Professional Documents
Culture Documents
Oleh:
AGUS WIBAWANTA 18703254003
INDRA BUDI S 18703254005
RISWAN 18703254004
S2 – MANAJEMEN PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2018
A. Pengembangan Ilmu Dalam Pandangan Islam
1. Dalil-Dalil tentang keutamaan Ilmu
Dunia Islam mencapai kemajuan atau menciptakan peradaban karena ilmu
pengetahuan mendapatkan apresiasi yang tinggi dari umat Islam. Hal itu disemangati
oleh ajaran Islam sendiri sebagaimana yang termuat di dalam kitab suci al-Qur’an. Ayat
pertama kali yang diturunkan kepada Muhammad di Gua Hira’ yaitu iqra’ atau bacalah,
mengandung inti pesan bahwa ilmu pengetahuan hendaklah mendapat tempat yang tinggi
bagi orang-orang Muslim. Dalam ayat lain Al-Qur’an menegaskan bahwa orang yang
memiliki ilmu penegetahuan akan mendapatkan derajat yang tinggi di dalam kehidupan.1
Dalam beberapa ayat al-Qur’an ditekankan pula betapa jauhnya perbedaan antara
orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu pengetahuan. Karena itulah Al-
Qur’an menekankan bahwa bahkan di kala umat Islam sedang menghadapi kondisi
perang pun, kewajiban mendalami ilmu pengetahuan tidak boleh diabaikan. Dalam Al-
Qur’an secara eksplisit dikatakan bahwa tidak semestinya semua umat Islam pergi turut
berperang, sebagian dari mereka mesti tetap menekuni kegiatan pendalaman ilmu
pengetahuan, sementara sebagian dari saudaranya yang lain melaksanakan peperangan.2
Firman Allah Swt yang menerangkan tentang ilmu dan orang yang berilmu,
terdapat di dalam berbagai surat dalam Al-quran yang terjemahannya sebagai berikut.
“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia yang berhak
disembah yang menegakkan keadilan, para malaikat, dan orangorang yang berilmu,
juga menyatakan yang demikian itu. Tidak ada Tuhan melainkan Dia yang berhak
disembah, Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.”
(Alquran, surat Ali Imran [3]: 18)
“Katakanlah, ‘Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orangorang
yang tidak mengetahui?’ Sebenarnya hanya orang yang berakal sehat yang dapat
menerima pelajaran
(Alquran, Surat Al-Zumar[39]: 9)
1 Q.S. al-Mujâdilah/58: 11
2 (Q.S. al-Taubah/9: 122
nazhara, melihat secara abstrak, dalam 30 ayat; tafakkara, berpikir. Kata-kata ‘aqala
dijumpai dalam lebih dari 30 ayat al-Qur’an. Sebagaimana dikutip Azyumardi Azra,
ayat-ayat yang di dalamnya terdapat berbagai kata tersebut di atas mengandung perintah
agar manusia mempergunakan akal pikirannya.3 Lalu, penggunaan akal pikiran secara
teratur tersebut akan menghasilkan ilmu pengetahuan.
Dalam al-Qur’an sering disebut kata yang erat hubungannya dengan berpikir. Arti
asli ayat adalah tanda yang menunjukkan sesuatu yang terletak tetapi tidak kelihatan di
belakangnya. Untuk mengetahui apa-apa yang ada di balik tanda itu manusia harus harus
memperhatikan fenomena alam, dan menganalisa serta membuat kesimpulan-
kesimpulan. Semua perbuatan ini dilakukan dengan mempergunakan akal. Dalam al-
Qur’an terdapat kurang lebih 150 ayat mengenai fenomena alam. Ayat-ayat ini disebut
ayat kauniyah, yaitu kejadian atau kosmos yang menjelaskan bahwa alam ini penuh
tanda-tanda yang harus dipikirkan manusia dan pada akhirnya membawa kepada Tuhan.
Seperti firman Allah SWT:
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi silih berganti malam dan siang
bahwa yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia dan apa yang
Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu dia hidupkan bumi sesudah
mati-keringnya dan dia sebarkan di bumi segala jenis hewan dan pengisaran angin dan
awan yang dikendalikan antar langit dan bumi sungguh terdapat tandatanda keesaan dan
kebesaran Allah bagi kaum yang memikirkan.4
3. Pembagian Ilmu
Al-Ghazali memperkenalkan dua kelompok besar ilmu, yaitu ilmu praktik
keagamaan (‘ilm mu’amalah) dan ilmu pengungkapan ruhiyah (‘ilm mukasyafah). ‘Ilm
mu’amalah berurusan dengan prasyarat memperoleh ilmu yang kedua. ‘Ilm mukashafah
merupakan apa yang dibicarakan oleh nabi secara tersirat dan singkat melalui lambang
dan kiasan.
