You are on page 1of 11

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PERTANGGUNGJAWABAN

TINDAK PIDANA KORPORASI DI INDONESIA


I Dewa Made Suartha1*, I Dewa Agung Gede Mahardhika Martha2
1. Fakultas Hukum Univeritas Udayana Denpasar Bali
2. Fakultas Hukum Universitas Warmadewa Denpasar Bali
E-mail: fozzielboxer.gbloyality@gmail.com
DOI: 10.22225/kw.12.1.422.1-10 Halaman: 01 - 10
Abstrak
Diterimanya korporasi sebagai subjek tindak pidana, sehingga menimbulkan permasalahan kebijakan hukum
pidana dalam pertanggungjawaban tindak pidana korporasi. Dalam penelitian ini terdapat dua permasalahan pokok,
yaitu (1) Bagaimanakah kebijakan hukum pidana pada saat ini dalam pertanggungjawaban tindak pidana
korporasi? (2) Bagaimanakah kebijakan hukum pidana terhadap pertanggungjawaban tindak pidana korporasi
dalam perspektif ius constituendum? Metode penelitian yang dipergunakan adalah metode penelitian hukum
normatif dengan pendekatan perundang-undangan, perbandingan dan analisis konsep hukum. Hasil penelitian
adalah : (1) KUHP tidak mengatur korporasi sebagai subjek tindak pidana yang dapat dipertanggungjawabkan
dalam hukum pidana dan beberapa perundang-undangan di luar KUHP telah mengatur korporasi sebagai subjek
tindak pidana yang dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, namun masih bersifat parsial dan tidak
konsisten, (2) Rancangan KUHP 2014-2015 telah mengatur secara lengkap dan tegas korporasi sebagai subjek
tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana dan menerima pertanggungjawaban pidana
mutlak serta pertanggungjawaban pidana pengganti, meskipun dengan pengecualian untuk memecahkan persoalan
kesulitan dalam membuktikan adanya unsur kesalahan yang dilakukan oleh korporasi.

Kata kunci: Kebijakan korporasi, Tindak pidana, dan Pertanggungjawaban.

Abstract
The acceptance of corporation as the subject of criminal act brings problem to criminal law policy in corporation
criminal act responsibility. There are 2 principle problems in this study : (1) How is the current criminal law
policy in corporation criminal act responsibility? (2) How is criminal law policy upon the corporation criminal act
responsibility in ius constituendum perspective? The method used in this research is normative law method with
legislation, comparative and law concept analysis approaches. The result of the research : (1) Criminal code has
not regulated corporation as the subject of criminal act that is accountable for criminal law, but it is still partial
but inconsistent, (2) Criminal Code Bill 2014-2015 has clearly and completely regulated corporation as subject of
criminal act and accountable for criminal law and accept unconditional criminal responsibility as well as
substitute criminal responsibility, although with the exception to solve difficult problem in order to prove mistakes
were made by corporation.

Keywords: Policy on corporation, Criminal act, and Responsibility.


I. PENDAHULUAN Sebagai suatu kenyataan sosiologis peranan
Korporasi merupakan istilah yang biasa digunakan korporasi dalam aktivitas ekonomi sudah tidak perlu di
oleh para ahli hukum pidana dan kriminologi untuk pertanyakan lagi. Sejalan dengan dinamika ekonomi,
menyebut apa yang dalam bidang hukum lain, sepak terjang korporasi yang saat ini lazim dikenal
khususnya bidang hukum perdata sebagai badan dengan sebutan perusahaan-perusahaan multi nasional
hukum atau dalam bahasa Belanda disebut ”rechts (multi national corporation), pada awal tahun 1960
persoon” atau dalam bahasa Inggris disebut dengan mulai menjadi perhatian para ahli sosial ekonomi.
istilah ”legal person”atau “legal body”. Fenomena dan sepak terjang korporasi itu telah
berlangsung sebelum perang dunia ke-2, namun studi

