Professional Documents
Culture Documents
A. PARADIGMA
Paradigma dalam ranah intelektual adalah cara pandang seseorang terhadap diri dan
lingkungannya yang akan mempengaruhinya dalam dan berperilaku. Paradigma juga termasuk
konsep dan asumsiyang akan menjadi dasar dalam memandang. Kata paradigma sendiri berasal
dari abad pertengahan di Inggris yang merupakan kata serapan dari bahasa Latin di tahun 1483
yaitu paradigma yang berarti suatu model atau pola sedangkan dalam bahasa Yunani
paradeigma yang berarti membandingkan.
Dalam pengertian lain dikatakan juga Paradigma adalah kumpulan tata nilai yang
membentuk pola pikir seseorang sebagai titik tolak pandangannya sehingga akan membentuk
citra subjektif dalam memaknai realita dan menjadi acuan seseorang akan menjalani
kehidupan.
Oleh karena itu kita sebagai makhluk sosial di tuntut agar dapat melihat dan memahami
dengan seksama perpengan realita yang terjadi dimana dalam konteks ruang dan waktu selalu
mengalami perubahan dan perubahan akan perpengaruh terhadap kita sebagai manusia. Kritis
adalah kata yang mungkin tepat untuk dijadikan ungkapan ini artinya bahwa kita harus
memahami dulu segala hal yang terjadi barulah kita dapat menerapkan tindakan-tindakan yang
harus dilakukan. Jangan menerima segala hal secara instan tanpa ada pertimbangan atau
pemahaman lebih dalam mengenai hal itu. Sekian penjelasan singkat mengenai apa itu
paradigma. Semoga bermanfaat buat kita semua
B. POSITIVISME
Positivisme pertama kali digagas oleh seorang berkebangsaan Perancis yang bernama
Augus Comte yang hidup pada tahun 1798-1857. Comte melihat satu hukum universal dalam semua
ilmu pengetahuan yang kemudian ia sebutsebagai “hukum tiga fase”. Menurutnya,
masyarakat berkembang melalui tiga fase: Teologi, Metafisika, dan tahap positif (atau
sering juga disebut tahap ilmiah). Ia kemudian dikenal sebagai orang pertama
yangmengaplikasikan metoda ilmiah dalam ilmu sosial.
Sebenarnya kata positive tidak hanya digunakan oleh Comte. Kata ini telah umum
digunakan pada abad delapan belas, khususnya pada paruh kedua. Namun Comte adalah orang
yang bertanggung jawab atas penerapan positivisme pada filsafat. Filsafat positivistik ini
dibangun berdasarkan dua hal, yaitu filsafat kuno dan sains modern. Dari filsafat kuno, Comte
meminjam pengertian Aristoteles tentang filsafat, yaitu konsep-konsep teoritis yang saling
berkaitan satusama lain dan teratur. Dari sains modern, Comte menggunakan ide positivistik
ala Newton, yakni metode filsafati yang terbentuk dari serangkaian teori yang memiliki tujuan
mengorganisasikan realitas yang tampak. Sebagaimana diakui Comte sendiri, ada kemiripan
antara antara filsafat positivistik (philosophie positive) dan filsafat alam (natural philosophy).
Pemilihan terhadap filsafat positivistik sebagai nama bagi sistem pemikiran yang dibangunnya
karena filsafat positivistik hanya mencoba untuk menganalisis efek dari sebab-sebab sebuah
fenomena dan menghubungkannya satu sama lain.
Perkembangan positivisme
Ada tiga tahap dalam perkembangan positivisme, yaitu:
1. Tahap pertama dalam positivisme diberikan pada Sosiologi, walaupun perhatiannya
juga diberikan pada teori pengetahuan yang diungkapkan oleh Comte dan tentang
Logika yang dikemukakan oleh Mill. Tokoh-tokohnya Auguste Comte, E. Littre, P.
Laffitte, JS. Mill dan Spencer.
2. Tahap kedua dalam positivisme empiris-positivisme berawal padatahun 1870-1890-
an dan berpautan dengan Mach dan Avenarius. Keduanya meninggalkan
pengetahuan formal tentang obyek-obyek nyata obyektif, yang merupakan suatu ciri
positivisme awal. Dalam Machisme, masalah-masalah pengenalan ditafsirkan dari
sudut pandang psikologisme ekstrim, yang bergabung dengan subyektivisme.
