You are on page 1of 11

PARADIGMA, POSITIVISME, DAN POST-POSITIVISME

A. PARADIGMA
Paradigma dalam ranah intelektual adalah cara pandang seseorang terhadap diri dan
lingkungannya yang akan mempengaruhinya dalam dan berperilaku. Paradigma juga termasuk
konsep dan asumsiyang akan menjadi dasar dalam memandang. Kata paradigma sendiri berasal
dari abad pertengahan di Inggris yang merupakan kata serapan dari bahasa Latin di tahun 1483
yaitu paradigma yang berarti suatu model atau pola sedangkan dalam bahasa Yunani
paradeigma yang berarti membandingkan.
Dalam pengertian lain dikatakan juga Paradigma adalah kumpulan tata nilai yang
membentuk pola pikir seseorang sebagai titik tolak pandangannya sehingga akan membentuk
citra subjektif dalam memaknai realita dan menjadi acuan seseorang akan menjalani
kehidupan.
Oleh karena itu kita sebagai makhluk sosial di tuntut agar dapat melihat dan memahami
dengan seksama perpengan realita yang terjadi dimana dalam konteks ruang dan waktu selalu
mengalami perubahan dan perubahan akan perpengaruh terhadap kita sebagai manusia. Kritis
adalah kata yang mungkin tepat untuk dijadikan ungkapan ini artinya bahwa kita harus
memahami dulu segala hal yang terjadi barulah kita dapat menerapkan tindakan-tindakan yang
harus dilakukan. Jangan menerima segala hal secara instan tanpa ada pertimbangan atau
pemahaman lebih dalam mengenai hal itu. Sekian penjelasan singkat mengenai apa itu
paradigma. Semoga bermanfaat buat kita semua

B. POSITIVISME
Positivisme pertama kali digagas oleh seorang berkebangsaan Perancis yang bernama
Augus Comte yang hidup pada tahun 1798-1857. Comte melihat satu hukum universal dalam semua
ilmu pengetahuan yang kemudian ia sebutsebagai “hukum tiga fase”. Menurutnya,
masyarakat berkembang melalui tiga fase: Teologi, Metafisika, dan tahap positif (atau
sering juga disebut tahap ilmiah). Ia kemudian dikenal sebagai orang pertama
yangmengaplikasikan metoda ilmiah dalam ilmu sosial.
Sebenarnya kata positive tidak hanya digunakan oleh Comte. Kata ini telah umum
digunakan pada abad delapan belas, khususnya pada paruh kedua. Namun Comte adalah orang
yang bertanggung jawab atas penerapan positivisme pada filsafat. Filsafat positivistik ini
dibangun berdasarkan dua hal, yaitu filsafat kuno dan sains modern. Dari filsafat kuno, Comte
meminjam pengertian Aristoteles tentang filsafat, yaitu konsep-konsep teoritis yang saling
berkaitan satusama lain dan teratur. Dari sains modern, Comte menggunakan ide positivistik
ala Newton, yakni metode filsafati yang terbentuk dari serangkaian teori yang memiliki tujuan
mengorganisasikan realitas yang tampak. Sebagaimana diakui Comte sendiri, ada kemiripan
antara antara filsafat positivistik (philosophie positive) dan filsafat alam (natural philosophy).
Pemilihan terhadap filsafat positivistik sebagai nama bagi sistem pemikiran yang dibangunnya
karena filsafat positivistik hanya mencoba untuk menganalisis efek dari sebab-sebab sebuah
fenomena dan menghubungkannya satu sama lain.

