya peningkatan BB sesuai nutrisi yang dibutuhkan pasien
tujuan c. Anjurkan pasien untuk
b. BB ideal sesuai tinggi badan meningkatkan intakeprotein dan
c. Mampu mengidentifikasi vitamin C
kebutuhan nutrisi d. Yakinkan diet yang dimakan
d. Tidak ada tanda-tanda malnutrisi mengandung tinggi serat untuk
e. Tidak menunjukkan penurunan mencegah konstipasi
BB yang berarti

64
Tujuan dan kriteria hasil (NOC) Intervensi (NIC)
e. Berikan makanan yang terpilih (
sudah dikonsultasikan dengan ahli
gizi)
f. Ajarkan pasien bagaimana
membuat catatan makanan harian
g. Monitor jumlah nutrisi dan
kandungan kalori
h. Berikan informasi tentang
kebutuhan nutrisi
i. Kaji kemampuan pasien untuk
mendapatakan ntrisi yang
dibutuhkan
Nutrition Monitoring:
a. Monitor adanya penurunan BB
b. Monitor lingkungan selama makan
c. Jadwalkan pengobatan dan
tindakan tidak selama jam makan
d. Monitor turgor kulit
e. Monitor mual muntah
f. Monitor kadar albumin, total
protein, Hb, dan kadar Ht
g. Monitor kalori dan intake nutrisi
h. Catat adanya odem

8. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan menurunnya


sirkulasi darah ke otak (hipoksia otak)
Tujuan dan kriteria hasil (NOC) Intervensi (NIC)
a. Circulation status a. Monitor TTV
b. Neurologic status b. Monitor AGD, ukuran pupil,
c. Tissue Prefusion : cerebral ketajaman, kesimetrisan dan
reaksi
Kriteria hasil : c. Monitor adanya diplopia,
a. Tekanan systole dan diastole dalam pandangan kabur, nyeri kepala
rentang yang diharapkan d. Monitor level kebingungan dan
b. Tidak ada ortostatikhipertensi orientasi
c. Komunikasi jelas e. Monitor tonus otot pergerakan
d. Menunjukkan konsentrasi dan f. Monitor tekanan intrkranial dan
orientasi respon nerologis
e. Pupil seimbang dan reaktif g. Catat perubahan pasien dalam
f. Bebas dari aktivitas kejang merespon stimulus
g. Tidak mengalami nyeri kepala h. Monitor status cairan
i. Pertahankan parameter
hemodinamik
j. Tinggikan kepala 0-45o
tergantung pada konsisi pasien
dan order medis

65
9. Resiko ketidakefektifan perfusi ginjal berhubungan dengan menurunnya sirkulasi
darah ke ginjal (hipoksia ginjal)
Tujuan dan kriteria hasil (NOC) Intervensi (NIC)
NOC : NIC
a. Status sirkulasi Manajemen cairan
b. Keseimbangan asam-basa dan elektrolit a. Catat intake dan output secara
c. Keseimbangan cairan akurat
d. Hidrasi b. Monitor HMT, Ureum, albumin,
e. Eliminasi urin
total protein, serum osmoialitas
Kriteria hasil :
a. Tekanan systole dan diastole dalam dan urin
batas normal c. Monitor TTV
b. Tidak ada gangguan mental, odentasi d. Observasi status hidrasi
kognitif dan (kelembaban membran mukosa,
c. Tidak ada distensi vena leher TD ortostatik, dan keadekuatan
d. Tidak ada bunyi paru tambahan Binding nadir
e. Intake output seimbang e. Observasi tanda-tanda cairan
f. Tidak ada oedem perifer dan asites beriebih/ retensi (CVP menigkat,
g. Tdak ada rasa haus yang abnormal oedem, distensi vena leher dan
h. Membran mukosa lembab asites)
i. Hematokrit 37-47 mEq/L.
Manajemen cairan/elektrolit):
j. Warna dan bau urin khas.
a. Lakukan pemeriksaan
laboratorium untuk monitoring
gangguan cairan dan elektrolit
(ex: Hmt, BUN, protein, Na, dan
K)
b. Timbang BB tiap hari dan
monitor trend-nya
c. Batasi intake cairan bila terdapat
hiponatremi delusional dengan
kadar serum <130 mEq/liter
d. Berikan cairan, sesuai indikasi
e. Atur tetesan infuse/produk darah
f. Lakukan pencatatan intake dan
output
g. Pertahankan cairan intravena
yang mengandung elektrollit
dalam tetesan konstan
h. Monitor abnormalitas kadar
elektrolit serum
i. Monitor hasil pemeriksaan lab
yang relevan dengan

66
10. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan trauma (perubahan pada tampilan
tubuh)
Tujuan dan kriteria hasil (NOC) Intervensi (NIC)
NOC: NIC :
a. Body image Body image enhancement
b. Self esteem a. Kaji secara verbal dan nonverbal respon
klien terhadap tubuhnya
Setelah dilakukan tindakan b. Monitor frekuensi mengkritik dirinya
keperawatan selama …. gangguan c. Jelaskan tentang pengobatan,
body image perawatan, kemajuan dan prognosis
pasien teratasi dengan kriteria penyakit
hasil: d. Dorong klien mengungkapkan
a. Body image positif perasaannya
b. Mampu mengidentifikasi e. Identifikasi arti pengurangan melalui
kekuatan personal pemakaian alat bantu
c. Mendiskripsikan secara f. Fasilitasi kontak dengan individu lain
faktual perubahan fungsi dalam kelompok kecil
tubuh
d. Mempertahankan interaksi
sosial

11. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi mengenai


proses penangangan luka bakar
Tujuan dan kriteria hasil (NOC) Intervensi (NIC)
a. Kowlwdge : disease process a. Kaji tingkat pengetahuan pasien dan
b. Kowledge : health Behavior keluarga
b. Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan
Kriteria hasil: bagaimana hal ini berhubungan dengan
a. Pasien dan keluarga anatomi dan fisiologi, dengan cara yang
menyatakan pemahaman tepat.
tentang penyakit, kondisi, c. Gambarkan tanda dan gejala yang biasa
prognosis dan program muncul pada penyakit, dengan cara
pengobatan yang tepat
b. Pasien dan keluarga mampu d. Gambarkan proses penyakit, dengan
melaksanakan prosedur yang cara yang tepat
dijelaskan secara benar e. Identifikasi kemungkinan penyebab,
c. Pasien dan keluarga mampu dengan cara yang tepat
menjelaskan kembali apa yang f. Sediakan informasi pada pasien tentang
dijelaskan perawat/tim kondisi, dengan cara yang tepat
kesehatan lainnya g. Sediakan bagi keluarga informasi
tentang kemajuan pasien dengan cara
yang tepat
h. Diskusikan pilihan terapi atau
penanganan
i. Dukung pasien untuk mengeksplorasi
atau mendapatkan second opinion

67
Tujuan dan kriteria hasil (NOC) Intervensi (NIC)
dengan cara yang tepat atau
diindikasikan
j. Eksplorasi kemungkinan sumber atau
dukungan, dengan cara yang tepat

The Four Phases Of Burn Care, With Physiologic Changes And Objectives

The four phases of burn care, with physiologic


Table 206-1
changes and objectives
Phase and timing Physiologic changes objectives
1: Initial evaluation and Massive capillary leak and Accurate fluid resuscitation
resuscitation, 0 to 72 h burn shock and through evaluation
2: Initial wound excision and Hyperdynamic and Accurately identify and
biological closure, days 1-7 catabolic state with high remove all full-thickness
risk of infection wounds and achieve
biological closure
3: Definitive wound closure, Continued catabolic state Replace temporary with
day 7 to week 6 and risk of non-wound definitive covers, and close
septic events small complex wounds
4:Rehabilitation,reconstruction, Waning catabolic state and Initially to maintain range
and reintegration, day 1 through recovering strength of motion and reduce
discharge edema; subsequently to
strengthen and facilitate
return to home, work,
school

68
BAB 3
TINJAUAN KASUS

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

FORMAT PENGKAJIAN KEPERAWATAN KRITIS

Tanggal MRS : 12 Agustus 2108 Jam Masuk : 06.30 WIB


Tanggal Pengkajian : 13 Agustus 2018 No. RM : 1269xxxx
Jam Pengkajian : 14.00 WIB Diagnosa Masuk : Combustio
Hari rawat ke : 2 derajat berat grade II AB 94,5%
E-c Api Susp Trauma Inhalasi

A. IDENTITAS PASIEN
1. Nama Pasien : Tn. M.A
2. Umur : 32 Tahun
3. Suku/ Bangsa : Jawa/Indonesia
4. Agama : Islam
5. Pendidikan : SD
6. Pekerjaan : Swasta
7. Alamat : Surabaya
8. Sumber Biaya : BPJS

B. KELUHAN UTAMA
1. Keluhan utama:
Klien mengalami penurunan kesadaran, terpasang ventilator mode bilevel, mengalami
luka bakar pada area wajah, leher, dada, perut, kedua tangan dan kedua kaki.

C. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG (Heteroanamnesa)


1. Riwayat Penyakit Sekarang:
Klien mengalami kecelakaan, sepeda motornya menabrak kompresor & kios bensin
pada tanggal 12-8-2018 jam 03.30 WIB, Klien mengalami luka bakar mulai dari wajah,
kepala, dada, punggung, tangan, paha. Klien dibawa ke RS Islam A.Yani dan pada jam
69
06.30 WIB. Klien dirujuk ke RSUD Dr. Soetomo pada jam !!.$% WIB, dilakukan
debridement luka bakar di ruang operasi dan dipasang endotrakheal tube untuk
pemberian O2 ventilator support

D. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


1. Pernah dirawat : Ya Tidak Kapan : tidak ada Diagnosa : tidak ada
2. Riwayat penyakit kronik dan menular : Ya Tidak jenis : tidak ada
Riwayat kontrol : Tidak Ada
Riwayat penggunaan obat : Tidak Ada
3. Riwayat alergi:
 Obat : Ya Tidak, jenis : Tidak Ada
 Makanan : Ya Tidak, jenis : Tidak Ada
 Lain-lain : Ya Tidak, jenis : Tidak Ada
4. Riwayat operasi : Ya Tidak Kapan : tidak ada Jenis : tidak ada

E. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA


Ya Tidak Jenis : tidak ada
Genogram :

Keterangan :
: Laki-laki : Laki-laki meninggal
: Perempuan : Perempuan meninggal
: Pasien : Tinggal Serumah
: Garis perkawinan : Garis keturunan

70
F. PERILAKU YANG MEMPENGARUHI KESEHATAN
Perilaku sebelum sakit yang mempengaruhi kesehatan:
 Alkohol Ya Tidak
Keterangan : Tidak Ada
 Merokok Ya Tidak
Keterangan : Sebelum sakit klien memiliki kebiasaan merokok
 Obat Ya Tidak
Keterangan : Tidak Ada
 Olahraga Ya Tidak
Keterangan : Klien olahraga teratur ±1-2 kali seminggu

G. OBSERVASI DAN PEMERIKSAAN FISIK


1. Tanda Tanda Vital
TD : 106/74 mmhg N :151 x/mnt S :36ºC RR : 18 x/mnt
Kesadaran : Kesadaran klien dalam pengaruh sedasi obat morphin 1 mg
2. Sistem Pernafasan (B1)
Jalan Nafas, bebas Ya Tidak
Obstruksi Tidak Sebagian Total
Benda Asing Tidak Padat Cair
Berupa : Trauma inhalasi
a. RR : 18x/mnt
b. Keluhan:
Sesak Tidak Ya Nyeri waktu nafas Orthopnea
Batuk Produktif Tidak produktif
Sekret: ada Warna : Hijau
Konsistensi : kental Bau : tidak ada
c. Pergerakan dada : Simetris Asimetris
d. Penggunaan otot bantu nafas : Ya Tidak
Jenis : tidak ada
e. Irama nafas : Teratur Tidak teratur
f. Pleural friction rub : tidak ada
g. Pola nafas : Dispnoe Kusmaul CheyneStokes Biot
h. Suara nafas : Vesikuler Bronko vesikuler Cracles

71
Ronki Wheezing
i. Suara perkusi paru : Sonor Hipersonor Redup
j. Alat bantu napas : Ya Tidak
Ventilator
Mode : Bi Level. airway pressure ventilation
FiO2 : 40%
PEEP : 6 cmH2o
SaO2 : 98%
Vol. tidal : 811 ml
I:E Ratio :1:2 detik
Data tambahan : RR: 18x/mnt, Rate 14x/mnt, P.Inspirasi: 9 cmH2O, Pressure
support: 8 cmH2o
k. Penggunaan WSD : tidak ada
 Jenis : tidak ada
 Jumlah cairan : tidak ada
 Undulasi : tidak ada
 Tekanan : tidak ada
l. Tracheostomy : Ya Tidak
m. Data tambahan : tidak ada

3. Sistem Kardiovaskuler (B2)


a. Nadi karotis : Teraba Tidak
… …
b. Nadi perifer : Kuat Lemah Tidak teraba
… … …
… …
c. Perdarahan: tidak ada Lokasi : tidak terjadi perdarahan
… … …
d. Keluhan nyeri dada: …Ya …Tidak

Asesment nyeri Critical…Care Pain Observational
… …
Tools (CPOT)
… …

- Ekspresi wajah : (meringis), menggigit selang ETT (2)
… … …
… …
- Gerakan tubuh: Mencoba … untuk duduk, tidak mengikuti perintah, mengamuk,
… … …
mencoba keluar dari . tempat tidur . (2) gelisah

.
- Aktivitas alarm mekanik: . tapi mati sendiri). batuk, alarm terbunyi
(Alarm aktif

tetapi berhenti secara spontan (1)
- Berbicara jika klien .diekstubasi: (Berbicara dengan normal atau tidak ada suara)
Bicara dengan nada pelan (0)

72
- Ketegangan otot: (Sangat tegang atau kaku) Gerakan sangat kuat (2)
Total Skor= 7 (neri berat)
e. Irama jantung : Reguler Ireguler
f. Suara jantung : Normal (S1/S2 tunggal) Murmur
Gallop Lain-lain.....
g. Ictus Cordis : tidak terkaji
h. CRT : 2 detik
i. Turgor : Normal Turun
j. Akral : Hangat Kering Merah Basah Pucat
Panas Dingin
k. Sikulasi perifer : Normal Menurun
l. JVP : Teraba vena jugularis
m. CVP : Terpasang CVP mulai tgl 12/8/18 (tgl 13/8/18 Hasil CVP: 7)
n. CTR :-
o. ECG & Interpretasinya: Sinus Tachycardia
p. Data tambahan: tidak ada
4. Sistem Persyarafan (B3)
a. GCS : Ex Vx Mx
(klien dalam pengaruh sedasi Morphin 1 mg)
b. Refleks fisiologis : tidak dapat terkaji
c. Refleks patologis : tidak dapat terkaji
Meningeal sign : tidak dapat terkaji
Lain-lain : tidak dapat terkaji
d. Keluhan pusing : Ya Tidak
e. Pemeriksaan saraf kranial: Tidak dapat terkaji
N1 : normal tidak
N2 : normal tidak
N3 : normal tidak
N4 : normal tidak
N5 : normal tidak
N6 : normal tidak
N7 : normal tidak
N8 : normal tidak
N9 : normal tidak
73
N10 : normal tidak
N11 : normal tidak
N12 : normal tidak
f. Pupil : Anisokor Isokor Diameter: 2/2
g. Tanda PTIK : Muntah proyektil Nyeri kepala hebat
h. Curiga fraktur cervical: Jejas atas klavikula Multiple trauma
i. Tanda fraktur basis crani : Bloody rinorhoe Bloody otorhoe
Brill hematoma Batle sign
j. Isitrahat/Tidur : 9 Jam/Hari Gangguan tidur : tidak ada
k. ICP : tidak ada
l. Data tambahan : tidak ada
5. Sistem Perkemihan (B4)
a. Kebersihan genetalia : Bersih Kotor
b. Sekret : Ada Tidak
c. Ulkus : Ada Tidak
d. Kebersihan meatus uretra : Bersih Kotor
e. Keluhan kencing : Ada Tidak
Bila ada, jelaskan : Produksi urine klien berwarna kuning keruh
f. Kemampuan berkemih : Spontan Alat bantu, sebutkan: Dower kateter
Jenis : Folley katater
Ukuran: 16
Hari ke : 2
g. Produksi urine : ±20 ml/jam
Warna : Kuning keruh
Bau : tidak ada
h. Kandung kemih :Membesar : Ya Tidak
Nyeri tekan : Ya Tidak
i. Intake cairan oral 2100 cc/hari parenteral :1500 cc/hari
j. Lain-lain : tidak ada
6. Sistem Pencernaan (B5)
a. TB : 166 cm BB : 80 kg
b. IMT : 29 Interpretasi : Pre obese
c. LOLA : tidak terkaji
d. Mulut : Bersih Kotor Berbau
74
e. Membran mukosa : Lembab Kering Stomatitis (bernanah)
f. Tenggorokan :
Sakit menelan Kesulitan menelan
Pembesaran tonsil Nyeri tekan
g. Abdomen : Tegang Kembung Ascites, diameter :….. cm
Nyeri tekan : Ya Tidak
Luka operasi : Ada Tidak
Tanggal operasi : 12 Agustus 2018
Jenis operasi : Debridement
Lokasi : Seluruh tubuh
Keadaan : abdomen tertutup kasa
Drain : Ada Tidak
 Jumlah : tidak ada
 Warna : tidak ada
 Kondisi area sekitar insersi : tidak ada
h. Peristaltik : 10 x/menit
i. BAB : tidak x/hari Terakhir tanggal : tidak terkaji
j. Konsistensi : Keras Lunak Cair Lendir/darah
k. Diet : Padat Lunak Cair
l. Diet Khusus : Diit sonde TKTP I PE 6x150cc/24jam, sonde tim E1-E6 300
ml
m. Nafsu makan : Baik Menurun Frekuensi : ………..x/hari
n. Porsi makan : Habis Tidak Keterangan: ……………
o. Data tambahan : Klien mendapat tambahan Clean Water 5x300cc/24jam
7. Sistem Muskuloskeletal (B6)
a. Pergerakan sendi : Bebas Terbatas
Kekuatan otot : 000 000