KERTHA WICAKSANA Volume 1, Nomor 1 2018 © All Right Reserved Halaman 01


Kebijakan Hukum Pidana Dalam Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korporasi Di Indonesia

yang sistematis dan mendalam baru dimulai pada awal 2) Sistem pidana yang dianut, khususnya pidana
tahun itu. Sementara itu dikalangan kriminologi, studi hilang kemerdekaan yang hanya dapat dijatuhkan
kritis terhadap peranan korporasi sudah dimulai sejak kepada manusia dan tidak mungkin kepada badan
tahun 1939, melalui suatu pidato bersejarah Edwin H hukum;
Suterland di depan “The American Sociological 3) Menurut azas-azas hukum pidana indonesia,
Association”. Ia mengemukakan konsep “White Collar bahwa badan hukum tidak dapat mewujudkan
Crime” (WCC) yang didefenisikan sebagai “ a crime delik karena hukum pidana Indonesia dbentuk
committed by a person of respectability and high berdasarkan kesalahan individual; dan
social status in the course of his accuption1”.
4) Tidak ada prosedur khusus dalam hukum acara
Penelitian Suterland yang menggunakan catatan- pidana untuk korporasi.
catatan jawatan-jawatan pengaturan (regulatory
agencies), pengadilan-pengadilan dan komisi-komisi,
menemukan bahwa 70 korporasi industri dan Tidak ada prosedur khusus dalam hukum acara
perdagangan yang di telitinya masing-masing setidak- pidana untuk korporasi. Beberapa perundang-
tidaknya melakukan satu pelanggaran hukum dan undangan di luar KUHP telah ada mengatur
memuat kebijakan-kebijakan yang melanggar hukum. pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak
Seperti periklanan yang menyesatkan (false pidana korporasi, akan tetapi masih bersifat parsial dan
advertising) penyalahgunaan paten (patent abuse), tidak konsisten sehingga sangat sulit penerapannya
pelanggaran persaingan dagang (wartime trade dalam praktik peradilan di Indonesia, misalnya
violation), penetapan harga (pricefitsing), penipuan Undang-undang Nomor 1 Darurat Tahun 1955 tentang
(fraud) dan penjarahan barang-barang cacat (sale of tindak pidana ekonomi.
faulti goods). Di satu sisi peranan korporasi
Memperhatikan kebijakan pertanggungjawaban
menggerakkan roda perekonomian disuatu negara
pidana terhadap korporasi dalam peraturan perundang-
bahkan melintasi batas-batas Negara, sedangkan pada
undangan di atas, kenyataannya banyak terjadi
sisi lainnya disadari atau tidak menimbulkan distorsi-
perkembangan kejahatan yang bukan lagi dilakukan
distorsi dan ketidakadilan bagi masyarakat. namun
oleh manusia alamiah (natuurlijk persoon) melainkan
hampir tidak dirasakan. Perhatian masyarakat
oleh badan hukum atau korporasi (recht persoon) yang
internasional terhadap kejahatan korporasi secara jelas
dapat menimbulkan kerugian yang sangat besar di
nampak pula dari usaha dunia internasional untuk