Positivisme sebagai aliran filsafat


Positivisme adalah paham atau aliran filsafat ilmu pengetahuan modern yang memicu
pesatnya perkembangan sains di satu sisi dan menandai krisis pengetahuan dan kemanusiaan
Barat di sisi lain. Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai
satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan
metafisik. Paham ini memandang bahwa paradigma positivisme adalah satu-satunya paradigma
yang diterapkan untuk menyatakan kesahihan ilmu pengetahuan. Maka dari itu segala sesuatu
yang dinyatakan oleh para ilmuwan dapat dikatakan sebagai ilmu pengetahuan jika mengikuti
paradigma tersebut. Suatu pernyataan dapat dikatakan ilmu pengetahuan apabila kebenarannya
dapat dibuktikan secara empiris. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada
data empiris. Sesungguhnya aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai suatu sarana
untuk memperoleh pengetahuan (seperti yang diusung oleh kaum idealisme khususnya
idealisme Jerman Klasik). Positivisme merupakan empirisme, yang dalam segi-segi tertentu
sampai kepada kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan
empiris dalam satu atau lain bentuk, maka tidak ada spekulasi dapat menjadi pengetahuan
Tujuan utama yang ingin dicapai oleh positivisme adalah membebaskan ilmu dari
kekangan filsafat metafisika. Menurut aliran ini ilmu hendaknya dijauhkan dari tafisran-
tafsiran metafisis yang merusak obyektifitas. Dengan menjauhkan tafsiran-tafisran metafisik
dari ilmu, para ilmuwan hanya akan menjadikan fakta yang dapat ditangkap dengan indera
untuk menghukumi segala sesuatu. Hal ini sangat erat kaitannya dengan tugas filsafat. Menurut
positivisme, tugas filsafat bukanlah menafsirkan segala sesuatu yang ada di alam. Tugas filsafat
adalah memberi penjelasan logis terhadap pemikiran. Oleh karena itu filsafat bukanlah teori.
Filsafat adalah aktifitas. Filsafat tidak menghasil proposisi-proposisi filosofis, tapi yang
dihasilkan oleh filsafat adalah penjelasan terhadap proposisi-proposisi.
Diantara ajaran dasar positivisme adalah berikut ini:
a. Di dalam alam terdapat hukum-hukum yang dapat diketahui
b. Penyebab adanya benda-benda dalam alam tidak diketahui
c. Setiap pernyataan yang secara prinsip tidak dapat dikembalikan pada fakta tidak
mempunyai arti nyata dan tidak masuk akal
d. Hanya hubungan fakta-fakta saja yang dapat diketahui
e. Perkembangan intelektual merupakan sebab utama perubahan sosial
f. Dari kelima prinsip dasar di atas dapat dipahami bahwa segala sesuatu yang dapat
dilihat oleh indra manusia memungkinkan untuk dipelajari dan dikaji menjadi
sebuah ilmu pengetahuan dengan menggunakan metode ilmiah yang disepakati oleh
para ilmuwan sehingga menghasilkan hukum-hukum yang memberikan
kemaslahatan bagi kehidupan umat manusia. Hukum-hukum yang dihasilkan oleh
para intelektual melalui pengkajian-pengkajian terhadap gejala-gejala alam
yangterlihat oleh indra manusia itulah yang menjadi sebab utama adanya perubahan-
perubahan yang terjadi pada manusia.
Kemajuan manusia menurut paham positivisme disebabkan oleh kepercayaan manusia
terhadap akal budi dengan kemampuan berpikirnya secara real dan faktual serta meninggalkan
dogma-dogma teologi agama yang bersifat abstrak bahkan fiktif yang kebenarannya tidak dapat
diuji oleh bukti-bukti empiris. Melalui pemahaman tersebut di atas maka manusia terutama
kaum intelektual berupaya melakukan eksploitasi terhadap alam sebagai objek penelitian dan
pengkajian sehingga padatahap tertentu hal itu dapat merugikan manusia itu sendiri sebagai
subjek. Dalam arti di satu sisi manusia mengalami kemajuan di bidang sains dan teknologi
namun disisi lain terjadi kegersangan rohani mentalitas manusia bahkan berani meninggalkan
keyakinan adanya Tuhan yang maha pencipta, seolah-olah akal budi manusia lah yang
menjadikan segala-galanya.

