You are on page 1of 14

Sejarah Hukum Laut Internasional

Hukum laut internasional adalah seperangkat norma hukum yang mengatur


hubungan hukum antara negara pantai atau yang berhubungan dengan pantai, yang
terkurung oleh daratan dan atau organisasi maupun subyek hukum internasional lainnya,
yang mengatur mengenai kedaulatan negara di laut, yurisdiksi negara dan hak-hak negara
atas perairan tersebut. Hukum laut internasional mempelajari tentang aspek-aspek hukum
di laut dan peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi di laut.
Hukum laut internasional mengalami perkembangan yang terus-menerus dan
mengalami penyempurnaan dari waktu ke waktu untuk kepentingan umat manusia melalui
aturan-aturan yang berlaku untuk tiap-tiap negara. Pemikiran-pemikiran dari para ahli dan
konferensi-konferensi tentang hukum laut internasional turut mewarnai proses
perkembangan hukum laut internasional ini.

A. Zaman Sebelum Ronawi


Semenjak laut dimanfaatkan untuk kepentingan pelayaran, perdagangan, dan
sebagai sumber kehidupan ahli-ahli hukum mulai mencurahkan perhatiannya pada hukum
laut. Sebagai suatu bentuk dari hukum laut yang paling dini pada abad ke-12 telah dikenal
beberapa kompilasi dari peraturan-peraturan yang dipakai di laut di Eropa. Di Laut Tengah
Lex Rhodia atau Hukum Laut Rhodhia mulai dikenal sejak abad ketujuh

B. Zaman Romawi
Pada zaman Romawi telah berkembang pemikiran dan aturan yang berkaitan
dengan laut. Namun pada dasarnya hanya ada 2 pendapat yang berkembang pada masa itu.
1. Res Communis Omnium
Laut adalah milik semua orang, jadi laut adalah milik masyarakat internasional.
Laut adalah milik bersama, sehingga Negara-negara bebas untuk mempergunakannya. Hal
ini berarti laut berada di bawah kedaulatan bersama, diatur melalui pengelolaan bersama,
merupakan domain public internasional dan berkaitan dengan kepentingan bersama
masyarakat internasional.
Stolberg, 1489 – Mühlhausen, 27 maggio
1525

“Omnia sunt communia, ‘All property should


be held in common’ and should be
distributed to each according to his needs,
as the occasion required. Any prince, count,
or lord who did not want to do this, after first
being warned about it, should be beheaded
or hanged.”

― Thomas Müntzer

2. Res Nullius
Laut merupakan suatu benda atau tempat yang tidak ada pemiliknya, laut bisa
diklaim oleh siapapun juga. Di laut berlaku “first come first serve” mereka yang datang
lebih dahulu maka merekalah yang berhak menguasai wilayah tersebut.