000 000
b. Kelainan ekstremitas : Ya Tidak
c. Kelainan tulang belakang : Ya Tidak
Frankel : tidak ada
d. Fraktur : Ya Tidak

75
Jenis : tidak ada
e. Traksi : Ya Tidak
Jenis : tidak ada
Beban : tidak ada
Lama pemasangan : tidak ada
f. Penggunaan spalk/gips : Ya Tidak (Elasted Banded)
v
g. Keluhan nyeri : Ya Tidak
V v
Asesment nyeri Critical Care Pain Observational Tools (CPOT)
- Ekspresi wajah : (meringis), menggigit selang ETT (2)
- Gerakan tubuh: Mencoba untuk duduk, tidak mengikuti perintah, mengamuk,
mencoba keluar dari tempat tidur (2) gelisah
- Aktivitas alarm mekanik: (Alarm aktif tapi mati sendiri) batuk, alarm terbunyi
tetapi berhenti secara spontan (1)
- Berbicara jika klien diekstubasi: (Berbicara dengan normal atau tidak ada suara)
Bicara dengan nada pelan (0)
- Ketegangan otot: (Sangat tegang atau kaku) Gerakan sangat kuat (2)
Total Skor= 7 (nyeri berat)
h. Sirkulasi perifer : tidak baik
i. Kompartemen syndrome : VYa Tidak
V
j. Kulit : Ikterik Sianosis Kemerahan VHiperpigmentasi
V V V
k. Turgor : VBaik Kurang Jelek
V
l. Luka operasi : Ada Tidak
V V
Tanggal operasi : 12/8/18 jam 11.45 WIB
Jenis operasi : Debridement luka bakar
Lokasi : Kepala, dada, punggung,
V ekstremitas atas dan bawah
Keadaan : Terbebat kasa dan elasted banded
Drain : VAda Tidak
V
 Jumlah : tidak terpasang drain
 Warna : tidak terpasang drain
 Kondisi area sekitar insersi : tidak terpasang drain
m. ROM :ROM pasif
n. Pitting edema : Ya Tidak Grade : (Kedalaman 1-3mm
V V
dengan waktu kembali 3detik)

76
o. Ekskoriasis : Ya Tidak
V V
p. Urtikaria : VYa Tidak
V
q. Data tambahan : Edema pada seluruh tubuh, kulit klien terkelupas&
mengeluarkan serum, sebagian kulit juga merah kehitaman efek terbakar

8. Sistem Endokrin
a. Pembesaran tyroid Ya: Tidak
V V
b. Pembesaran kelenjar getah bening : Ya Tidak
V V
c. Hipoglikemia : Ya Tidak, nilai : ……………………………
V V
d. Hiperglikemia : VYa Tidak, nilai : ……………………………
V
e. Data tambahan : Tidak ada

PENGKAJIAN PSIKOSOSIAL
a. Persepsi klien terhadap penyakitnya :
Klien dalam kondisi efek sedasi
b. Ekspresi klien terhadap penyakitnya :

VMurung/diam VGelisah VTegang VMarah/menangis


c. Reaksi saat interaksi :
Kooperatif Tidak kooperatif Curiga
V V V
d. Gangguan konsep diri: Klien dalam kondisi efek sedasi
PERSONAL HYGIENE & KEBIASAAN
a. Kebersihan diri: Klien menderita luka bakar 94,5% sehingga tidak dilakukan seka atau
mandi
b. Kemampuan klien dalam pemenuhan kebutuhan:
 Mandi : dibantu seluruhnya dibantu sebagian mandiri
V V V
 Ganti pakaian : dibantu seluruhnya dibantu sebagian mandiri
V V V
 Keramas : dibantu seluruhnya dibantu sebagian mandiri
V V V
 Sikat gigi : dibantu seluruhnya dibantu sebagian mandiri
V V V
 Memotong kuku : dibantu seluruhnya dibantu sebagian mandiri
V V V
 Berhias : Vdibantu seluruhnya dibantu sebagian mandiri
V V
 Makan : dibantu seluruhnya dibantu sebagian mandiri
V V V

77
PENGKAJIAN SPIRITUAL
a. Kebiasaan beribadah : (Heteroanamnesa)
 Sebelum sakit : sering Vkadang- kadang Vtidak pernah
V
 Selama sakit : Vsering Vkadang- kadang tidak pernah
V
b. Bantuan yang diperlukan klien untuk memenuhi kebutuhan beribadah:
Membisikkan di telinga klien syahadat, Takbir dan Tahmid
PEMERIKSAAN PENUNJANG (Laboratorium,Radiologi, EKG, USG , dll)
 Laboratorium tanggal 12-8-2018
1. Darah lengkap
- WBC: 38,39x10³/ul (3,37-10,0)
- RBC: 7,03x10.6/ul (3,60-5,46)
- HGB: 18,5 g/dl (13,3-16,6)
- HCT: 56,2% (41,3-52,1)
- PLT: 300x10³/ul (150-450)
2. Analisa Gas Darah
- PH: 7,360
- PCO2: 28,0 mmhg (35.000-45.000)
- PO2: 169,0 mmhg
- HCO3: 15,8 mmol/l (21000-25000)
- BE ecf: -9,6 mmol/l
- SO2: 99,0%
3. Kimia Klinik
- BUN: 9mg/dl (10-20)
- Albumin: 3,07 g/dl (3,40-5,00)
- Glukosa: 160 mg/dl (<100)
- Kreatinin serum: 0,70 mg/dl (0,50-1,20)
- SGOT: 115 u/l (<41)
- SGPT: 59 u/l (0-50)
- Natrium: 137 mmol/l (136-144)
- Kalium: 4,0 mmol (3,8-5,0)
- Klorida: 109 mmol/l (97-103)
- HBSAG: Non reaktif
- HIV: Non reaktif

78
4. Faal Hemostasis
- APTT: 37,7 detik (23-33 detik)
- PTT: 17,7 detik (9-12 detik)
TERAPI
Ceftazidim 1gr/8jam
Ranitidine 50mg/12jam
Metamizole 1gr/8jam
Morphhine 1mg/13jam
RL 3000 ml/24jam
Aminofluid 1000 ml/24jam
Nutrisi oral Parenteral (PE) 150x6
Clean water 6x200ml
DATA TAMBAHAN LAIN :
Foto Thorax dalam batas normal
Surabaya, 13 Agustus 2018
(Kelompok 2)

79
PEMANTAUAN RESIKO JATUH PASIEN DEWASA
BERDASARKAN PENILAIAN Skala Morse/ Morse Falls Scale (MFS)
No Faktor Resiko Skala Skoring Kesimpulan
Pasien
1. Riwayat jatuh: apakah Tidak 0 0 Klien tidak pernah jatuh
pasienpernah jatuh dalam 3 Ya 25 dalam 3bln terakhir
bulan terakhir?
2. Diagnosasekunder: apakah Tidak 0 15 Dx: Combustio derajat
pasienmemiliki lebih dari satu Ya 15 berat grade II susp. Trauma
penyakit? inhalasi
3. Alat Bantu jalan: 0 Kx bedrest dan semua
-Bedrest/ dibantu perawat 0 kebutuhan dibantu perawat
-Kruk/ tongkat/ walker 15
-Berpegangan padabenda- 30
bendadi sekitar
4. (kursi,Intravena:
Terapi lemari, meja)
apakah saat Tidak 0 20 Terpasang thre lumen,
ini pasien terpasang infus? Ya 20 monitor& ventilator