Perkembangan positivisme
Ada tiga tahap dalam perkembangan positivisme, yaitu:
1. Tahap pertama dalam positivisme diberikan pada Sosiologi, walaupun perhatiannya
juga diberikan pada teori pengetahuan yang diungkapkan oleh Comte dan tentang
Logika yang dikemukakan oleh Mill. Tokoh-tokohnya Auguste Comte, E. Littre, P.
Laffitte, JS. Mill dan Spencer.
2. Tahap kedua dalam positivisme empiris-positivisme berawal padatahun 1870-1890-
an dan berpautan dengan Mach dan Avenarius. Keduanya meninggalkan
pengetahuan formal tentang obyek-obyek nyata obyektif, yang merupakan suatu ciri
positivisme awal. Dalam Machisme, masalah-masalah pengenalan ditafsirkan dari
sudut pandang psikologisme ekstrim, yang bergabung dengan subyektivisme.
3. Perkembangan positivisme tahap terakhir berkaitan dengan lingkaran Wina dengan
tokoh-tokohnya O.Neurath, Carnap, Schlick, Frank, dan lain-lain. Serta kelompok
yang turut berpengaruh pada perkembangan tahap ketiga ini adalah Masyarakat
Filsafat Ilmiah Berlin. Kedua kelompok ini menggabungkan sejumlah aliran seperti
atomisme logis, positivisme logis, serta semantika. Pokok bahasan positivisme tahap
ketiga ini diantaranya tentang bahasa, logika simbolis, struktur penyelidikan ilmiah
dan lain-lain.

Kajian Ontologis
Di dalam filsafat, positivisme sangatlah dekat dengan empirisme, yakni paham yang
berpendapat bahwa sumber utama pengetahuan manusia adalah pengalaman inderawi. Artinya,
manusia tidak bisa mengetahui sesuatu apapun, jika ia tidak mengalaminya terlebih dahulu
secara inderawi. Yang menjadi ciri khas dari positivisme adalah, peran penting metodologi di
dalam mencapai pengetahuan. Di dalam positivisme, valid tidaknya suatu pengetahuan dilihat
dari validitas metodenya. Dengan demikian, pengetahuan manusia, dan juga mungkin
kebenaran itu sendiri, diganti posisinya oleh metodologi yang berbasiskan data yang juga
diklaim obyektif murni dan universal. Dan, satu-satunya metodologi yang diakui oleh para
pemikir positivisme adalah metode ilmu-ilmu alam yang mengklaim mampu mencapai
obyektifitas murni dan bersifat universal. Metode-metode lain di luar metode ilmu-ilmu alam
ini pun dianggap tidak memadai.
Jika berbicara tentang kajian ontologis, maka yang ingin dibahas adalah mengenai hal-
hal apa saja yang dikaji oleh suatu ilmu, dengan kata lain, apa yang menjadi objek dari ilmu
tersebut dan apa saja ruang lingkupnya. Secara sederhana ontologi bisa dirumuskan sebagai
ilmu yang mempelajari realitas atau kenyataan konkret secara kritis. Sehingga untuk mengkaji
positivisme dari aspek ontologis maka harus diprioritaskan pada obyek dan ruang lingkup
positivisme itu sendiri. Bila dipandang dari aspek obyek dan ruang lingkupnya, maka
positivisme akan dapat menghasilkan asumsi-asumsi sebagai berikut:
a. Di dalam pandangan positivisme segala sesuatu adalah riil (real) atau nyata, sehingga
di dalam fenomena/gejala sosial segala sesuatu yang tidak nyata dianggap bukan
fenomena/gejala sosial.
b. Positivisme memandang benda-benda yang ada disekitar kita merupakan sebuah
obyek, sedangkan yang hanya ada di dalam pikiran kita bukanlah obyek.
c. Menurut pandangan positivisme, segala sesuatu memiliki pola yang bersifat
Universal.