Selanjutnya, al-Ghazali mengelompokkan ilmu menjadi fardu ‘ain dan fardu
kifayah. Fardu ‘ain menunjukkan ilmu-ilmu yang terkait dengan perintah dan larangan
agama. Fardu kifayah mencakup ilmu-ilmu yang penguasaannya wajib bagi suatu
masyarakat Muslim tapi tidak mengikat bagi tiap individu.
Fardhu Ain
Berlandaskan pada pertimbangan kegunaan dan kemudharatan sebuah disiplin ilmu
dalam perspektif religius, al-Ghazali membagi ilmu dalam hierarki hukum dalam
pencariannya. Pertama, kategori fardu ‘ain, yaitu ilmu-ilmu yang harus dimiliki oleh
setiap orang Islam, tidak bisa ditawar, demi kebaikan dan keselamatannya di kehidupan
akhirat. Ilmu yang masuk dalam kategori ini mengacu pada ilmu-ilmu yang mengarah
pada jalan menuju pada keselamatan hidup sesudah mati (‘ilm tariq al akhirah).5
3 Azyumardi Azra, Essei-Essei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam (Jakarta: Logos, 1995), h. 37.
4 Q.S. al-Baqarah/2: 156
5 l-Ghazālī, Ihya’ Ulum al-Dīn, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), h. 26
Walaupun demikian, pelaksanaan tugas mencari ilmu fardu‘ain ini harus disesuaikan
dengan tingkat kebutuhan baik jangka panjang maupun pendek dan kemampuan masing-
masing individu.6
Ilmu fardu ‘ain berkenaan dengan tiga hal, yaitu (1) i’tiqad (hal-hal yang wajib
diimani), (2) amal, (3) larangan.7 Kewajiban untuk mencari pengetahhuan tentang ketiga
aspek kehidupan ini diisyaratkan oleh munculnya perkembangan baru dan lingkungan
yang berubah dalam kehidupan individu.8 Dalam persoalan i’tiqad, tiada tempat keraguan
di dalamnya. Bila iman dilanda keraguan, seorang wajib mencari pengetahuan yang
dapat menghilangkan keraguan tersebut. Al-Ghazala berbicara tentang keraguan,
Al-Ghazālī mengklasifikasikan ilmu-ilmu yang masuk dalam kategori fardu ‘ain
ini dalam dua bagian, yaitu ilmu esoterik (‘ilm al-mukashaffah) dan ilmu eksoterik (‘ilm
al-mu’ammalah).9 Ilmu mukashaffāh adalah ilmu batin yang berusaha untuk menyingkap
atau memahami makna-makna yang tersembunyi, seperti makna kenabian, makna
wahyu, malaikat, mizan, sirat, permusuhan setan dengan malaikat, dan seterusnya. 10
Walaupun demikian, karena ia bersifat esoterik, sehingga tidak diwajibkan bagi umat
Muslim untuk mencarinya, melainkan hanya untuk kalangan kecil manusia yang meniti
dalam jalan spiritual. Sedangkan ‘ilm mu’amalah adalah ilmu yang mempunyai otoritas
dalam praktik-praktik ibadah. Di dalamnya terdapat korelasi antara doktrin dan praktik.
Tujuannya menyelamatkan jiwa agar mendapatkan kebahagiaan di akhirat.11
Fardhu Kifayah
Ilmu fardu kifayah terbagi menjadi dua, yaitu ilmu-ilmu agama (shar’iyyah), yang
diambil dan berkisar tentang wahyu Allah dan Sunnah Rasulullah, seperti ilmu tafsir,
hadith, fiqh, usul al-fiqh, dan lain-lain, serta ilmu non agama (ghayru syar’iyyah) yang
berasal dari hasil penalaran akal manusia, pengalaman, dan percobaan, seperti
kedokteran, matematika, ekonomi, astronomi, dan lain.12 Ilmu ini berkaitan dengan fisik
dan objek-objek yang berhubungan dengannya, yang dapat dicapai melalui penggunaan
daya intelektual dan jasmaniah. Ilmu pengetahuan ini bersifat tanpa pola dan
pencapaiannya menempuh jalan yang bertingkat-tingkat.
