You are on page 1of 15

ACUTE RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME (ARDS)

DEFINISI
ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome) merupakan sindrom yang ditandai oleh
peningkatan permeabilitas membran alveolar – kapiler terhadap air, larutan dan protein
plasma, disertai kerusakan alveolar difus, dan akumulasi cairan dalam parenkim paru yang
mengandung protein.
Dasar definisi yang dipakai konsensus Komite Konferensi ARDS Amerika-Eropa
tahun 1994 terdiri dari :
1. Gagal napas (respiratory failure/distress) dengan onset akut;
2. Rasio tekanan oksigen pembuluh arteri berbanding fraksi oksigen yang diinspirasi
(PaO2 / FIO2) < 200 mmHg – hipoksemia berat;
3. Radiografi dada : infiltrat alveolar bilateral yang sesuai dengan edema paru;
4. Tekanan baji kapiler pulmoner (pulmonary capillary wedge pressure) < 18 mmHg,
tanpa tanda tanda klinis (rontgen,dan lain-lain) adanya hipertensi atrial kiri / (tanpa
adanya tanda gagal jantung kiri).
Bila PaO2 / FIO2 antara 200-300 mmHg, maka disebut Acute Lung Injury (ALI).
Konsensus juga mensyaratkan terdapatnya faktor resiko terjadinya ALI dan tidak adanya
penyakit paru kronik yang bermakna.

EPIDEMIOLOGI
Insiden ARDS sangat bervariasi, sebagian karena penelitian telah menggunakan
definisi yang berbeda dari penyakit. Selain itu, untuk menentukan perkiraan yang akurat dari
insiden, semua kasus ARDS dalam populasi tertentu harus ditemukan dan disertakan.
Meskipun ini mungkin bermasalah, data terakhir yang tersedia dari Amerika Serikat dan studi
internasional yang dapat menjelaskan kejadian yang sebenarnya dari kondisi ini.
Pada 1970-an, ketika sebuah penelitian Institut Kesehatan Nasional (NIH) ARDS
sedang direncanakan, frekuensi tahunan diperkirakan adalah 75 kasus per 100.000 penduduk.
Penelitian selanjutnya, sebelum pengembangan definisi AECC, yaitu aspek melaporkan
angka jauh lebih rendah. Sebagai contoh, sebuah studi dari Utah menunjukkan kejadian
diperkirakan 4,8-8,3 kasus per 100.000 penduduk.

Data yang diperoleh baru – baru ini oleh Jaringan Studi NIH disponsori ARDS
menunjukkan bahwa kejadian ARDS sebenarnya mungkin lebih tinggi dari perkiraan semula
dari 75 kasus per 100.000 penduduk. Sebuah penelitian prospektif dengan menggunakan
definisi 1994 AECC dilakukan di King County, Washington, dari April 1999 sampai Juli 2000
dan menemukan bahwa kejadian yang disesuaikan menurut umur dari ALI adalah 86,2 per
100.000 orang – tahun.
Meningkat dengan usia, mencapai 306 per 100.000 orang – tahun untuk orang di usia
75-84 tahun. Berdasarkan statistik ini, diperkirakan 190.600 kasus ada di Amerika Serikat
setiap tahun dan bahwa kasus – kasus yang berhubungan dengan 74.500 kematian.
Internasional statistik Studi pertama yang menggunakan definisi AECC 1994 dilakukan di
Skandinavia, yang melaporkan tingkat tahunan 17,9 kasus per 100.000 penduduk untuk ALI
dan 13,5 kasus per 100.000 penduduk untuk ARDS.
ARDS dapat terjadi pada orang dari segala usia. Insiden meningkat dengan usia
lanjut, mulai dari 16 kasus per 100.000 orang – tahun pada mereka yang berusia 15-19 tahun
untuk 306 kasus per 100.000 orang – tahun pada mereka yang berusia antara 75 dan 84 tahun.
Distribusi usia mencerminkan kejadian penyebab yang mendasari.
Untuk ARDS berhubungan dengan sepsis dan penyebab lain, tidak ada perbedaan
insidens antara pria dan wanita tampaknya ada. Namun, pada pasien trauma saja, insiden
penyakit ini mungkin sedikit lebih tinggi di antara perempuan.