B. Abad Pertengahan
Setelah runtuhnya kekaisaran Romawi, muncul klaim sepihak dari Negara–negara
di sekitar Laut Tengah tentang hukum laut.
1. Teori Bartolus dan Baldus
a. Bartolus
Laut dibagi menjadi dua yaitu laut yang berada di bawah kekuasaan
kedaulatan negara pantai dan laut yang bebas dari kekuasaan dan kedaulatan
siapapun.
b. Baldus
Terdapat tiga konsepsi , yaitu :
 Pemilikan laut
 Pemakaian laut;
 Yurisdiksi dan wewenang atas laut untuk perlindungan kepentingan di laut.
2. Pada tahun 1943, Inter Caetera dari Paus Alexander II yang membagi lautan
menjadi dua yakni :
 Lautan Atlantik yang berada di bawah kekuasaan Spanyol
 Laut Pasifik yang berada di bawah kekuasaan Portugis.
3. Dalam perkembangannya terjadi “Battle of Books” dimana para sarjana
berargumen melalui buku. Para sarjana berargumen bahwa laut merupakan Mare
Liberum vs Mare Clausum.
a. Mare Liberum
Mare Liberum dikemukakan oleh Hugo Grotius. Doktrin Grotius dalam
De Yure Praedae (1868) tentang prinsip kebebasan berlayar di laut yang
berkaitan dengan konsep Freedom of The Sea. Dalam konsep Mare Liberum
dikatakan bahwa:
 Laut bersifat terbuka;
 Laut tidak dapat dimiliki (res extra commercium);
 Falsafah hukum alam bahwa laut itu bebas dan dapat digunakan oleh
siapapun juga.
b. Mare Clausum
Mare Clausum dikemukakan oleh John Selden pada tahun 1635. Teori ini
dikemukakan pada abad XVII oleh Inggris untuk menentang teori yang telah
dikemukakan oleh Grotius. Selden mengemukakan bahwa selama laut dikuasai
oleh suatu negara tertentu, maka negara tersebut mempunyai kekuasaan atas laut
tersebut.
 Teori ini dikembangkan oleh Pontanus yang mengemukakan bahwa :
- Kedaulatan suatu Negara (souvereignty) atas laut mencakup di
dalamnya wewenang untuk melarang pihak ketiga, tidak lagi dikaitkan
dengan dominium atas laut
- Laut yang berdekatan dengan daratan yang bisa menjadi kedaulatan
negara pantai, selebihnya adalah laut bebas.
 Teori Mare Clausum kembali dikembangkan oleh Cornelis van
Bynkershoek yang menyatakan terrae protestas finitur ubi finitur armorum
vis atau lebih dikenal dengan teori tembakan meriam, yang menyebutkan
bahwa lebar laut territorial suatu negara adalah sejauh 3 mil laut. Alasannya
karena 3 mil laut adalah jarak yang paling jauh yang bisa ditempuh oleh
tembakan meriam.
C. Zaman Modern
Pada zaman modern, hukum laut internasional mengalami perkembangan yang
sangat luar biasa. Perkembangan hukum laut internasional pada masa ini lebih banyak
melibatkan Negara-negara di dunia melalui konferensi sebagai pemikir dan pembuat
aturan-aturan dalam perumusan hukum laut.
1. Den Haag Convention 1930
Salah satu masalah Hukum Internasional yang dibicarakan dalam konferensi ini
adalah perairan teritorial (territorial water). Walaupun di dalam konferensi ini
belum diperoleh kesepakatan mengenai lebar laut territorial (laut wilayah), Namun
demikian, sudah ada rekaman hukum atau kejadian di dalam praktek bernegara
mengenai batasan wilayah laut,.
Konferensi Internasional utama yang membahas masalah laut teritorial ialah
“codificationconference” (13 Maret – 12 April 1930) di Den Haag, di bawah
naungan Liga Bangsa Bangsa, dan dihadiri delegasi dari 47 negara. Konferensi ini
tidak mencapai kata sepakat tentang batas luar dari laut teritorial dan hak
menangkap ikan dari negara-negara pantai pada zona tambahan. Ada yang
menginginkan lebar laut teritorial 3 mil (20 negara), 6 mil (12 negara), dan4 mil.
Konferensi ini menetapkan :
1. Wilayah negara yang meliputi jalur laut disebut Laut Teritorial. Wilayah
negara pantai meliputi ruang udara di atas laut territorial, dasar laut dan tanah
dibawahnya yang dikenal dengan istilah tiga demensi laut teritorial. Khusus
batasan ruang udara, dikenal teori gravitasi, yaitu benda yang masih jatuh ke
bawah, masih masuk ke dalam wilayah ruang udara/angkasa negara tersebut.
2. Hak Lintas Damai, pada prinsipnya kapal asing boleh masuk, melintas
wilayah laut asal tidak membuang jangkar, mencemarkan lingkungan,
menyelundup, dan lain-lain yang dapat menimbulkan keadaan tidak damai
(the right of innoucense)
3. Yurisdiksi criminal dan sipil atas kapal-kapal asing
4. Pengejaran seketika (hot porsuit) bila melanggar Sesudah Perang Dunia
Kedua (tahun 1945).
2. Truman Proclamation 28 September 1945
Latar belakang yang mendasari keluarnya Proklamasi Truman adalah:
a. Banyaknya Negara yang merdeka atau menyatakan merdeka;
b. Kemajuan teknologi;
c. Banyak Negara yang menyadari laut sebagai sumber daya alam yang
potensial.
Pada pokoknya proklamasi ini melontarkan pengertian baru tentang rezim
Continental Shelf (Landas Kontinen). Menurut Truman, landas kontinen
merupakan suatu kelanjutan alamiah dari wilayah daratan dengan tujuan
mengamankan dan mencadangkan sumber kekayaan alam serta penguasaan atas
sumber daya alam di bawahnya tanpa adanya effective occupation.
Isi dari proklamasi Truman adalah sebagai berikut:
a. Perlu pencarian Sumber Daya Alam baru dari minyak bumi dan mineral
lain untuk kebutuhan jangka panjang.
b. Perlu adanya eksplorasi dan eksploitasi sumber kekayaan alam yang
terdapat di seabed dan subsoil landas kontinen Negara Amerika Serikat