Indikasi kecukupan ilmu fardu kifayah secara umum mencakup tiga aspek, yaitu
pertama, ilmu-ilmu kategori fardu kifayah ‘dipelajari’ dari ilmu-ilmu fardu ‘ain. Orang
yang mempelajari ilmu fardu kifayah harus senantiasa menjaga keunggulan dan prioritas
ilmu fardu ‘ain. Kedua, orang yang mempelajari ilmu fardu kifayah harus benar-benar
mengalami perkembangan bertahap dalam studi ilmu fardu kifayah. Ketiga, orang harus
6 A. Khudori Soleh, Filsafat Islam dari Klasik hingga Kontemporer, Cet. 2, (Jogjakarta:Ar-Ruz Media, 2014), h.144
7 al-Ghazālī, Ihyā, h. 27
8 Ibid., h. 28
9 Ibid., h. 33
10 Ibid., h. 33
11 Soleh, Filsafat, h. 145
12 Al-Ghazālī, al-Risālah al-Lāduniyah dalam Majmu’atu Rasāil, (Kairo: Maktabah Taufiqiyah, tanpa tahun), h. 244
menahan diri untuk mempelajari ilmu fardu kifayah tersebut jika telah dipelajari oleh
orang lain dalam jumlah yang cukup.13
Ilmu fardu kifayah sama sekali tidak boleh dipandang sebelah mata dalam upaya
urusan dunia, seperti kedokteran.14 Hal tersebut jika tidak dikuasai oleh seorang saja
dalam sebuah masyarakat, kelompok ataupun golongan, maka sudah dipastikan kelompk
tersebut mengalami kesusahan. Namun jika sudah dipelajari dan dikuasai oleh sebagian
orang, kewajiban bagi yang lain telah gugur. Menurut al-Ghazali, ilmu atau pengetahuan
yang masuk dalam kategori fardu kifayah hanya boleh dipelajari dengan porsi yang
secukupnya.
Sebuah ilmu diperoleh dengan tiga tingkatan, yaitu terbatas (iqtisar), cukup
(iqtisad), dan tingkat lanjut (istiqsa). Ilmu-ilmu yang ada dalam kategori fardu kifayah
tidak boleh dikejar hingga keluar dari batas dua derajat yang pertama. Menurut al-
Ghazali, ilmu-ilmu yang masuk dalam kategori fardu kifayah terdiri atas empat jenis,
yaitu: usul (pokok), furu (cabang), muqaddimat (prasarana), dan mutammimat
(pelengkap). Ilmu yang termasuk dalam kelompok prinsip (usul) tetapi tidak bisa
dipahami secara langsung (tekstual) tetapi bisa diserap oleh akal; Muqaddimat seperti
ilmu bahasa dan ilmu nahwu yang merupakan alat untuk memahami al-Qur’an;
Mutammimat berkaitan dengan pengetahuan tentang nasikh dan mansukh, ‘am dan khas;
ilmu tentang para periwayatan hadith, dan sejenisnya.15
Selain dari empat jenis keilmuan tersebut, ada beberapa ilmu lain yang secara
eksplisit disebutkan oleh al-Ghazali sebagai kategori fardu kifayah. Ilmu-ilmu tersebut
adalah kedokteran (al-tibb) dan aritmetika (al-hisab), juga politik (al-siyasah), logika
(al-mantiq), ilmu teologi (‘ilm alkalam), dan metafisika.16 Beberapa dasar keterampilan
dan industri, seperti pertanian (al-fallahah), tekstil (al-hiyakah), dan desain busana (al-
khiyayah), masuk dalam kategori fardu kifayah.17
Korelasi antara ilmu fardu ‘ain dan fardu kifayah sangat jelas. Ilmu fardu ‘ain
menyingkap rahasia Dzat yang Mahawujud; menerangkan dengan sebenar-benarnya
hubungan antara diri manusia dengan Tuhan, dan menjelaskan maksud dari mengetahui
sesuatu dan tujuan kehidupan yang sebenarnya. Klasifikasi ilmu ini mencerminkan
adanya adab dalam ilmu. Konsekuensinya, kategori ilmu pengetahuan yang pertama
harus membimbing yang kedua. Jika tidak, ilmu pengetahuan kedua ini akan
membingungkan manusia dan secara terus-menerus menjebak mereka dalam suasana
pencarian tujuan dan makna kehidupan. Mereka yang dengan sengaja memilih cabang