ETIOLOGI
ARDS berkembang sebagai akibat kondisi atau kejadian berbahaya berupa trauma
jaringan paru baik secara langsung maupun tidak langsung. Penyebabnya bisa penyakit
apapun, yang secara langsung ataupun tidak langsung melukai paru-paru:
1. Trauma langsung pada paru
a. Pneumoni virus, bakteri
b. Contusio paru
c. Aspirasi cairan lambung
d. Inhalasi asap berlebih
e. Inhalasi toksin
f. Menghisap O2 konsentrasi tinggi dalam waktu lama
2. Trauma tidak langsung
a. Sepsis
b. Shock, Luka bakar hebat, tenggelam
c. DIC (Dissemineted Intravaskuler Coagulation)
d. Pankreatitis
e. Uremia
f. Overdosis obat seperti heroin, metadon, propoksifen atau aspirin
g. Idiophatic (tidak diketahui)
h. Bedah Cardiobaypass yang lama
i. Transfusi darah yang banyak
j. PIH (Pregnant Induced Hipertension)
k. Peningkatan TIK
l. Terapi radiasi
m. Trauma hebat, Cedera pada dada
Gejala biasanya muncul dalam waktu 24-48 jam setelah terjadinya penyakit atau
cedera. SGPA(sindrom gawat pernafasan akut) seringkali terjadi bersamaan dengan
kegagalan organ lainnya, seperti hati atau ginjal. Salah satu faktor resiko dari SGPA adalah
merokok sigaret.Angka kejadian SGPA adalah sekitar 14 diantara 100.000 orang/tahun.
Menurut Hudak & Gallo ( 1997 ), gangguan yang dapat mencetuskan terjadinya
ARDS adalah ;
1. Sistemik :
a. Syok karena beberapa penyebab
b. Sepsis gram negatif
c. Hipotermia
d. Hipertermia
e. Overdosis obat ( Narkotik, Salisilat, Trisiklik, Paraquat, Metadone, Bleomisin )
f. Gangguan hematology ( DIC, Transfusi massif, Bypass kardiopulmonal )
g. Eklampsia
h. Luka bakar
2. Pulmonal :
a. Pneumonia (viral, bakteri, jamur, penumosistik karinii)
b. Trauma (emboli lemak, kontusio paru)
c. Aspirasi (cairan gaster, tenggelam, cairan hidrokarbon)
d. Pneumositis
3. Non-Pulmonal :
a. Cedera kepala
b. Peningkatan TIK
c. Pascakardioversi
d. Pankreatitis
e. Uremia

FAKTOR RESIKO
Kerusakan (Injury) langsung pada epitel alveolus :
1. Aspirasi isi gaster;
2. Infeksi paru difus;
3. Kontusio paru;
4. Tenggelam;
5. Inhalasi toksik.
Kerusakan (Injury) tidak langsung :
1. Sepsis;
2. Trauma nontoraks;
3. Transfusi produk darah berlebihan;
4. Pankreatitis;
5. Pintas kardiopulmoner.