5. Gayaberjalan/ caraberpindah: 10 Kx terkadang bergerak


-Normal/ bed rest/ immobile 0 sendiri tanpa disadari
(tidak dapat bergerak
sendiri)
-Lemah (tidak bertenaga) 10
-Gangguan/ tidak normal 20
(pincang/ diseret)
6. Status Mental 15 Kx terkadang bergerak
- Orientasi baik terhadap 0 sendiri tanpa disadari
kemampuan diri sendiri
-Sering lupa akan keterbatasan 15
yang dimiliki
Total Nilai 60 Resiko tinggi
Paraf & Nama Petugas yang Menilai

Keterangan:
Tingkatan Nilai MFS Tindakan
Risiko
Tidak berisiko 0-24 Perawatan dasar

Risiko rendah 25-50 Pelaksanaan intervensi pencegahan jatuh standar

Risiko tinggi ≥51 Pelaksanaan intervensi pencegahan jatuh risiko tinggi

80
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

ANALISA DATA
TANGGAL DATA ETIOLOGI MASALAH
13-8-18 DS: - Luka bakar Ketidakefektif
DO: ↓ an bersihan
- Kx terpasang ventilator Inhalasi asat jalan nafas
mode bilevel ↓ (Domain II,
- Terdapat sekret Edema laring keamanan/
berwarna hijau kental ↓ perlindungan.
pada saat suction Obstruksi jalan nafas Kelas 2 cedera
- Terdapat ronkhi ↓ fisik. Kode
- Posisi tidur head up 30° Ketidakefektifan bersihan jalan 00031)
- TD: 106/74 mmhg nafas
- N: 151 x/mnt
- S: 36°C
- RR: 18x/mnt
(Ventilator)
- Luka bakar pada area
wajah
13-8-18 DS:- Luka bakar Kekurangan
DO: ↓ volume cairan
- Turgor kulit kering Permeabilitas kapiler (Domain 2,
- Mukosa kering meningkat Nutrisi. Kelas
- CVP abnormal ↓ 5 Hidrasi.
(nilai 7) Ekstravasasi cairan & elektrolit Kode 00027)
- Intake dan output tidak
seimbang Penurunan cairan
- Pada tanggal 13/08/18 intravaskuler
Input 6144 cc
Output 1350 cc Hilangnya barier
Bc: exces 4794 cc kulit
- Produksi urine 20 ml/jam,
Warna kuning Evaporasi/ penguapan cairan
pekat/keruh ↓
Kehilangan cairan tubuh

13-8-18 DS: - Luka bakar Kerusakan


DO: ↓ integritas kulit
- Terdapat edema Kerusakan kulit/jaringan (Domain II
- Kulit kemerahan hingga ↓ keamanan/
nekrosis Inflamasi lesi perlindungan.
- Kulit tidak utuh, ↓ Kelas 2 cedera
mengelupas Kerusakan integritas kulit fisik. Kode
- Combutio derajat berat 00046)
grade II AB 94,5%

81
TANGGAL DATA ETIOLOGI MASALAH
akibat api pada seluruh
tubuh
- Luka tertutup dressing
wound, terdapat
rembesan
13-8-18 DS:- Luka bakar Nyeri akut
DO: ↓ (Domain 12,
- Klien terkadang meronta Adanya kerusakan kulit Kenyamanan.
dengan gerakan tanpa ↓ Kelas 1
disadari Kerusakan jaringan Kenyamanan
- Asesment nyeri Critical ↓ fisik. Kode
Care Pain Observational Pelepasan mediator inflamasi 000132)
Tools (CPOT) (prostaglandin dan bradikinin)
- Ekspresi wajah : ↓
(meringis), menggigit Nyeri akut
selang ETT (2)
- Gerakan tubuh:
Mencoba untuk duduk,
tidak mengikuti
perintah, mengamuk,
mencoba keluar dari
tempat tidur (2)
- Aktivitas alarm
mekanik: (Alarm aktif
tapi mati sendiri)
batuk, alarm terbunyi
tetapi berhenti secara
spontan (1)
- Berbicara jika klien
diekstubasi:
(Berbicara dengan
normal atau tidak ada
suara) Bicara dengan
nada pelan (0)
- Ketegangan otot:
(Sangat tegang atau
kaku) Gerakan sangat
kuat (2)
Total Skor= 7 (nyeri berat)

82
DAFTAR PRIORITAS DIAGNOSA KEPERAWATAN

Tanggal, 13 Agustus 2018


1. Domain 2, Nutrisi. Kelas 5 Hidrasi. Kode 00027 , Kekurangan volume cairan berhubungan
dengan banyaknya penguapan/ cairan tubuh yang keluar
2. Domain II: keamanan/perlindungan, Kelas 2: cedera fisik. Kode 00031, Ketidakefektifan
bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi jalan nafas
3. Domain II: keamanan/perlindungan. Kelas 2: cedera fisik. Kode 00046, Kerusakan
integritas kulit berhubungan dengan inflamasi,lesi
4. Domain 12: Kenyamanan. Kelas 1: Kenyamanan fisik. Kode 000132, Nyeri akut
berhubungan dengan kerusakan kulit & jaringan.

83
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

RENCANA INTERVENSI
HARI/ DIAGNOSA
TUJUAN DAN KRITERIA HASIL INTERVENSI
TGL KEPERAWATAN
13-8-18 Domain 2: Nutrisi. Kelas 5: Setelah dilakukan tindakan keperawatan NIC: Manajemen cairan (4120)
Jam 15.00 Hidrasi. Kode: 00027 selama 3x24 jam diharapkan pemulihan 1. Monitor status hidrasi klien (membran
Kekurangan volume cairan cairan optimal dan kesimbangan elektrolit mukosa)
berhubungan dengan banyaknya serta perfusi organ vital tercapai 2. Monitor status hemodinamik (CVP)
penguapan/ cairan tubuh yang KH: NOC: Keseimbangan cairan. 0601 3. Monitor tanda-tanda vital klien (Blood
keluar a. TD 100/60-140/90 mmhg pressure dan Heart rate)
b. Produksi urine >30ml/jam (minimaln 4. Berikan terapi intravena seperti yang
1ml/kgbb/jam) telah ditentukan
c. Ht 37-43% 5. Berikan cairan dengan tepat
d. Mukosa lembab
e. Akral hangat
f. Turgor elastis
g. Rasa haus tidak ada

84
HARI/ DIAGNOSA
TUJUAN DAN KRITERIA HASIL INTERVENSI
TGL KEPERAWATAN
13-8-18 Domain II: keamanan / Setelah dilakukan tindakan keperawatan NIC: Penghisapan lendir pada jalan nafas.
Jam 15.00 perlindungan, Kelas 2: cedera selama 3x24 jam diharapkan jalan nafas 3160
fisik. Kode 00031 kembali efektif 1. Lakukan tindakan cuci tangan 6 langkah
Ketidakefektifan bersihan jalan KH: NOC: Status pernafasan: kepatenana dan gunakan APD
nafas berhubungan dengan jalan nafas.0410 2. Auskultasi suara nafas sebelum dan
obstruksi jalan nafas a. Tidak ada sekret di saluran pernafasan sesudah melakukan tindakan suction
b. Klien bernafas dengan normal 3. Hiperoksigenasi dengan O2 100%
c. RR: 16-20x/mnt (tanpa ventilator) selama miinimal 30 detik menggunakan
ventilator sebelum dan sesudah
tindakan suctiion
4. Gunakan alat-alat steril dalam
melakukan tindakan suction trakea
5. Gunakan angka terendah pada dinding
suction yang diperlukan untuk
membuang sekresi (misal 80-120 mmhg
untuk dewasa)
6. Gunakan Closed system suctioning
sesuai indikasi
7. Monitor status oksigenasi
8. Bersihkan area endotrakheal tube
setelah melakukan suction
9. Monitor dan catat warna, jumlah dan
konsistensi sekret