tertentu dari ilmu kategori kedua dalam usaha meningkatkan kualitas diri dan masyarakat
mereka harus dibimbing oleh pengetahuan yang benar dari kategori pertama.18
13 Ibid., h. 29
14 al-Ghazālī, Ihya’, h. 146
15 Ibid., h. 29-30
16 Bakar, Hierarki, h. 241
17 al-Ghazālī, Ihya’,h. 29
18 al-Attas, Islam, h. 141
Selain klafisikasi ilmu fard{u ain dan fardu kifayah, al-Ghazali membagi pula ilmu
fadalah, mubah, dan madzmumah. Ilmu fadalah merupakan ilmu yang mengandung
keutamaan, tetapi tidak mencapai tingkat fardu. Spesialisasi aritmetika, misalnya, jarang
sekali diperlukan namun bermanfaat dan memperkuat kadar yang dibutuhkan. 19 Ilmu
mubah termasuk pengetahuan dalam kategori netral, tidak dilarang (mubah). Ilmu
menggubah syair-syair, misalnya, sepanjang tidak menggunakan kata-kata vulgar atau
tidak senonoh, diperbolehkan untuk dipelajari. Demikian pula, ilmu sejarah yang
mencatat peristiwa-peristiwa penting dan sejenisnya.20 Ilmu lain yang termasuk dalam
kategori ilmu yang diperbolehkan (mubah) adalah geometri,21 astronomi, dan musik.22
Menurut al-Ghazali, semua ilmu pada hakikatnya tidak ada yang tercela, tetapi
tercela tergantung pada manusia. Sebuah ilmu menjadi Ilmu madzmumah disebabkan
tiga hal. Pertama, ilmu-ilmu itu menyebabkan suatu kerusakan, baik bagi orang yang
mempraktikan ataupun kepada orang lain, seperti ilmu sihir. 23 Dimensi ilmu itu sendiri,
ilmu-ilmu seperti ini pada hakikatnya tidaklah tercela namun ilmu ini tidak mempunyai
signifikansi apapun kecuali untuk mencelakakan orang lain dan merupakan alat
kejahatan bagi yang mempraktikan. Padahal, sarana untuk menimbulkan kejahatan
adalah sebuah kejahatan pula. Oleh karena itu, ilmu-ilmu seperti ini dianggap tercela atau
jahat di samping aspek praktis dari ilmu-ilmu ini banyak bertentangan dengan syariat
agama.24
Kedua, pengetahuan dianggap tercela jika bahaya yang ditimbulkan lebih besar
dibanding manfaat yang bisa diambil, misalnya, horoskop (ilmu ramalan bintang). 25
Ketiga, sebuah ilmu dianggap tercela jika pencarian jenis pengetahuan tersebut tidak
memberikan peningkatan pengetahuan secara nyata kepada orang yang mempelajari atau
mempraktikannya. Al-Ghazali memberikan contoh seorang yang mempelajari ilmu yang
remeh sebelum ilmu-ilmu yang penting; mempelajari rahasia-rahasia ilahi bagi orang
yang belum mempunyai syarat dan kemampuan untuk itu, yang akhirnya justru
membingungkan dan membahayakan iman.26
19 Ibid., h. 29
20 Ibid.,
21 Ibid., h. 36.
22 Bakar, Hierarki, h. 241
23 al-Ghazālī, Ihya’, h. 44
24 Soleh, Filsafat, h. 148
25 al-Ghazālī, Ihya,’ h. 45
26 Ibid., h. 46
dijaga keseimbangannya (AN.II.8). Dalam Kalama-sutta, Buddha memberi nasihat
kepada warga suku Kalama:
Janganlah percaya begitu saja berita yang disampaikan kepadamu, atau oleh karena
sesuatu yang sudah merupakan tradisi, atau sesuatu yang didesas-desuskan. Janganlah
percaya begitu saja apa yang tertulis dalam kitab-kitab suci, juga apa yang dikatakan
sesuai dengan logika atau kesimpulan belaka, juga apa yang katanya telah direnungkan
dengan saksama, juga apa yang kelihatannya cocok dengan pandanganmu atau karena
ingin menghormati seorang petapa yang menjadi gurumu… tetapi terimalah kalau
engkau sudah membuktikannya sendiri.
