You are on page 1of 16

MATA KULIAH FILSAFAT ILMU

PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN DALAM


PANDANGAN AGAMA-AGAMA

Oleh:
AGUS WIBAWANTA 18703254003
INDRA BUDI S 18703254005
RISWAN 18703254004

S2 – MANAJEMEN PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2018
A. Pengembangan Ilmu Dalam Pandangan Islam
1. Dalil-Dalil tentang keutamaan Ilmu
Dunia Islam mencapai kemajuan atau menciptakan peradaban karena ilmu
pengetahuan mendapatkan apresiasi yang tinggi dari umat Islam. Hal itu disemangati
oleh ajaran Islam sendiri sebagaimana yang termuat di dalam kitab suci al-Qur’an. Ayat
pertama kali yang diturunkan kepada Muhammad di Gua Hira’ yaitu iqra’ atau bacalah,
mengandung inti pesan bahwa ilmu pengetahuan hendaklah mendapat tempat yang tinggi
bagi orang-orang Muslim. Dalam ayat lain Al-Qur’an menegaskan bahwa orang yang
memiliki ilmu penegetahuan akan mendapatkan derajat yang tinggi di dalam kehidupan.1
Dalam beberapa ayat al-Qur’an ditekankan pula betapa jauhnya perbedaan antara
orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu pengetahuan. Karena itulah Al-
Qur’an menekankan bahwa bahkan di kala umat Islam sedang menghadapi kondisi
perang pun, kewajiban mendalami ilmu pengetahuan tidak boleh diabaikan. Dalam Al-
Qur’an secara eksplisit dikatakan bahwa tidak semestinya semua umat Islam pergi turut
berperang, sebagian dari mereka mesti tetap menekuni kegiatan pendalaman ilmu
pengetahuan, sementara sebagian dari saudaranya yang lain melaksanakan peperangan.2
Firman Allah Swt yang menerangkan tentang ilmu dan orang yang berilmu,
terdapat di dalam berbagai surat dalam Al-quran yang terjemahannya sebagai berikut.
“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia yang berhak
disembah yang menegakkan keadilan, para malaikat, dan orangorang yang berilmu,
juga menyatakan yang demikian itu. Tidak ada Tuhan melainkan Dia yang berhak
disembah, Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.”
(Alquran, surat Ali Imran [3]: 18)
“Katakanlah, ‘Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orangorang
yang tidak mengetahui?’ Sebenarnya hanya orang yang berakal sehat yang dapat
menerima pelajaran
(Alquran, Surat Al-Zumar[39]: 9)

2. Keutamaan Ilmu Terhadap Akal


Akal pikiran adalah anugerah Tuhan yang paling tinggi kepada manusia. Akal
pikiran yang dimiliki manusia inilah yang membedakan dengan makhluk-makhluk lain.
Dengan akal pikiran yang dimiliki ini pulalah manusia menempati tempat tertinggi di
antara makhluk-makhluk lain baik malaikat, jin, binatang dan sebagainya.
Islam memberikan penghargaan tertinggi terhadap akal. Tidak sedikit al-Qur’an
dan hadis Nabi yang menganjurkan dan mendorong manusia untuk mempergunakan
akalnya dan banyak berpikir guna mengembangkan intelektualnya. Dengan penggunaan
akal itulah manusia dapat mengasah intelek untuk kemudian menimbulkan sikap
kecendikiawanan dan kearifan baik terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan
maupun terhadap Tuhan.
Banyak kata dalam al-Qur’an yang mengandung arti berpikir selain dari kata akal.
Misalnya kata dabbara, merenungkan, dalam 8 ayat; fakiha, mengerti, dalam 20 ayat;

1 Q.S. al-Mujâdilah/58: 11
2 (Q.S. al-Taubah/9: 122
nazhara, melihat secara abstrak, dalam 30 ayat; tafakkara, berpikir. Kata-kata ‘aqala
dijumpai dalam lebih dari 30 ayat al-Qur’an. Sebagaimana dikutip Azyumardi Azra,
ayat-ayat yang di dalamnya terdapat berbagai kata tersebut di atas mengandung perintah
agar manusia mempergunakan akal pikirannya.3 Lalu, penggunaan akal pikiran secara
teratur tersebut akan menghasilkan ilmu pengetahuan.
Dalam al-Qur’an sering disebut kata yang erat hubungannya dengan berpikir. Arti
asli ayat adalah tanda yang menunjukkan sesuatu yang terletak tetapi tidak kelihatan di
belakangnya. Untuk mengetahui apa-apa yang ada di balik tanda itu manusia harus harus
memperhatikan fenomena alam, dan menganalisa serta membuat kesimpulan-
kesimpulan. Semua perbuatan ini dilakukan dengan mempergunakan akal. Dalam al-
Qur’an terdapat kurang lebih 150 ayat mengenai fenomena alam. Ayat-ayat ini disebut
ayat kauniyah, yaitu kejadian atau kosmos yang menjelaskan bahwa alam ini penuh
tanda-tanda yang harus dipikirkan manusia dan pada akhirnya membawa kepada Tuhan.
Seperti firman Allah SWT:
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi silih berganti malam dan siang
bahwa yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia dan apa yang
Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu dia hidupkan bumi sesudah
mati-keringnya dan dia sebarkan di bumi segala jenis hewan dan pengisaran angin dan
awan yang dikendalikan antar langit dan bumi sungguh terdapat tandatanda keesaan dan
kebesaran Allah bagi kaum yang memikirkan.4

3. Pembagian Ilmu
Al-Ghazali memperkenalkan dua kelompok besar ilmu, yaitu ilmu praktik
keagamaan (‘ilm mu’amalah) dan ilmu pengungkapan ruhiyah (‘ilm mukasyafah). ‘Ilm
mu’amalah berurusan dengan prasyarat memperoleh ilmu yang kedua. ‘Ilm mukashafah
merupakan apa yang dibicarakan oleh nabi secara tersirat dan singkat melalui lambang
dan kiasan.
Selanjutnya, al-Ghazali mengelompokkan ilmu menjadi fardu ‘ain dan fardu
kifayah. Fardu ‘ain menunjukkan ilmu-ilmu yang terkait dengan perintah dan larangan
agama. Fardu kifayah mencakup ilmu-ilmu yang penguasaannya wajib bagi suatu
masyarakat Muslim tapi tidak mengikat bagi tiap individu.

