You are on page 1of 5

Penjelasan Hadits Arba’in Nawawiyah Nomor 33: Tuntunan Ketika Bersengketa

Anas Burhanudin, Lc., M.A. 8 October 2008 0 Comments

‫س بنعدبععواهابم لعبَدععي نرعجاَّلل أعبمعواعل قعبوسم عوندعماَّعءهابم عولعنكن‬


‫طىَّ النبَاَّ ا‬ ‫ضعي اا ععبنهاعماَّ أعبَن عراسبوعل ان ع‬
‫َ )) لعبو يابع ع‬:‫صبَلىَّ اا ععلعبينه عوعسلبَعم قعاَّعل‬ ‫ععنن اببنن ععببَاَّ س‬
‫س عر ن‬
‫ وبعضه في الصحيحين‬,‫ابلبعيينعةا عععلىَّ ابلامبَدنعي عوابليعنمبيان عععلىَّ عمبن أعبنعكعر(( حديث حسن رواه البيهقي وغيره هكذا‬

Dari Ibnu Abbas dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika semua orang diberikan (apa
yang mereka dakwakan) hanya dengan dakwaan mereka, maka akan banyak orang yang mendakwakan
harta dan jiwa orang lain. Tapi yang mendakwa harus mendatangkan bukti dan terdakwa yang
mengingkari harus bersumpah.” (Hadits hasan diriwayatkan oleh Al-Baihaqy dan yang lain demikian, dan
sebahagiannya di Shahihain)

Hadits Ibnu Abbas ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari (4552) dan Muslim (1711), tapi dalam riwayat
keduanya tidak ada lafazh, “Tapi yang mendakwa harus mendatangkan bukti.” Namun kalimat ini telah
shahih dalam hadits Al-Asy’ats bin Qais riwayat Al-Bukhari dan Muslim dalam kisah Al-Asy’ats dengan
anak pamannya. Berkata Al-Asy’ats: Terjadi perselisihan antara aku dengan seseorang tentang sebuah
sumur. Kamipun mengangkat permasalahan tersebut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Datangkanlah dua saksi atau dia akan
bersumpah.” Akupun berkata: “Kalau begitu dia akan dengan mudah bersumpah dan tidak peduli.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda: “Barang siapa yang bersumpah untuk
mendapatkan harta dan ia berdosa di dalamnya, ia akan bertemu Allah dalam keadaan Allah murka
kepadanya. Maka Allah menurunkan ayat yang menegaskan hal tersebut, kemudian beliau membaca

‫ب‬‫ق لعهابم نفي النخعرنة عولع ياعكليامهاام اا عولع يعبنظاار إنلعبينهبم يعبوعم ابلقنيعاَّعمنة عولع ياعزيكبينهبم عولعهابم عععذا ل‬ ‫إنبَن البَنذبيعن يعبشتعاربوعن بنععبهند ان عوأعبيعماَّنننهبم ثععمنناَّ قعلنبيلن أابولعئن ع‬
‫ك لع عخلع ع‬
‫أعلنبيلم‬

“Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji (nya dengan) Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan
harga yang sedikit, mereka itu tidak mendapat bahagian (pahala) di akhirat, dan Allah tidak akan berkata-
kata dengan mereka dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari kiamat dan tidak (pula) akan
mensucikan mereka. Bagi mereka azab yang pedih.” (QS. Ali Imran [3]: 77)

Dan diriwayatkan bahwa Umar bin Khattab telah menulis kepada Abu Musa: Yang mendakwa harus
mendatangkan bukti dan terdakwa yang mengingkari harus bersumpah. Zaid bin Tsabit juga telah
menghukumi perselisihan antara Umar dan Ubay bin Ka’ab dengan cara tersebut, dan keduanya tidak
mengingkarinya. (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 373)

Ibnul Mundzir berkata: Para ulama berijma’ (sepakat) bahwa yang mendakwa harus mendatangkan bukti
dan terdakwa yang mengingkari harus bersumpah. Dan arti: “yang mendakwa harus mendatangkan
bukti” adalah bahwa pendakwa berhak atas apa yang ia dakwakan dengan bukti karena hal tersebut
wajib atasnya. Dan arti “terdakwa yang mengingkari harus bersumpah” adalah bahwa terdakwa bebas
dari dakwaan dengan sumpahnya karena sumpah tersebut wajib atasnya dalam keadaan apapun.

Hadits ini adalah pokok dalam bab peradilan. Ibnu Daqiq berkata: “Dan hadits ini adalah salah satu pokok
hukum dan referensi utama dalam pertentangan dan perselisihan. Konsekuensinya seseorang tidak
boleh divonis hanya dengan dakwaannya.” (Syarah Arba’in, Ibnu Daqiq, 117)

Hadits ini menunjukkan bahwa jika vonis diberikan untuk pendakwa hanya dengan dakwaannya, akan
banyak orang yang memanfaatkannya untuk merebut harta orang lain dan mengancam jiwa dan
kehormatannya. Dalam hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa pendakwa harus
mendatangkan bayyinah atau bukti, yaitu jika terdakwa mungkir dan tidak mengakui dakwaan. Adapun
jika terdakwa mengakui dakwaan, masalahnya selesai dan pengakuan ini disebut iqrar. Pendakwa tidak
perlu lagi mendatangkan bukti.