Kajian Epistemologis.
Epistemologi merupakan bagian ilmu filsafat yang membahas masalah-masalah yang
bersifat menyeluruh dan mendasar mengenai pengetahuan dan ilmu pengetahuan. Obyek
material filsafat ilmu adalah pengetahuan dan obyek formal atau sisi tinjauannya adalah
menangkap, menemukan ciri-ciri umum pengetahuan, dan bagaimana proses manusia dapat
memperoleh pengetahuan serta bagaimana kebenaran pengetahuan manusia dapat diuji dan
dipertanggungjawabkan. Dengan kalimat sederhana epistemologi dapat diartikan sebagai
bagaimana membangun suatu pemikiran. Melalui kajian epistemologis terhadap positivisme
dengan mengaitkannya ke dalam pendekatan kuantitatif, maka dapat dikemukakan beberapa
asumsi berikut :
a. Dalam pendekatan positivisme, individu adalah seseorang yang bebasnilai. Individu
tidak dipengaruhi oleh nilai-nilai yang melekat padaindividu lain. Oleh karena
individu bebas nilai, maka individu tersebutdapat melihat fenomena atau gejala
secara obyektif denganmenggunakan kreteria-kreteria universal.
b. Positivisme memandang ilmu pengetahuan adalah cara terbaik yang dimiliki
manusia untuk memperoleh pengatahuan, dan karena konsepilmu pengetahuan
dilandasi oleh adanya fakta atas fenomena yangterjadi maka dengan demikian dapat
dikatakan bahwa ilmu pengetahuan dapat menggantikan akal sehat.
c. Pendekatan kuantitatif yang merupakan cerminan positivisme mengaganggap bahwa
segala sesuatu adalah nyata dan bisa dipelajari, karenanya dalam penelitian
kuantitatif obyek yang akan diteliti harus bisa dikatakan dengan jumlah dan angka,
maka untuk memperoleh obyek yang dapat dihitung maka obyek tersebut harus
nyata (real). Selain itu pendekatan kuantitatif juaga bersifat universal, sehingga
pendekatan ini menggunakan pola universal yang ketat agar hasil penelitian dapat
diakui secara universal.
d. Pola pendekatan kuantitatif bersifat baku, linier, dan bertahap. Dalam hal ini
penelitian kuantutatif mamandang bahwa hasil penelitian yangtelah dilakukan
bersifat baku atau obyektif bukan subyektif.
e. Proses penelitian kuantitatif bersifat deduktif, yaitu berangkat darisebuah konsep
yang bersifat umum ke hal-hal yang khusus, dan menerapkan prinsip nomotik yaitu
hanya mengambil gejala inti saja, dengan mengabaikan gajala yang lainnya.
Kajian Aksiologis Positivisme
Aksiologi merupakan bagian filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia
menggunakan ilmunya, sehingga dengan bahasa sederhana dapat diartikan bahwa aspek
aksiologi mengarah kepada kemanfaatan suatu ilmu pengetahuan. Dalam kajian aksiologis
terhadap positivisme, dapat dikemukakan asumsi bahwa pendekatan positivisme selalu
mencari penjelasan mengapa sebuah fenomena atau gejala terjadi didalam pola-pola yang
sudah ada. Apabila pola dari kejadian yang sudah ada itu bisa dijelaskan, maka pola tersebut
semakin meyakinkan dan tak terbantahkan. Sebaliknya bila pola yang sudah ada tidak dapat
digunakan untuk menjelaskan gejala yang sudah ada, maka dicari pola baru yang lebih
universal, sehingga bisa dipakai untuk menjelaskan gejala tersebut. Inilah yang imaksud
dengan manfaat dari sebuah pengetahuan.