Fardhu Ain
Berlandaskan pada pertimbangan kegunaan dan kemudharatan sebuah disiplin ilmu
dalam perspektif religius, al-Ghazali membagi ilmu dalam hierarki hukum dalam
pencariannya. Pertama, kategori fardu ‘ain, yaitu ilmu-ilmu yang harus dimiliki oleh
setiap orang Islam, tidak bisa ditawar, demi kebaikan dan keselamatannya di kehidupan
akhirat. Ilmu yang masuk dalam kategori ini mengacu pada ilmu-ilmu yang mengarah
pada jalan menuju pada keselamatan hidup sesudah mati (‘ilm tariq al akhirah).5

3 Azyumardi Azra, Essei-Essei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam (Jakarta: Logos, 1995), h. 37.
4 Q.S. al-Baqarah/2: 156
5 l-Ghazālī, Ihya’ Ulum al-Dīn, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), h. 26
Walaupun demikian, pelaksanaan tugas mencari ilmu fardu‘ain ini harus disesuaikan
dengan tingkat kebutuhan baik jangka panjang maupun pendek dan kemampuan masing-
masing individu.6
Ilmu fardu ‘ain berkenaan dengan tiga hal, yaitu (1) i’tiqad (hal-hal yang wajib
diimani), (2) amal, (3) larangan.7 Kewajiban untuk mencari pengetahhuan tentang ketiga
aspek kehidupan ini diisyaratkan oleh munculnya perkembangan baru dan lingkungan
yang berubah dalam kehidupan individu.8 Dalam persoalan i’tiqad, tiada tempat keraguan
di dalamnya. Bila iman dilanda keraguan, seorang wajib mencari pengetahuan yang
dapat menghilangkan keraguan tersebut. Al-Ghazala berbicara tentang keraguan,
Al-Ghazālī mengklasifikasikan ilmu-ilmu yang masuk dalam kategori fardu ‘ain
ini dalam dua bagian, yaitu ilmu esoterik (‘ilm al-mukashaffah) dan ilmu eksoterik (‘ilm
al-mu’ammalah).9 Ilmu mukashaffāh adalah ilmu batin yang berusaha untuk menyingkap
atau memahami makna-makna yang tersembunyi, seperti makna kenabian, makna
wahyu, malaikat, mizan, sirat, permusuhan setan dengan malaikat, dan seterusnya. 10
Walaupun demikian, karena ia bersifat esoterik, sehingga tidak diwajibkan bagi umat
Muslim untuk mencarinya, melainkan hanya untuk kalangan kecil manusia yang meniti
dalam jalan spiritual. Sedangkan ‘ilm mu’amalah adalah ilmu yang mempunyai otoritas
dalam praktik-praktik ibadah. Di dalamnya terdapat korelasi antara doktrin dan praktik.
Tujuannya menyelamatkan jiwa agar mendapatkan kebahagiaan di akhirat.11

Fardhu Kifayah
Ilmu fardu kifayah terbagi menjadi dua, yaitu ilmu-ilmu agama (shar’iyyah), yang
diambil dan berkisar tentang wahyu Allah dan Sunnah Rasulullah, seperti ilmu tafsir,
hadith, fiqh, usul al-fiqh, dan lain-lain, serta ilmu non agama (ghayru syar’iyyah) yang
berasal dari hasil penalaran akal manusia, pengalaman, dan percobaan, seperti
kedokteran, matematika, ekonomi, astronomi, dan lain.12 Ilmu ini berkaitan dengan fisik
dan objek-objek yang berhubungan dengannya, yang dapat dicapai melalui penggunaan
daya intelektual dan jasmaniah. Ilmu pengetahuan ini bersifat tanpa pola dan
pencapaiannya menempuh jalan yang bertingkat-tingkat.
Indikasi kecukupan ilmu fardu kifayah secara umum mencakup tiga aspek, yaitu
pertama, ilmu-ilmu kategori fardu kifayah ‘dipelajari’ dari ilmu-ilmu fardu ‘ain. Orang
yang mempelajari ilmu fardu kifayah harus senantiasa menjaga keunggulan dan prioritas
ilmu fardu ‘ain. Kedua, orang yang mempelajari ilmu fardu kifayah harus benar-benar
mengalami perkembangan bertahap dalam studi ilmu fardu kifayah. Ketiga, orang harus

6 A. Khudori Soleh, Filsafat Islam dari Klasik hingga Kontemporer, Cet. 2, (Jogjakarta:Ar-Ruz Media, 2014), h.144
7 al-Ghazālī, Ihyā, h. 27
8 Ibid., h. 28
9 Ibid., h. 33
10 Ibid., h. 33
11 Soleh, Filsafat, h. 145
12 Al-Ghazālī, al-Risālah al-Lāduniyah dalam Majmu’atu Rasāil, (Kairo: Maktabah Taufiqiyah, tanpa tahun), h. 244
menahan diri untuk mempelajari ilmu fardu kifayah tersebut jika telah dipelajari oleh
orang lain dalam jumlah yang cukup.13
Ilmu fardu kifayah sama sekali tidak boleh dipandang sebelah mata dalam upaya
urusan dunia, seperti kedokteran.14 Hal tersebut jika tidak dikuasai oleh seorang saja
dalam sebuah masyarakat, kelompok ataupun golongan, maka sudah dipastikan kelompk
tersebut mengalami kesusahan. Namun jika sudah dipelajari dan dikuasai oleh sebagian
orang, kewajiban bagi yang lain telah gugur. Menurut al-Ghazali, ilmu atau pengetahuan
yang masuk dalam kategori fardu kifayah hanya boleh dipelajari dengan porsi yang
secukupnya.
Sebuah ilmu diperoleh dengan tiga tingkatan, yaitu terbatas (iqtisar), cukup
(iqtisad), dan tingkat lanjut (istiqsa). Ilmu-ilmu yang ada dalam kategori fardu kifayah
tidak boleh dikejar hingga keluar dari batas dua derajat yang pertama. Menurut al-
Ghazali, ilmu-ilmu yang masuk dalam kategori fardu kifayah terdiri atas empat jenis,
yaitu: usul (pokok), furu (cabang), muqaddimat (prasarana), dan mutammimat
(pelengkap). Ilmu yang termasuk dalam kelompok prinsip (usul) tetapi tidak bisa
dipahami secara langsung (tekstual) tetapi bisa diserap oleh akal; Muqaddimat seperti
ilmu bahasa dan ilmu nahwu yang merupakan alat untuk memahami al-Qur’an;
Mutammimat berkaitan dengan pengetahuan tentang nasikh dan mansukh, ‘am dan khas;
ilmu tentang para periwayatan hadith, dan sejenisnya.15
Selain dari empat jenis keilmuan tersebut, ada beberapa ilmu lain yang secara
eksplisit disebutkan oleh al-Ghazali sebagai kategori fardu kifayah. Ilmu-ilmu tersebut
adalah kedokteran (al-tibb) dan aritmetika (al-hisab), juga politik (al-siyasah), logika
(al-mantiq), ilmu teologi (‘ilm alkalam), dan metafisika.16 Beberapa dasar keterampilan
dan industri, seperti pertanian (al-fallahah), tekstil (al-hiyakah), dan desain busana (al-
khiyayah), masuk dalam kategori fardu kifayah.17
Korelasi antara ilmu fardu ‘ain dan fardu kifayah sangat jelas. Ilmu fardu ‘ain
menyingkap rahasia Dzat yang Mahawujud; menerangkan dengan sebenar-benarnya
hubungan antara diri manusia dengan Tuhan, dan menjelaskan maksud dari mengetahui
sesuatu dan tujuan kehidupan yang sebenarnya. Klasifikasi ilmu ini mencerminkan
adanya adab dalam ilmu. Konsekuensinya, kategori ilmu pengetahuan yang pertama
harus membimbing yang kedua. Jika tidak, ilmu pengetahuan kedua ini akan
membingungkan manusia dan secara terus-menerus menjebak mereka dalam suasana
pencarian tujuan dan makna kehidupan. Mereka yang dengan sengaja memilih cabang
tertentu dari ilmu kategori kedua dalam usaha meningkatkan kualitas diri dan masyarakat
mereka harus dibimbing oleh pengetahuan yang benar dari kategori pertama.18

