You are on page 1of 8

ESSAI MUTU DAN HOSPITAL SAFETY

(Penggunaan Antibiotik Yang Tidaksesuai dan


Irrasional Terhadap Pasien Thypoid)

OLEH :
ARDIAH REGITA CAHYANI
K11116016

DEPARTEMEN MANAJEMEN RUMAH SAKIT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
Tujuan utama dari sebuah rumah sakit adalah keamanan dan keselamatan
pasien. Sehingga banyak hal yang harus diwaspadai salah satunya adalah
pemberian obat dirumah sakit. Rumah sakit dianggap perlu untuk menetapkan
risiko spesifik dari setiap obat dengan tetap memperhatikan aspek peresepan,
menyimpan, menyiapkan, mencatat, menggunakan, serta monitoringnya agar tidak
menjadi sebuah ancaman bagi keselamatan dan kesehatan pasien itu sendiri.
Seperti contohnya obat yang termasuk kedalam kategori high alert harus
disimpan di instalasi farmasi/unit/depo. Bila rumah sakit ingin menyimpan di luar
lokasi tersebut, disarankan disimpan di depo farmasi yang berada di bawah
tanggung jawab apoteker (SNARS, 2018)
Salah satu pengobatan dalam rumah sakit yaitu adanya pemberian
antibiotika yang merupakan pengobatan utama dalam penatalaksanaan penyakit
infeksi. Yang memiliki manfaat penggunaan yang sudah tidak perlu diragukan
lagi, namun penggunaan antibiotik yang berlebihan tentu akan segera diikuti
dengan munculnya kuman yang kebal antibiotik, sehingga manfaatnya akan
berkurang terhadap pasien (Negara, 2014). Penyakit infeksi merupakan salah satu
penyakit masih menempati urutan teratas penyebab kesakitan dan kematian di
negara berkembang, termasuk Indonesia. Selain menyebabkan penderitaan fisik,
infeksi juga menyebabkan penurunan kinerja dan produktifitas, yang akan
berdampak pada kerugian materil (Wahjono, 2007).
Antibiotik adalah obat yang berasal dari seluruh atau bagian tertent
mikroorganisme yang akan digunakan untuk mengobati infeksi bakteri.
Antibiotika ini tidak dapat mengatasi penyakit akibat virus. Antibiotik ini selain
membunuh mikroorganisme atau menghentikan reproduksi bakteri juga dapat
sangat membantu dalam sistem pertahanan alami bagi tubuh (Fernandez, 2013).
Dasar dari indikasinya penggunaan antibiotik dapat digolongkan menjadi
beberapa antibiotik, Yakni antibiotik yang digunakan untuk terapi definitif, terapi
empiris, dan terapi profilaksis. Infeksi yang disebabkan oleh bakteri harus dichek
terlebih dahulu apakah benar penyebabnya adalah bakteri yang dapat dilakukan
melalui kultur bakteri, uji sensitivitas, tes serologi, ataupun tes lainnya.
Berdasarkan laporan yang ada, antibiotik dengan spektrum sempit, toksisitas
rendah, harga terjangkau, dan juga efektivitas tertinggi harus diresepkan pada
terapi definitif. (Negara, 2014).
Di negara maju terdapat 13-37% dari seluruh penderita infeksi yang
dirawat di RS akan mendapatkan antibiotik baik secara tunggal maupun
kombinasi, sedangkan di negara berkembang 30-80% penderita yang dirawat di
RS akan mendapatkan antibiotik. Sehingga penggunaan antibiotik yang tidak
rasional sangat banyak dijumpai baik di negara maju maupun berkembang.
(Negara, 2014)
Antibiotik harus digunakan secara rasional. Penggunaan antibiotik rasional
merupakan penggunaan antibiotik yang sesuai dengan diagnosis penyakit,
ketentuan pemilihan yang tepat sehingga tepat sasaran dengan efek samping
sangat minimal pada pengguna antibiotik (Katarnida, Murniati and Katar, 2002).
Pengunaan antibiotik yang tidak rasional dapat menyebabkan resistensi.
Resistensi adalah kemampuan bakteri dalam menetralisir dan melemahkan daya
kerja antibiotik (Fernandez, 2013). Adanya peningkatan prevalensi penggunaan
antibiotik yang tidak rasional di berbagai bidang Ilmu Kedokteran termasuk Ilmu
Kesehatan Anak merupakan salah satu penyebab timbulnya resistensi. Resistensi
antibiotik bisa terjadi karena di dapat atau bawaan (Febiana, 2012). Masalah
resistensi selain berdampak pada morbiditas dan mortalitas, juga memberi dampak
negatif terhadap ekonomi dan sosial yang sangat tinggi (Fernandez, 2013).
Ketidaksesuaian dalam pemberian antibiotik pada pasien tentu sangat