C. PARADIGMA POST-POSITIVISME
Munculnya gugatan terhadap positivisme di mulai tahun 1970-1980 an. Pemikirannya
dinamai “post-positivisme”. Tokohnya adalah Karl R. Popper, Thomas Kuhn, para filsuf
mazhab Frankfurt (Feyerabend, Richard Rotry). Paham ini menentang positivisme,
alasannya tidak mungkin menyamaratakan ilmu-ilmu tentang manusia dengan ilmu alam,
karena tindakan manusia tidak bisa diprediksi dengan satu penjelasan yang mutlak pasti, sebab
manusia selalu berubah.
Postpositivisme adalah aliran yang ingin memperbaiki kelemahan pada Positivisme.
Postpositivisme sependapat dengan Positivisme bahwa realitas itu memang nyata, ada sesuai
hukum alam. Tetapi pada sisi lain, Postpositivisme berpendapat bahwa manusia tidak
mungkin mendapatkan kebenaran dari realitas apabila peneliti membuat jarak dengan
realitas atau tidak terlibat secara langsung dengan realitas. Hubungan antara peneliti dengan
realitas harus bersifat interaktif, untuk itu perlu menggunakan prinsip trianggulasi, yaitu
penggunaan bermacam-macam metode, sumber data, data, dan lain-lain.
Secara ontologis aliran ini bersifat critical realism yang memandang bahwa realitas
memang ada dalam kenyataan sesuai dengan hukum alam, tetapi satu hal yang mustahil bila
suatu realitas dapat dilihat secara benar oleh manusia (peneliti). Oleh karena itu, secara
metodologis pendekatan eksperimental melalui observasi tidaklah cukup, tetapi harus
menggunakan metode triangulation, yaitu penggunaan bermacam-macam metode, sumber
data, peneliti, dan teori.
ASUMSI DASAR POST-POSITIVISME
1. Fakta tidak bebas nilai, melainkan bermuatan teori.
2. Falibilitas Teori, tidak satupun teori yang dapat sepenuhnya dijelaskan dengan
bukti-bukti empiris, bukti empiris memiliki kemungkinan untuk menunjukkan
fakta anomali.
3. Fakta tidak bebas, melainkan penuh dengan nilai.
4. Interaksi antara subjek dan objek penelitian. Hasil penelitian bukanlah
reportase objektif, melainkan hasil interaksi manusia dan semesta yang penuh
dengan persoalan dan senantiasa berubah.
5. Asumsi dasar post-positivisme tentang realitas adalah jamak individual.
6. Hal itu berarti bahwa realitas (perilaku manusia) tidak tunggal, melainkan hanya
bisa menjelaskan dirinya sendiri menurut unit tindakan yang bersangkutan.
7. Fokus kajian post-positivisme adalah tindakan-tindakan (actions) manusia sebagai
ekspresi dari sebuah keputusan.
Ada empat pertanyaan dasar yang akan memberikan gambaran tentang posisi aliran post-
positivisme dalam kancah paradigma ilmu pengetahuan, yaitu:
Pertama, Bagaimana sebenarnya posisi postpositivisme di antara paradigma-paradigma
ilmu yang lain? Apakah ini merupakan bentuk lain dari positivisme yang posisinya lebih
lemah? Atau karena aliran ini datang setelah positivisme sehingga dinamakan postpositivisme?
Harus diakui bahwa aliran ini bukan suatu filsafat baru dalam bidang keilmuan, tetapi memang
amat dekat dengan paradigma positivisme. Salah satu indikator yang membedakan antara
keduanya bahwa postpositivisme lebih mempercayai proses verifikasi terhadap suatu temuan
hasil observasi melalui berbagai macam metode. Dengan demikian suatu ilmu memang betul
mencapai objektivitas apabila telah diverifikasi oleh berbagai kalangan dengan berbagai cara.
Kedua, Bukankah postpositivisme bergantung pada paradigma realisme yang sudah
sangat tua dan usang? Dugaan ini tidak seluruhnya benar. Pandangan awal aliran positivisme
(old-positivism) adalah anti realis, yang menolak adanya realitas dari suatu teori. Realisme
modern bukanlah kelanjutan atau luncuran dari aliran positivisme, tetapi merupakan
perkembangan akhir dari pandangan postpositivisme.
Ketiga, banyak postpositivisme yang berpengaruh yang merupakan penganut realisme.
Bukankah ini menunjukkan bahwa mereka tidak mengakui adanya sebuah kenyataan (multiple
realities) dan setiap masyarakat membentuk realitas mereka sendiri? Pandangan ini tidak benar
karena relativisme tidak sesuai dengan pengalaman sehari-hari dalam dunia ilmu. Yang pasti
postpositivisme mengakui bahwa paradigma hanyalah berfungsi sebagai lensa bukan sebagai
kacamata. Selanjutnya, relativisme mengungkap bahwa semua pandangan itu benar, sedangkan
realis hanya berkepentingan terhadap pandangan yang dianggap terbaik dan benar.
Postpositivisme menolak pandangan bahwa masyarakat dapat menentukan banyak hal sebagai
hal yang nyata dan benar tentang suatu objek oleh anggotanya.
Keempat, karena pandangan bahwa persepsi orang berbeda, maka tidak ada sesuatu yang
benar-benar pasti. Bukankah postpositivisme menolak kriteria objektivitas? Pandangan ini
sama sekali tidak bisa diterima. Objektivitas merupakan indikator kebenaran yang melandasi
semua penyelidikan. Jika kita menolak prinsip ini, maka tidak ada yang namanya penyelidikan.
Yang ingin ditekankan di sini bahwa objektivitas tidak menjamin untuk mencapai kebenaran.