PATOLOGI
Epitelium alveolar dan endotelium mikrovaskular mengalami kerusakan pada ARDS.
Kerusakan ini menyebabkan peningkatan permeabilitas barier alveolar dan kapiler sehingga
cairan masuk ke dalam ruang alveolar. Derajat kerusakan epithelium alveolar ini menentukan
prognosis.
Epitelium alveolar normal terdiri dari 2 tipe sel, yaitu sel pneumosit tipe I dan sel
pneumosit tipe II. Permukaan alveolar 90% terdiri dari sel pneumosit tipe I berupa sel pipih
yang mudah mengalami kerusakan. Fungsi utama sel pneumosit tipe I adalah pertukaran gas
yang berlangsung secara difusi pasif. Sel pneumosit tipe II meliputi 10% permukaan alveolar
terdiri atas sel kuboid yang mempunyai aktivitas metabolik intraselular, transport ion,
memproduksi surfaktan dan lebih resisten terhadap kerusakan.
Kerusakan epitelium alveolar yang berat menyebabkan kesulitan dalam mekanisme
perbaikan paru dan menyebabkan fibrosis. Kerusakan pada fase akut terjadi pengelupasan sel
epitel bronkial dan alveolar, diikuti dengan pembentukan membran hialin yang kaya protein
pada membran basal epitel yang gundul. Neutrofil memasuki endotel kapiler yang rusak dan
jaringan interstitial dipenuhi cairan yang kaya akan protein.
Keberadaan mediator anti inflamasi, interleukin-1-receptor antagonists, soluble
tumor necrosis factor receptor, auto antibodi yang melawan Interleukin/IL-8 dan IL-10
menjaga keseimbangan alveolar.
PATOGENESIS
ALI / ARDS dimulai dengan kerusakan pada epitel alveolar dan endotel
mikrovaskular. Kerusakan awal dapat diakibatkan injury langsung atau tidak langsung. Kedua
hal tersebut mengaktifkan kaskade inflamasi, yang dibagi dalam tiga fase yang dapat
dijumpai secara tumpang tindih: inisiasi, amplifikasi, dan injury.
Pada fase inisiasi, kondisi yang menjadi faktor resiko akan menyebabkan sel – sel
imun dan non – imun melepaskan mediator – mediator dan modulator – modulator inflamasi
di dalam paru dan ke sistemik. Pada fase amplifikasi, sel efektor seperti netrofil teraktivasi,
tertarik dan tertahan di dalam paru. Di dalam organ target tersebut mereka melepaskan
mediator inflamasi, termasuk oksidan dan protease, yang secara langsung merusak paru dan
mendorong proses inflamasi selanjutnya. Fase ini disebut fase injury.
Kerusakan pada membrane alveolar – kapiler menyebabkan peningkatan
permeabilitas membran, dan aliran cairan yang kaya protein masuk ke ruang alveolar. Cairan
dan protein tersebut merusak integritas surfaktan di alveolus, dan terjadi kerusakan lebih
jauh. Terdapat tiga fase kerusakan alveolus :
1. Fase eksudatif : ditandai edema interstitial dan alveolar, nekrosis sel pneumosit tipe I
dan denudasi / terlepasnya membran basalis, pembengkakan sel endotel dengan
pelebaran intercellular junction, terbentuknya membran hialin pada duktus alveolar
dan ruang udara, dan inflamasi neutrofil. Juga ditemukan hipertensi pulmoner dan
berkurangnya compliance paru;
2. Fase proliferatif : paling cepat timbul setelah 3 hari sejak onset, ditandai proliferasi sel
epitel pneumosit tipe II;
3. Fase fibrosis : kolagen meningkat dan paru menjadi padat karena fibrosis.
PATOFISIOLOGI
Perubahan patofisiologi yang terjadi pada ARDS adalah edema paru interstistial dan
penurunan kapasitas residu fungsional (KRF) karena atelektasis kongestif difus. Keadaan
normal, filtrasi cairan ditentukan oleh hukum Starling yang menyatakan filtrasi melewati
endotel dan ruang intertisial adalah selisih tekanan osmotik protein dan hidrostatik :
Q = K (Pc-Pt) – D (c-t)
Q : kecepatan filtrasi melewati membran kapiler
Pt : tekanan hidrostatik interstitial
K : koefisien filtrasi
c : tekanan onkotik kapiler
D : koefisien refleksi
t : tekanan onkotik interstitial
Pc : tekanan hidrostatik kapiler
Perubahan tiap aspek dari hukum Starling akan menyebabkan terjadinya edema paru.
Tekanan hidrostatik kapiler (Pc) meningkat akibat kegagalan fungsi ventrikel kiri akan
menyebabkan peningkatan filtrasi cairan dari kapiler ke interstitial. Cairan kapiler tersebut
akan mengencerkan protein interstitial sehingga tekanan osmotik interstitial menurun dan
mengurangi pengaliran cairan ke dalam vena.
Kerusakan endotel kapiler atau epitel alveoli atau keduanya pada ARDS
menyebabkan peningkatan permeabilitas membran alveoli-kapiler (terutama sel pneumosit
tipe I) sehingga cairan kapiler merembes dan berkumpul didalam jaringan interstitial, jika
telah melebihi kapasitasnya akan masuk ke dalam rongga alveoli (alveolar flooding) sehingga
alveoli menjadi kolaps (mikroatelektasis) dan compliance paru akan lebih menurun.
Merembesnya cairan yang banyak mengandung protein dan sel darah merah akan
mengakibatkan perubahan tekanan osmotik.
Cairan bercampur dengan cairan alveoli dan merusak surfaktan sehingga paru menjadi
kaku, keadaan ini akan memperberat atelektasis yang telah terjadi. Mikroatelektasis akan
menyebabkan shunting intrapulmoner, ketidakseimbangan (mismatch) ventilasi-perfusi
(VA/Q) dan menurunnya KRF, semua ini akan menyebabkan terjadinya hipoksemia berat dan
progresivitas yang ditandai dengan pernapasan cepat dan dalam. Shunting intrapulmoner
menyebabkan curah jantung akan menurun 40%.
Hipoksemia diikuti asidemia, mulanya karena pengumpulan asam laktat selanjutnya
merupakan pencerminan gabungan dari unsur metabolik maupun respiratorik akibat
gangguan pertukaran gas. Penderita yang sembuh dapat menunjukan kelainan faal paru
berupa penurunan volume paru, kecepatan aliran udara dan khususnya menurunkan kapasitas
difusi.