berpengaruh terhadap kesehatan pasien itu sendiri. Dampak negatif paling
berbahaya akibat penggunaan antibiotika secara tidak rasional adalah muncul dan
berkembangnya kuman- kuman yang sudah terbilang kebal terhadap antibiotik
atau dengan kata lain terjadinya resistensi antibiotika. Hal ini mengakibatkan
pengobatan yang diberikan menjadi tidak efektif, peningkatan morbiditas maupun
mortalitas pasien, dan meningkatkan biaya kesehatan yang harus ditanggung oleh
pasien. (Negara, 2014)
Permasalahan resistensi ini tidak hanya menjadi masalah di Indonesia, tapi
telah menjadi masalah global. Permasalahan resistensi terjadi ketika bakteri
berubah dalam satu atau lain hal yang menyebabkan turun atau hilangnya
efektivitas obat, senyawa kimia atau bahan lainnya yang digunakan untuk
mencegah atau mengobati infeksi. Penyebab utama resistensi antibiotika ialah
penggunaannya yang meluas dan irrasional. (Wowiling, Goenawi and
Citraningtyas, 2013)
Seara logoka, jika terdapat penggunaaan antibiotika yang kurang tepat
dapat terjadi maka dapat menyebabkan ketidaksesuaian dalam pengobatan
penyakit, jumlah dan pemberian obat yang tidak tepat serta peningkatan terhadap
biaya apa lagi dalam kasus thypoid yang dapat diobati dengan lebih cepat namun
harus mendapatkan pengobatan yang lebih lanjut akibat ketidaksesuaian pemerian
antibiotik. (Sapmaimy, Kusumawati and Hapsari, 2011)
Salah satu penyebab ketidaksesuaian penggunaan antbiotik adalah
Pengobatan dengan antibiotik tanpa resep dokter, tidak hanya terjadi di negara-
negara sedang berkembang, tetapi juga di negara-negara maju. Selebihnya di
negara-negara Eropa seperi Romania, dan Lithuania, juga ditemukan prevalensi
yang tinggi pada pengobatan sendiri dengan antibiotika. Hal ini juga disebabkan
oleh adanya beberapa apotek yang menyediakan antibiotik tanpa resep doker.
Salah satu contohnya adalah di Spanyol yang juga telah ditetapkan peraturan
bahwa antibiotik tidak dapat dijual tanpa resep dokter. Tetapi dari 108 apotek
yang menjual antibiotik, hanya 57 apotek (52,8%) menjelaskan bahwa mereka
tidak dapat memberikan antibiotik secara bebas untuk menghindari resistensi
antibiotik, dan penggunaan antibiotik tertinggi untuk mengatasi infeksi saluran
kencing 79.7%. (Fernandez, 2013)
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman
Salmonella typhosa (Eberthella typhosa), Demam tifoid merupakan penyakit yang
sudah tergolong endemik di Indonesia. Penyakit ini termasuk penyakit menular
yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 1962 tentang wabah.
Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit yang mudah menular dan
dapat menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah (Djatmiko
and Anas, 2008).
Penyebab yang paling sering dijumpai dalam penyakit demam tifoid ini
adalah faktor kebersihan. Contohnya budaya Indonesia yang lebih suka makan
diluar rumah yang tentunya terdapat banyak lalat yang beterbangan dimana-mana
bahkan hinggap di makanan. Lalat-lalat tersebut dapat menularkan Salmonella
thyphi dari lalat yang sebelumnya hinggap di feses atau muntah penderita demam
tifoid (Rahmasari and Lestari, 2018). Secara laboratorium ada beberapa
pemeriksaan untuk mendeteksi S. typhi yaitu biakan kuman S. typhi, uji serologi
untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen S. typhi dan penentuan adanya antigen
spesifik dari S. typhi serta pemeriksaan pelacak DNA kuman S. Typhi (Marleni et
al., 2014)
Di negara berkembang angka kematian akibat demam tifoid berkisar
antara 2,3 – 16,8%1. Angka kematian penderita yang dirawat di rumah sakit di
Indonesia mengalami penurunan dari 6% pada tahun 1969 menjadi 3,74% pada
tahun 1977 dan sebesar 3,4 % pada tahun 1978 (Musnelina, Lili., A Fuad Afdhal,
Ascobat, G., & Pratiwi, 2004). Indonesia merupakan salah satu negara yang
memiliki konsekuensi pertumbuhan dan perkembangan ekonomi yang cepat,
sehingga menimbulkan dampak terjadinya urbanisasi dan migrasi pekerja antar