85
HARI/ DIAGNOSA
TUJUAN DAN KRITERIA HASIL INTERVENSI
TGL KEPERAWATAN
18-8-18 Domain II: Setelah dilakukan tindakan keperawatan NIC: Perawatan luka: luka bakar. 3661
Jam keamanan/perlindungan. Kelas selama 3x24 jam diharapkan klien 1. Monitor tingkat kesadaran klien yang
2: cedera fisik. Kode 00046 menunjukkan regenerasi jaringan mangalami luka bakar luas
Kerusakan integritas kulit KH: NOC: Penyembuhan luka bakar. 1106 2. Pertahankan jalan nafas bebas dan
berhubungan dengan a. Adanya peningkatan presentase terbuka untuk memastikan ventilasi
inflamasi,lesi kesembuhan area luka bakar 3. Tingkatkan suhu tubuh klien luka bakar
b. Adanya granulasi jaringan karena kedinginan
c. Perfusi jaringan area luka bakar membaik 4. Gunakan APD (sarung tangan, masker,
d. Pergerakan sendi yang terkena luka bakar skort)
5. Evaluasi luka bakar kaji kedalaman,
pelebaran, lokalisasi, agen penyebab,
eksudat, jaringan granulasi atau
nekrosis, epitelisasi dan tanda-tanda
infeksi
6. Lakukan pembersihan di area tempat
tidur klien
7. Berikan pengontrol nyeri yang adekuat
8. Pastikan asupan cairan dan nutrisi
adekuat

86
HARI/ DIAGNOSA
TUJUAN DAN KRITERIA HASIL INTERVENSI
TGL KEPERAWATAN
13-8-18 Domain 12: Kenyamanan Setelah dilakukan tindakan keperawatan NIC: Manajemen nyeri. 1400
Jam 15.00 Kelas 1: Kenyamanan fisik selama 3x24 jam diharapkantingkat 1. Observasi nyeri meliputi lokasi,
Kode: 000132 kenyamanan klien meningkat, nyeri karakteristik, kualitas nyeri, faktor
Nyeri akut berhubungan dengan terkontrol pencetus dan adanya petunjuk
kerusakan kulit & jaringan KH: NOC: Kontrol nyeri. 1605 nonverbal mengenai ketidaknyamanan
a. Klien dapat melaporkan adanya terutama pada kx yang tidak dapat
perubahan terhadap gejala nyeri berkomunikasi secara efektif
(Penurunan skala nyeri 1-2) 2. Kendalikan faktor lingkungan yang
b. Ekspresi wajah tenang dapat memepengaruhi respon kx
c. Mengetahui faktor penyebab nyeri ketidaknyamanan (misal suhu ruangan,
pencahayaan. dan suara bising)
3. Berikan obat-obatan penurun nyeri
yang adekuat
4. Dukung istirahat tidur yang adekuat
untuk membantu penurunan nyeri
5. Kolaborasi untuk pemberian obat sedasi
pada klien dan tetap lakukan evaluasi
mengenai bahaya sedasi

87
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

IMPLEMENTASI DAN EVALUASI KEPERAWATAN

HARI/
NO.Dx JAM IMPLEMENTASI PARAF JAM EVALUASI (SOAP) PARAF
TGL
Senin, Evaluasi Formatif:
13-8- 1 16.00 1. Melakukan observasi status hidrasi 16.05 1. Membran mukosa klien tampak kering, turgor
18 klien dengan melakukan cek kulit jelek
Jam 1 membran mukosa dan turgor kulit 16.15 2. Hasil pengukuran CVP: 7 mmHg
15.00 1 pasien 17.05 3. BP: 101/65 mmHg, HR: 152 x/menit, akral
1&4 16.10 2. Melakukan observasi status dingin
1&4 hemodinamik melalui CVP. 17.10 4. Tidak terjadi reaksi anafilaktik syock
pertahankan CVP dalam rentang 18.00 5. Tidak ada tanda- tanda edema paru
nilai normal (CVP dengan ventilator 6. Retensi 5 cc, diit sonde masuk tidak ada reflek
8-15 cmH2O) muntah.
17.00 3. Melakukan observasi tanda-tanda
vital klien (Blood pressure dan Evaluasi (SOAP):
Heart rate) S: -
17.10 4. Memberikan Injeksi ceftazidim 1 gr, O: - turgot kulit dan mukosa mulut tampak kering
injeksi metamizole 1 gr - produksi urin/24 jam: 1195 cc
5. Memberikan cairan RL 42 tpm, - akral dingin
amino fluid 14 tpm - BP: 101/65 mmHg, HR: 152 x/menit
17.20 6. Memberikan Nutrisi oral: PE 150 ml - Output: 1195, Balance cairan: ±4905
7. Memberikan Clear water 200 ml A: masalah belum teratasi
P: lanjutkan intervensi no 1-5

88
HARI/
NO.Dx JAM IMPLEMENTASI PARAF JAM EVALUASI (SOAP) PARAF
TGL

2 19.00 1. Melakukan observasi respirasi rate Evaluasi formatif: -


klien yang terdapat di ventilator 19.05 1. RR: 14 /18 xmenit
20.00 2. Melakukan auskultasi suara nafas 20.05 2. Tidak ada suara nafas tambahan, ronkhi tidak
sebelum dan sesudah melakukan ada, wheezing tidak ada
tindakan suction 20.30 3. Tidak ada sekret pada ETT
20.10 3. Melakukan tindakan suction 20.40 4. Warna sekret kehijauan, konsistensi sekret
endotracheal tube kental
20.35 4. Melakukan observasi warna, jumlah 20.50 5. Saturasi O2: 98%, on ventilator
dan konsistensi sekret
20.45 5. Melakukan observasi status Evaluasi (SOAP)
oksigenasi 20.55 S: -
O: - klien masih terpasang ventilator
- sekret warna kehijauan
- RR: 18x/menit (pada ventilator)
A: masalah belum teratasi
P: lanjutkan intervensi no 1-5
3 15.00 1. Melakukan observasi tingkat Evaluasi Formatif:
kesadaran klien 15.05 1. GCS: ExVxMx (klien dalam efek sedasi
15.10 2. Mempertahankan jalan nafas bebas morphin 1mg/13 jam)
dan terbuka untuk memastikan 15.15 2. Melakukan observasi pada ETT dan cubing
ventilasi ventilator dan memastikan tidak tertekuk
15.20 3. Menggunakan APD (sarung tangan, 15.25 3. APD digunakan untuk mencegah infeksi
masker, skort) 15.30 4. Luas luka bakar 94,5%, luka bakar hampir
15.20 4. Melakukan evaluasi luka bakar; seluruh tubuh, terdapat nekrosis di jaringan
mengkaji kedalaman, pelebaran, kulit dan terdapat tanda-tanda infeksi, edema
lokalisasi, agen penyebab, eksudat, seluruh tubuh, tidak terdapat granulasi di

89
HARI/
NO.Dx JAM IMPLEMENTASI PARAF JAM EVALUASI (SOAP) PARAF
TGL
jaringan granulasi atau nekrosis, jaringan. Perfusi area luka bakar jelek, tidak
epitelisasi dan tanda-tanda infeksi terdapat pergerakan sendi.
15.35 5. Melakukan pembersihan di area 5. Daerah sekitar tempat tidur klien tampak
tempat tidur klien 15.40 bersih
Evaluasi (SOAP):
S: -
15.45 O: - terdapat edema
- tidak terdapat granulasi
- perfusi area luka bakar jelek
- tidak terdapat pergerakan sendi yang terkena
luka bakar
A: masalah belum teratasi
P: lanjutkan intervensi no 1-5
4 18.00 1. Melakukan observasi nyeri meliputi Evaluasi Formatif:
lokasi, karakteristik, kualitas nyeri, 18.05 1. Lokasi nyeri meliputi seluruh tubuh, kualitas
faktor pencetus nyeri skor:7 (nyeri berat) diukur menggunakan
2. Memberikan selimut untuk CPOT. faktor pencetus: luka bakar karena api
mengurangi ketidaknyamanan klien 94,5%
karena suhu ruangan terlalu dingin 18.10 2. Klien tampak tenang dan nyaman
19.00 3. Memberikan morphin syringe pump 19.05 3. Tidak terdapat reaksi anafilaktik syock
1mg/jam 19.15 4. Klien tertidur karena efek sedasi
19.10 4. Mendukung istirahat tidur yang
adekuat untuk membantu penurunan 19.15 Evaluasi (SOAP):
nyeri S: -
O: - asessment nyeri COPT skor 7 (nyeri berat)
- Klien terkadang gelisah dan melakukan
gerakan yang tidak disadari
A: masalah belum teratasi
P: lanjutkan intervensi no 1-4

