You are on page 1of 12

TB PARU MDR

MASALAH KESEHATAN TB PARU MDR DI KOTA SEMARANG


PROSES RENCANA PROMOSI KESEHATAN DENGAN TAHAPAN
PRECEEDE DAN PROCEEDE

1. Fase 1 (Diagnosis Sosial)


Cakupan CDR (Case Detection Rate) Kota Semarang dalam kurun waktu 5
tahun terakhir terus mengalami peningkatan cakupan. Bahkan di tahun 2016
dengan peningkatan target cakupan 75 % angka temuan kasus dapat dicapai
dengan angka 76.6 % . Dengan demikian CDR kasus TB di tahun 2016
adalah 1.6 % diatas target. Hal ini terjadi karena peningkatan kinerja seluruh
pengelola program P2TB yang didukung oleh semua pihak terkait, sehingga
di tahun-tahun mendatang hal ini perlu dipertahankan dan bahkan
ditingkatkan
1

Gambar 3.12 Grafik Penemuan kasus (CDR) TB Paru BTA (+) Kota
Semarang tahun 2010 s.d 2016 Sumber: Seksi P2ML, Bidang P2P

Berdasarkan profil kesehatan kota semarang 2016, dari 3251 kasus TB


semua tipe, total kasus TB-MDR dari tahun 2013-2016 sebanyak 71 kasus.

1
Insiden kasus tahun 2014 dan 2015 menunjukan angka yang sama yaitu
sebesar 29,6% dari total kasus. Dikaitkan dengan proporsi kejadian TB MDR
pada kasus TB baru dan TB kambuh di tahun 2016 terdapat 16 kasus baru TB
MDR, sehingga CDR pada TB MDR pada tahun 2016 sebanyak 50%.

2. Fase 2 (Diagnosis Epidemiologi)


Secara epidemiologi faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya MDR–TB
adalah :

a. Penyakit penyerta (infeksi HIV, Diabetes Mellitus)


karena penderita dengan HIV positif memiliki system imun yang rendah
sehingga lebih rentan terhadap segala macam penyakit.
b. Jenis kelamin
Menurut hasil penelitian Dyan Kunthi (2015), penderita MDR-TB sebagian
besar berjenis kelamin perempuan. Hal ini dikarenakan perempuan sering
terlambat datang kepelayanan kesehatan dibandingkan dengan laki-laki,
hal ini berhubungan dengan aib dan rasa malu, berupa dikucilkan dari
kelurga dan lingkungan lebih dirasakan perempuan ketimbang laki-laki.
c. Kelompok umur,
d. Pasien TB paru dari daerah lain (pasien rujukan),
e. Dosis obat yang tidak tepat sebelumya dan pengobatan terdahulu
dengan suntikan dan fluoroquinolon (Balaji et al., 2010).
f. Tingkat pendidikan
Penderita dengan pendidikan rendah kurang mengetahui
penyakitnya,sehingga kurang antusias dan motivasi untuk menjalani
pengobatan.

g. Riwayat pengobatan sebelumnya


Menurut penelitian burhan 2010, pasien dengan riwayat pengobatan
sebelumnya mempunyai kemungkinan terjadinya MDR sebesar 10 kali
lipat atau lebih dibandingkan dengan pasien yang belum pernah diobati

3. Fase 3 (Diagnosis perilaku dan lingkungan)


Pada fase ini faktor yang memberikan kontribusi terhadap MDR TB, yaitu
perilaku seperti:
a. Ketidak tahuan penderita tentang penyakitnya,

2
b. Keteraturan berobat yang rendah,
c. Motivasi penderita kurang,
d. Kebiasaan merokok,
e. konsumsi alkohol yang buruk (Masniari dkk, 2007).

Selain itu faktor lingkungan juga dapat memberikan kontribusi terhadap


MDR TB, seperti :

a. K
eterlambatan diagnosis
b. K
urangnya dukungan dan motivasi dari keluarga dan kerabat
c. T
idak ada pemantauan pengobatan
d. O
rganisasi program TB yang kurang/tidak baik
e. P
emberian terapi TB yang tidak adekuat akan menyebabkan mutan resisten
f. S
uplai obat yang tidak teratur
g. Pemberian monoterapi atau regimen obat yang tidak efektif
h. Dosis tidak adekuat, instruksi yang buruk.