negara yang berdekatan seperti Malaysia, Thailand dan Filipina. Mobilisasi antar
pekerja ini memungkinkan terjadinya perpindahan atau penyebarang alur
pennyakit demam tifoid antar negara endemis. (Cita, 2011)
Menurut data World Health Organization (WHO) tahun 2003, terdapat 17
juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan angka kematian mencapai
600.000 kasus tiap tahunnya. Kasus demam tifoid telah tercantum dalam Undang-
undang nomer 6 tahun 1962 tentang wabah. Angka kejadian demam tifoid di
Indonesia sebesar 1000/100.000 populasi pertahun. Berdasarkan Profil Kesehatan
Indonesia tahun 2010, dari 10 penyakit terbanyak pada pasien rawat inap di rumah
sakit di Indonesia demam tifoid menempati urutan ke-3 dengan jumlah kasus
mencapai 41.081 pasien dan 274 diantaranya meninggal dunia. Menurut data
Hasil Riset Dasar Kesehatan (RISKESDAS) tahun 2007, demam tifoid
menyebabkan 1,6% kematian penduduk Indonesia untuk semua umur. Penyakit
ini dapat menyerang banyak orang dari anak-anak maupun orang dewasa yang
berumur 3 tahun sampai 19 tahun. Tata laksana pada demam tifoid yang masih
sering digunakan adalah istirahat, perawatan diet, terapi penunjang serta
pemberian antibiotik (Athaya, Ramadhan and Masruhim, 2015). Dari hasil
penelitian yang telah dilakukan, penderita demam tifoid pada dewasa paling
sering terjadi pada jenis kelamin laki-laki dibandingkan perempuan, terbanyak
pada usia 18 sampai 34 tahun dan jenis antibiotika yang paling sering digunakan
adalah jenis levofloxacin dari golongan fluorokuinolon dengan pemberian
terbanyak secara intravena selama 3-7 hari (Melarosa, Ernawati and Mahendra,
2019).
Hasil penelitian tahun 2013 oleh Karisa memberikan gambaran mengenai
kejadian DRPs penggunaan antibiotik pada pasien pediatrik penderita demam
tifoid sebanyak 36 kasus, yang terdiri dari 3 kasus terapi tanpa indikasi
(unnecessary drug therapy), 29 kasus dosis terlalu rendah (dosage too low) dan 4
kasus dosis terlalu tinggi (dosage too high) (Karisa, 2015). Drug Related
Problems penggunaan antibiotik yang paling dominan terjadi pada usia 3-12 tahun
maupun 13-19 tahun adalah ketidaktepatan dosis obat (Endra Wijaya, 2016).
Antibiotik merupakan suatu kelompok obat yang paling sering digunakan
untuk menyembuhkan penyakit infeksi dimana biaya antibiotik dapat mencapai
50% dari anggaran obat di rumah sakit (Juwono dan Prayitno, 2003).Antibiotik
pilihan utama pada terapi demam tifoid sangat bervariasi. Oleh karena itu perlu
dilakukan penelitian untuk mengetahui gambaran penggunaan antibiotik serta
biayanya pada pasien demam tifoid. (Djatmiko and Anas, 2008)
Melihat pentingnya pemberian antibiotika yang rasional terutama dalam
hal ini untuk penatalaksanaan demam tifoid, maka diperlukan adanya suatu
evaluasi terhadap peresepan antibiotika yang diberikan oleh dokter untuk terapi
demam tifoid (Puspita, 2011).
Ketidaksesuaian dalam pemberian antibiotik terhadap pasien khususnya
pasien yang menderita Tifoid masih ada yang dijumpai. Penyakit Tifoid
merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri, bukan virus. Penyakit Tifoid
dapat menyerang siapa saja diberbagai rentang umur. Hal ini harus tetap menjadi
salah satu hal yang diwaspadai mengingat angka penyakit Tifoid yang juga tidak
sedikit dan angka ketidaksesuaian pemberian antibiotik oleh tenaga ahli yang
tidak dapat dipungkiri.
Sangat perlu diadakan kajian menjalam oleh pihak rumah sakit atau
institusi penyedia layanan kesehatan mengenai kesesuaian antibiotik yang
diberikan kepada pasien khususnya pasien penderita demam Tifoid. Untuk
mengurangi angka tersebut tentu harus ada pengurangan angka kejadian pem erian
obat yang Irrasional oleh tenaga kesehatan. Hal ini harus terus dikontrol dan
diawasi agar tidak mencelakai dan memberikan resiko terhadap keselamatan
pasien. Tidak hanya itu, hal ini juga sangat penting dalam membangun mutu dan
kualitas pelayanan fasilitas kesehatan guna mencapai tujuan utamanya yakni
keselamatan pasien.
DAFTAR REFERENSI