pihak masyarakat terhadap aktivitas/perbuatan
menangkal prilaku negatif dari perusahaan-perusahaan
korporasi tersebut, maka sangat beralasan apabila
multi nasional (multi national enterprise). Usaha
perhatian khusus diarahkan untuk meningkatkan
tersebut merupakan hasil kerjasama internasional
pertanggungjawaban pidana korporasi dengan
dalam bentuk code conduct of transnasional
menggunakan hukum pidana, sebab bentuk-bentuk
corporation (UN, Ecosoe, 1997) yang antara lain
pelanggaran hukum yang dilakukan dalam aktivitas
mengatur : (1) Activities of transnasional corporation
korporasi yang termasuk public welfare offences telah
(TNC), (2) Treatment of TNC dan (3)
menjadi kualitas. Mengingat kemajuan yang terjadi
Intergovermental co-operation.2
dalam bidang ekonomi dan perdagangan, maka subjek
Di Indonesia kebijakan hukum pidana dalam hukum pidana tidak dapat dibatasi lagi hanya pada
pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi harus manusia alamiah (natural person) tetapi mencakup
dilihat melalui kitab Undang-Undang hukum pidana pula manusia hukum (juridicial person) yang lazim
(KUHP) dan peraturan perundang-undangan di luar disebut korporasi, karena tindak pidana tertentu dapat
KUHP. Kenyataannya bahwa pertanggungjawahan pula dilakukan oleh korporasi.
pidana terhadap tindak pidana korporasi sebagai
Dengan dianutnya paham bahwa korporasi adalah
subjek hukum tidak diatur dalam KUHP secara tegas,
subjek hukum, berarti korporasi sebagai bentuk badan
mengingat hukum pidana Nasional didesain untuk
usaha harus mempertanggungjawabkan sendiri semua
menghadapi prilaku individu manusia (natuurlijk
perbuatannya. Di samping itu, masih dimungkinkan
persoon). KUHP berdasarkan pada azasnya bahwa
pula pertanggungjawaban dipikul bersama oleh
hanya manusia yang dapat dituntut sebagai pembuat
korporasi dan pengurus atau hanya pengurusnya saja.
atau pelaku (dader) yang dipertanggungjawabkan dari
Tujuan penelitian ini selain untuk mendeskripsikan
suatu delik, baik yang berupa kejahatan maupun
dan menganalisis secara mendalam mengenai
pelanggaran. Hal tersebut dapat dilihat melalui
kebijakan hukum pidana pada saat ini dalam
rumusan pasal-pasal dalam KUHP antara lain:
pertanggungjawaban tindak pidana korporasi, juga
1) Cara perumusan delik yang selalu dimulai dengan kebijakan hukum pidana dalam ius constituendum
kata ”barang siapa” yang secara umum serta relevansi penerimaan terhadap
dimaksudkan atau mengacu pada orang atau pertanggungjawaban tindak pidana korporasi di
manusia;
1. Shofie, Yusuf, 2002, Pelaku Usaha dan Tindak Pidana Korporasi, Chalia Indonesia, Jakarta, hlm.20
2. Muladi, 1995, Korban Kejahatan Korporasi, Bahan Penataran Nasional Hukum Pidana dan Kriminologi, Fakultas Hukum UNDIP, 3-15
Desember, hlm.6

