Professional Documents
Culture Documents
Sintia Elmanazifa
Mahasiswi Pascasarjana, Jurusan Biologi, Program Studi Pendidikan Biologi, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Padang
Sintiaelmanazifa094@gmail.com
Abstrak
Permintaan trenggiling, baik untuk konsumsi lokal maupun ekspor akan memicu
meningkatnya perburuan dan perdagangan liar yang dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan.
Di sisi lain, menurunnya kualitas habitat turut memicu penurunan populasi spesies trenggiling
di alam. Penelitian keragaman genetik trenggiling bertujuan untuk mendapatkan informasi
tentang hubungan kekerabatan antar induk trenggiling di penangkaran melalui jarak genetik,
pohon filogeni, dan situs polimorfik. Hasil ini diharapkan dapat digunakan dalam menentukan
skema perkawinan silang individu trenggiling yang terdapat di penangkaran dalam upaya
untuk pelestarian spesies trenggiling (Manis javanica).
Kata Kunci: Trenggilig, Keragaman Genetika, dan Mt-DNA
Abstract
The demand for pangolins, both for local consumption and exports, will trigger increased
hunting and illegal trade carried out by communities around the forest. On the other hand,
declining habitat quality has also contributed to a decline in the population of pangolin
species in nature. Pangolin genetic diversity research aims to obtain information about kinship
relationships between anteaters in captivity through genetic distance, phylogeny trees, and
polymorphic sites. This result is expected to be used in determining the individual cross-
breeding scheme of pangolin found in captivity in an effort to preserve the species of pangolin
(Manis javanica).
Keywords: Pangolin, Genetic Diversity, and Mt-DNA
PENDAHULUAN
Hewan yang berasal dari Jawa yang biasa disebut Trenggiling atau Manis javanica
adalah mamalia bersisik yang dilindungi di Indonesia dengan kepandaian yang mampu
menggulungkan badannya seperti bola. Secara fisik, trenggiling memiliki kaki pendek, kepala
yang berukuran panjang, sisik yang tebal yang menutupi tubuhnya, panjang tubuh mencapai
150 cm, dan berat mencapai 5-7 kg. Trenggiling juga memiliki ekor. Sisik yang keras yang
berada di tubuh trenggiling ini membantu trenggiling untuk melindungi diri dari musuh.
Selain itu, kemampuan menggulungkan badanya menjadi salah satu cara dalam melindungi
diri dari musuh.
Trenggiling hidup di daerah hutan hujan tropis dataran rendah. Di Indonesa,
trenggiling biasa ditemukan di Jawa namun kini sudah menyebar di pulau Sumatra, Jawa, dan
Kalimantan. Keberadaan trenggiling memang sudah menyebar dari pulau Jawa ke pulau
Wahana Matematika dan Sains: Jurnal Matematika, Sains, dan Pembelajarannya,
Vol. 12 No. 1, Oktober 2018
Kalimantan dan Sumatra, namun keberadaan trenggiling kini sudah benar-benar terancam
punah.
Menurut IUCN Red List (2014), Manis javanica atau biasa disebut dengan trenggiling
berstatus critically endangered atau kritis terancam punah di bumi. Di Indonesia sendiri,
trengiling salah satu spesies dilindungi, namun perburuan liar satwa ini terus meningkat.
Perburuan liar yang terus meningkat mengakibatkan populasi trenggiling di alam semakin
menurun dan terancam punah.
Suhendra (2012), menyatakan bahwa kementrian kehutanan mencatat terjadi
maraknya penyelundapan binatang trenggiling ke luar negri dalam beberapa tahun terakhir.
Pada tahun 2016, petugas bea cukai Bandara Soekarno Hatta berhasil menggagalkan
pengiriman 500 kg trengggiling ke Singapura. Pada tahun 2017, petugas Balai Karantina kelas
II Cilogen-Banten menemukan truk box yang berisi trenggiling 4,1 ribu dan 31,36 sisik. Hal
ini menyatakan bahwa, perburuan liar karena permintaan ekspor adalah salah satu penyebab
penurunan populasi trenggiling.
BBC (2015), menyatakan bahwa penyelundupan trenggiling masih marak terjadi pada
tahun 2015. Di Surabaya, 1,3 ton atau 1,390 kg trenggiling yang dibekukan dan disamarkan
menjadi ikan siap diekspor, namun hal tersebut digagalkan oleh petugas bandara Surabaya.
Trenggiling tersebut rencana akan diekspor ke Singapura.
Salah satu penyebab turunnya populasi trenggiling adalah perburuan liar trenggiling.