Kegagalan pengobatan poliresisten TB atau MDR TB akan


menyebabkan lebih banyak kuman yang resisten terhadap OAT. Kegagalan
ini bukan hanya merugikan pasien tetapi juga meningkatkan penularan di
masyarakat. TB resisten obat anti TB (OAT) pada dasarnya adalah suatu
fenomena buatan manusia, sebagai akibat dari pengobatan pasien TB tidak
adekuat yang menyebabkan terjadinya penularan dari pasien MDR TB ke
orang lain/masyarakat.

4. Fase 4 (diagnosa pendidikan dan organisasi )


Kebanyakan MDR TB terjadi karena kurang patuhnya pasien dalam
pengobatan TB. Resistensi yang terjadi dapat berupa resistensi primer dan
resistensi sekunder. Deteksi awal MDR TB dan memulai terapi sedini
mungkin merupakan faktor penting untuk tercapainya keberhasilan terapi

3
pada penyakit Paru tersebut. Pengobatan tidak lengkap dan adekuat
menyebabkan Multi Drugs Resistant. Multi drug resistant tuberculosis (MDR
TB) adalah yang disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis (M.TB)
resisten terhadap isoniazid (H) dan rifampisin (R) dengan atau tanpa resisten
obat lainnya. Banyak hal yang mendukung terjadinya MDR TB seperti
kurangnya pengetahuan, perhatian penderita terhadap penyakitnya, lamanya
diagnosis dan penanggulangan penyakit TB, Suplai obat yang tidak teratur,
sulit dijangkau atau bahkan tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-
sarana kesehatan, kurangnya dukungan sosial bagi para penderita TB.

Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010 – 2014

Strategi nasional program pengendalian TB nasional terdiri dari 7 strategi:

a. Memperluas dan meningkatkan pelayanan DOTS yang bermutu


b. Menghadapi tantangan TB/HIV, MDR-TB, TB anak dan
kebutuhan masyarakat miskin serta rentan lainnya
c. Melibatkan seluruh penyedia pelayanan pemerintah,
masyarakat (sukarela), perusahaan dan swasta melalui pendekatan
Public-Private Mix dan menjamin kepatuhan terhadap International
Standards for TB Care
d. Memberdayakan masyarakat dan pasien TB.
e. Memberikan kontribusi dalam penguatan sistem kesehatan
dan manajemen program pengendalian TB
f. Mendorong komitmen pemerintah pusat dan daerah terhadap
program TB
g. Mendorong penelitian, pengembangan dan pemanfaatan informasi
strategis.

Selain itu salah satu sasaran Rencana Pembangunan Jangka


Menengah Nasional (RPJMN) adalah penurunan prevalensi penyakit
menular dan tidak menular. Upaya tersebut diwujudkan dalam strategi
nasional TB tahun 2015-2019 yang salah satu target dampaknya adalah
meningkatkan cakupan akses universal dibidang kesehatan perlindungan
sosial sehingga semua pasien TB mendapatkan pelayanan kesehatan yang

4
terjamin mutunya. Strategi utama yang dilakukan adalah menemukan
kasus lebih banyak dan lebih dini untuk memutuskan penularan dan
mengurangi angka kematian.