Ilmu Fadalah, Mubah, dan Mazmumah

13 Ibid., h. 29
14 al-Ghazālī, Ihya’, h. 146
15 Ibid., h. 29-30
16 Bakar, Hierarki, h. 241
17 al-Ghazālī, Ihya’,h. 29
18 al-Attas, Islam, h. 141
Selain klafisikasi ilmu fard{u ain dan fardu kifayah, al-Ghazali membagi pula ilmu
fadalah, mubah, dan madzmumah. Ilmu fadalah merupakan ilmu yang mengandung
keutamaan, tetapi tidak mencapai tingkat fardu. Spesialisasi aritmetika, misalnya, jarang
sekali diperlukan namun bermanfaat dan memperkuat kadar yang dibutuhkan. 19 Ilmu
mubah termasuk pengetahuan dalam kategori netral, tidak dilarang (mubah). Ilmu
menggubah syair-syair, misalnya, sepanjang tidak menggunakan kata-kata vulgar atau
tidak senonoh, diperbolehkan untuk dipelajari. Demikian pula, ilmu sejarah yang
mencatat peristiwa-peristiwa penting dan sejenisnya.20 Ilmu lain yang termasuk dalam
kategori ilmu yang diperbolehkan (mubah) adalah geometri,21 astronomi, dan musik.22
Menurut al-Ghazali, semua ilmu pada hakikatnya tidak ada yang tercela, tetapi
tercela tergantung pada manusia. Sebuah ilmu menjadi Ilmu madzmumah disebabkan
tiga hal. Pertama, ilmu-ilmu itu menyebabkan suatu kerusakan, baik bagi orang yang
mempraktikan ataupun kepada orang lain, seperti ilmu sihir. 23 Dimensi ilmu itu sendiri,
ilmu-ilmu seperti ini pada hakikatnya tidaklah tercela namun ilmu ini tidak mempunyai
signifikansi apapun kecuali untuk mencelakakan orang lain dan merupakan alat
kejahatan bagi yang mempraktikan. Padahal, sarana untuk menimbulkan kejahatan
adalah sebuah kejahatan pula. Oleh karena itu, ilmu-ilmu seperti ini dianggap tercela atau
jahat di samping aspek praktis dari ilmu-ilmu ini banyak bertentangan dengan syariat
agama.24
Kedua, pengetahuan dianggap tercela jika bahaya yang ditimbulkan lebih besar
dibanding manfaat yang bisa diambil, misalnya, horoskop (ilmu ramalan bintang). 25
Ketiga, sebuah ilmu dianggap tercela jika pencarian jenis pengetahuan tersebut tidak
memberikan peningkatan pengetahuan secara nyata kepada orang yang mempelajari atau
mempraktikannya. Al-Ghazali memberikan contoh seorang yang mempelajari ilmu yang
remeh sebelum ilmu-ilmu yang penting; mempelajari rahasia-rahasia ilahi bagi orang
yang belum mempunyai syarat dan kemampuan untuk itu, yang akhirnya justru
membingungkan dan membahayakan iman.26

B. Pengembangan Ilmu Dalam Pandangan Agama Buddha


1. Sikap terhadap pengetahuan
Pentingnya ilmu pengetahuan ditekankan pada agama Buddha. Menurut
Khuddaka-Nikaya 817, semua ilmu pengetahuan, baika yang kelas tinggi, sedang,
ataupun rendah, patut dipelajari, diketahui dan dipahami maknanya, walaupun tidak
seluruhnya perlu diterapkan seketika, karena suatu hari kelak bila tiba saatnya,
pengetahuan itu mungkin membawa manfaat. Namun pengetahuan dan moralitas patut

19 Ibid., h. 29
20 Ibid.,
21 Ibid., h. 36.
22 Bakar, Hierarki, h. 241
23 al-Ghazālī, Ihya’, h. 44
24 Soleh, Filsafat, h. 148
25 al-Ghazālī, Ihya,’ h. 45
26 Ibid., h. 46
dijaga keseimbangannya (AN.II.8). Dalam Kalama-sutta, Buddha memberi nasihat
kepada warga suku Kalama:
Janganlah percaya begitu saja berita yang disampaikan kepadamu, atau oleh karena
sesuatu yang sudah merupakan tradisi, atau sesuatu yang didesas-desuskan. Janganlah
percaya begitu saja apa yang tertulis dalam kitab-kitab suci, juga apa yang dikatakan
sesuai dengan logika atau kesimpulan belaka, juga apa yang katanya telah direnungkan
dengan saksama, juga apa yang kelihatannya cocok dengan pandanganmu atau karena
ingin menghormati seorang petapa yang menjadi gurumu… tetapi terimalah kalau
engkau sudah membuktikannya sendiri.
Sikap pemikiran demikian disebut “Ehipassiko” yang berarti “datang dan lihatlah”.
Buddha juga mengajarkan hal yang sama kepada Upali, seorang penganut kepercayaan
lain yang ingin berpindah menjadi pengikut Buddha (Upali-sutta, sutta ke-56 dari MN),
tetapi Buddha malah mengatakan, “telitilah dahulu secara sempurna, [wahai] Upali,
karena adalah baik bagi orang terkemuka seperti Anda, untuk meneliti [telebih dahulu]
secara sempurna.” Buddha tidak langsung menerima Upali begitu saja, melainkan
menganjurkannya untuk melakukan penelitian (dalam konteks sains disebut juga
observasi) terlebih dahulu secara saksama. Dengan kata lain, Buddha menganjurkan kita
untuk bersikap kritis terhadap klaim-klaim baru yang belum teruji. Sikap kritis tersebut
membuat kita lebih berhati-hati untuk mengambil kesimpulan dan mendorong kita
menganalisis lebih mendalam terhadap hal-hal yang baru. Sejarah sains mencatat bahwa
banyak penemuan besar dihasilkan dari sikap kritis semacam itu. Sebagai contoh
Nikolaus Kopernikus tidak mempercayai pendapat umum saat itu bahwa matahari
berputar mengelilingi Bumi. Ferdinand Magelhaens, orang pertama yang mengelilingi
Bumi dengna kapal, juga tidak mempercayai pendapat umum saat itu bahwa Bumi
berbentuk seperti piringan datar dengan jurang tanpa batas pada tepinya. Pada zaman itu
orang takut berlayar terlalu jauh karena khawatir akan tercebur ke jurang semacam itu.
Pelayaran Magelhaens membuktikan bahwa pendapat tersebut salah. Inilah yang
dinamakan observasi. Dari dua kasus diatas kita dapat mempelajari bahwa apa yang
sudah menjadi pendapat umum sekalipun belum tentu mewakili kebanaran mutlak atau
dengan kata lain bukan sesuatu yang harus dipercayai begitu saja.