MANIFESTASI KLINIK
Ciri khas ARDS adalah hipoksemia yang tidak dapat diatasi selama bernapas spontan.
Frekuensi pernapasan sering kali meningkat secara bermakna dengan ventilasi menit tinggi.
Sianosis dapat atau tidak terjadi. Hal ini harus diingat bahwa sianosis adalah tanda dini dari
hipoksemia.
Gejala klinis utama pada kasus ARDS adalah:
a. Distres pernafasan akut: takipnea, dispnea, pernafasan menggunakan otot aksesoris
pernafasan dan sianosis sentral.
b. Batuk kering dan demam yang terjadi lebih dari beberapa jam sampai sehari.
c. Auskultasi paru: ronkhi basah, krekels halus di seluruh bidang paru, stridor, wheezing.
d. Perubahan sensorium yang berkisar dari kelam pikir dan agitasi sampai koma.
e. Auskultasi jantung: bunyi jantung normal tanpa murmur atau gallop
Sindroma gawat pernafasan akut terjadi dalam waktu 24-48 jam setelah kelainan
dasarnya. Mula-mula penderita akan merasakan sesak nafas, bisanya berupa pernafasan yang
cepat dan dangkal. Karena rendahnya kadar oksigen dalam darah, kulit terlihat pucat atau
biru, dan organ lain seperti jantung dan otak akan mengalami kelainan fungsi. Hilangnya
oksigen karena sindroma ini dapat menyebabkan komplikasi dari organ lain segera setelah
sindroma terjadi atau beberapa hari/minggu kemudian bila keadaan penderita tidak membaik.
Kehilangan oksigen yang berlangsung lama bisa menyebabkan komplikasi serius seperti
gagal ginjal. Tanpa pengobatan yang tepat, 90% kasus berakhir dengan kematian. Bila
pengobatan yang diberikan sesuai, 50% penderita akan selamat. Karena penderita kurang
mampu melawan infeksi, mereka biasanya menderita pneumonia bakterial dalam perjalanan
penyakitnya.
Gejala lainnya yang mungkin ditemukan:
a. Cemas
b. Tekanan darah rendah atau syok (tekanan darah rendah disertai oleh kegagalan
organ lain)
c. Penderita seringkali tidak mampu mengeluhkan gejalanya karena tampak sangat
sakit.