dengan memanfaatkan kemajuan teknologi.
Landas kontinen Amerika Serikat merupakan kelanjutan alamiah dari wilayah
daratan sehingga usaha untuk mengolah kekayaan alamnya memerlukan kerjasama
dan perlindungan dengan Negara pantai yang berbatasan.
3. Geneva Convention 1958 (UNCLOS I)
Konvensi Geneva tentang hukum laut menghasilkan 4 (empat) konvensi antara
lain :
a. Convention on the Territorial Sea and Contigous Zone 10 September 1964
(Konvensi mengenai Laut Teritorial dan Zona Tambahan);
b. Convention on the High Seas 30 Septembern1962 (Konvensi mengenai Laut
Bebas)
c. Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of the
High Seas 20 Maret 1966 (Konvensi mengenai Perikanan dan Perlindungan
Kekayaan Hayati Laut Lepas);
d. Convention on the Continental Shelf 10 Juli 1964 (Konvensi mengenai
Landas Kontinen)
4. Geneva Convention 1960 (UNCLOS II)
Pada konferensi ini membahas masalah yang belum terselesaikan pada
konferensi UNCLOS I, misalnya tentang pendefinisian landas kontinen yang jelas
dan pasti. Konferensi ini dianggap gagal karena tidak menghasilkan keputusan
yang berarti bagi perkembangan hukum laut internasional.
5. United Nations Seabed Committee 18 Desember 1967 (Komisi PBB
mengenai Seabed)
6. Declarations of Principles (1970)
Common Heritage of Mankind : laut, dasar samudra dan kekayaan alam
digunakan untuk kemakmuran umat manusia;
Non Appropriation : laut lepas tidak dapat dimiliki oleh siapapun juga dan
tidak dapat dimasukkan ke dalam kedaulatan Negara manapun;
Non in Compatibility : pelaksanaan hak di wilayah tersebut harus
disesuaikan dengan ketentuan deklarasi dan peraturan internasional yang
akan ditentukan kemudian;
International Regime : Rezim yang diberlakukan di wilayah laut di luar
yurisdiksi Negara yaitu dasar laut yang paling dalam (AREA). AREA adalah
suatu perairan yang diperuntukkan bagi seluruh umat manusia, tidak ada hak
milik dan kedaulatan yang ada disitu. AREA tidak bisa diklaim oleh negara
manapun dan diperuntukkan bagi seluruh umat manusia.
7. United Nations Convention on the Law of the Sea III (UNCLOS III) 10
Desember 1982, Montego Bay, Jamaica.
Pada konferensi UNCLOS 1982 ini menghasilkan beberapa konvensi. Rezim
hukum laut menurut UNCLOS 1982 adalah:
a. Perairan Pedalaman (Internal Waters)
Perairan pedalaman mengandung pengertian, yaitu:
Laut yang terletak pada sisi darat dari garis pangkal.
Laut yang terletak pada sisi darat dari garis penutup teluk.
b. Perairan Kepulauan (Archipelagic Waters)
Perairan kepulauan adalah perairan yang terletak pada sisi darat dari
garis pangkal lurus kepulauan dan menhubungkan pulau-pulau dari suatu
Negara Kepulauan.
c. Laut Wilayah (Territorial Sea)
Laut teritorial adalah laut yang terletak pada sisi luar (sisi laut) dari
garis pangkal dengan lebar maksimum 12 mil laut. Menurut sistem hukum
laut internasional, permukaan laut secara horizontal dibagi atas beberapa
zona dan yang paling dekat dengan pantai dinamakan Laut Wilayah.
d. Zona Tambahan (Contigous Zone)
Zona tambahan merupakan “zona transisi” antara laut wilayah dan laut
bebas. Zona tambahan berfungsi untuk mengurangi kontras antara laut
wilayah yang rezimnya “tunduk seluruhnya” pada kedaulatan negara pantai
dan laut lepas yang rezimnya “kebebasan”. Zona tambahan merupakan
wewenang negara pantai (pasal 33 UNCLOS).
e. Zona Ekonomi Eksklusif (Exclusive Economic Zone)
Zona Ekonomi Eksklusif adalah bagian dari laut lepas yang berbatasan
dengan laut teritorial sampai dengan jarak 200 mil laut dari garis pangkal.
Zona Ekonomi Eksklusif merupakan manifestasi dari usaha Negara-negara
untuk melakukan pengawasan dan penguasaan terhadap segala macam
sumber kekayaan yang terdapat di zona laut yang terletak di luar dan
berbatasan dengan laut wilayahnya.
f. Landas Kontinen (Continental Self)
Landas kontinen adalah dasar laut dan tanah di bawahnya (sea-bed an
subsoil) yang berbatasan dengan daerah dasar laut di bawah laut teritorial
sampai dengan minimal 200 mil laut; maksimal 350 mil laut dari garis
pangkal atau tidak lebih dari 100 mil laut dari batas kedalaman (isobath)
2500 meter.
g. Laut Lepas (High Seas)
Permukaan laut dibagi beberapa zona dan yang paling jauh dari pantai
dinamakan laut lepas. Laut lepas merupakan semua bagian dari laut yagn
tidak termasuk dalam zona ekonomi eksklusif, dalam laut territorial atau
dalam perairan pedalaman suatu Negara, atau dalam perairan kepulauan
suatu Negara kepulauan. Prinsip kebebasan di laut lepas berarti laut lepas
dapat digunakan oleh Negara manapun, baik Negara berpantai ataupun
tidak, dengan syarat harus mematuhi ketentuan –ketentuan konvensi.
h. Dasar Laut Dalam/kawasan (Area/Deep Sea Bed)
AREA adalah suatu perairan yang diperuntukkan bagi seluruh umat
manusia, tidak ada hak milik dan kedaulatan yang ada disitu. AREA tidak
bisa diklaim oleh Negara manapun dan diperuntukkan bagi seluruh umat
manusia.
Pada tanggal 16 November 1994, UNCLOS 1982 mulai berlaku efektif
sejak diratifikasi oleh Guyana. Guyana merupakan Negara peserta ke 60
pada konferensi UNCLOS 1982. Guyana meratifikasi hukum lautnya
berdasarkan hukum laut yang diatur pada UNCLOS 1982 mulai tanggal 16
November 1993.