Sikap pemikiran demikian disebut “Ehipassiko” yang berarti “datang dan lihatlah”.
Buddha juga mengajarkan hal yang sama kepada Upali, seorang penganut kepercayaan
lain yang ingin berpindah menjadi pengikut Buddha (Upali-sutta, sutta ke-56 dari MN),
tetapi Buddha malah mengatakan, “telitilah dahulu secara sempurna, [wahai] Upali,
karena adalah baik bagi orang terkemuka seperti Anda, untuk meneliti [telebih dahulu]
secara sempurna.” Buddha tidak langsung menerima Upali begitu saja, melainkan
menganjurkannya untuk melakukan penelitian (dalam konteks sains disebut juga
observasi) terlebih dahulu secara saksama. Dengan kata lain, Buddha menganjurkan kita
untuk bersikap kritis terhadap klaim-klaim baru yang belum teruji. Sikap kritis tersebut
membuat kita lebih berhati-hati untuk mengambil kesimpulan dan mendorong kita
menganalisis lebih mendalam terhadap hal-hal yang baru. Sejarah sains mencatat bahwa
banyak penemuan besar dihasilkan dari sikap kritis semacam itu. Sebagai contoh
Nikolaus Kopernikus tidak mempercayai pendapat umum saat itu bahwa matahari
berputar mengelilingi Bumi. Ferdinand Magelhaens, orang pertama yang mengelilingi
Bumi dengna kapal, juga tidak mempercayai pendapat umum saat itu bahwa Bumi
berbentuk seperti piringan datar dengan jurang tanpa batas pada tepinya. Pada zaman itu
orang takut berlayar terlalu jauh karena khawatir akan tercebur ke jurang semacam itu.
Pelayaran Magelhaens membuktikan bahwa pendapat tersebut salah. Inilah yang
dinamakan observasi. Dari dua kasus diatas kita dapat mempelajari bahwa apa yang
sudah menjadi pendapat umum sekalipun belum tentu mewakili kebanaran mutlak atau
dengan kata lain bukan sesuatu yang harus dipercayai begitu saja.
Walaupun seandainya engkau paling berdosa di antara manusia yang memikul dosa,
dengan perahu Ilmu Pengetahuan,lautan dosa akan engkau sebrangi
(Bhagawad Gita IV.36)
Persembahan berupa Ilmu Pengetahuan, wahai arjuna, lebih mulya dari persembahan
materi, dalam keseluruhannya semua kerja ini akan mendapat apa yang diinginkannya
dalam Ilmu Pengetahuan
(Bhagawad Gita IV.33)
Tujuan agama Hindu adalah Moksa dan Jagat Hita yaitu kesejahteraan sekala
niskala, maka dalam mengejar kesejahteraan sekala niskala ini, mau tidak mau kita
dihadapkan pada teknologi karena mengikuti perkembangan dari zaman globalisasi ini.
Agama Hindu akan menerima perkembangan teknologi secara selektif, sepanjang tidak
bertentangan dengan nilai- nilai agama Hindu.
Dalam Agama Hindu teknologi itu hanya sebagai sarana penopang atau penunjang
untuk mencapai hakekat daripada tujuan hidup beragama di dalam pelaksanaan upacara
agama. Di dalam kehidupan sebagai manusia beragama, teknologi berpengaruh di dalam
mencapai kesejahteraan hidup dan kehidupan.
Seperti yang tercantum dalam Weda, IPTEK dalam Agama Hindu, hanya sebagai
sarana penopang atau penunjang untuk mencapai hakekat daripada tujuan hidup
beragama di dalam pelaksanaan upacara agama. Ajaran-ajaran Agama Hindu yang
digunakan sebagai tolok ukur dalam menerima dan menolak Perkembangan teknologi
antara lain: Konsep Tri Semaya, Tri Pramana, Rasa, utsaha, dan lokika.
Adapun perkembangan IPTEK dalam kehidupan agama hindu memiliki dampak
positif dan negatif, serta menemui hambatan dalam perkembangannya. Tetapi dampak-
dampak serta hambatan tersebut tidak mampu menghalangi pesatnya perkembangan Ilmu
Pengetahuan Teknologi dan Seni dalam kehidupan Agama Hindu.