3. Perkembangan positivisme tahap terakhir berkaitan dengan lingkaran Wina dengan
tokoh-tokohnya O.Neurath, Carnap, Schlick, Frank, dan lain-lain. Serta kelompok
yang turut berpengaruh pada perkembangan tahap ketiga ini adalah Masyarakat
Filsafat Ilmiah Berlin. Kedua kelompok ini menggabungkan sejumlah aliran seperti
atomisme logis, positivisme logis, serta semantika. Pokok bahasan positivisme tahap
ketiga ini diantaranya tentang bahasa, logika simbolis, struktur penyelidikan ilmiah
dan lain-lain.
Kajian Ontologis
Di dalam filsafat, positivisme sangatlah dekat dengan empirisme, yakni paham yang
berpendapat bahwa sumber utama pengetahuan manusia adalah pengalaman inderawi. Artinya,
manusia tidak bisa mengetahui sesuatu apapun, jika ia tidak mengalaminya terlebih dahulu
secara inderawi. Yang menjadi ciri khas dari positivisme adalah, peran penting metodologi di
dalam mencapai pengetahuan. Di dalam positivisme, valid tidaknya suatu pengetahuan dilihat
dari validitas metodenya. Dengan demikian, pengetahuan manusia, dan juga mungkin
kebenaran itu sendiri, diganti posisinya oleh metodologi yang berbasiskan data yang juga
diklaim obyektif murni dan universal. Dan, satu-satunya metodologi yang diakui oleh para
pemikir positivisme adalah metode ilmu-ilmu alam yang mengklaim mampu mencapai
obyektifitas murni dan bersifat universal. Metode-metode lain di luar metode ilmu-ilmu alam
ini pun dianggap tidak memadai.
Jika berbicara tentang kajian ontologis, maka yang ingin dibahas adalah mengenai hal-
hal apa saja yang dikaji oleh suatu ilmu, dengan kata lain, apa yang menjadi objek dari ilmu
tersebut dan apa saja ruang lingkupnya. Secara sederhana ontologi bisa dirumuskan sebagai
ilmu yang mempelajari realitas atau kenyataan konkret secara kritis. Sehingga untuk mengkaji
positivisme dari aspek ontologis maka harus diprioritaskan pada obyek dan ruang lingkup
positivisme itu sendiri. Bila dipandang dari aspek obyek dan ruang lingkupnya, maka
positivisme akan dapat menghasilkan asumsi-asumsi sebagai berikut:
a. Di dalam pandangan positivisme segala sesuatu adalah riil (real) atau nyata, sehingga
di dalam fenomena/gejala sosial segala sesuatu yang tidak nyata dianggap bukan
fenomena/gejala sosial.
b. Positivisme memandang benda-benda yang ada disekitar kita merupakan sebuah
obyek, sedangkan yang hanya ada di dalam pikiran kita bukanlah obyek.
c. Menurut pandangan positivisme, segala sesuatu memiliki pola yang bersifat
Universal.
Kajian Epistemologis.
Epistemologi merupakan bagian ilmu filsafat yang membahas masalah-masalah yang
bersifat menyeluruh dan mendasar mengenai pengetahuan dan ilmu pengetahuan. Obyek
material filsafat ilmu adalah pengetahuan dan obyek formal atau sisi tinjauannya adalah
menangkap, menemukan ciri-ciri umum pengetahuan, dan bagaimana proses manusia dapat
memperoleh pengetahuan serta bagaimana kebenaran pengetahuan manusia dapat diuji dan
dipertanggungjawabkan. Dengan kalimat sederhana epistemologi dapat diartikan sebagai
bagaimana membangun suatu pemikiran. Melalui kajian epistemologis terhadap positivisme
dengan mengaitkannya ke dalam pendekatan kuantitatif, maka dapat dikemukakan beberapa
asumsi berikut :
a. Dalam pendekatan positivisme, individu adalah seseorang yang bebasnilai. Individu
tidak dipengaruhi oleh nilai-nilai yang melekat padaindividu lain. Oleh karena
individu bebas nilai, maka individu tersebutdapat melihat fenomena atau gejala
secara obyektif denganmenggunakan kreteria-kreteria universal.