Sejarah Hukum Laut Nasional

1. Zaman Kolonial
Pada zaman Hindia Belanda, berlaku suatu peraturan yang disebut Ordonansi laut
teritorial, serta lingkungan maritim Indonesia (Territoriale Zee en Maritieme Kringen
Ordonnantie atau disingkat menjadi TZMKO) yang berlaku sejak tahun 1939.
Berdasarkan ordonansi ini, setiap pulau baik pulau yang berukuran besar maupun pulau
yang berukuran kecil di dalam lingkungan wilayah Hindia Belanda mempunyai laut
teritorial sendiri-sendiri.
Laut territorial Hindia Belanda atau laut teritorial Indonesia adalah jalur laut yang
membentang ke arah laut sampai jarak 3 mil laut yang diukur dari garis air rendah pada
setiap pulau atau bagian pulau yang merupakan wilayah daratan Indonesia. Dengan
demikian wilayah perairan Indo-nesia meliputi jalur-jalur laut yang mengelilingi setiap
pulau atau bagian pulau Indonesia yang lebarnya hanya 3 mil laut (Mochtar
Kusumaatmadja:187)
Karena masing-masing pulau ataupun bagian pulau mempunyai laut teritorial
sendiri-sendiri dengan lebar hanya sejauh 3 mil laut terhitung dari garis air rendah pada
setiap pulau atau bagian pulau, maka hal ini mengakibatkan terbentuknya ruangan-
ruangan dan kantung-kantung laut bebas atau perairan internasional antara satu pulau
atau bagian pulau dengan pulau lain atau bagian pulau lainnya, sehingga membawa
dampak yang sangat negatif dan merugikan bagi kedaulatan serta keutuhan teritorial
Indonesia.