27 Kealy, S.P., CSSp., 1994. Ilmu Pengetahuan dan Kitab Suci. Terjemahan & Pengantar oleh Sudarminta, SJ.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Hlm.18
oleh gereja, yang waktu itu diyakini bersumber dari kitab suci. Melawan ajaran gereja
disamakan dengan melawan kitab suci dan oleh karena itu berarti melawan Allah
sehingga perlu mendapatkan hukuman. Mereka dianggap sebagai tersesat dan kalau
mengaku salah serta bertobat, baru mendapatkan pengampunan. Gereja pada waktu itu
betul – betul menganggap dirinya sebagai penguasa mutlak untuk interpretasi atas
kebenaran dan pengetahuan.
Sejak awal kemunculannya pada abad ke–16, ilmu pengetahuan mulai
mengemukakan gagasan baru yang mengubah pandangan atau gambaran tentang alam
semesta, kedudukan manusia di dunia, pandangan mengenai Tuhan sendiri, bahkan
akhir–akhir ini mengenai misteri manusia yang mulai dikuak oleh psikologi, suatu ilmu
pengetahuan yang relatif muda karena baru muncul pada awal abad ke–19. Tentu saja ini
membawa ketegangan yang terus–menerus terhadap ajaran dan dogma gereja yang
cenderung statis. Ajaran gereja cenderung mencurigai ilmu pengetahuan karena
seringkali penemuan ilmu pengetahuan dianggap bisa menggoyahkan iman pemeluknya.
Thomas, salah satu murid Yesus, sering dianggap mewakili ciri sikap ilmiah yang selalu
bersikap skeptis, tidak begitu saja mempercayai sesuatu tanpa disertai bukti konkrit.
Sikap seperti yang ditunjukkan Thomas dimaknai secara negatif dalam kebanyakan
materi kotbah sebagai sikap orang yang kurang percaya. “Sebelum aku melihat bekas
paku pada tangan-Nya dan sebelum aku mencucukkan jariku ke dalam bekas paku itu
dan mencucukkan tanganku ke dalam lambung-Nya, sekali–kali aku tidak akan percaya.”
Dilupakan, bahwa Yesus pun menghargai sikap seperti yang ditunjukkan oleh Thomas
dengan tetap menampakkan diri kepadanya. Ini memberikan penuntun bahwa apa yang
dilakukan oleh ilmuwan dengan sikap skeptisnya tidaklah bertentangan dengan kitab
suci.28
Meskipun sering kali mendapatkan tentangan dari agama (dalam hal ini memang
tidak khusus pada agama Kristiani saja, karena semua agama pada akhirnya memiliki
sikap yang serupa), ilmu pengetahuan terus maju memantapkan langkahnya sebagai cara
manusia untuk mengetahui realita dan kebenaran, meskipun dalam perjalanannya bukan
tanpa korban. Satu demi satu ilmuwan mendapatkan hukuman, dipenjara dan beberapa di
antaranya bahkan dibunuh karena hasil pemikiran mereka dianggap sesat dan
bertentangan dengan ajaran gereja pada waktu itu. Galileo sebagai contohnya.
Galileo Galilei, seorang ilmuwan muda pada awal tahun 1600 – an berhasil
membuat teleskop modern yang pertama di Eropa. Melalui teleskop tersebut, Galileo
melakukan pengamatan terhadap alam semesta. Ilmu astronomi kala itu merupakan ilmu
yang bagi kebanyakan orang masih dipandang berbau magis dan sekaligus ilmu
pengetahuan. Sebelum Galileo, tidak ada alat yang mencukupi untuk mempelajari alam
semesta secara lebih rinci. Orang pada waktu itu mengikuti sistem Ptolomeus untuk
menjelaskan alam semesta. Teori Ptolomeus mendapatkan dukungan dari Gereja karena
menyatakan bahwa bumi adalah pusat tata surya. Matahari, bulan dan bintang berputar
mengelilingi bumi. Teori ini memberikan penjelasan yang waktu itu berdasarkan logika
Secara historis, orang-orang Katolik terhitung di antara para ilmuwan yang paling
penting sepanjang masa, contohnya Rene Descartes yang menemukan geometri analitik
dan hukum refraksi, Blaise Pascal yang menemukan mesin penghitung, alat tekan
hidrolik, dan teori matematika probabilitas, imam Augustinian Gregor Mendel yang
menemukan genetika modern, Louis Pasteur yang menemukan mikrobiologi dan
menciptakan vaksin pertama untuk rabies dan antraks, pastor Nicolaus Copernicus yang
pertama kali mengembangkan secara ilmiah pandangan bahwa bumi berotasi
mengelilingi matahari, dan Monseigneur Georges Lemaitre yang pertama kali
memperkenalkan tentang Big Bang Theory.