2. Akibat dari sikap terhadap ilmu pengetahuan


Semangat Ehipassiko seperti yang tercermin dalam Kalama-sutta menyebabkan
Buddhis lebih terbuka terhadap perkembangan baru di dunia sains. Seandainya suatu
penemuan baru sains terbukti bertentangan dengan doktrin Buddhis tertentu, maka
Buddhis lebih siap mengadopsi penemuan sains dan tidak menanggapinya dengan sikap
antagonis. Ini tercermin dari perjalanan sejarah agama Buddha yang tidak pernah
mengalami konflik dengan dunia sains.

C. Pengembangan Ilmu Dalam Pandangan Hindu


Dalam ajaran agama Hindu ilmu pengetahuan disebut dengan Janana, sedangkan
teknologi dan seni termasuk kedalam Gandarva Weda. Sedangkan menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia teknologi ialah : “kemampuan teknik yang berdasarkan pengetahuan
ilmu eksakta yang berdasarkan proses teknik“, sedangkan seni :”1. Halus kecil dan halus,
2. Keaktifan membuat karya-karya bermutu dilihat dari segi kehalusannya dsb, seperti
tari, lukis, ukir”. (Suryani, Surpa, dkk, 2009: 81)
Dalam perspektif Hindu, bahwa ilmu pengetahuan, teknologi, seni merupakan
kesatuan yang saling jalin menjalin untuk mewujudkan sesuatu kesatuan yang indah
(seni), yang secara vertikal diabdikan kepada Tuhan, dan secara horizontal diabadikan
sesama hidup (manusia) untuk mencapai kesejahteraan, kebahagian serta kesempurnaan.
Adapun dalam ajaran sraddha yang menyantumkan ilmu pengetahuan yaitu, panca
sraddha yang dalam ajaran Hindu yang berarti lima keyakinan yang diantaranya :
Brahman (Tuhan), Atma, Karma, Samsara (Punarbhawa), dan moksa. Jnana: ilmu
pengetahuan, karma , perbuatan, laksana yadnya. (Suryani, Surpa, dkk, 2009: 82-83)
Ilmu Pengetahuan tidak dapat disangsikan peranannya terhadap kelangsungan
kehidupan manusia. Sehubungan dengan hal tersebut, berikut beberapa untaian kalimat
yang bersumber pada kitab suci Agama Hindu:

Agama dan Ilmu Pengetahuan sama-sama alat untukmendekati kebenaran yang


merupakan sifat kuasa Tuhan
(Rg. Veda I.164.46)

Walaupun seandainya engkau paling berdosa di antara manusia yang memikul dosa,
dengan perahu Ilmu Pengetahuan,lautan dosa akan engkau sebrangi
(Bhagawad Gita IV.36)

…Dengan memiliki Ilmu Pengetahuan ia akan menemui kedamaian yang abadi


(Bhagawad Gita IV. 39)

Persembahan berupa Ilmu Pengetahuan, wahai arjuna, lebih mulya dari persembahan
materi, dalam keseluruhannya semua kerja ini akan mendapat apa yang diinginkannya
dalam Ilmu Pengetahuan
(Bhagawad Gita IV.33)

Dari kutipan-kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa manfaat IPTEK menurut


Ajaran Agama Hindu antara lain:
a. Dengan Ilmu pengetahuan segala hambatan dan rintangan dihapan kita dapat
diatasi,
b. Dengan Ilmu Pengetahuan seseorang akan bisa mendekatkan diri dengan
penciptanya, dan
c. Dengan Ilmu Pengetahuan Tuhan akan mengampuni seseorang dari segala dosa
yang pernah diperbuatnya .

Tujuan agama Hindu adalah Moksa dan Jagat Hita yaitu kesejahteraan sekala
niskala, maka dalam mengejar kesejahteraan sekala niskala ini, mau tidak mau kita
dihadapkan pada teknologi karena mengikuti perkembangan dari zaman globalisasi ini.
Agama Hindu akan menerima perkembangan teknologi secara selektif, sepanjang tidak
bertentangan dengan nilai- nilai agama Hindu.
Dalam Agama Hindu teknologi itu hanya sebagai sarana penopang atau penunjang
untuk mencapai hakekat daripada tujuan hidup beragama di dalam pelaksanaan upacara
agama. Di dalam kehidupan sebagai manusia beragama, teknologi berpengaruh di dalam
mencapai kesejahteraan hidup dan kehidupan.
Seperti yang tercantum dalam Weda, IPTEK dalam Agama Hindu, hanya sebagai
sarana penopang atau penunjang untuk mencapai hakekat daripada tujuan hidup
beragama di dalam pelaksanaan upacara agama. Ajaran-ajaran Agama Hindu yang
digunakan sebagai tolok ukur dalam menerima dan menolak Perkembangan teknologi
antara lain: Konsep Tri Semaya, Tri Pramana, Rasa, utsaha, dan lokika.
Adapun perkembangan IPTEK dalam kehidupan agama hindu memiliki dampak
positif dan negatif, serta menemui hambatan dalam perkembangannya. Tetapi dampak-
dampak serta hambatan tersebut tidak mampu menghalangi pesatnya perkembangan Ilmu
Pengetahuan Teknologi dan Seni dalam kehidupan Agama Hindu.