b. Positivisme memandang ilmu pengetahuan adalah cara terbaik yang dimiliki
manusia untuk memperoleh pengatahuan, dan karena konsepilmu pengetahuan
dilandasi oleh adanya fakta atas fenomena yangterjadi maka dengan demikian dapat
dikatakan bahwa ilmu pengetahuan dapat menggantikan akal sehat.
c. Pendekatan kuantitatif yang merupakan cerminan positivisme mengaganggap bahwa
segala sesuatu adalah nyata dan bisa dipelajari, karenanya dalam penelitian
kuantitatif obyek yang akan diteliti harus bisa dikatakan dengan jumlah dan angka,
maka untuk memperoleh obyek yang dapat dihitung maka obyek tersebut harus
nyata (real). Selain itu pendekatan kuantitatif juaga bersifat universal, sehingga
pendekatan ini menggunakan pola universal yang ketat agar hasil penelitian dapat
diakui secara universal.
d. Pola pendekatan kuantitatif bersifat baku, linier, dan bertahap. Dalam hal ini
penelitian kuantutatif mamandang bahwa hasil penelitian yangtelah dilakukan
bersifat baku atau obyektif bukan subyektif.
e. Proses penelitian kuantitatif bersifat deduktif, yaitu berangkat darisebuah konsep
yang bersifat umum ke hal-hal yang khusus, dan menerapkan prinsip nomotik yaitu
hanya mengambil gejala inti saja, dengan mengabaikan gajala yang lainnya.
Kajian Aksiologis Positivisme
Aksiologi merupakan bagian filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia
menggunakan ilmunya, sehingga dengan bahasa sederhana dapat diartikan bahwa aspek
aksiologi mengarah kepada kemanfaatan suatu ilmu pengetahuan. Dalam kajian aksiologis
terhadap positivisme, dapat dikemukakan asumsi bahwa pendekatan positivisme selalu
mencari penjelasan mengapa sebuah fenomena atau gejala terjadi didalam pola-pola yang
sudah ada. Apabila pola dari kejadian yang sudah ada itu bisa dijelaskan, maka pola tersebut
semakin meyakinkan dan tak terbantahkan. Sebaliknya bila pola yang sudah ada tidak dapat
digunakan untuk menjelaskan gejala yang sudah ada, maka dicari pola baru yang lebih
universal, sehingga bisa dipakai untuk menjelaskan gejala tersebut. Inilah yang imaksud
dengan manfaat dari sebuah pengetahuan.
C. PARADIGMA POST-POSITIVISME
Munculnya gugatan terhadap positivisme di mulai tahun 1970-1980 an. Pemikirannya
dinamai “post-positivisme”. Tokohnya adalah Karl R. Popper, Thomas Kuhn, para filsuf
mazhab Frankfurt (Feyerabend, Richard Rotry). Paham ini menentang positivisme,
alasannya tidak mungkin menyamaratakan ilmu-ilmu tentang manusia dengan ilmu alam,
karena tindakan manusia tidak bisa diprediksi dengan satu penjelasan yang mutlak pasti, sebab
manusia selalu berubah.
Postpositivisme adalah aliran yang ingin memperbaiki kelemahan pada Positivisme.
Postpositivisme sependapat dengan Positivisme bahwa realitas itu memang nyata, ada sesuai
hukum alam. Tetapi pada sisi lain, Postpositivisme berpendapat bahwa manusia tidak
mungkin mendapatkan kebenaran dari realitas apabila peneliti membuat jarak dengan
realitas atau tidak terlibat secara langsung dengan realitas. Hubungan antara peneliti dengan
realitas harus bersifat interaktif, untuk itu perlu menggunakan prinsip trianggulasi, yaitu
penggunaan bermacam-macam metode, sumber data, data, dan lain-lain.
Secara ontologis aliran ini bersifat critical realism yang memandang bahwa realitas
memang ada dalam kenyataan sesuai dengan hukum alam, tetapi satu hal yang mustahil bila
suatu realitas dapat dilihat secara benar oleh manusia (peneliti). Oleh karena itu, secara
metodologis pendekatan eksperimental melalui observasi tidaklah cukup, tetapi harus
menggunakan metode triangulation, yaitu penggunaan bermacam-macam metode, sumber
data, peneliti, dan teori.
ASUMSI DASAR POST-POSITIVISME
1. Fakta tidak bebas nilai, melainkan bermuatan teori.
2. Falibilitas Teori, tidak satupun teori yang dapat sepenuhnya dijelaskan dengan
bukti-bukti empiris, bukti empiris memiliki kemungkinan untuk menunjukkan
fakta anomali.