Kegiatan

a. Tatalaksana dan Pencegahan MDR TB


 Penemuan Kasus Tuberkulosis
 Pengobatan Tuberkulosis
 Pemantauan dan Hasil Pengobatan Tuberkulosis
 Pengendalian Infeksi pada sarana layanan
 Pencegahan Tuberkulosis
b. Manajemen Program MDR TB
 Perencanaan program Tuberkulosis
 Monitoring dan Evaluasi Program Tuberkulosis
 Manajemen Logistik Program Tuberkulosis
 Pengembangan Ketenagaan Program Tuberkulosis
 Promosi program Tuberkulosis
c. Pengendalian MDR TB komprehensif
 Penguatan Layanan Laboratorium Tuberkulosis
 Public – Private Mix (Pelibatan Semua Fasilitas Pelayanan
Kesehatan)
 Kolaborasi TB-HIV
 Pemberdayaan Masyarakat dan Pasien TB
 Pendekatan kolaborasi dalam kesehatan paru
 Manajemen TB Resist Obat
 Penelitian tuberkulosis
5. Fase 5 (Kebijakan Pengendalian Tuberkulosis Di Indonesia)
a. Pengendalian TB di Indonesia dilaksanakan sesuai dengan azas
desentralisasi dalam kerangka otonomi dengan Kabupaten/kota
sebagai titik berat manajemen program, yang meliputi: perencanaan,
pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta menjamin ketersediaan
sumber daya (dana,tenaga, sarana dan prasarana).
b. Pengendalian TB dilaksanakan dengan menggunakan strategi
DOTS dan memperhatikan strategi Global Stop TB partnership
c. Penguatan kebijakan ditujukan untuk meningkatkan komitmen
daerah terhadap program pengendalian TB.
d. Penguatan strategi DOTS dan pengembangannya ditujukan
terhadap peningkatan mutu pelayanan, kemudahan akses untuk

5
penemuan dan pengobatan sehingga mampu memutuskan rantai
penularan dan mencegah terjadinya MDR-TB.
e. Penemuan dan pengobatan dalam rangka pengendalian TB
dilaksanakan oleh seluruh Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes),
meliputi Puskesmas, Rumah Sakit Pemerintah Balai/Klinik Pengobatan,
Dokter Praktek Swasta (DPS) dan fasilitas kesehatan lainnya.
f. Pengendalian TB dilaksanakan melalui penggalangan kerja sama
dan kemitraan diantara sektor pemerintah, non pemerintah, swasta
dan masyarakat dalam wujud Gerakan Terpadu Nasional Pengendalian
TB (Gerdunas TB).
g. Peningkatan kemampuan laboratorium diberbagai tingkat
pelayanan ditujukan untuk peningkatan mutu dan akses layanan.
h. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) untuk pengendalian TB diberikan
secara cuma-cuma dan dikelola dengan manajemen logistk yang efektif
demi menjamin ketersediaannya.
i. Ketersediaan tenaga yang kompeten dalam jumlah yang memadai
untuk meningkatkan dan mempertahankan kinerja program.
j. Pengendalian TB lebih diprioritaskan kepada kelompok miskin
dan kelompok rentan lainnya terhadap TB.
k. Pasien TB tidak dijauhkan dari keluarga, masyarakat dan
pekerjaannya.
l. Memperhatikan komitmen internasional yang termuat dalam
MDGs.
m. Pembentukan pos TB desa
n. Membentuk komunitas TB MDR
o. Yayasan PETA (PEjuang Tangguh TB)

6. Fase 6 ( Implementasi )
Pada fase ini akan disampaikan tentang implementasi untuk mengatasi
permasalahan MDR TB yang bisa dilaksanakan di Wilayah Kota Semarang.
Kunci dari fase ini antara lain :

- Pengalaman
- Sensitif terhadap kebutuhan
- Fleksibel dalam situasi kondisi
- Fokus pada tujuan
- Sense of humor

6
Manajemen Program MDR TB (Programmatic Manajment Of
Drug Resistant Tuberculosis) merupakan program yang sistematis,
komprehensif dan terpadu sesuai kerangka strategi DOTS (Directly
Observed Treatment, Shortcourse chemotherapy) dalam mengendalikan
perkembangan TB kebal obat agar tidak menjadi masalah kesehatan
masyarakat, dengan kegiatan utama :

a. Pencegahan terjadinya TB resistan obat,


b. Penemuan secara dini dan
c. Tatalaksana kasus TB resistan obat yang bermutu,
d. Pengurangan risiko penularan dan
e. Pencegahan timbulnya TB resistan obat ekstensif (extensively
drugs resistant/XDR) dengan tujuan agar TB resistan obat.
Untuk melaksanakan kegiatan Program Manajemen MDR TB dalam
suatu wilayah, perlu upaya pemenuhan kondisi tertentu, yaitu:
- Penerapan strategi DOTS telah berjalan dengan baik di wilayah
Kota Semarang
- Mempunyai akses ke laboratorium yang telah disertifikasi untuk
melaksanakan biakan dan uji kepekaan terhadap OAT (Drugs
Susceptibility Test/ DST);
- Mempunyai akses ke rumah sakit yang telah ditunjuk sebagai pusat
rujukan penatalaksanaan TB MDR.
- Memiliki jejaring DOTS antara rumah sakit dan Puskesmas yang
berjalan dengan baik.