D. Perkembangan ilmu pengetahuan dalam pandangan agama Kristen/Katolik


1. Sejarah Panjang Perjuangan Mencari Kebenaran
“the Bible teaches how to go to heaven, not how the heavens go”. (Kitab Suci
mengajarkan bagaimana pergi ke surga, tidak mengajarkan bagaimana langit berputar”.
(Galileo)27
Sejarah perkembangan ilmu pengetahuan tidak bisa dilepaskan begitu saja dari
upayanya melepaskan diri dari kekuasaan gereja. Sekularisme yang melanda Barat
merupakan buah dari perjuangan panjang tersebut. Oleh karena itu banyak yang
berpendapat adalah kurang tepat untuk menyamakan bangsa Barat dengan Kristiani atau
Nasrani begitu saja karena pada dasarnya yang menjiwai manusia Barat bukanlah nilai –
nilai Kristiani saja, tetapi lebih dari itu adalah sekularisme. Gereja, yang diwujudkan
dalam bentuk bangunan maupun kebiasaan yang berkaitan dengannya, lebih merupakan
warisan budaya yang memang dulunya pernah dikuasai oleh gereja yang saling
kompromi dengan kekuasaan negara.
Abad di mana kekuasaan gereja begitu mendominasi sehingga interpretasi terhadap
kebenaran sepenuhnya berada di tangan gereja, kemudian dikenal sebagai “abad
kegelapan” , suatu sebutan yang sebetulnya ironis, karena gereja seringkali menyebut
dirinya sendiri sebagai “pembawa terang”. Namun sebutan tersebut sekaligus juga
menunjukkan munculnya antipati masyarakat Barat sendiri terhadap gereja dan
ajarannya. Masyarakat Barat menaruh ketidakpercayaan yang besar bahkan mendalam
terhadap ajaran gereja, mencurigai dan sekaligus bersikap skeptis mengenai kebenaran
yang diajarkan oleh gereja.
Sumber ketidakpercayaan yang mendalam terhadap ajaran gereja bermuara dari
begitu banyaknya korban akibat memegang keyakinan secara membuta terhadap dogma
gereja beserta segenap ajarannya, tanpa dilandasi dengan fakta yang objektif. Begitu
banyak orang yang dipenjarakan, disiksa bahkan dibunuh karena memegang fakta yang
diyakini mereka sebagai kebenaran, yang berbeda dengan kebenaran yang diwartakan

27 Kealy, S.P., CSSp., 1994. Ilmu Pengetahuan dan Kitab Suci. Terjemahan & Pengantar oleh Sudarminta, SJ.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Hlm.18
oleh gereja, yang waktu itu diyakini bersumber dari kitab suci. Melawan ajaran gereja
disamakan dengan melawan kitab suci dan oleh karena itu berarti melawan Allah
sehingga perlu mendapatkan hukuman. Mereka dianggap sebagai tersesat dan kalau
mengaku salah serta bertobat, baru mendapatkan pengampunan. Gereja pada waktu itu
betul – betul menganggap dirinya sebagai penguasa mutlak untuk interpretasi atas
kebenaran dan pengetahuan.
Sejak awal kemunculannya pada abad ke–16, ilmu pengetahuan mulai
mengemukakan gagasan baru yang mengubah pandangan atau gambaran tentang alam
semesta, kedudukan manusia di dunia, pandangan mengenai Tuhan sendiri, bahkan
akhir–akhir ini mengenai misteri manusia yang mulai dikuak oleh psikologi, suatu ilmu
pengetahuan yang relatif muda karena baru muncul pada awal abad ke–19. Tentu saja ini
membawa ketegangan yang terus–menerus terhadap ajaran dan dogma gereja yang
cenderung statis. Ajaran gereja cenderung mencurigai ilmu pengetahuan karena
seringkali penemuan ilmu pengetahuan dianggap bisa menggoyahkan iman pemeluknya.
Thomas, salah satu murid Yesus, sering dianggap mewakili ciri sikap ilmiah yang selalu
bersikap skeptis, tidak begitu saja mempercayai sesuatu tanpa disertai bukti konkrit.
Sikap seperti yang ditunjukkan Thomas dimaknai secara negatif dalam kebanyakan
materi kotbah sebagai sikap orang yang kurang percaya. “Sebelum aku melihat bekas
paku pada tangan-Nya dan sebelum aku mencucukkan jariku ke dalam bekas paku itu
dan mencucukkan tanganku ke dalam lambung-Nya, sekali–kali aku tidak akan percaya.”
Dilupakan, bahwa Yesus pun menghargai sikap seperti yang ditunjukkan oleh Thomas
dengan tetap menampakkan diri kepadanya. Ini memberikan penuntun bahwa apa yang
dilakukan oleh ilmuwan dengan sikap skeptisnya tidaklah bertentangan dengan kitab
suci.28
Meskipun sering kali mendapatkan tentangan dari agama (dalam hal ini memang
tidak khusus pada agama Kristiani saja, karena semua agama pada akhirnya memiliki
sikap yang serupa), ilmu pengetahuan terus maju memantapkan langkahnya sebagai cara
manusia untuk mengetahui realita dan kebenaran, meskipun dalam perjalanannya bukan
tanpa korban. Satu demi satu ilmuwan mendapatkan hukuman, dipenjara dan beberapa di
antaranya bahkan dibunuh karena hasil pemikiran mereka dianggap sesat dan
bertentangan dengan ajaran gereja pada waktu itu. Galileo sebagai contohnya.
Galileo Galilei, seorang ilmuwan muda pada awal tahun 1600 – an berhasil
membuat teleskop modern yang pertama di Eropa. Melalui teleskop tersebut, Galileo
melakukan pengamatan terhadap alam semesta. Ilmu astronomi kala itu merupakan ilmu
yang bagi kebanyakan orang masih dipandang berbau magis dan sekaligus ilmu
pengetahuan. Sebelum Galileo, tidak ada alat yang mencukupi untuk mempelajari alam
semesta secara lebih rinci. Orang pada waktu itu mengikuti sistem Ptolomeus untuk
menjelaskan alam semesta. Teori Ptolomeus mendapatkan dukungan dari Gereja karena
menyatakan bahwa bumi adalah pusat tata surya. Matahari, bulan dan bintang berputar
mengelilingi bumi. Teori ini memberikan penjelasan yang waktu itu berdasarkan logika