2. Pasca Kemerdekaan (Deklarasi Djuanda)


Dampak yang begitu merugikan akibat pengaturan hukum kolonial (TZMKO)
yang bernafaskan kebebasan di laut (freedom of the seas) harus dihentikan atau diatasi,
melalui pengaturan hukum nasional. Hal ini telah dirintis sejak Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, lahirnya UUD 1945
pada tanggal 18 Agustus 1945 yang di dalamnya terdapat Aturan Peralihan (Pasal II),
dan disusul dengan terbitnya Deklarasi Juanda pada tanggal 13 Desember 1957, yang
merupakan pengumuman pemerintah mengenai wilayah perairan Indonesia. Deklarasi
ini menyatakan bahwa segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan
pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik
Indonesia, tanpa meman-dang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar
daripada wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan
bagian dari perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak dari Negara
Repub-lik Indonesia.
Lalu lintas yang damai di perairan pedalaman ini, bagi kapal asing terjamin
selama dan sekedar tidak bertentangan dengan kedaulatan dan keselamatan Indonesia.
Penentuan batas laut teritorial yang lebarnya 12 mil yang diukur dari garis-garis yang
menghubungkan titik-titik terluar pada pulau-pulau Negara Republik Indonesia akan
ditentukan dengan undang-undang.
Pernyataan Pemerintah tentang wilayah perairan Indonesia pada tanggal 13
Desember tahun 1957 dilakukan berdasarkan beberapa pertimbangan (Mochar
Kusumaatma-dja, 1978:187) sebagai berikut :
1. Bahwa bentuk geografi Republik Indonesia sebagai suatu negara kepulauan
yang terdiri dari beribu-ribu pulau mempunyai sifat, dan corak tersendiri
sehingga memer-lukan pengaturan tersendiri;
2. Bahwa demi kesatuan wilayah (teritorial) Negara Repub-lik Indonesia, semua
kepulauan serta laut yang terletak di antaranya harus dianggap sebagai satu
kesatuan yang bulat;
3. Bahwa penetapan batas-batas laut teritorial yang diwarisi dari Pemerintah
kolonial sebagaimana tercan-tum di dalam “Territoriale Zee en Maritieme
Kriengen Ordonnantie” 1939 Pasal 1 ayat (1) tidak sesuai lagi de-ngan
kepentingan keselamatan dan keamanan Negara Republik Indonesia;
4. Bahwa setiap negara berdaulat berhak dan berkewajiban untuk mengambil
tindakan-tindakan yang dipandangnya perlu untuk melindungi keutuhan dan
keselamatan negaranya.
Pengaturan perairan Indonesia yang dasar-dasarnya telah ditetapkan dalam
Deklarasi Juanda pada tanggal 13 Desember 1957 kemudian ditetapkan menjadi
undang-undang dengan menggunakan prosedur Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perpu). Adapun isi dari Perpu yang diundangkan berlakunya pada
tanggal 18 Februari 1960 dan kemudian lebih dikenal dengan Undang-Undang
No.4/Prp.1960 adalah sebagai berikut (Mochtar Kusuma-atmadja, 1978:194) :
1. Untuk kesatuan bangsa, integritas wilayah dan kesatuan ekonominya ditarik
garis-garis pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-
pulau terluar;
2. Negara berdaulat atas segala perairan yang terletak di dalam garis-garis
pangkal lurus, ini termasuk dasar laut dan tanah di bawahnya, maupun ruang
udara di atasnya dengan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya;
3. Jalur laut wilayah (laut teritorial) selebar 12 mil diukur atau terhitung dari
garis-garis pangkal lurus ini;
4. Lalu lintas damai kendaraan air (kapal) asing melalui perairan nusantara
(archipelagic waters) dijamin selama tidak merugikan kepentingan negara
pantai dan mengganggu keamanan serta ketertibannya.
Undang-Undang Nomor 4/ Prp. 1960 yang hanya terdiri dari 4 pasal pada
hakekatnya merubah cara penetapan laut wilayah Indonesia dari suatu cara penetapan
laut wilayah selebar 3 mil diukur dari garis pasang surut atau garis air rendah (low
water line), menjadi laut wilayah selebar 12 mil diukur dari garis pangkal lurus yang
ditarik dari ujung ke ujung. Seperti diketahui, cara penetapan garis pangkal lurus ini