DIAGNOSIS KLINIS
Onset akut umumnya ialah 3-5 hari sejak adanya diagnosis kondisi yang menjadi
faktor resiko ARDS. Tanda pertama ialah takipnea. Dapat ditemui hipotensi, febris. Pada
auskultasi ditemukan ronki basah.

DIAGNOSIS BANDING
a. Edema paru kardiogenik
b. Infeksi paru : viral, bakterial, fungal
c. Edema paru yang berhubungan dengan ketinggian (high – altitude pulmonary
edema = HAPE)
d. Edema paru neurogenik
e. Edema paru diinduksi laringospasme
f. Edema paru diinduski obat : heroin, salisilat, kokain
g. Pneumonitis radiasi
h. Sindrom emboli lemak
i. Stenosis mitral dengan perdarahan alveolar
j. Vaskulitis
k. Pneumonitis hipersensitivitas
l. Penyakit paru interstisial

PEMERIKSAAN FISIK
Temuan fisik sering tidak spesifik dan termasuk takipnea, takikardia, dan kebutuhan
untuk sebagian kecil tinggi oksigen terinspirasi (FiO2) untuk mempertahankan saturasi
oksigen. Pasien mungkin demam atau hipotermia. Karena ARDS sering terjadi dalam konteks
sepsis, hipotensi terkait dan vasokonstriksi perifer dengan ekstremitas dingin mungkin ada.
Sianosis pada bibir dan kuku tempat tidur dapat terjadi. Pemeriksaan paru – paru dapat
mengungkapkan rales bilateral. Rales mungkin tidak hadir meskipun keterlibatan luas.
Karena pasien sering diintubasi dan ventilasi mekanik, bunyi nafas menurun lebih dari 1 paru
– paru dapat menunjukkan pneumotoraks atau tabung endotrakeal turun bronkus utama
kanan.
Manifestasi dari penyebab yang mendasari misalnya, temuan perut akut dalam kasus
ARDS disebabkan oleh pankreatitis. Pada pasien septik tanpa sumber yang jelas, perhatikan
selama pemeriksaan fisik untuk mengidentifikasi penyebab potensial dari sepsis, termasuk
tanda-tanda konsolidasi paru-paru atau temuan konsisten dengan abdomen akut. Hati-hati
memeriksa situs garis intravaskuler, luka bedah, situs tiriskan, dan ulkus dekubitus untuk
bukti infeksi. Periksa subkutan udara, manifestasi infeksi atau barotrauma. Karena edema
paru kardiogenik harus dibedakan dari ARDS, hati-hati mencari tanda-tanda gagal jantung
kongestif atau kelebihan beban volume intravaskular, termasuk distensi vena jugularis,
murmur jantung dan gallop, hepatomegali, dan edema.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Dalam ARDS, jika tekanan parsial oksigen dalam darah arteri pasien (PaO2) dibagi
oleh fraksi oksigen dalam udara inspirasi (FiO2), hasilnya adalah 200 atau kurang. Untuk
pasien bernafas oksigen 100%, ini berarti bahwa PaO 2 kurang dari 200. Pada cedera paru akut
(ALI), rasio PaO2/FIO2 kurang dari 300.
Selain hipoksemia, gas darah arteri sering awalnya menunjukkan alkalosis
pernapasan. Namun, dalam ARDS terjadi dalam konteks sepsis, asidosis metabolik dengan
atau tanpa kompensasi pernapasan mungkin ada.
Saat kondisi berlangsung dan pekerjaan peningkatan pernapasan, tekanan parsial
karbon dioksida (PCO2) mulai meningkat dan alkalosis pernapasan memberikan cara untuk
asidosis pernafasan. Pasien pada ventilasi mekanik untuk ARDS mungkin diperbolehkan
untuk tetap hiperkapnia (hiperkapnia permisif) untuk mencapai tujuan dari volume tidal
rendah dan terbatas dataran tinggi strategi ventilator tekanan yang bertujuan untuk membatasi
ventilator terkait cedera paru-paru.
Untuk mengecualikan edema paru kardiogenik, mungkin akan membantu untuk
mendapatkan plasma B-type natriuretic peptide (BNP) nilai dan ekokardiogram. Tingkat BNP
kurang dari 100 pg / mL pada pasien dengan infiltrat bilateral dan hipoksemia nikmat
diagnosis ARDS / cedera paru akut (ALI) daripada edema paru kardiogenik. Echocardiogram
yang menyediakan informasi tentang fraksi ejeksi ventrikel kiri, gerakan dinding, dan
kelainan katup.
Kelainan lain yang diamati pada ARDS tergantung pada penyebab atau komplikasi
yang terkait dan mungkin termasuk yang berikut:
1. Laboratorium
a. Analisis gas darah : hipoksemia, hipokapnia (sekunder karena hiperventilasi),
hiperkapnia (pada emfisema atau keadaan lanjut). Alkalosis respiratorik pada awal
proses, akan berganti menjadi asidosis respiratorik.
b. Leukositosis (pada sepsis), anemia, trombositopenia (refleksi inflamasi sistemik
dan injuri endotel), peningkatan kadar amilase (pada pankreatitis).
c. Gangguan fungsi ginjal dan hati, tanda koagulasi intravaskular diseminata
(sebagai bagian dari MODS / multiple organ dysfunction syndrome).
d. Sitokin – sitokin, seperti interleukin (IL) -1, IL-6, dan IL-8, yang meningkat
dalam serum pasien pada risiko ARDS
2. Pencitraan
a. Foto dada : pada awal proses, dapat ditemukan lapangan paru yang relatif jernih,
kemudian tampak bayangan radioopak difus dan tidak terpengaruh gravitasi, tanpa
gambaran kongesti jantung.
b. CT scan : pola heterogen, predominasi infiltrat pada area dorsal paru (foto supine).