90
HARI/
NO.Dx JAM IMPLEMENTASI PARAF JAM EVALUASI (SOAP) PARAF
TGL
Selasa, 1 21.00 1. Melakukan observasi status hidrasi Evaluasi Formatif:
14-8- klien dengan melakukan cek 21.05 1. Membran mukosa klien tampak kering, turgor
18 1 21.10 membran mukosa dan turgor kulit kulit jelek
Jam 1 pasien 21.15 2. Hasil pengukuran CVP: 7-8 mmHg
21.00 1&4 21.20 2. Melakukan observasi status 21.25 3. BP: 133/83 mmHg, HR: 113 x/menit, akral
1&4 hemodinamik melalui CVP. dingin
pertahankan CVP dalam rentang 01.15 4. Tidak terjadi reaksi anafilaktik syock
nilai normal (CVP dengan ventilator 01.18 5. Tidak ada tanda- tanda edema paru
8-15 cmH2O) 01.25 6. Retensi 8 cc, diit sonde masuk tidak ada reflek
01.00 3. Melakukan observasi tanda-tanda muntah.
vital klien (Blood pressure dan Heart
rate)
01.10 4. Memberikan terapi intravena seperti 01.30 Evaluasi (SOAP):
yang telah ditentukan Injeksi S: -
ceftazidim 1 gr, injeksi metamizole 1 − O: - turgot kulit dan mukosa mulut tampak kering
gr, ranitidine 50 mg, Amiparen 10%  produksi urin/24 jam: 1400 cc/24 jam
7 tpm, Triofusin E1000 7tpm , RL 21  -akral dingin
tpm, amino fluid 14 tpm  -BP: 133/83 mmHg, HR: 113 x/menit
01.20 5. Memberikan nutrisi oral: sonde tim A: masalah belum teratasi
E1-E6 300 ml, Clear water 200 ml P: lanjutkan intervensi no 1-5
2 22.00 1. Melakukan observasi respirasi rate Evaluasi Formatif:
klien yang terdapat di ventilator 22.05 1. RR: 14/23 x/menit
22.10 2. Melakukan auskultasi suara nafas 22.15 2. Tidak ada suara nafas tambahan, tidak ada
sebelum dan sesudah melakukan ronchi, tidak ada wheezing
tindakan suction 22.25 3. Tidak ada sekret pada ETT
22.20 3. Melakukan tindakan suction 22.40 4. Saturasi O2: 98% on ventilator
endotracheal tube 5. Warna sekret kehijauan, konsistensi sekret
22.30 4. Melakukan observasi status kental
oksigenasi

91
HARI/
NO.Dx JAM IMPLEMENTASI PARAF JAM EVALUASI (SOAP) PARAF
TGL
5. Melakukan observasi warna, jumlah 22.50 Evaluasi (SOAP):
dan konsistensi secret S: -
O: - Klien masih terpasang ventilator
- Sekret warna kehijauan
- RR: 23x/menit (pada ventilator)
A: masalah belum teratasi
P: lanjutkan intervensi no 1-5
3 04.40 1. Melakukan observasi tingkat Evaluasi Formatif:
04.50 kesadaran klien 04.45 1. GCS: ExVxMx (klien dalam efek sedasi)
2. Mempertahankan jalan nafas 04.55 2. Jalan nafas bebas
bebas dan terbuka untuk 05.10 3. APD digunakan untuk mencegah infeksi
memastikan ventilasi, melakukan 05.15 4. Luas luka bakar 94,5%, luka bakar hampir
monitor pada ETT, cubing seluruh tubuh, terdapat nekrosis di jaringan
ventilator dan memastikan tidak kulit dan terdapat tanda-tanda infeksi, edema
tertekuk, seluruh tubuh, tidak terdapat granulasi di
05.00 3. Menggunakan APD (sarung jaringan. Perfusi area luka bakar jelek, tidak
tangan, masker, skort) terdapat pergerakan sendi
05.10 4. Melakukan evaluasi luka bakar; 05.30 5. Daerah sekitar tempat tidur klien tampak
mengkaji kedalaman, pelebaran, bersih
lokalisasi, agen penyebab,
eksudat, jaringan granulasi atau Evaluasi (SOAP)
nekrosis, epitelisasi dan tanda- 05.40 S: -
tanda infeksi O: - terdapat edema
05.20 5. Melakukan pembersihan di area - tidak terdapat granulasi
tempat tidur klien - perfusi area luka bakar jelek
- tidak terdapat pergerakan sendi yang terkena
luka bakar
A: masalah belum teratasi
P: lanjutkan intervensi no 1-5

92
HARI/
NO.Dx JAM IMPLEMENTASI PARAF JAM EVALUASI (SOAP) PARAF
TGL
4 23.10 1. Melakukan observasi nyeri meliputi Evaluasi Formatif:
lokasi, karakteristik, kualitas nyeri, 23.05 1. Lokasi nyeri meliputi seluruh tubuh, kualitas
faktor pencetus nyeri skor:7 (nyeri berat) diukur
23.10 2. Memberikan selimut untuk menggunakan CPOT. faktor pencetus: luka
mengurangi ketidaknyamanan klien 23.15 bakar karena api 94,5%
karena suhu ruangan terlalu dingin 2. Klien tampak tenang dan nyaman
23.20 3. Memberikan injeksi metamizole 1 23.35 3. Tidak terdapat reaksi anafilaktik syock
gr 4. Klien tertidur karena efek sedasi
23.30 4. Memberikan terapi injeksi
midazolam 3 mg, fentanyl 100 mg Evaluasi (SOAP):
S: -
O: - asessment nyeri COPT skor 7 (nyeri berat)
- Klien terkadang gelisah dan melakukan
gerakan yang tidak disadari
A: masalah belum teratasi
P: lanjutkan intervensi no 1-4
Rabu, 1 21.00 1. Melakukan observasi status hidrasi Evaluasi Formatif:
15-8- klien dengan melakukan cek 21.05 7. Membran mukosa klien tampak kering, turgor
18 1 membran mukosa dan turgor kulit kulit jelek
Jam 1 pasien 21.15 8. Hasil pengukuran CVP: 7-8 mmHg
21.00 1&4 21.10 2. Melakukan observasi status 21.25 9. BP: 133/83 mmHg, HR: 113 x/menit, akral
1&4 hemodinamik melalui CVP. dingin
pertahankan CVP dalam rentang 01.10 10. Tidak terjadi reaksi anafilaktik syock
nilai normal (CVP dengan ventilator 06.00 11. Tidak ada tanda- tanda edema paru
8-15 cmH2O) 01.15 12. Retensi 8 cc, diit sonde masuk tidak ada reflek
21.20 3. Melakukan observasi tanda-tanda muntah.
vital klien (Blood pressure dan Heart
rate)

93
HARI/
NO.Dx JAM IMPLEMENTASI PARAF JAM EVALUASI (SOAP) PARAF
TGL
01.00 4. Memberikan Injeksi ceftazidim 1 gr, 01.30 Evaluasi (SOAP)
injeksi metoclopamide 1 gr, S: -
ranitidine 50 mg O: - turgot kulit dan mukosa mulut tampak kering
01.10 5. Memberikan cairan Amiparen 10% - produksi urin/24 jam: 1400 cc/24 jam
500 ml 7 tpm, Triofusin E1000 7tpm - BP: 166/75 mmHg, HR: 158 x/menit
, RL 21 tpm, amino fluid 1000ml 14 A: masalah belum teratasi
tpm P: lanjutkan intervensi no 1-5
01.15 6. Memberikan Nutrisi oral: sonde tim
E1-E6 300 ml, Clear water 200 ml

2 22.00 1. Melakukan observasi respirasi rate Evaluasi Formatif:


klien yang terdapat di ventilator 22.05 1. RR: 14/23 x/menit
22.10 2. Melakukan auskultasi suara nafas 22.15 2. Tidak ada suara nafas tambahan, tidak ada
sebelum dan sesudah melakukan ronchi, tidak ada wheezing
tindakan suction 22.25 3. Tidak ada sekret pada ETT
22.20 3. Melakukan tindakan suction 22.40 4. Saturasi O2: 98%
endotracheal tube 5. Warna sekret kehijauan, konsistensi sekret
22.30 4. Melakukan observasi status kental
oksigenasi 22.50
5. Melakukan observasi warna, jumlah Evaluasi (SOAP):
dan konsistensi sekret S: -
O:
- klien masih terpasang ventilator
- sekret warna kehijauan
- RR: 23x/menit on ventilator
A: masalah belum teratasi
P: lanjutkan intervensi no 1-5