Athaya, F., Ramadhan, A. M. and Masruhim, M. A. (2015) ‘No Title’, pp. 24–25.
Cita, Y. P. (2011) ‘Bakteri Salmonella Typhi dan Demam Tifoid’, Jurnal
Kesehatan Masyarakat, 6(1), pp. 42–46.

Djatmiko, M. and Anas, Y. (2008) ‘Analisis biaya dan gambaran penggunaan


antibiotik pada pasien demam tifoid rawat inap di puskesmas tlogosari kulon
tahun 2007’, Jurnal Ilmu Farmasi, 5(2), pp. 35–38.

Endra Wijaya, M. (2016) ‘No Title肯定・否定表現における日本語程度副詞につい


て’, IOSR Journal of Economics and Finance, 3(1), p. 56. doi:
https://doi.org/10.3929/ethz-b-000238666.

Febiana, T. (2012) ‘DI BANGSAL ANAK RSUP Dr . KARIADI SEMARANG


LAPORAN HASIL DI BANGSAL ANAK RSUP Dr . KARIADI SEMARANG
PERIODE AGUSTUS-DESEMBER 2011’, pp. 1–70.

Fernandez, B. A. M. (2013) ‘Studi penggunaan antibiotik tanpa resep di


kabupaten manggarai dan manggarai barat – NTT’, Jurnal Ilmiah Mahasiswa
Universitas Surabaya, 2(2), pp. 1–17.

Katarnida, S. S., Murniati, D. and Katar, Y. (2002) ‘238-685-1-Sm’, 15(6), pp.


369–376.

Marleni, M. et al. (2014) ‘Ketepatan Uji Tubex TF ® dalam Mendiagnosis


Demam Tifoid Anak pada Demam Hari ke-4’, Jurrnal Kedokteran dan
Kesehatan, 1(1), pp. 7–11.

Melarosa, P. R., Ernawati, D. K. and Mahendra, A. N. (2019) ‘TIFOID DI RSUP


SANGLAH DENPASAR TAHUN 2016-2017 Program Studi Pendidikan Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Bagian Farmakologi , Fakultas
Kedokteran , Universitas Udayana

Musnelina, Lili., A Fuad Afdhal, Ascobat, G., & Pratiwi, A. (2004) ‘Analisis
Efektivitas Biaya Pengobatan Demam Tifoid Anak Menggunakan Kloramfenikol
Dan Seftriakson Di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta Tahun 2001 – 2002’, Makara
Kesehatan, 8(2), pp. 59–64.

Negara, S. K. (2014) ‘[Analysis The Implementation Policy of Rational Use of


Antibiotics to Prevent Antibiotic Resistance In Sanglah Hospital Denpasar: Case
Study of Methicillin Resistant Staphylococcus Aureus Infections]’, Arsi, 1(1), pp.
42–50. Available at:
http://journal.ui.ac.id/index.php/arsi/article/viewFile/5211/3496.
Puspita, A. (2011) ‘Di Bangsal Rawat Inap Rsud Tangerang’.

Rahmasari, V. and Lestari, K. (2018) ‘Review: Manajemen Terapi Demam Tifoid:


Kajian Terapi Farmakologis Dan Non Farmakologis’, Farmaka, 16(1), pp. 184–
195.

Sapmaimy, D., Kusumawati, A. and Hapsari, I. (2011) ‘Salmonella Typi’, 08(03),


pp. 57–66.

SNARS, K. A. R. S. (2018) SNARS EDISI 1.

Wahjono, H. (2007) ‘Peran Mikrobiologi Klinik Pada Penanganan Penyakit


Infeksi’, Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang, p. 24. doi:
10.4028/www.scientific.net/KEM.426-427.-2.

Wowiling, C., Goenawi, L. R. and Citraningtyas, G. (2013) ‘Pengaruh


Penyuluhan Penggunaan Antibiotika terhadap Tingkat Pengetahuan Masyarakat di
Kota Manado’, Pharmacon, 2(03), pp. 24–28.

You might also like