7
- Adanya komitmen dari pemerintah Kota Semarang, khususnya
pengalokasian dana secara bertahap untuk kelancaran &
pengembangan kegiatan selanjutnya.

Prinsip umum implementasi Manajemen MDR TB adalah


mengintegrasikan layanan tersebut kedalam layanan TB DOTS yang ada
sesegera mungkin melalui pendekatan PPM (Puskesmas Pelaksana
Mandiri) DOTS. Secara umum langkah langkah implementasi Manajemen
TB Resistan Obat dilakukan sebagai berikut:
a. Melakukan asesmen/penilaian dan analisa situasi untuk
mendapatkan gambaran kesiapan wilayah dalam aspek utama:
b. Penerapan strategi DOTS,
c. Kemampuan dan kesiapan fasilitas layanan,
d. Komitmen pimpinan dan petugas, dan
e. Jejaring PPM DOTS.
- Mendapatkan komitmen yang kuat dari pihak pimpinan
manajemen (dinas kesehatan Kota Semarang dan fasyankes yang
dilibatkan) dan petugas terkait (tenaga medis, paramedis, dan petugas
lain yang terkait).
- Menyusun kesepakatan yang mencakup sistem, peran dan fungsi
masing masing pihak yaitu fasyankes, Dinas Kesehatan Kota
Semarang, balai laboraorium kesehatan dan mitra terkait.
- Menentukan laboratorium sesuai hasil asesmen untuk
dikembangkan menjadi laboratorium yang tersertifikasi untuk
melaksanakan biakan dan uji kepekaan terhadap OAT
- Memperkuat tim DOTS yang ada pada fasyankes dengan
pengayaan tugas dan fungsi terkait dengan kegiatan Manajemen TB
Resistan Obat. Pada RS rujukan, selain tim DOTS yang sudah ada
dibentuk juga Tim Ahli Klinis (TAK).
- Menyediakan sarana dan prasarana khusus pada fasyankes
Manajemen TB Resistan Obat, laboratorium penunjang.
- Melatih petugas/tim (tenaga medis, paramedis, laboratorium,
rekam medis, petugas administrasi, farmasi dan tenaga terkait)
- Menyediakan biaya operasional.
- Supervisi, monitoring dan evaluasi pelaksanaan.

8
PENGORGANISASIAN
a. Tingkat Pusat
Kegiatan Manajemen TB Resistan Obat adalah bagian dari upaya
pengendalian TB yang dilakukan melalui Gerakan Terpadu Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis (Gerdunas TB). Dalam pelaksanaan
program TB MDR secara Nasional dilaksanakan oleh Direktorat
Pengendalian Penyakit Menular Langsung, cq.Sub Direktorat
Tuberkulosis.
d. Tingkat Provinsi
Pelaksanaan program TB MDR merupakan bagian dari pelaksanaan
program TB ditingkat provinsi, dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan
Provinsi Provinsi Jawa Tengah.
e. Tingkat Kabupaten/Kota
Pelaksanaan program TB MDR merupakan bagian dari pelaksanaan
program TB ditingkat kabupaten/kota dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan
Kota Magelang
f. Fasilitas Pelayanan Kesehatan dalam Manajemen TB Resistan
Obat dengan Kegiatan pelayanan Manajemen TB Resistan Obat
dilaksanakan oleh :
a. Fasyankes satelit
b. Fasyankes sub rujukan
c. Fasyankes pusat rujukan

JEJARING PENATALAKSANAAN PASIEN


Secara umum, jejaring dikembangkan untuk memudahkan akses dan untuk
mendapatkan layanan yang efektif, efisien dan bermutu Jejaring ini meliputi
jejaring internal dan eksternal.
a. Jejaring Internal
Jejaring internal adalah jejaring antar semua unit terkait di dalam
rumah sakit yang menangani kasus TB, termasuk TB MDR.Untuk
keberhasilan jejaring internal, perlu didukung dengan tim DOTS
rumah sakit. Tim DOTS rumah sakit mengkoordinasikan seluruh

9
kegiatan penanganan semua pasien tuberkulosis termasuk pasien TB
MDR. Tim Ahli Klinis merupakan bagian tim DOTS rumah sakit yang
khusus menangani pasien TB MDR.

b. Jejaring Eksternal
Jejaring eksternal adalah jejaring yang dibangun antara rumah sakit
dengan semua fasyankes dan institusi lain yang terkait dalam program
pengendalian tuberkulosis, termasuk penanganan pasien TB MDR dan
difasilitasi oleh Dinas Kesehatan setempat.