“Faith and reason are like two wings on which the human spirit rises to the
contemplation of truth; and God has placed in the human heart a desire to know the
truth—in a word, to know himself—so that, by knowing and loving God, men and women
may also come to the fullness of truth about themselves.”
Jadi jauh dari kepercayaan kalau akal bertentangan dengan iman, Gereja sungguh-
sungguh menegaskan bahwa akal membantu kita merenungkan Tuhan. Ilmu
pengetahuan, jika dipahami dan dilaksanakan dengan tepat, dapat mengungkap
kebenaran tentang Allah.
4. Kesalahpahaman mengenai ketidakcocokan kitab Kejadian dengan teori asal mula
kehidupan dan teori evolusi.
Ketidakcocokan kitab Kejadian dengan teori asal mula kehidupan menyebabkan
beberapa orang berpikir bahwa keyakinan agama tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan.
Di kitab Kejadian disebutkan bahwa Allah menciptakan dunia dalam tujuh hari. Akan
tetapi ilmu pengetahuan saat ini menjelaskan bahwa alam semesta, termasuk bumi,
terjadi selama miliaran tahun.
“The Bible itself speaks to us of the origin of the universe and its make-up, not in order
to provide us with a scientific treatise, but in order to state the correct relationships of
man with God and with the universe. Sacred Scripture wishes simply to declare that the
world was created by God, and in order to teach this truth it expresses itself in the terms
of the cosmology in use at the time of the writer.”
Dr Scott Hahn, seorang penulis, pengajar, dan teolog Katolik, menunjukkan bahwa
kita mungkin telah salah paham mengenai hal tujuh hari yang dibicarakan di kitab
Kejadian. Dalam bahasa Ibrani kuno, kata “tujuh” mempunyai arti sama dengan
“membuat perjanjian”. Jadi, ketika dikatakan bahwa Tuhan menciptakan dunia selama
tujuh hari, teks ini mau mengatakan bahwa Allah telah menciptakan dunia dalam ikatan
hubungan perjanjian dengan-Nya.
32 CCC 337
Ketidakcocokan antara kitab Kejadian dan teori evolusi spesies juga menyebabkan
beberapa orang berpikir bahwa keyakinan agama tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan.
Jika manusia pertama, Adam, dan wanita pertama, Hawa, serta semua binatang,
diciptakan oleh Allah, maka semua kehidupan, termasuk kehidupan manusia, tidak
berevolusi selama jutaan tahun. Gereja Katolik umumnya tidak mengharuskan ayat-ayat
Kitab Suci ditafsirkan dengan satu cara tertentu saja. Orang beriman dan teolog mungkin
datang ke pemahaman yang berbeda dari suatu bagian Alkitab, tetapi mereka tetap
seorang Katolik yang baik. Jadi, orang bisa menerima pandangan bahwa Kejadian
mencatat secara detail bagaimana Tuhan menciptakan dunia dan seisinya dalam waktu
tujuh hari 24 jam. Atau, orang bisa mengikuti pandangan bahwa kitab Kejadian tidak
tepat jika ditafsirkan dengan cara literal. Jika seseorang menafsirkan kitab Kejadian
dengan cara non literal, maka tidak ada kontradiksi antara kitab Kejadian dan teori
evolusi, asalkan seseorang tetap percaya adanya seorang pria pertama dan wanita
pertama, dan dari mereka manusia bernenek-moyang dan mewarisi dosa asal. Tentu saja,
Gereja Katolik tidak mengharuskan umat Katolik percaya teori evolusi atau teori lain
yang diajarkan oleh ilmuwan. Namun, jika kita percaya pada teori evolusi, kita juga bisa,
seperti yang dilakukan Santo Yohanes Paulus II, tetap menjadi seorang Katolik yang
setia.
Perlu diingat bahwa kisah penciptaan dan kejatuhan manusia ke dalam dosa adalah
benar dan nyata, bahkan jika tidak ditulis seluruhnya sesuai dengan teknik sastra modern.
Katekismus menjelaskan
“The account of the fall in Genesis 3 uses figurative language, but affirms a
primeval event, a deed that took place at the beginning of the history of man. Revelation
gives us the certainty of faith that the whole of human history is marked by the original
fault freely committed by our first parents.”33
33 CCC 390