Perburuan liar trenggiling dilakukan karena nilai ekonomis trenggiling yang tinggi, sehingga
jika dijual ke luar negri memberikan keuntungan yang tinggi. Pada tahun 2012, daging
trenggiling di Indonesia mencai Rp. 250.000,- per kilogram dan di pasar Internasional
mencapai Rp. 1.000.000,-. Oleh karena itu, perburuan liar hewan ini terus meningkat, karena
masyarakat terus memenuhi permintaan ekspor dengan melakukan perburuan ilegal di alam
sehingga membuat populasi trenggiling terus menurun.
Kepunahan trenggiling pada umumnya juga disebabkan oleh tingkah laku manusia
yang kurang bertanggung jawab. Masyarakat yang kurang bertanggungjawab menjadikan
hutan yang awalnya sebagai tempat tinggal atau habitat trenggiling berubah menjadi lahan
perkebunan untuk memenuhi kebutuhan primer dari manusia, sehingga tempat tinggal
trenggilingpun hampir tidak ada lagi. Hal ini membuat trenggiling mati karena kurangnya
habitat atau tempat tinggal. Tingkah laku beberapa masyarakat yang melakukan perburuan
liar trenggiling untuk kepentingan pribadi juga membuat populasi trenggiling turun drastis.
Dalam upaya pelestarian trenggiling, perlu dilakukan action untuk mengurangi
penurunan populasi trenggiling sehinga trenggiling terus berkembang-biak dan tidak punah.
Wahana Matematika dan Sains: Jurnal Matematika, Sains, dan Pembelajarannya,
Vol. 12 No. 1, Oktober 2018
Salah satu action adalah dengan menyadarkan masyarakat yang terus menerus melakukan
perburuan liar bahwa trenggiling ialah hewan mamalia yang memiliki hak untuk hidup dan
terus berkembang-biak. Jika trenggiling terus dijual-belikan, maka pemerintahpun juga akan
mengalami kerugian. Oleh karena itu, perlu adanya hukuman tegas dari pemerintah untuk
masyarakat yang melakukan perburuan ilegal.
Action dalam mengurangi penurunan populasi trenggiling juga dapat dilakukan
dengan memberikan saran kepada lembaga konservasi untuk melakukan penangkaran
trenggiling. Penangkaran trenggiling dilakukan dengan memberikan hidup layak kepada
trenggiling dan mengkondisikan kehidupan trenggiling seperti kehidupan alami. Konservasi
secara ex-situ dapat diterapkan pada hewan trenggiling ini agar trenggiling mampu
berkembang biak dan tidak punah.
Trenggiling merupakan salah satu hewan yang memiliki keunikan, dilihat dari bentuk
tubuhnya dan kulitnya yang banyak menarik. Populasi hewan trenggiling ini semakin
menurun, wajar saja semakin banyak jumlah penduduk semakin besar wilayah yang
digunakan. Fragmentasi hutan dan pembukaan lahan tidak sesuai dengan resortasinya. Masih
banyak masyarakt yang masih belum mengerti akibat penyuluhan yang kurang. Perburuan
trenggiling masih terjadi hingga sekarang, kulit trenggiling menjadi daya tarik dan memiliki
nlai jual tinggi.
Upaya untuk menyadarkan masyarakat untuk tidak melakukan perburuan liar
merupakan salah satu tantangan besar bagi kita semua. Terkadang kesadaran untuk hal ini
dikalahkan dengan keegoisan masing-masing yang disebabkan karena faktor kepuasan dan
ekonomi. Upaya pengawasan menjadi salah satu aspek penting bagi kita sebagai masyarakat
yang peduli terhadap lingkungan untuk kita dapat melakukan fungsi pengawasan terhadap
perburuan dan perdagangan satwa liar yang dilindungi. Hal ini sangat membantu untuk
membantu upaya konservasi terhadap satwa yang dilinungi seperti trenggiling ini.
Dengan demikian perlu dilakukan pengungkapan penciri dari sumber genetik
trenggiling yang berguna dalam mengidentifikasi satwa tersebut di dalam perdagangan illegal
dan juga di dalam usaha konservasi dan restorasi trenggiling baik secara in-situ maupun ex-
situ.
PEMBAHASAN
Tahapan kerja analisis DNA (deoxyribonucleic acid) meliputi ekstraksi DNA,
elektroforesis,dan visualisasi DNA total, pemeriksaan kuantitas dan kualitas DNA dengan
menggunakan spektrofotometer (Beckman DU 650), analisis PCR (Polymerase Chain
Wahana Matematika dan Sains: Jurnal Matematika, Sains, dan Pembelajarannya,
Vol. 12 No. 1, Oktober 2018
Reaction), elektroforesis dan visualisasi produk PCR, purifikasi produk PCR dan sekuensing
(Reny Sawitri dan/and Mariana Takandjandji; 2014).