TATALAKSANA
1. Ambil alih fungsi pernapasan dengan ventilator mekanik.
Prinsip pengaturan ventilator untuk pasien ARDS meliputi:
 Volume tidal rendah (4-6 mL/kgBB).
 Positive end expiratory pressure (PEEP) yang adekuat, untuk memberikan
oksigenasi adekuat (PaO2 > 60 mmHg) dengan tingkat FiO2 aman.
 Menghindari barotrauma (tekanan saluran napas <35cmH2O atau di bawah titik
refleksi dari kurva pressure-volume).
 Menyesuaikan rasio I:E (lebih tinggi atau kebalikan rasio waktu inspirasi terhadap
ekspirasi dan hiperkapnia yang diperbolehkan).

2. Obat – obatan :
a. Kortikosteroid pada pasien dengan fase lanjut ARDS / ALI atau fase
fibroproliferatif, yaitu pasien dengan hipoksemia berat yang persisten, pada atau
sekitar hari ketujuh ARDS. Rekomendasi mengenai hal ini masih menunggu hasil
studi multisenter RCT besar yang sedang berlangsung.
b. Inhalasi nitric oxide (NO) memberi efek vasodilatasi selektif pada area paru yang
terdistribusi, sehingga menurunkan pirau intrapulmoner dan tekanan arteri
pulmoner, memperbaiki V/Q matching dan oksigenasi arterial. Diberikan hanya
pada pasien dengan hipoksia berat dengan refrakter.
3. Posisi pasien : posisi telungkup meningkatkan oksigenasi, tetapi tidak mengubah
mortalitas. Perhatian terutama saat merubah posisi telentang ke telungkup, dan
mencegah dekubitus pada area yang menumpu beban.
4. Cairan : pemberian cairan harus menghitung keseimbangan antara :
a. Kebutuhan perfusi organ yang optimal
b. Masalah ekstravasasi cairan ke paru dan jaringan : peningkatan tekanan
hidrostatik intravaskular mendorong akumulasi cairan di alveolus.
Fokus utama ialah mempertahankan perfusi yang adekuat tanpa mengorbankan
oksigenasi. Restriksi cairan paling baik dimonitor dengan kateter arteri pulmonal, dan cairan
dipertahankan pada level dimana tekanan hidrostatik intravaskular terendah, tetapi curah
jantung adekuat. Tetapi hal ini tidak terbukti memperbaiki hasil pengobatan.