untuk pertama kalinya memperoleh pengakuan dalam hukum internasional melalui
putusan Mahkamah Internasional (International Court of Justice) dalam perkara
sengketa perikanan Inggeris-Norwegia (Anglo-Norwegian Fisheries Case) tahun 1951
(lihat kasusnya dalam L.C. Green, International Law through the Cases, 1978:325) dan
kemudian dikukuhkan dalam Pasal 5 Konvensi Geneva 1958 tentang Laut Teritorial,
dan Jalur Tambahan maupun secara mutatis mutandis dalam Pasal 7 Konvensi Hukum
Laut 1982.
Penarikan garis-garis pangkal lurus dari ujung ke ujung pulau-pulau terluar
nusantara ini mempunyai dua akibat :
1. Jalur laut wilayah yang terbentuk melingkari kepulauan Indonesia;
2. Perairan yang terletak pada bagian dalam dari garis-garis pangkal lurus
tersebut berubah statusnya dari laut wilayah ataupun laut lepas (high seas)
menjadi perairan pedalaman (internal waters). Agar supaya perubahan status
ini tidak mengganggu hak lalu lintas kapal asing yang telah ada sebelum cara
penetapan batas wilayah, maka Pasal 3 menyatakan bahwa perairan pedalaman
tersebut terbuka bagi lalu lintas damai kendaraan air asing.
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1962
Beberapa tahun setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 4/Prp. 1960
tentang Perairan Indonesia, maka para petugas di laut merasakan adanya kebutuhan atau
keperluan untuk mempertegas, serta menterjemahkan ketentuan hak lintas damai bagi
kapal asing di perairan nusantara yang pada prinsipnya telah dijamin dalam Undang-
Undang Nomor 4/Prp. 1960. Untuk mempertegas ketentuan lintas damai bagi kapal
asing yang berada atau berlayar melalui perairan nusantara, maka Pemerintah
menetapkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1962 tentang
Lalu Lintas Damai Kendaraan Asing di Perairan Indonesia.
Peraturan pemerintah yang ditetapkan pada tahun 1962, dan merupakan tindak
lanjut atas Undang-Undang Nomor 4/Prp. 1960, dalam hal ini ketentuan hak lintas
damai kapal asing memuat beberapa ketentuan, seperti apa yang dimaksud dengan lalu
lintas damai, syarat-syarat lintas damai, serta lintas damai bagi kapal-kapal yang
bersifat spesifik atau kapal-kapal jenis khusus (kapal penelitian, kapal nelayan, kapal
perang dan kapal pemerintah yang bukan kapal niaga).
Pengertian lalu lintas damai sebagaimana diatur di dalam Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1962, adalah pelayaran untuk maksud damai yang
melintasi laut wilayah dan perairan pedalaman Indonesia, dari laut bebas ke suatu
pelabuhan Indonesia dan sebaliknya dan dari laut bebas ke laut bebas. Lalu lintas kapal
asing dianggap damai selama tidak bertentangan dengan keamanan, keter-tiban umum,
kepentingan dan atau tidak mengganggu perda-maian Negara Republik Indonesia.
Lalu lintas damai kapal asing dianjurkan untuk melalui alur-alur yang
dicantumkan dalam buku-buku kepanduan bahari yang berlaku dalam dunia pelayaran.
Berhenti, membuang sauh atau jangkar kapal dan atau mondar mandir tanpa alasan
yang sah di perairan Indonesia tidak termasuk dalam pengertian lalu lintas damai
menurut peraturan pemerintah ini. Juga terdapat ketentuan mengenai larangan bagi
kapal asing untuk melewati atau melintasi bagian-bagian tertentu dari perairan
pedalaman untuk sementara waktu, apabila hal ini dianggap perlu untuk menjamin
kedaulatan dan keselamatan negara. Kapal asing yang akan melakukan riset ilmiah di
perairan Indonesia disyaratkan untuk meminta izin dari Presiden Republik Indonesia.
Kapal perang asing yang akan melintasi perairan Indonesia harus terlebih dahulu
menyampaikan pemberitahu-an atau notifikasi kepada Menteri/KSAL (Kepala Satuan
Angkatan Laut). Kapal selam (submarine) harus berlayar di atas permukaan laut selama
melintasi perairan Indonesia, dan dengan demikian juga harus mengibarkan benderanya
yang tentu dimaksudkan untuk mengetahui dan mengidentifikasi negara yang
merupakan negara bendera (Flag State).