PERBEDAAN PARADIGMA POSITIVISME DAN POSTPOSITIVISME


Untuk dapat membedakan paradigma Positivisme dan paradigma Post-positivisme,
maka dapat dilihat dalam tabel berikut:

NO ASUMSI POSITIVISME POST-POSITIVISME


1 Ontology Bersifat nyata, artinya realita itu Realis kritis, artinya realitas
mempunyai keberadaan sendiri dan itu memang ada, tetapi
diatur oleh hukum-hukum alam dan tidak akan pernah dapat
mekanisme yang bersifat tetap. dipahami sepenuhnya.

2 Epistemologi • Dualis/objektif, adalah mungkin • Objektivis modifikasi,


dan esensial bagi peneliti untuk artinya objektivitas tetap
mengambil jarak dan bersikap merupakan pengaturan
tidak melakukan interaksi (regulator) yang ideal,
dengan objek yang diteliti. namun objektivitas hanya
dapat diperkirakan
• Nilai, faktor bias dan faktor yang dengan penekanan khusus
mempengaruhi lainnya secara pada penjaga eksternal,
otomatis tidak mempengaruhi seperti tradisi dan
hasil studi. komunitas yang kritis.
3 Metodologi Bersifat eksperimental / manipulatif: Bersifat eksperimental /
pertanyaan-pertanyaan dan/atau manipulatif yang
hipotesis-hipotesis dinyatakan dimodifikasi, maksudnya
dalam bentuk proposisi sebelum
penelitian dilakukan dan diuji menekankan sifat ganda
secara empiris (falsifikasi) dengan yang kritis. Memperbaiki
kondisi yang terkontrol secara ketidakseimbangan dengan
cermat. melakukan penelitian
dalam latar yang alamiah,
yang lebih banyak
menggunakan metode-
metode kualitatif, lebih
tergantung pada teori
grounded (grounded
theory) dan memperlihatkan
upaya (reintroducing)
penemuan dalam proses
penelitian.

Pemikiran Karl R. Popper


Memiliki nama lengkap Karl Raimund Popper, lahir di Vienna Austria pada tanggal 28
Juli 1902 yang berlatar belakang keluarga Yahudi Protestan. Kemudian beristirahat dengan
tenang diusinya yang ke 92 tahun tepatnya di London Inggris pada tanggal 17 September 1994.
Merupakan salah satu dari sekian banyak filsuf ilmu dan pakar dalam bidang psikologi belajar.
Popper dikenal dengan gagasan falsifikasi- sebagai lawan dari verifikasi terhadap ilmu.
Dalam pemikirannya mengenai prinsip metodologi ilmu yaitu dia menolak metode
induksi yang kenyataannya bersifat valid. Menurut Popper, daripada bersusah payah mencari
fakta-fakta membenarkan, ilmuwan lebih baik menggunakan waktunya untuk mencari fakta
anomaly atau yang menyimpang. Misalkan pernyataan mengenai semua burung gagak
berwarna hitam. Secara premis, pernyataan tersebut benar. Namun secara logis pernyataan
tersebut salah, karena belum ada jaminan logis bahwa gagak yang diobservasi kemudian tidak
ada yang berwana coklat atau putih. Jika hal ini terbukti mana kesimpulan semua gagak hitam
itu salah.
Pandangan rasionalistis beranggapan bahwa suatu teori baru akan diterima kalau sudah
terbukti bahwa ia dapat meruntuhkan teori lama yang ada sebelumnya. Pengujian teori tersebut
menggunakan suatu tes empiris.