28 Bnd. Yohanes 20:24 – 29


Aristoteles, cukup masuk akal. Apalagi apa yang dinyatakan oleh teori Ptolomeus
tersebut mendapatkan pembenaran dari Kitab Suci.29
Dengan bantuan teleskopnya, Galileo menemukan bahwa Venus mengelilingi
matahari, bukan mengelilingi bumi seperti yang diyakini pada waktu itu. Kalau venus
mengelilingi matahari, sedangkan matahari dan planet – planet lain mengelilingi bumi,
sistem tata surya menjadi kompleks, rumit, dan membingungkan. Oleh karena itu teori
alam semesta dengan bumi sebagai pusat patut dicurigai. Sebagai gantinya, Galileo
menyetujui gagasan Copernicus, seorang imam Polandia yang pada tahun 1543
menyatakan gagasan, adalah jauh lebih sederhana secara matematis bila bumilah yang
mengelilingi matahari, bukan sebaliknya.
Tentu saja pendapat Galileo yang mendukung hipotesis Copernicus mendapatkan
tentangan dari pihak Gereja. Pada tahun 1616 Gereja mengumumkan bahwa hipotesis
Copernicus yang menyatakan bahwa bumi berputar mengelilingi matahari, secara formal
sesat karena dengan jelas bertentangan dengan ajaran Kitab Suci baik menurut arti
harfiahnya maupun berdasarkan penafsiran umum Bapa-bapa Gereja. Namun Galileo
tetap saja mengembangkan pendapatnya yang diyakininya sebagai kebenaran, meskipun
dengan hati-hati. Pada tahun 1610 Galileo menerbitkan buku yang berjudul Siderius
Nuntius, yang menjadi kontroversi mengenai alam semesta. Akhirnya dia mendapatkan
hukuman semacam tahanan rumah. Pada bulan tanggal 22 Juni 1633 teorinya secara
resmi dikecam oleh Gereja dan dinyatakan sebagai sesat. Galileo dipaksa sambil
bersumpah akan menolak kepercayaan pada alam semesta heliosentris (matahari sebagai
pusat tata surya) dan bahwa bumi tidak bergerak mengelilingi matahari. Pemaksaan ini
perlu agar bisa menghindari hukuman pengucilan dan bahkan mungkin kematian yang
lebih dini (dan tidak wajar).
Kebenaran pada akhirnya tetap akan menyatakan dirinya. Ilmu pengetahuan terus
maju, teleskop buatan Galileo terus disempurnakan dan semakin banyak yang
menggunakan sehingga dengan sendirinya semakin banyak orang yang mengakui
kebenaran pendapat Galileo. Lalu bagaimana dengan gereja sendiri? Baru pada tahun
1822 Gereja Katolik secara formal mengizinkan sistem heliosentris diajarkan di negeri-
negeri Katolik. Kemudian baru pada tahun 1992 (kurang lebih 300 tahun kemudian!)
Paus Yohanes Paulus II mengeluarkan permintaan maaf Gereja Katolik secara anumerta
kepada Galileo.30
Galileo adalah riak kecil pencarian kebenaran yang kemudian berbenturan dengan
kepercayaan keagamaan. Ada banyak martir atau sahid, baik yang berasal dari ilmuwan
sendiri maupun mereka yang melakukan interpretasi sendiri terhadap kitab suci yang
kemudian dianggap sebagai sesat, kemudian diperlakukan secara tidak manusiawi.
Sejarah gelap seperti itulah yang kemudian memantapkan bangsa Barat untuk
memalingkan diri dari kepercayaan agama dan mengarahkan pandangannya kepada
sekularisme. Sejarah mengajarkan, kepercayaan yang buta tanpa diterangi oleh ilmu
pengetahuan hanya akan menghasilkan kepercayaan yang palsu bahkan pada akhirnya
berakhir dengan memalukan. Keyakinan agama perlu diterangi oleh ilmu pengetahuan

29 Bnd. Yosua 10:12,13


30 Lowney, C., 2005. Heroic Leadership. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Hlm. 100 – 105
sehingga iman yang dihasilkan tidak dikotori dengan prasangka – prasangka yang pada
akhirnya justru menyesatkan.
Berdasarkan sejarahnya tersebut, Kristianitas memiliki kelebihan dibanding
agama-agama lain justru karena Kristianitas telah diuji. Berkali-kali ajarannya
mendapatkan kritikan, kecaman, tafsir ulang baik dari temuan ilmu pengetahuan
kemudian maupun cara pandang yang baru terhadap Kitab Suci. Meskipun banyak
ajarannya masih menunggu untuk digoncangkan dan diterangi oleh ilmu pengetahuan
beserta teknologi yang dibawanya kemudian, namun belajar dari sejarah memungkinkan
pemeluk Kristen menjadi lebih arif dalam mensikapi perbedaan pendapat yang berkaitan
dengan iman kepercayaan, suatu sikap yang menunggu untuk dimiliki juga oleh penganut
agama lain yang kebetulan tidak memiliki sejarah panjang sedemikian.
Oleh karena itu bisa dimengerti bila bangsa Barat menjadi sangat toleran bahkan
seolah bersikap melindungi mereka yang membuat tulisan – tulisan yang isinya
menentang ajaran keyakinan agama (agama mana pun, bukan hanya agama selain
Kristen, bahkan keyakinan Kristen pun banyak mendapatkan kritikan lewat tulisan yang
dipublikasikan maupun media lain). Bangsa Barat telah belajar, berkali-kali isi pikiran
yang berseberangan dengan keyakinan pada waktu itu, ternyata kemudian terbukti
sebagai benar. Ada semacam ketidaksadaran kolektif pada bangsa Barat untuk tidak lagi
mengulangi kesalahan masa lalu, meskipun konsekuensinya mereka menjadi sangat
terbuka dan kurang tertarik lagi untuk mempertentangkan soal-soal yang berbau
kepercayaan. Mereka juga menjadi bangsa yang skeptis dalam arti, segala sesuatu yang
dianggap benar bila telah diuji dan dibuktikan dulu kebenarannya. Demokrasi yang
sekarang diberlakukan di Barat adalah salah satu buah perjalanan panjang dari
pergolakan seperti yang diuraikan di atas.
Jarang diungkapkan oleh sejarah, meskipun ini juga penting, kebanyakan ilmuwan
yang pendapatnya bertentangan dengan ajaran gereja pada waktu itu, kehidupan pribadi
mereka termasuk juga iman kepercayaan mereka sebenarnya kuat berpegang pada Kitab
Suci. Orang lain dan para pengikut yang tidak mengerti betul kehidupan merekalah yang
sering kali kurang memahami pendapat mereka dengan baik sehingga temuan yang
mereka dapatkan disalah mengerti atau diberi arti yang berlebihan. Newton, Darwin,
sampai Einstein adalah sedikit contoh ilmuwan yang teorinya menggemparkan dunia
bahkan membawa implikasi pada pemahaman teologis, ternyata memiliki kehidupan
pribadi yang berakar pada iman yang teguh.

