You are on page 1of 2

Arbain Rambey

Contoh naskah cerpen:

Sepenggal kisah reformasif

ormasi kepada Publik


Tertembak. Rasa sakit teramat sangat tiba-tiba dirasakan fotografer Kompas,
Arbain Rambey, di betis kakinya. Sakitnya nyaris tak tertahankan. Langkahnya
membeku. Padahal, dia sedang meliput pembakaran SPBU di Jalan Kyai Tapa,
Jakarta Barat.
Sebelum sempat menengok ke arah betisnya, tiba-tiba dia melihat sesama rekan
fotografer Kemal Jufri tertembak di punggung. ”Saya langsung membantu Kemal.
Padahal, lari saja saya juga susah. Ternyata, kami sama-sama tertembak aparat saat
memotret kerusuhan 98,” ujar Arbain. Beruntung, mereka berdua tertembak peluru
karet.
Beberapa hari kemudian, saat meliput kerusuhan di daerah lain, Arbain pingsan
terkena gas air mata. Ketika terbangun, Arbain sudah berada di sebuah rumah sakit.
”Saya bangun eh ada Budiman (Tanuredjo, sekarang Pemimpin Redaksi Kompas).
Ternyata, Budiman di belakang saya saat aparat menembakkan gas air mata,”
katanya.
Selama kerusuhan Mei 1998, yang kemudian melahirkan era reformasi, Arbain serta
segenap wartawan dan fotografer Kompas nyaris tidak tidur. Mereka selama
mungkin berada di lapangan untuk melaporkan perkembangan di lapangan. Demo
mahasiswa, kerusuhan, dan reaksi pemerintah menjadi target liputan.
”Saya keliling kota, bahkan masuk Jalan Tol Dalam Kota, naik Vespa. Situasi kacau.
Saya juga sempat dicegat oleh pemuda-pemuda. Biasanya, mereka mau membakar
motor atau mobil, tapi saya teriak saja keras-keras, ’Merdeka. Merdeka’. Eh, mereka
juga teriak, ’Merdeka!’ Lalu, saya boleh lewat,” kata Arbain.
Dengan motor Vespa-nya, Arbain bahkan melaju lewat Jalan Tol Sedyatmo sampai
Bandara Cengkareng untuk meliput eksodus warga. ”Kacau banget. Mobil-mobil
ditinggal gitu saja. Saya di-tawarin orang, ’Pak, pakai mobil saya saja. Saya kasih
gratis, Pak’,” ujarnya.
Arbain juga meliput kerusuhan mulai dari kawasan Roxy, Pasar Baru, hingga
Glodok. ”Heran juga saya, kenapa waktu itu tak ada rasa takut, bahkan seolah
menyatu dengan massa,” katanya.
Arbain sempat mampir ke toko kamera milik temannya. ”Dagangan kamera dia ikut
dijarah. Tiga atau empat kamera milik Kompas yang sedang dibersihkan ikut
dijarah. Toko itu habis. Wastafel pun dicopot!” kenangnya.
Nyaris tiap hari Arbain di garis terdepan. ”Saya, Eddy (Hasby), Julian (Sihombing),
misalnya, tiap hari tidak tidur. Suatu hari, pas pulang ke kantor, komputer saya
lambat. Lalu, saya banting begitu saja. Seorang wartawan senior lalu memerintahkan
saya untuk tidur. ”Tidur sana,” tiru Arbain.
Arbain lalu tidur ibarat orang mati. Dia tidur berjam-jam sampai melewatkan
peristiwa pengunduran diri Presiden Soeharto. ”Peristiwa sesudahnya seperti
antiklimaks,” katanya.
Karena kerusuhan 1998 terjadi masih di era Orba, editor foto Kompas, Kartono
Ryadi, memerintahkan agar film-film negatif disembunyikan. Kartono takut
kantor Kompas diserang tentara untuk melenyapkan barang bukti penembakan atau
kerusuhan.
”Saya memilih menyembunyikan film-film negatif di sela-sela halaman buku. Eh,
waktu pindahan tempat duduk, buku-buku saya terbuang. Hilang sudah foto-foto
saya,” sesal Arbain.
Suatu hari pada tahun 2008, Arbain makan mi di pantry kantor Kompas. ”Saya lihat
sebuah buku tergeletak di pantry. Sambil pegang sumpit, saya bolak-balik buku itu,
eh ada film negatif penembakan mahasiswa Trisakti. Setelah 10 tahun, ada juga
sebagian film negatif yang tak sengaja ketemu,” ujar Arbain, menutup kenangannya.

You might also like