Pemikiran Thomas Kuhn


Nama lengkapnya adalah Thomas Samuel Khun, lahir pada tanggal 18 Juli 1922 dan
menghembuskan nafas terakhir diusianya yang ke 73 tahun tepatnya pada 17 Juni 1996. Dia
seorang filusuf, fisikawan dan sejarawan Amerika Serikat.
Kuhn mempercayai bahwa ilmu pengetahuan memiliki periode pengumpulan data dalam
sebuah paradigma. Revolusi kemudian terjadi setelah sebuah paradigma menjadi dewasa.
Paradigma mampu mengatasi penyimpangan, namun demikian ketika banyak penyimpangan-
penyimpangan yang mengganggu yang mengancam acuan disiplin maka paradigm tidak bisa
dipertahankan lagi. Ketika sebuah paradigma tidak dapat dipertahankan lagi, maka seorang
ilmuan boleh berpindah ke paradigma baru. Ketika berada pada periode pengumpulan data
maka ilmu pengetahuan mengalami apa yang dikatakan perkembangan ilmu biasa. Dalam
perkembangan ilmu biasa, sebuah ilmu pengetahuan mengalami perkembangan. Ketika
paradigm mengalami pergeseran, maka itulah yang disebut dengan revolusioner. Ilmu dalam
tahap biasa bisa dikatakan sebagai pengumpulan yang semakin banyak dari solusi Puzzle.
Post-positivisme merupakan aliran filsafat yang memperbaiki kelemahan-kelemahan
serta kritik terhadap positivisme. Salah satu hal yang ditentang oleh Post-positivisme yakni
tidak mungkin menyamaratakan ilmu-ilmu tentang manusia dengan ilmu alam, karena tindakan
manusia tidak bisa diprediksi dengan satu penjelasan yang mutlak pasti, sebab manusia selalu
berubah. Tokoh dari Post-positivisme adalah Karl R. Ropper dan Thomas Kuhn. Mereka
berdua adalah filsuf yang sangat ahlai dalam sebuah pemikiran. Kedua tokoh tersebut memiliki
pemikiran tersendiri mengenai Post-positivisme.
DAFTAR PUSTAKA

Ankersmit, F.R., 1997, Refleksi Tentang Sejarah : Pendapat-pendaat Moderntentang Filsafat


Sejarah, Cet.3, Pt. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Angel, Richard B, 1964, Reasoning and Logic, Century Crafts, New York,diterjemahkan oleh J.
Drost. PT Gramedia Pustaka, Jakarta, 2003

Hardiman, F Budi, 2007, Filsafat Modern, dari Machiavelli sampai Nietzsche, cetakan 2, PT
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Jujun S. Suriasumantri (ed.). 2003. Filsafat Ilmu. Sebuah Pengantar Populer. Penerbit Sinar
Harapan. Jakarta.

Surajiyo. 2007, Ilmu Filsafah Suatu Pengantar, Bumi Aksara. Jakarta

JURNAL Paradigma Positivisme dan Postpositivisme Universitas Muhammadiyah,


Tangerang.

http://amrinarose13.blogspot.com/2013/03/positivisme-dan postpositivisme.html

https://id.wikipedia.org/wiki/Karl_Popper

https://id.wikipedia.org/wiki/Thomas_Kuhn

You might also like