KERTHA WICAKSANA Volume 12, Nomor 1 2018 © All Right Reserved Halaman 02
Kebijakan Hukum Pidana Dalam Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korporasi Di Indonesia

Indonesia. tanggal 5 Agustus 1925 menegaskannya dengan


Jenis penelitian yang dipergunakan termasuk ke alasan, bahwa hukum pidana Indonesia dibentuk
dalam penelitian hukum normatif yaitu penelitian berdasarkan ajaran kesalahan individual. Sistem
hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan hukum pidana Indonesia tidak memungkinkan
pustaka yakni mempelajari dan mengkaji asas-asas penjatuhan pidana denda kepada korporasi, oleh
hukum dan kaidah-kaidah hukum positif yang berasal karena pihak yang dijatuhi pidana denda
dari kepustakaan dan peraturan perundang-undangan. diberikan pilihan untuk menggantikannya dengan
Adapun pendekatan masalah yang dipergunakan yaitu pidana kurungan pengganti denda (Pasal 30 ayat
pendekatan perundang-undangan (statute approach), (2), (3) dan (4) KUHP); dan
yaitu mencari rumusan norma hukum pidana yang 4) Tidak ada prosedur khusus dalam hukum acara
relevan dengan pokok bahasan pada peraturan pidana untuk korporasi. Sesungguhnya dalam
perundang-undangan yang sederajat maupun yang KUHP terdapat beberapa pasal yang menyangkut
lebih tinggi, pendekatan perbandingan (comparative korporasi sebagai subjek hukum, akan tetapi
approach) yaitu mencari dan membandingkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang dan
rumusan norma hukum pidana (korporasi) yang bukan korporasi, misalnya: Pasal 169 KUHP
relevan dengan pokok bahasan dan pendekatan analisis tentang turut serta dalam perkumpulan terlarang,
konsep hukum (analytical and conceptual approach) dan Pasal 398-399 KUHP tentang pengurus atau
yaitu mencari rumusan norma hukum pidana komisaris perseroan terbatas, maskapai andil
(korporasi) yang berkembang pada peraturan Indonesia atau perkumpulan koperasi yang
perundang-undangan yang sederajat atau yang lebih dinyatakan dalam keadaan pailit merugikan
tinggi yang dapat dijadikan konsep hukum sesuai perusahaannya.
dengan pokok bahasan. Jadi di sini sama sekali tidak diisyaratkan bahwa
pengurus tersebut harus sebagai pemberi perintah atau
II. HASIL DAN PEMBAHASAN pemimpin di dalam perbuatan tersebut. Dengan
demikian “asas tiada pidana tanpa kesalahan” yang
A. Pengaturan dalam KUHP merupakan dasar dari adanya atau tidak adanya
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pertanggungjawaban pidana telah dikecualikan. Jika
sebagai pelembagaan reaksi sosial formal negara dibandingkan dengan negara-negara yang paling maju
terhadap tindak pidana atau kejahatan tidak dapat dalam hal pemidanaan terhadap korporasi tersebut
menjaring korporasi sebagai subjek hukum, mengingat seperti Australia, Inggris, dan Amerika Serikat,
hukum pidana kita didesain untuk menghadapi dibatasi pada agen, wakil, kuasa atau pegawai
perilaku individu manusia (natuurlijke persoon). korporasi yang melakukan kejahatan dalam
KUHP berlandaskan pada asas bahwa hanya manusia pelaksanaan urusan korporasi.
yang dapat dituntut sebagai pembuat/pelaku (dader)
dari suatu delik, baik yang berupa kejahatan, maupun
pelanggaran. Hal tersebut dapat dilihat dari antara B. Pengaturan dalam Perundang-Undangan di
lain : luar KUHP
1) Cara perumusan delik yang selalu dimulai dengan Sebagai upaya untuk mengetahui pengaturan
kata “barang siapa ...“ yang secara umum pertanggungjawaban tindak pidana korporasi dalam
dimaksudkan atau mengacu kepada orang atau peraturan perundang-undangan di Indonesia, ternyata
manusia. Perumusan yang lain di antaranya korporasi dapat melakukan suatu tindak pidana dalam
adalah: Seorang Ibu (Pasal 341, 342), Perempuan perkembangannya diatur dalam perundang-undangan
(Pasal 346), Guru (Pasal 294), Pemuka Agama di luar KUHP sudah dikenal sejak tahun 1951 dan
(Pasal 350), Nakhoda (Pasal 93, 325), Tabib mulai dikenal secara luas pada tahun 1955, yaitu
(Pasal 267), Pedagang (Pasal 392, 397), Pengurus dengan dikeluarkannya UU No. 7 DRT Tahun 1955
atau Komisaris perusahaan (Pasal 398, 399, 403), tentang Tindak Pidana Ekonomi. Beberapa peraturan
Seorang Pemborong (Pasal 387), Panglima perundang-undangan yang menjadikan korporasi
Tentara (Pasal 413), Pegawai Negeri (Pasal 414- seagai subjek hukum pidana, di antaranya:
419), Hakim (Pasal 420), Mucikari atau Germo 1) UU No. 1 tahun 1951 tentang pernyataan
(Pasal 506). Jadi semua perumusan tersebut berlakunya UU Kerja No.12 tahun 1948 dari RI
keseluruhannya bukan untuk badan hukum; untuk seluruh Indonesia (Pasal 19);
2) Sistem pidana yang dianut, khususnya pidana 2) UU No. 2 tahun 1951 tentang pernyataan
hilang kemerdekaan yang hanya dapat dijatuhkan berlakunya UU No. 3 tahun 1947 dari RI untuk
kepada manusia dan tidak mungkin dapat seluruh Indonesia (Pasal 30);
dijatuhkan kepada badam hukum; 3) UU No. 3 tahun 1951 tentang pernyataan
3) Menurut asas-asas hukum pidana Indonesia berlakunya UU No. 23 tahun 1948 tentang
badan hukum tidak dapat mewujudkan delik. pengawasan perburuhan dari RI untuk seluruh
Hoofgerechtshof van N.I. dahulu dalam arresnya Indonesia (Pasal 7);

KERTHA WICAKSANA Volume 12, Nomor 1 2018 © All Right Reserved Halaman 03
Kebijakan Hukum Pidana Dalam Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korporasi Di Indonesia