4. Pengumuman Pemerintah Republik Indonesia tentang Landas Kontinen Indonesia (17


Februari 1969)
Untuk mengakomodasi perkembangan hukum laut pada tahun 1960-an, terkait
dengan berlakunya Konvensi Geneva 1958 mengenai hukum laut (Konvensi mengenai
laut teritorial dan jalur tambahan, Konvensi mengenai laut bebas, Konvensi mengenai
perikanan dan perlindungan kekayaan hayati di laut bebas,.dan Konvensi mengenai
landas kontinen), maka pada tanggal 17 Februari 1969 Pemerintah Indonesia
mengeluarkan Pengumuman Pemerintah Republik Indonesia tentang Landas Kontinen
Indonesia yang memuat pokok-pokok sebagai berikut (Mochtar kusumatmadja,
1978:37-38) :
1. Segala sumber kekayaan mineral dan sumber kekayaan alam non hayati lainnya,
termasuk organisme-organisme hidup yang merupakan jenis sedentair, yang terdapat
di landas kontinen Indonesia adalah merupakan asset atau milik dari bangsa dan
negara Republik Indonesia dan dengan demikian tunduk di bawah yurisdiksinya
yang bersifat eksklusif.
2. Pemerintah Indonesia bersedia menyelesaikan soal garis batas landas kontinen
dengan Negara tetangga melalui perundingan.
3. Jika tidak ada perjanjian garis batas, maka batas landas kontinen Indonesia adalah
suatu garis yang ditarik di tengah-tengah antara pulau terluar Indonesia dengan titik
terluar wilayah negara tetangga.
4. Ketentuan-ketentuan tersebut di atas tidak akan mem-pengaruhi sifat serta status
daripada perairan di atas landas kontinen Indonesia sebagai laut lepas, demikian pula
ruang udara di atasnya yang tetap berstatus sebagai ruang udara internasional.