3. Fakta tidak bebas, melainkan penuh dengan nilai.
4. Interaksi antara subjek dan objek penelitian. Hasil penelitian bukanlah
reportase objektif, melainkan hasil interaksi manusia dan semesta yang penuh
dengan persoalan dan senantiasa berubah.
5. Asumsi dasar post-positivisme tentang realitas adalah jamak individual.
6. Hal itu berarti bahwa realitas (perilaku manusia) tidak tunggal, melainkan hanya
bisa menjelaskan dirinya sendiri menurut unit tindakan yang bersangkutan.
7. Fokus kajian post-positivisme adalah tindakan-tindakan (actions) manusia sebagai
ekspresi dari sebuah keputusan.
Ada empat pertanyaan dasar yang akan memberikan gambaran tentang posisi aliran post-
positivisme dalam kancah paradigma ilmu pengetahuan, yaitu:
Pertama, Bagaimana sebenarnya posisi postpositivisme di antara paradigma-paradigma
ilmu yang lain? Apakah ini merupakan bentuk lain dari positivisme yang posisinya lebih
lemah? Atau karena aliran ini datang setelah positivisme sehingga dinamakan postpositivisme?
Harus diakui bahwa aliran ini bukan suatu filsafat baru dalam bidang keilmuan, tetapi memang
amat dekat dengan paradigma positivisme. Salah satu indikator yang membedakan antara
keduanya bahwa postpositivisme lebih mempercayai proses verifikasi terhadap suatu temuan
hasil observasi melalui berbagai macam metode. Dengan demikian suatu ilmu memang betul
mencapai objektivitas apabila telah diverifikasi oleh berbagai kalangan dengan berbagai cara.
Kedua, Bukankah postpositivisme bergantung pada paradigma realisme yang sudah
sangat tua dan usang? Dugaan ini tidak seluruhnya benar. Pandangan awal aliran positivisme
(old-positivism) adalah anti realis, yang menolak adanya realitas dari suatu teori. Realisme
modern bukanlah kelanjutan atau luncuran dari aliran positivisme, tetapi merupakan
perkembangan akhir dari pandangan postpositivisme.
Ketiga, banyak postpositivisme yang berpengaruh yang merupakan penganut realisme.
Bukankah ini menunjukkan bahwa mereka tidak mengakui adanya sebuah kenyataan (multiple
realities) dan setiap masyarakat membentuk realitas mereka sendiri? Pandangan ini tidak benar
karena relativisme tidak sesuai dengan pengalaman sehari-hari dalam dunia ilmu. Yang pasti
postpositivisme mengakui bahwa paradigma hanyalah berfungsi sebagai lensa bukan sebagai
kacamata. Selanjutnya, relativisme mengungkap bahwa semua pandangan itu benar, sedangkan
realis hanya berkepentingan terhadap pandangan yang dianggap terbaik dan benar.
Postpositivisme menolak pandangan bahwa masyarakat dapat menentukan banyak hal sebagai
hal yang nyata dan benar tentang suatu objek oleh anggotanya.
Keempat, karena pandangan bahwa persepsi orang berbeda, maka tidak ada sesuatu yang
benar-benar pasti. Bukankah postpositivisme menolak kriteria objektivitas? Pandangan ini
sama sekali tidak bisa diterima. Objektivitas merupakan indikator kebenaran yang melandasi
semua penyelidikan. Jika kita menolak prinsip ini, maka tidak ada yang namanya penyelidikan.
Yang ingin ditekankan di sini bahwa objektivitas tidak menjamin untuk mencapai kebenaran.
Angel, Richard B, 1964, Reasoning and Logic, Century Crafts, New York,diterjemahkan oleh J.
Drost. PT Gramedia Pustaka, Jakarta, 2003
Hardiman, F Budi, 2007, Filsafat Modern, dari Machiavelli sampai Nietzsche, cetakan 2, PT
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Jujun S. Suriasumantri (ed.). 2003. Filsafat Ilmu. Sebuah Pengantar Populer. Penerbit Sinar
Harapan. Jakarta.
http://amrinarose13.blogspot.com/2013/03/positivisme-dan postpositivisme.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Karl_Popper
https://id.wikipedia.org/wiki/Thomas_Kuhn