7. Fase 7 ( Evaluasi dan accountability)


a. Evaluasi: membandingkan tujuan dengan standar object of interest:
- Mengukur quality of life
- Indikator status kesehatan
- Faktor perilaku dan lingkungan
- Faktor predisposing, enabling, reinforcing
- Aktivitas intervensi
- Metode
- Perubahan kebijakan, regulasi atau organisasi
- Tingkat keahlian staf
- Kualitas penampilan dan pendidikan
b. Tingkat Evaluasi:
- Evaluasi proses
Evaluasi dari program promosi kesehatan yang dilaksanakan dalam hal ini
pada MDR TB perlu adanya promosi kesehatan,seperti upaya pendidikan
kesehatan secara menyeluruh dari tingkat atas sampai tingkat bawah.
Pendidikan kesehatan pada tingkat atas yaitu penyadaran pengambil
kebijakan untuk membuat sebuah aturan dalam hal penanggulangan MDR TB
sedangkan pada tingkat bawa menerapkan upaya promosi kesehatan agar
masyarakat tahu dan paham tentang pentingnya pengobatan TB sebelum
sampai pada tahap resistensi.
Evaluasi harus dilakukan kepada petugas kesehatan terhadap upaya
pencegahan dini terhadap pasien TB agar tidak resisten,petugaskesehatan
harus aktif dalam memantau pasien agar patuh dalam melakukan pengobatan
agar tidak terjadi resisten.
Tata laksana obat yang bermutu juga perlu evaluasi ,karena pengaruh obat
terhadap terjadinya TB MDR sangat berpengaruh besar.

8. Fase 8 (Evaluasi Impact)

10
Menilai efek langsung dari program pada target perilaku (predisposing,
enabling, reinforcing factors) dan lingkungan
Proses evaluasi di lihat dari tiga faktor yaitu :
 Predisposing (faktor pedisposing)
Faktor-faktor predisposisi (Predisposing factors), yang terwujud dalam pengetahuan,
sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan sebagainya
Pada tahapan pengetahuan harus di evaluasi perihal masalah pengetahuan
masyarakat secara umum tentang pencegahan MDR TB, melakukan penyuluhan
secara rutin pada area area yang tingkat MDR TB nya banyak ditemukan dengan
harapan mereka bisa mengetahuai dan bersikap waspada terhadap MDR
TB,kemudian kita evaluasi apakah pendidikan yang kita lakukan dapat meningkatkan
kewaspadaan masyarakat tentang MDR TB.
 Reinforcing factor (faktor penguat)
Perlu mengevaluasi kembali apakah ada peningkatan keterlibatan oleh petugas
pelayanan kesehatan terhadap pencegahan MDR TB dan penyampaian kegiatan
penyuluhan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakt terhadap MDR TB
 Enabling factor (faktor penguat)
Tersedianya petugas pelayanan kesehatan, tempat pelaksanaan kegiatan
pengobatan MDR TB seperti Mempunyai akses ke laboratorium yang telah
disertifikasi untuk melaksanakan biakan dan uji kepekaan terhadap OAT (Drugs
Susceptibility Test/ DST)

9. Fase 9 (Evaluasi outcome)


Evaluasi terhadap masalah pokok yang pada proses awal perencanaan akan
diperbaiki: satus kesehatan dan quality of life. Pada tahap quality of life yang kita
harapkan pada masyarakat sehingga mereka bisa lebih prodiktif dalam hal
ekonomi,sosial dan budaya untuk kesejahteraan keluaga dan masyarakat hal ini untuk
mengukur kualitas hidup sehat masyarakat.

BAGAN PRECEEDE PROCEEDE PADA KASUS TB MDR

11
12

You might also like