2. Sumbangan Agama terhadap Kemanusiaan


Meskipun uraian di atas implisit menunjukkan sisi kolot dan gelap dari agama
(khususnya Kristianitas), namun tidak dapat dipungkiri, agama beserta keyakinan yang
dibawanya banyak membawa kemajuan bagi perkembangan peradaban manusia. Seperti
diuraikan di atas, demokrasi yang sekarang ini dinikmati oleh bangsa Barat adalah salah
satu buah dari perjuangan panjang pencarian kebenaran yang kebanyakan di antaranya
diawali dengan motif iman kepercayaan. Demokrasi yang terjadi di Amerika dan
kemudian di negara lain Eropa merupakan
hasil perjalanan panjang interaksi antar kelompok masyarakat yang dilandasi
dengan keyakinan pada nilai – nilai agama. Para pendatang yang tiba di Benua Amerika
selain motif ekonomi, mula – mula juga banyak yang dilatarbelakangi oleh motif
keagamaan: mereka mencari tempat baru supaya mereka dapat menjalankan keyakinan
keagamaan mereka secara bebas karena di negara asal yang lama keyakinan tersebut
dianggap sesat dan mereka mendapatkan tekanan yang berat dari agama mayoritas.
Situasi inilah yang menjadi pra kondisi dasar munculnya demokrasi sehingga pergolakan
yang terjadi di Amerika selanjutnya semakin mengarahkan bangsa Amerika untuk maju
ke dalam demokrasi. Ada banyak tokoh demokrasi yang sangat kuat berafiliasi pada
keyakinan keagamaan, Martin Luther King misalnya, pendeta dan sekaligus pejuang
kulit hitam yang akhirnya memungkinan orang – orang negro mendapatkan hak yang
sama dengan bangsa kulit putih. Sekarang ini wujud demokrasi yang paling nampak bisa
dilihat dengan jelas adalah melalui media hiburan. Tidak kurang film – film Amerika
sendiri yang mengkritik kebijakan negara yang berkaitan dengan militer maupun
ekspansi negara ke negara lain secara terang – terangan, tanpa mendapatkan sensor dari
negara, suatu hal yang mungkin tidak akan terjadi di negara kita.
Selain demokrasi, ilmu pengetahuan dan teknologi yang sekarang ini berkembang
pesat pun awalnya dilandasi oleh keyakinan teologis bahwa alam semesta ini teratur.
Tuhan sudah meletakkan hukum – hukum yang pasti dan teratur sehingga manusia bisa
mempelajari dan menyingkapkan hukum – hukum tersebut. Bergerak dengan keyakinan
tersebut, ilmuwan terus maju untuk mulai menyingkapkan satu demi satu gejala – gejala
alam yang masih dianggap misteri dan kemudian dicoba untuk diterangi oleh ilmu
pengetahuan. Meskipun kemudian dalam perkembangannya ilmu pengetahuan dan
teknologi bergerak dengan sangat cepat dan sering kali menguncangkan iman yang telah
diajarkan secara turun – temurun, namun keyakinan yang dibawa mula – mula oleh para
ilmuwan peletak dasar ilmu pengetahuan sangat terkait dengan ajaran Kitab Suci. Tokoh
– tokoh seperti Galileo, Newton bahkan Darwin pun dikenal masyarakat sejamannya
sebagai orang yang mengakui otoritas Kitab Suci. Bahkan ilmuwan modern yang dikenal
dengan teori relativitasnya, Albert Einstein, dikenal sebagai pribadi yang religius.
Padahal teori relativitas tersebut pada akhirnya banyak membongkar bangunan teologi
yang selama ini dipegang teguh dan oleh sebagian orang disalah mengerti sebagai
membahayakan kehidupan orang beriman. Kejadian di Kitab Suci seperti peristiwa
Sodom dan Gomora, kemudian visi mengenai akhir jaman (kiamat) direinterpretasi
sebagai akibat penggunaan semacam bom atom sehingga dunia ini menjadi hancur.31
Biologi dan ilmu kedokteran berkembang pun tidak terlepas dari jasa – jasa para
penemu yang dikenal sebagai pribadi yang religius. Sejak lama kaum pendeta
(khususnya dari kelompok Roma Katolik) yang mengabdikan diri untuk belajar terus –
menerus dan menjadi penemu, menjadi pelopor bagi kemajuan ilmu biologi dan
kedokteran pada umumnya. Mendel, yang menyadarkan pentingnya faktor keturunan
dengan hukum herediternya, Cotton Mather yang mulai merintis penjelasan biologis/fisik
yang berkaitan dengan gangguan jiwa, Pasteur yang menemukan metode untuk
melakukan sterilisasi susu. Vaksin dan berbagai penemuan lainnya tidak terlepas dari
peran tokoh – tokoh religius yang bekerja dan belajar tak kenal henti. Bahkan grafologi,
suatu ilmu untuk memahami kepribadian individu melalui tulisan tangannya, yang oleh

31 Bnd. Kejadian 19:24


sebagian besar ilmuwan dan awam masih dipandang sebagai tidak ilmiah dan berbau
mistik, dikembangkan oleh seorang pastur Perancis, Jean Michon. Tentunya tenaga yang
mereka gunakan untuk melakukan pekerjaan yang melelahkan tersebut tidak terlepas dari
nilai – nilai religius yang dibawa.

3. Beberapa bukti kalau Gereja Katolik mendukung kemajuan ilmu pengetahuan


Beberapa orang percaya kalau Gereja Katolik menentang kemajuan ilmu
pengetahuan. Jika Gereja Katolik menentang kemajuan ilmu pengetahuan, maka
selayaknya kita tidak akan menemukan ilmuwan Katolik, sponsor untuk penelitian
ilmiah oleh lembaga Katolik, dan juga ajaran Katolik yang menjelaskan tentang cara
berpikir secara ilmiah. Akan tetapi, justru banyak sekali kita menemukan hal-hal
tersebut.

Secara historis, orang-orang Katolik terhitung di antara para ilmuwan yang paling
penting sepanjang masa, contohnya Rene Descartes yang menemukan geometri analitik
dan hukum refraksi, Blaise Pascal yang menemukan mesin penghitung, alat tekan
hidrolik, dan teori matematika probabilitas, imam Augustinian Gregor Mendel yang
menemukan genetika modern, Louis Pasteur yang menemukan mikrobiologi dan
menciptakan vaksin pertama untuk rabies dan antraks, pastor Nicolaus Copernicus yang
pertama kali mengembangkan secara ilmiah pandangan bahwa bumi berotasi
mengelilingi matahari, dan Monseigneur Georges Lemaitre yang pertama kali
memperkenalkan tentang Big Bang Theory.