Ekstraksi DNA
teknologi Illumina HiSeq, dimana penulis mengekstraksi rangkaian mitokondria dari data
nuklir yang diperoleh dari teknik NGS.
Perbedaan Genetik Antara Populasi
Menurut penelitian yang dilakukan oleh (Wirdateti, Gono Semiadi, Yulianto; 2013)
Trenggiling tersebar hampir menyeluruh di Pulau Sumatra, Jawa, dan Kalimantan serta pulau-
pulau sekitarnya. Hasil sitaan trenggiling merupakan tangkapan dari pesebaran yang tidak
diketahui asal usulnya. Hasil analisis menunjukkan bahwa rataan jarak genetik (d) adalah
0,026 ± 0,006 pada sampel yang diperoleh dari hasil sitaan dan tangkapan dari alam (lihat
Tabel 1). Jarak genetik tersebut terlihat cenderung rendah di antara individu, yang
menunjukkan struktur genetik di antara populasi trenggiling dari pesebaran berbeda tidak
begitu bervariasi. Hal ini disebabkan sifat gen Cyt b yang conserve jarang mengalami mutasi
basa, sehingga kecil terjadi perbedaan basa pada jajaran nukleotida. Dibandingkan dengan
kelompok Cervidae (rusa), jarak genetik, keragaman nukleotida, dan keragaman haplotipe
pada trenggiling lebih baik atau lebih tinggi.
Table 1. jarak genetik trenggiling dari 20 sampel
dari rataan jarak genetik (d) 0,026 ± 0,006 menunjukkan variasi rendah di dalam populasi.
Populasi yang dimaksud terutama adalah dari hasil sitaan, sehingga untuk identifikasi asal
trenggiling hanya dapat mengacu kepada tiga sampel yang diperoleh dari alam yaitu Lampung
dan Sukabumi (Wirdateti, Gono Semiadi, Yulianto; 2013).
Tabel 1. Variasi situs nukleotida dari 20 haplotipe gen Cytochrome b pada sampel trenggiling
Gambar 1. Pohon filogeni dari haplotipe trenggiling berdasarkan gen Cyt b mtDNA,
menggunakan metode neighbor joining (Saitou dan Nei,1987).
Wahana Matematika dan Sains: Jurnal Matematika, Sains, dan Pembelajarannya,
Vol. 12 No. 1, Oktober 2018
Mariana Takandjandji dan Reny Sawitri (2016). Ukuran Morfometrik dan Meristik pada
Trenggiling Jawa (Manis javanica Desmarest, 1822) dari Pulau Sumatera, Jawa, dan
Kalimantan. Jurnal Bul. Plasma Nutfah, vol 22, no 2: 149-160
Mariana Takandjandji & Reny Sawitri (2016). Analisis penangkapan dan perdagangan
trenggiling Jawa (Manis javanica Desmarest, 1822) Di Indonesia. Jurnal Analisis Kebijakan
Vol. 13 No. 2, Agustus 2016: 85-101
Reny, Bismark, dan Mariana (2012). Perilaku trenggiling (Manis javanica Desmarest, 1822)
Di Penangkaran Purwodadi, Deli Serdang, Sumatera Utara. Jurnal Penelitian Hutan dan
Konservasi Alam Vol. 9 No. 3 : 285-297, 2012
Sawatiri, R., Bismark, M., dan Takandjandji, M. 2012. Perilaku Trenggiling (Manis Javanica
Desmarest, 1822) Di Penangkaran Purwodadi, Deli Serdang, Sumatera Utara. Jurnal
Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 9 (3) : 285 – 297.
Wahana Matematika dan Sains: Jurnal Matematika, Sains, dan Pembelajarannya,
Vol. 12 No. 1, Oktober 2018
Valentini, A., Et al (2009). DNA Bacoding for Ecologist. Journal of Trands in Ecology and
Evolution. Vol. 24., No. 2
Wihardandi, A. (2013). Enam ton trenggiling Indonesia berhasil disita di Vietnam. Diakses 3
Oktober 2018 dari http://www.mongobay.co.id. /2013/08/15/enam-ton-trenggiling.
Wirdateti, Gono Semiadi (2017). Variasi Genetik Trenggiling Sitaan di Sumatra, Jawa, dan
Kalimantan Berdasarkan Control Region DNA Mitokndria. Jurnal Veteriner Juni 2017 Vol.
18 No. 2 : 181-191
Yusrizal, Chairun, dan Savitri (2014) Anatomi Organ Reproduksi Jantan Trenggiling (Manis
javanica). Jurnal Acta Veterinaria Indonesiana Vol. 2, No. 2: 74-81, Juli 2014