Bayyinah adalah segala sesuatu yang menjelaskan dan menunjukkan kebenaran baik berupa saksi, tanda-
tanda (indikasi) dsb. Jika pendakwa mendatangkan bayyinah, ia bisa mendapatkan hak yang ia
dakwakan. Jika tidak ada bayyinah, si terdakwa harus bersumpah mengingkari dakwaan. Jika ia
melakukannya, ia bebas dari dakwaan tersebut. Jika ia menolak bersumpah, ia divonis dengan penolakan
tersebut dan pendakwa berhak mendapat hak yang ia dakwakan. Penolakan ini disebut nukul.

Kaidah tersebut adalah kaidah umum. Ada beberapa masalah yang dikecualikan dari kaidah ini, sehingga
pendakwa tidak perlu mendatangkan bukti atas dakwaannya. Masalah-masalah tersebut antara lain:

Anak yang mengaku balig dengan bermimpi basah

Orang yang dititipi mengaku bahwa barang titipannya rusak atau dicuri orang.

Bagaimana Menentukan Mudda’i (Pendakwa) Dan Mudda’a ‘Alaih (Terdakwa) ?


Masalah ini adalah tugas hakim/qadhi yang paling penting. Ibnu Farhun mengatakan bahwa ilmu qadha
berporos pada pembedaan mudda’a dari mudda’a ‘alaih. Jika qadhi sudah bisa menentukan mudda’i dan
mudda’a ‘alaih, alur peradilan akan menjadi mudah. Sa’id bin Al-Musayyib mengatakan: “Siapa yang
telah mengetahui mudda’a dan mudda’a ‘alaih tidak akan kesulitan menghukumi antara keduanya (Al-
Muqaddimat Al-Mumahhidat, 2/731). Tapi pekerjaan ini tidaklah mudah. Jelas bahwa mendatangkan
bukti lebih berat daripada bersumpah. Tugas mudda’i lebih berat dari tugas mudda’a ‘alaih. Jika qadhi
salah menentukan mudda’i dan mudda’a ‘alaih, ia akan membebani mudda’a ‘alaih dengan sesuatu yang
lebih berat dari yang seharusnya ia pikul, dan meringankan beban mudda’i.

Ada dua pendapat ulama (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 374) dalam menentukan mudda’i dan muddda’a
‘alaih yaitu:

Bahwa mudda’i adalah orang yang jika ingin meninggalkan khushumah (perselisihan / kasus) maka
dibolehkan dan tidak dipaksa untuk meneruskannya. Sedangkan mudda’a ‘alaih adalah orang yang jika
ingin meninggalkan khushumah maka ia akan dipaksa untuk meneruskannya. Pendapat ini adalah pilihan
sebagian besar ulama mazhab Hanafi dan Hanbali. Jika Bakr mendakwakan bahwa Zaid berhutang
kepadanya, maka Bakr adalah mudda’i karena ia bisa saja dan boleh meninggalkan dakwaannya sehingga
khushumah dianggap selesai. Adapun Zaid, ia menjadi mudda’a ‘alaih karena ia tidak bisa meninggalkan
khushumah begitu saja, dan dipaksa untuk menyelesaikannya.

Bahwa mudda’a ‘alaih adalah orang yang dikuatkan oleh ma’hud (adat dan kebiasaan) atau ashl (hukum
dasar), sedangkan mudda’i adalah orang yang menyelisihi ma’hud atau ashl. Misalnya ada dua orang
yang berebut mesin jahit. Salah satunya penjahit dan yang lain tukang kayu. Maka si tukang jahit adalah
mudda’a ‘alaih karena ma’hud menguatkannya. Biasanya mesin jahit adalah milik tukang jahit. Si tukang
kayu menjadi mudda’i dan harus mendatangkan bukti bahwa mesin jahit itu adalah miliknya. Contoh
lain: Ada kaidah yang menyatakan: “Al-Ashlu baraatudz dzimmah”. Pada dasarnya, setiap orang bebas
dari tanggungan. Jika Daud mendakwakan bahwa Sulaiman berhutang padanya, Sulaiman menjadi
mudda’a ‘alaih karena ia dikuatkan oleh ashl yaitu kaidah baraatudz dzimmah, yaitu bahwa sebelum
terjadi sesuatu, semua bebas dari tanggungan. Daud menjadi mudda’i dan harus mendatangkan bukti.