94
HARI/
NO.Dx JAM IMPLEMENTASI PARAF JAM EVALUASI (SOAP) PARAF
TGL
3 04.40 1. Melakukan observasi tingkat Evaluasi Formatif
kesadaran klien 04.45 1. GCS: ExVxMx (klien dalam efek sedasi
04.50 2. Mempertahankan jalan nafas bebas Midazolam dan fentanyl)
dan terbuka untuk memastikan 04.55 2. Jalan nafas bebas
ventilasi, melakukan monitor pada 05.10 3. APD digunakan untuk mencegah infeksi
ETT, cubing ventilator dan 05.15 4. Luas luka bakar 94,5%, luka bakar hampir
memastikan tidak tertekuk seluruh tubuh, terdapat nekrosis di jaringan
05.00 3. Menggunakan APD (sarung tangan, kulit dan terdapat tanda-tanda infeksi, edema
masker, skort) seluruh tubuh, tidak terdapat granulasi di
05.10 4. Melakukan evaluasi luka bakar; jaringan. Perfusi area luka bakar jelek, tidak
mengkaji kedalaman, pelebaran, terdapat pergerakan sendi
lokalisasi, agen penyebab, eksudat, 05.30 5. Daerah sekitar tempat tidur klien tampak
jaringan granulasi atau nekrosis, bersih
epitelisasi dan tanda-tanda infeksi 05.45 Evaluasi (SOAP)
5. Melakukan pembersihan di area S: -
05.20 tempat tidur klien O: - terdapat edema
- tidak terdapat granulasi
- perfusi area luka bakar jelek
- tidak terdapat pergerakan sendi yang terkena
luka bakar
A: masalah belum teratasi
P: lanjutkan intervensi no 1-5

95
HARI/
NO.Dx JAM IMPLEMENTASI PARAF JAM EVALUASI (SOAP) PARAF
TGL
4 23.10 1. Melakukan observasi nyeri meliputi Evaluasi Formatif:
lokasi, karakteristik, kualitas nyeri, 23.05 1. Lokasi nyeri meliputi seluruh tubuh, kualitas
faktor pencetus nyeri skor:7 (nyeri berat) diukur
23.10 2. Memberikan selimut untuk menggunakan CPOT. faktor pencetus: luka
mengurangi ketidaknyamanan klien 23.35 bakar karena api 94,5%
karena suhu ruangan terlalu dingin 2. Klien tampak tenang dan nyaman
23.20 3. Memberikan injeksi metamizole 1 gr 3. Tidak terdapat reaksi anafilaktik syock
23.30 4. Memberikan terapi injeksi 23.40 4. Klien tertidur karena efek sedasi
midazolam 3 mg, fentanyl 100 mg Evaluasi (SOAP):
S: -
O: - asessment nyeri COPT skor 7 (nyeri berat)
- Klien terkadang gelisah dan melakukan
gerakan yang tidak disadari
A: masalah belum teratasi
P: lanjutkan intervensi no 1-4

96
BAB 4
PEMBAHASAN

Kasus Tn. MA pasien mengalami kecelakaan dan menabrak kompresor dan kios bensin
sehingga mengakibatkan pasien terbakar dengan luas luka bakar 94,5% mulai dari wajah,
kepala, dada, punggung, tangan, dan paha. Menurut Peck (2012) luka bakar merupakan suatu
bentuk kerusakan pada kulit atau jaringan organik lain yang utamanya disebabkan oleh panas
atau trauma akut, pada kasus Tn. MA penyebab luka bakar dikategorikan karena kobaran api.
Yapa dan Enoc (2009) berpendapat bahwa penyebab luka bakar karena kobaran api dapat
mengakibatkan luka bakar dengan kedalaman luka yang berbeda. Setelah dibawa ke rumah
sakit dr. Soetomo Surabaya pasien mendapatkan tindakan pemasatang endotracheal tube,
bantuan nafas dengan ventilator serta operasi debridement luka bakar dan kemudian dirawat
secara intensif di ruang ROI dalam kondisi sedasi untuk menstabilkan kondisi pasien agar
tenang dan kooperatif.

Dalam kasus pasien Tn. MA didapatkan masalah keperawatan ketidakefektifan bersihan


jalan nafas, kekurangan volume cairan, kerusakan integritas kulit, dan nyeri akut. Bersihan
jalan nafas dikarenakan saat terjadi kejadian kebakaran pada pasien, pasien menghirup banyak
asap yang mengakibatkan edema laring, pembengkakan laring ini mengakibatkan sumbatan
pada jalan nafas sehingga pernafasan pasien terganggu. Tatalaksana pemasangan
endotracheal tube (ETT) dan bantuan pernafasan dengan menggunakan ventilator pada pasien
guna menjaga jalan nafas paten dan membantu pernafasan yang adekuat. Hal ini sesuai dengan
pendapat Sjoberg (2012) bahwa luka bakar pada wajah atau edema jalan nafas atas dapat
membahayakan jalan nafas. Pasien yang tidak sadar, biasanya disebabkan adanya paparan
karbon monoksida atau sianida atau luka lain yang membahayakan jalan nafas sehingga
intubasi sebaiknya segera dilakukan. Pemberian 100% oksigen adalah perlakuan yang tepat
untuk luka bakar yang disebabkan oleh karbon monoksida atau sianida.

Asuhan keperawatan pada masalah keperawatan bersihan jalan nafas tidak efektif lebih
menitikberatkan pada kolaborasi dengan tim medis untuk pemasangan ETT dan ventilator
serta pemberian nebulisasi untuk mengencerkan secret yang ada pada selang ETT dan juga
pada saluran nafas pasien, tindakan keperawatan mandiri yang diberikan adalah suction
dengan teknik aseptik, mngevaluasi tanda-tanda vital. Selain itu juga dengan dasar NIC:
Penghisapan lendir pada jalan nafas (kode 3160) yaitu: lakukan tindakan cuci tangan 6
langkah dan gunakan APD, auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah melakukan tindakan

97
suction, hiperoksigenasi dengan O2 100% selama miinimal 30 detik menggunakan ventilator
sebelum dan sesudah tindakan suction, gunakan alat-alat steril dalam melakukan tindakan
suction trakea, gunakan angka terendah pada dinding suction yang diperlukan untuk
membuang sekresi (misal 80-120 mmhg untuk dewasa), gunakan Closed system suctioning
sesuai indikasi, monitor status oksigenasi, bersihkan area endotrakheal tube setelah
melakukan suction, monitor dan catat warna, jumlah dan konsistensi secret.

Masalah lain yang muncul adalah kerusakan integritas kulit karena adanya luka bakar,
pada pasien luas luka bakar mencapai 94,5% yang artinya kerusakan kulit yang dialami pasien
sangat luas. Herdman (2015) mengemukakan bahwa kerusakan integritas kulit adalah
kerusakan pada epidermis dana tau dermis yang salah satu faktor yang berhubungan adalah
adanay cedera kimiawi kulit seperti luka bakar. Adanya luka bakar menimbulkan nyeri akut.
Pengkajian nyeri pada pasien dengan menggunakan instrument pengukur nyeri pasien tidak
sadar CPOT (critical care pin observational tool) didapatkan skor 7 dengan interpretasi nyeri
berat. Nyeri yang terjadi setelah luka bakar ditimbulkan oleh berbagai sumber dan alasan.
Kedalaman luka bakar tidak selalu berhubungan langsung dengan intensitas nyeri. Berbagai
macam nyeri yang terjadi setelah luka bakar ialah nyeri nosiseptif, nyeri neuropati, nyeri yang
berhubungan dengan inflamasi, phantom-limb pain, Sympathetically Maintained Pain (SMP),
dan Complex regional pain syndrome (CRPS) (Girtler dan Gustorff, 2012).

Intervensi keperawatan untuk masalah keperawatan nyeri akiut adalah dengan dasar
NIC Manajemen nyeri. (kode 1400) yaitu: observasi nyeri meliputi lokasi, karakteristik,
kualitas nyeri, faktor pencetus dan adanya petunjuk nonverbal mengenai ketidaknyamanan
terutama pada kx yang tidak dapat berkomunikasi secara efektif, pada pasien tidak sadar
menggunakan instrument CPOT, kendalikan faktor lingkungan yang dapat memepengaruhi
respon ketidaknyamanan (misal suhu ruangan, pencahayaan. dan suara bising), berikan obat-
obatan penurun nyeri yang adekuat, pada pasien mendapatkan metamozoe sodium per IV 500
mg/8 jam dan morfin voa syringe pump, dukung istirahat tidur yang adekuat untuk membantu
penurunan nyeri, kolaborasi untuk pemberian obat sedasi pada klien dan tetap lakukan
evaluasi mengenai bahaya sedasi.