Seseorang mungkin mencoba menjelaskan kalau ilmuwan Katolik tersebut hanya


seperti orang langka yang berani memberontak terhadap Gereja. Namun, Gereja Katolik
sebagai institusi, mendanai, mensponsori, dan mendukung penelitian ilmiah di Pontifical
Academy of Science dan di berbagai departemen ilmu pengetahuan di setiap universitas
Katolik di seluruh dunia, termasuk yang diatur oleh Paus, seperti The Catholic University
of America.

Seperti Santo Yohanes Paulus II menjelaskan dalam ensikliknya yang berjudul


Fides et Ratio (Iman dan Akal):

“Faith and reason are like two wings on which the human spirit rises to the
contemplation of truth; and God has placed in the human heart a desire to know the
truth—in a word, to know himself—so that, by knowing and loving God, men and women
may also come to the fullness of truth about themselves.”

Jadi jauh dari kepercayaan kalau akal bertentangan dengan iman, Gereja sungguh-
sungguh menegaskan bahwa akal membantu kita merenungkan Tuhan. Ilmu
pengetahuan, jika dipahami dan dilaksanakan dengan tepat, dapat mengungkap
kebenaran tentang Allah.
4. Kesalahpahaman mengenai ketidakcocokan kitab Kejadian dengan teori asal mula
kehidupan dan teori evolusi.
Ketidakcocokan kitab Kejadian dengan teori asal mula kehidupan menyebabkan
beberapa orang berpikir bahwa keyakinan agama tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan.
Di kitab Kejadian disebutkan bahwa Allah menciptakan dunia dalam tujuh hari. Akan
tetapi ilmu pengetahuan saat ini menjelaskan bahwa alam semesta, termasuk bumi,
terjadi selama miliaran tahun.

Dalam tradisi Katolik, cerita penciptaan di kitab Kejadian sebenarnya bisa


ditafsirkan secara literal ataupun secara non literal/kiasan. Beberapa teolog, seperti Santo
Ambrosius, memahami penciptaan di kitab Kejadian dengan cara literal. Akan tetapi
kebanyakan teolog Katolik, termasuk Santo Agustinus, Santo Thomas Aquinas, Beato
Yohanes Henry Newman, Santo Yohanes Paulus II, dan Paus Benediktus XVI, telah
menafsirkan kitab Kejadian secara non-literal sebagai sarana untuk mengajarkan
kebenaran tentang penciptaan.

Santo Yohanes Paulus II mengatakan sebagai berikut:

“The Bible itself speaks to us of the origin of the universe and its make-up, not in order
to provide us with a scientific treatise, but in order to state the correct relationships of
man with God and with the universe. Sacred Scripture wishes simply to declare that the
world was created by God, and in order to teach this truth it expresses itself in the terms
of the cosmology in use at the time of the writer.”

Dr Scott Hahn, seorang penulis, pengajar, dan teolog Katolik, menunjukkan bahwa
kita mungkin telah salah paham mengenai hal tujuh hari yang dibicarakan di kitab
Kejadian. Dalam bahasa Ibrani kuno, kata “tujuh” mempunyai arti sama dengan
“membuat perjanjian”. Jadi, ketika dikatakan bahwa Tuhan menciptakan dunia selama
tujuh hari, teks ini mau mengatakan bahwa Allah telah menciptakan dunia dalam ikatan
hubungan perjanjian dengan-Nya.

Katekismus menjelaskan “Scripture presents the work of the Creator symbolically


as a succession of six days of divine ‘work,’ concluded by the ‘rest’ of the seventh day” 32,
but nothing exists that does not owe its existence to God the Creator. The world began
when God’s word drew it out of nothingness; all existent beings, all of nature, and all
human history is rooted in this primordial event, the very genesis by which the world was
constituted and time begun” . Memang, konsep bahwa Allah menciptakan dunia secara
teratur dan terencana inilah yang menjadi awal dari ilmu pengetahuan. Sebab jika dunia
tidak teratur dan terencana, tidak ada gunanya mencoba untuk memahami hukum-hukum
alam yang penyelidikan ilmiah berusaha untuk temukan.

32 CCC 337
Ketidakcocokan antara kitab Kejadian dan teori evolusi spesies juga menyebabkan
beberapa orang berpikir bahwa keyakinan agama tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan.
Jika manusia pertama, Adam, dan wanita pertama, Hawa, serta semua binatang,
diciptakan oleh Allah, maka semua kehidupan, termasuk kehidupan manusia, tidak
berevolusi selama jutaan tahun. Gereja Katolik umumnya tidak mengharuskan ayat-ayat
Kitab Suci ditafsirkan dengan satu cara tertentu saja. Orang beriman dan teolog mungkin
datang ke pemahaman yang berbeda dari suatu bagian Alkitab, tetapi mereka tetap
seorang Katolik yang baik. Jadi, orang bisa menerima pandangan bahwa Kejadian
mencatat secara detail bagaimana Tuhan menciptakan dunia dan seisinya dalam waktu
tujuh hari 24 jam. Atau, orang bisa mengikuti pandangan bahwa kitab Kejadian tidak
tepat jika ditafsirkan dengan cara literal. Jika seseorang menafsirkan kitab Kejadian
dengan cara non literal, maka tidak ada kontradiksi antara kitab Kejadian dan teori
evolusi, asalkan seseorang tetap percaya adanya seorang pria pertama dan wanita
pertama, dan dari mereka manusia bernenek-moyang dan mewarisi dosa asal. Tentu saja,
Gereja Katolik tidak mengharuskan umat Katolik percaya teori evolusi atau teori lain
yang diajarkan oleh ilmuwan. Namun, jika kita percaya pada teori evolusi, kita juga bisa,
seperti yang dilakukan Santo Yohanes Paulus II, tetap menjadi seorang Katolik yang
setia.

Perlu diingat bahwa kisah penciptaan dan kejatuhan manusia ke dalam dosa adalah
benar dan nyata, bahkan jika tidak ditulis seluruhnya sesuai dengan teknik sastra modern.
Katekismus menjelaskan

“The account of the fall in Genesis 3 uses figurative language, but affirms a
primeval event, a deed that took place at the beginning of the history of man. Revelation
gives us the certainty of faith that the whole of human history is marked by the original
fault freely committed by our first parents.”33

33 CCC 390

You might also like