Masing-masing dari kedua pendapat ini tidak bisa secara mutlak diterapkan dalam setiap kasus. Setiap
kasus memiliki cara penentuan mudda’i dan mudda’a ‘alaih sendiri-sendiri. Hakim harus pintar-pintar
memilih cara mana yang sesuai untuk kasus yang sedang dihadapinya. (Lihat: Tabshiratul Hukkam, 1/106)

Tidak selamanya sumpah hanya diperuntukkan mudda’a ‘alaih. Kadang-kadang sumpah diminta dari
mudda’i seperti dalam beberapa masalah berikut:
Qasamah. Dalam shahih Bukhari dan Muslim dikisahkan bahwa Huwaishah dan Muhayyishah menuntut
qishash atas kematian Abdullah bin Sahl yang meninggal di perkampungan Khaibar. Mereka menuduh
Yahudi Khaibar telah membunuhnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta dari mereka untuk
mendatangkan dua orang saksi, mereka menjawab: “Bagaimana mana kami bisa mendatangkan dua
saksi?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Hendaknya ada lima puluh orang dari kalian
yang bersumpah bahwa seorang dari mereka telah membunuhnya, kemudian ia akan di tangkap (untuk
di qishash)”.

Menghukumi dengan saksi dan sumpah. Muslim dalam shahihnya meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghukumi dengan sumpah dan saksi. Adapun lafadz: “laisa
laka illa dzalika” dalam hadits “syaahidaaka aw yamiinuhu”, hanya diriwayatkan oleh Manshur bin Abi
Wail dan ia menyelesihi semua perawi yang lain dalam hal ini. Adapun sabda Nabi: “Dan terdakwa yang
mengingkari harus bersumpah” maksudnya adalah sumpah yang menyelesaikan perselisihan ketika tidak
ada bukti dari mudda’i. Adapun sumpah yang menetapkan suatu hak bersama saksi, maka ini adalah
sumpah jenis lain yang tidak dimaksudkan oleh hadits. (Lihat: Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 376)

Dalam dua masalah di atas kita dapatkan bahwa kesempatan bersumpah diberikan kepada pihak yang
lebih kuat di antara dua orang yang berselisih. Dalam qasamah, ketika posisi wali Abdullah bin Sahl lebih
kuat dengan lauts (indikasi), kesempatan sumpah diberikan kepada mereka. Sedang dalam masalah saksi
dan sumpah, ketika mudda’i bisa menghadirkan satu saksi, posisinya menjadi kuat dan kesempatan
bersumpah diberikan kepadanya. (Lihat: Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 376)

Sebagaimana pendakwa harus membuktikan dakwaannya dalam urusan dunia, ia harus mendatangkan
bukti atas dakwaannya dalam urusan-urusan ukhrawi. Barang siapa yang mengaku cinta Allah dan Rasul-
Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dianggap sungguh-sungguh dakwaannya jika membuktikan dakwaan
tersebut dengan mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana dijelaskan oleh
Allah dalam firman-Nya: “Katakanlah (wahai Muhammad): jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku
niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (QS. Ali Imran ayat 31)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Ayat yang mulia ini menjadi hakim atas setiap orang yang
mengaku mencintai Allah padahal tidak di atas jalan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia pada
hakikatnya bohong sampai mengikuti syariat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan agama Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua perkataan dan perbuatannya, seperti telah tetap dalam Ash
Shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau berkata:

« ‫س ععلعبينه أعبمارنعاَّ فعهاعو عردد‬


‫» عمبن ععنمعل عععملن لعبي ع‬
“Barang siapa melakukan sebuah amalan yang tidak berdasarkan ajaran kami, maka amalan itu ditolak.”

Karenanya Allah ta’ala berfirman: “jika kalian mencitai Allah, maka ikutilah aku niscaya Allah akan
mencintai kalian”. Artinya terwujud untuk kalian sesuatu yang lebih besar dari yang kalian cari (cinta
kalian kepada Allah), yaitu kecintaan Allah kepada kalian, dan ini lebih agung dari yang pertama.
Sebagian ulama bijak mengatakan: “Yang penting bukanlah engkau mencintai, tapi yang penting engkau
dicintai”. Dan Al-Hasan Al- Bashriy dan salaf yang lain berkata: “Suatu kaum mengaku bahwa mereka
mencintai Allah, maka Allah menguji mereka dengan ayat ini.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/367)

Beberapa faedah yang terkandung (Lihat: Fathul Qawiyyil Matin, 116):

Kesempurnaan syariat Islam yang melindungi harta dan jiwa manusia.

Penjelasan dari Nabi tentang alur peradilan dan cara menyelesaikan perselisihan.

Jika terdakwa tidak mengakui dakwaan, pendakwa harus mendatangkan bukti.

Jika tak ada bukti, terdakwa disumpah. Jika ia mau bersumpah, bebaslah ia dari dakwaan. Jika tidak, ia
divonis dengan dakwaan tersebut.

You might also like