Kerusakan kulit karena luas luka bakar yang mencapai 94,5% yang dialami pasien
mengakibatkan peningkatan permeabilitas kapiler sehingga terjadi penguapan (evaporasi)
cairan dan tubuh banyak kehilangan cairan, termasuk adanya serum protein yang keluar dan
merembes pada underpad pasien, pemeriksaan kadar albumin serum menurun dari nilai

98
normal yaitu 3,07 mg/dl (normal 3,40-5,0 mg/dl), muncul edema pada tubuh pasien, serta
produksi urin pasien yang hanya 20 cc/jam yang menunjukkan cairan tubuh banyak yang
hilang dan mengarah ke syok hipovolemik. Efek sistemik ditimbulkan oleh pelepasan sitokin
dan mediator inflamasi yang lain saat luas luka bakar telah mencapai 30% dari TBSA (Total
Body Surface Area). Luka bakar yang luasnya lebih besar dari sepertiga TBSA menimbulkan
kerusakan berat pada fungsi kardiovaskular yang disebut dengan syok. Syok adalah kondisi
abnormal ketika perfusi jaringan tidak cukup kuat untuk mengantarkan asupan oksigen dan
nurisi serta mengeluarkan hasil produksi sel yang tidak dibutuhkan (Gauglitz dan Jeschke,
2012). Penyebab syok adalah peningkatan permeabilitas pembuluh darah yang terjadi selama
36 jam setelah timbulnya luka bakar. Protein dan cairan yang tertarik menuju ke ruang
intersisial menimbulkan edema dan dehidrasi (Rudall dan Green, 2010).

Intervensi keperawatan untuk masalah kerusakan integritas kuliat dengan dasara NIC
Perawatan luka: luka bakar.(kode 3661) yaitu: monitor tingkat kesadaran klien yang
mangalami luka bakar luas, pertahankan jalan nafas bebas dan terbuka untuk memastikan
ventilasi, tingkatkan suhu tubuh klien luka bakar karena kedinginan, gunakan APD (sarung
tangan, masker, skort), evaluasi luka bakar kaji kedalaman, pelebaran, lokalisasi, agen
penyebab, eksudat, jaringan granulasi atau nekrosis, epitelisasi dan tanda-tanda infeksi,
lakukan pembersihan di area tempat tidur klien, berikan pengontrol nyeri yang adekuat,
pastikan asupan cairan dan nutrisi adekuat. Intervensi keperawatan yang dilakukan untuk
masalah keperawatan kekurangan volume cairan yaitu: monitor status hidrasi klien (membran
mukosa), monitor status hemodinamik (CVP), monitor tanda-tanda vital klien (Blood pressure
dan Heart rate), berikan terapi intravena seperti yang telah ditentukan yaitu infus RL 3000
ml/24jam dan Aminofluid 1000 ml/24jam, berikan cairan dengan tepat berupa diet personde
PE 6x150 cc dan clean water 6x200 cc, memonitor intake dan output secara akurat.

99
BAB 5
PENUTUP

A. Kesimpulan
Klien Tn. MA (32 tahun) menderita luka bakar karena mengalami kecelakaan
sepeda motornya menabrak kompresor & kios bensin. Klien mengalami luka bakar mulai
dari wajah, kepala, dada, punggung, tangan, paha dan suspect trauma inhalasi. Klien
dilakukan debridement luka bakar di ruang operasi dan dipasang endotrakheal tube untuk
pemberian O2 ventilator support, Klien mengalami penurunan kesadaran efek pemberian
sedasi morphine, klien terpasang ventilator dengan Mode Bi Level. airway pressure
ventilation, FiO2 40%, PEEP 6 cmH2o, SaO2 98%, Vol. tidal 811 ml, I:E Ratio 1:2 detik.
Klien mengalami nyeri hebat dengan skala nyeri 7 menggunakan asessment nyeri CPOT.
Diagnosa keperawatan yang muncul adalah Kekurangan volume cairan b.d
banyaknya penguapan/ cairan tubuh yang keluar, Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d
obstruksi jalan nafas, Kerusakan integritas kulit b.d inflamasi, lesi, Nyeri akut b.d
kerusakan kulit& jaringan. Implementasi yang telah dilakukan yaitu dengan
menyeimbangkan intake dan output cairan, intake cairan sengaja diberikan excess karena
pada luka bakar mengalami kehilangan banyak plasma. Kemudian dilakukan nebulizer
dan suction untukmemebersihkan sekret yang ada pada jalan nafas klien, dan memberikan
terapi management nyeri dengan berkolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat
sedasi Morphine 1mg/12jam, serta menjaga kebersihan dan kerapian tempat tidur untuk
mencegah terjadinya infeksi pada klien.
Dari hasil pemberian asuhan keperawatan, yang telah dilakukan 13 agustus 2018
sampai 20 agustus 2018 secara berkesinambungan selama perawatan di ruang ROI
RSUD Dr Soetomo terjadi perubahan atau perbaikan tetapi pada hari ke 7 klien
mengalami drop dan meningghal dunia.
B. Saran
Diharapkan dengan mengetahui definisi, gejala dan manifestasi klinik dan
penanganan dari luka bakar, perawat selaku tenaga kesehatan yang professional dapat
melakukan asuhan keperawatan dengan tepat dan cepat.

100
DAFTAR PUSTAKA

Arif, S.K., 2009. Fluid Management In Severe Burns Patients. The Indonesian Journal Of
Medical Science Volume 2 No.2
Brunner & Suddarth. 2013. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC
Corwin, E.J., 2009. Buku Saku Patofisiologi Edisi 3. Jakarta: EGC
Dewi, S. And Ratna, Y., 2013. Burn Injury: General Concepts And Investigation Based On
Antemortem And Postmortem Of Clinical Injury. E-Jurnal Medika Udayana, 2(3),
Pp.389-409.
Firmansyah, W., 2015. Pengaruh Pemberian Ekstrakpropolis Terhadap Perubahan Luas Luka
Bakar Derajat Ii B-Iiipada Tikus Putihstrain Wistar (Rattus Norvegicus) (Doctoral
Dissertation, University Of Muhammadiyah Malang).
Kristanto, E.G. And Kalangi, S.J., 2013. Penentuan Derajat Luka Dalam Visum Et Repertum
Pada Kasus Luka Bakar. Jurnal Biomedik, 5(3).
Martina, N.R Dan Wardhana, A. 2013. Mortality Analysis Of Adult Burn Patients. Burn.
Nigmc. 2012. Burns Fact Sheet. Https://Www.Nigms.Nih.Gov/Pages/Default.Aspx. Diunduh
Tanggal 13 April 2016
Nurarif, A.H. And Kusuma, H., 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis & Nanda Nic-Noc. Jogjakarta: Mediaction
Perbidkes.2015. Frostbite Merupakan Luka Bakar Karena Suhu Dingin, Diunduh Melalui
Http://Www.Perbidkes.Com/2015/10/Frostbite-Merupakan-Penyakit-
Karena.Html#Sthash.U4y59rh4.Dpuf Pada 29 April 2016
Rahayu, T., 2012. Penatalaksanaan Luka Bakar (Combustio). Media Publikasi Penelitian, 8.
Badan PPSDM kesehatan, kemenkes RI, 2013
Carolyn, M.H. et. al. (1990). Critical Care Nursing. Fifth Edition. J.B. Lippincott Campany.
Philadelpia. Hal. 752 – 779.
Djohansjah, M. (1991). Pengelolaan Luka Bakar. Airlangga University Press. Surabaya.
Hudak & Gallo. (1997). Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik. Volume I. Penerbit Buku
Kedoketran EGC. Jakarta
Rousseau AF, Losser MR, Ichai C, Berger MM. ESPEN endorsed recommendations:
Nutritional therapy in major burns. Clin Nutr. 2013;32(4):497-502.
Singer P, Berger MM, Van den Berghe G, Biolo G, Calder P, Forbes A, et al. ESPEN
Guidelines on Parenteral Nutrition: Intensive care. Clin Nutr. 2009;28(4):387-400
Kresno, Siti Boedina. 2013. “Imunologi : Diagnosis dan Prosedur Laboratorium”. Jakarta :
FKUI
Fajri, Adik. 2008. Mekanisme Sistem “Pertahanan Tubuh Terhadap Konfigurasi Asing Yang
Masuk Kedalam Tubuh”.

101
Gauglitz GG, Jeschke MG. Pathophysiology of burn injury. In: Jeschke MG, eds. Handbook
of Burns. Wien:Springer-Verlag, 2012. p.131–149
Mary Lou Sole, Deborah Goldenberg Klein, Marthe J. Moseley, Introduction to Critical
Care Nursing E Book, 6 th edition, http:/evolve.elsevier.com

102

You might also like