5. Pengumuman Pemerintah Republik Indonesia mengenai Zona Ekonomi Eksklusif


Indonesia (20 Maret 1980)\
Perkembangan selanjutnya adalah lahirnya Pengumu-man Pemerintah Republik
Indonesia mengenai Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia pada tanggal 20 Maret 1980
(Mochtar Kusumaatmadja, 1980:384). Hal ini dimaksudkan untuk mengakomodasi
perkembangan hukum laut yang selain diwarnai dengan berlangsungnya Konferensi
PBB mengenai hukum laut III (UNCLOS III) yang pada waktu itu sudah menghasilkan
rancangan konvensi hukum laut baru (Draft Convention on the Law of the Sea) yang di
dalamnya memuat pengaturan hukum tentang zona ekonomi eksklusif secara umum,
juga diwarnai berbagai klaim atau pernyataan sepihak yang dilakukan oleh negara-
negara pantai dari berbagai kawasan sehubungan dengan zona ekonomi eksklusif yang
diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti zona 200 mil, zona perikanan sejauh 200
mil (dari pantai atau garis pangkal), zona ekonomi 200 mil maupun zona ekonomi
eksklusif.
Pengumuman Pemerintah Republik Indonesia tanggal 20 Maret 1980 yang
berpedoman pada praktek negara-negara yang telah diterima secara luas terkait dengan
rezim hukum Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) menyatakan bahwa, ZEE Indonesia
adalah jalur laut yang berada di luar laut territorial Indonesia, tetapi berbatasan
dengannya, di mana jalur laut itu lebarnya dapat mencapai maksimal 200 mil laut
terhitung dari garis pangkal sebagaimana diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor
4/Prp. Tahun 1960. Demikian rumusan pengertian ZEE Indonesia yang mengikuti
kecenderungan perkembangan hukum laut internasional pada waktu itu, tetapi dengan
tetap mengutamakan kepentingan nasional Indonesia yang berlandaskan wawasan
nusantara.
Selanjutnya di dalam Pengumuman Pemerintah Re-publik Indonesia tersebut,
ditegaskan mengenai hak-hak berdaulat serta yurisdiksi Indonesia sebagai negara pantai
atau negara Kepulauan. Republik Indonesia mempunyai hak-hak berdaulat (souvereign
rights), yaitu hak-hak untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi maupun
pengelolaan sumber daya alam baik hayati maupun non hayati yang terdapat di dalam
badan air (water column), dasar laut dan tanah di bawahnya (seabed and subsoil); juga
hak untuk melakukan kegiatan yang bertujuan ekonomi seperti membangkitkan energi
yang berasal dari arus laut, ombak dan gelombang laut maupun angin yang berada di
dalam jalur laut 200 mil.

6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan


Perkembangan berikutnya dalam hukum laut Repub-lik Indonesia adalah
diundangkannya Undang-Undang Perika-nan Indonesia, yakni Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan. Di dalamnya antara lain
diatur mengenai beberapa istilah disertai dengan batasan atau pengertiannya, seperti
misalnya istilah perikanan yang artinya semua kegiatan yang berhubungan dengan
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan. Sedang sumber daya ikan adalah
semua jenis ikan termasuk biota perairan lainnya.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1985 telah dicabut
berlakunya sejak diundangkannya Undang-Undang Perikanan berdasarkan Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004.

7. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1985


Pada bulan Desember 1985 Pemerintah Republik In-donesia mengesahkan atau
meratifikasi Konvensi Hukum Laut 1982 (KHL 1982) dengan mengundangkan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1985 sehingga sejak waktu itu
Konvensi Hukum Laut yang dihasilkan melalui konferensi yang diprakarsai PBB sejak
tahun 1973 hingga tahun 1982 Konvensi tersebut telah menjadi hukum positif
Indonesia. Melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1985, maka
Konvensi yang isinya bersifat komprehensif dan sekaligus menyatakan tidak
berlakunya lagi Konvensi Geneva 1958 mengenai Hukum Laut, telah menjadi hukum
positif kita.

You might also like