KOMPLIKASI
a. Multiorgan dysfunction syndrome (MODS)
b. Pneumonia nosokomial
c. Barotraumas, pneumotoraks
d. Sinusitis
e. Trauma laring
f. Trakeomalasia
g. Fistula trakeo – esophageal
h. Erosi arteri inominata
i. Kematian
PROGNOSIS
Mortalitas sekitar 40%. Prognosis dipengaruhi oleh :
a. Faktor resiko, ada tidaknya sepsis, pasca trauma, dan lain – lain
b. Penyakit dasar
c. Adanya keganasan
d. Adanya atau timbulnya disfungsi organ multipel
e. Usia
f. Riwayat penggunaan alkohol
g. Ada atau tidaknya perbaikan dalam indeks pertukaran gas, seperti rasio PaO2 /
FIO2 dalam 3-7 hari pertama.
Pasien yang membaik akan mengalami pemulihan fungsi paru dalam 3 bulan dan
mencapai fungsi maksimum yang dapat dicapai pada bulan keenam setelah ekstubasi. 50%
pasien tetap memiliki abnormalitas, termasuk gangguan restriksi dan penurunan kapasitas
difusi. Juga terjadi penurunan kualitas hidup.
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo, Aru W. (2010), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V, Jakarta,
Interna Publishing
2. Corwin, Elizabeth J. (2009), Patofisiologi, Jakarta, EGC Ashbaugh DG, Bigelow DB,
Petty TL. Acute respiratory distress in adults. Lancet. Aug 12 1967;2(7511):319-23.
3. Guerin C, Gaillard S, Lemasson S. Effects of systematic prone positioning in
hypoxemic acute respiratory failure: a randomized controlled trial. JAMA. Nov 17
2004;292(19):2379-87.
4. Calfee CS, Matthay MA, Eisner MD, Benowitz N, Call M, Pittet JF, et al. Active and
Passive Cigarette Smoking and Acute Lung Injury Following Severe Blunt Trauma.
Am J Respir Crit Care Med. Mar 18 2011
5. Glavan BJ, Holden TD, Goss CH, Black RA, Neff MJ, Nathens AB, et al. Genetic
variation in the FAS gene and associations with acute lung injury. Am J Respir Crit
Care Med. Feb 1 2011;183(3):356-63.
6. Rubenfeld GD, Caldwell E, Peabody E, Weaver J, Martin DP, Neff M. Incidence and
outcomes of acute lung injury. N Engl J Med. Oct 20 2005;353(16):1685-93.
7. Luhr OR, Antonsen K, Karlsson M. Incidence and mortality after acute respiratory
failure and acute respiratory distress syndrome in Sweden, Denmark, and Iceland. The
ARF Study Group. Am J Respir Crit Care Med. Jun 1999;159(6):1849-61.
8. http://medicastore.com/penyakit/106/Sindroma_Gawat_Pernafasan_Akut.ht.ml09.42,
140909)
9. Eloise M. Harman, MD. Rajat, Walia, MD. 2005. Acute Respiratory Distress
Syndrome ( http://www.emedicine.com/med/topic70.htm )
10. Mark J D Griffiths dan Timothy W Evans, 2003. Acute Respiratory Distress
Syndrome dalam Respiratori Medicine, volume I Edisi 3, RDC Group LTD.

You might also like