4) UU No. 12 DRT tahun 1951 tentang senjata api a) Perpu No. 1 2002 jo UU No. 2 Tahun 2002).
dan bahan peledak (Pasal 4); Hanya pengurus sebagai pelaku dan penguruslah
5) UU No. 7 DRT tahun 1955 tentang pengusutan, yang bertanggungjawab (Pasal 169, 398, 399
penuntutan, dan peradilan tindak Pidana ekonomi KUHP);
(Pasal 15); b) Korporasi diakui dapat melakukan tindak pidana,
6) UU No. 22 tahun 1957 jo UU No. 26 tahun 1957 tetapi pertanggungjawaban pidananya
tentang penyelesaian perburuhan (Pasal 27); dibebankan kepada pengurus (Pasal 19 UU No. 1
Tahun 1951, Pasal 30 UU No. 2 Tahun 1951,
7) UU No. 3 tahun 1958 tentang penempatan tenaga Pasal 7 UU No. 3 Tahun 1951, Pasal 4 UU No.
asing (Pasal 13); 12 Drt Tahun 1951, Pasal 27 UU 22 Tahun 1957,
8) UU No. 38 tahun 1960 tentang penetapan luas Pasal 13 UU No. 3 Tahun 1958, Pasal 24 UU No.
tanah tanaman tertentu (Pasal 4); 5 Tahun 1954, Pasal 34 UU No. 7 Tahun 1981,
Pasal 35 UU No. 3 Tahun 1982, dan Pasal 15 UU
9) UU No. 32 tahun 1964 tentang peraturan
No. 4 Tahun 1984);
lalulintas devisa (Pasal 25);
c) Korporasi secara tegas diakui dapat menjadi
10) UU No. 2 tahun 1981 tentang metrologi legal
pelaku tindak pidana dan dapat dapat
(Pasal 34);
dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana
11) UU No. 7 tahun 1981 tentang wajib lapor (Pasal 15 UU No. 7 Drt Tahun 1955, Pasal 25
ketenagakerjaan di perusahaan (Pasal 11); UU No. 32 Tahun 1964, Pasal 45 UU No. 23
12) UU No. 3 tahun 1982 tentang wajib daftar Tahun 1997, Pasal 70 UU No. 5 Tahun 1999, UU
perusahaan (Pasal 35); No. 8 Tahun 1999, Pasal 20 ayat (1) UU No. 31
Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2002, UU No.
13) UU No. 14 tahun 1984 tentang wabah penyekit 36 Tahun 1999, UU No. 15 Tahun 2002,
menular (Pasal 15);
Meskipun peraturan perundang-undangan di luar
14) UU No. 7 tahun 1992 jo UU No. 10 Tahun 1998 KUHP telah menerima korporasi sebagai subjek
tentang Perbankan (Pasal 46); hukum pidana, namun hapir tidak ada yurisprudensi
15) UU No. 23 tahun 1997 tentang pengelolaan tentang hal itu. Permaslahannya menurut penulis
lingkungan hidup (Pasal 45, 46); terletak pada adanya ketidak jelasan perumusan dalam
16) UU No. 5 tahun 1997 tentang psikotrofika (Pasal perundang-undangan mengenai beberapa hal
70); diantaranya sebagai berikut:
17) UU No. 22 tahun 1997 tentang narkotika (Pasal 1) Ketidakjelasan perumusan mengenai kapan suatu
80); korporasi dinyatakan sebagai pelaku dan kapan
suatu tindak pidana telah dilakukan atas nama
18) UU No. 5 tahun 1999 tentang larangan praktik suatu korporasi. Hal tersebut harus dirumuskan
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat (Pasal secara eksplisit, sebab jika subjek hukum yang
1); disebut hanya berupa badan hukum tanpa
19) UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan spesifikasi atau identitas yang jelas, maka
konsumen (Pasal 61); kesulitan menentukan siapa pembuatnya akan
selalu timbul ketidakjelasan;
20) UU No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001
tentang pembrantasan tindak pidana koropsi 2) Ketidakjelasan perumusan mengenai perbuatan
(Pasal 20); yang akan dipertanggungjawabkan melalui
perumusan korporasi sebagai subjek tindak
21) UU No. 36 tahun 1999 telekomunikasi (Pasal pidana. Misalnya: rumusan Pasal 15 ayat (2)
15); UUTE yang menyebutkan: “suatu tindak pidana
22) UU No. 15 tahun 2002 tentang tindak pidana ekonomi dilakukan juga oleh atau atas nama
pencucian uang (Pasal 1, 4, 5); suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu
23) Perpu No. 1 tahun 2002 jo UU No. 2 tahun 2002 perserikatan orang atas nama suatu yayasan, jika
jo UU No. 15 dan 16 tahun 2003 tentang tindak tindak pidana itu dilakukan oleh orang-orang
pidana terorisme (Pasal 1, 18). yang baik berdasarkan hubungan kerja maupun
berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam
Dari beberapa ketentuan peraturan perundang- lingkungan badan hukum perseroan, perserikatan
undangan tersebut diatas, tampaknya ada keinginan atas nama yayasan itu, tidak perduli apakah orang
untuk menempatkan korporasi sebagai pelaku tindak -orang itu masing-masing berdiri sendiri
pidana, tetapi mengenai pertanggungjawabannya tidak melakukan tindak pidana ekonomi itu atau pada
jelas arah perkembangannya. Jika diklasifikasikan, mereka bersama ada anasir-anasir tindak pidana
maka akan tampak ada beberapa cara pembuat undang- tersebut”. Rumusan pasal tersebut dapat
undang dalam merumuskan kedudukan korporasi dipertanyakan bahwa perbuatan apa yang akan
sebagai pelaku dan pertangungjawabannya sebagai dikendalikan dengan pernyataan:”.....bertindak
berikut:

KERTHA WICAKSANA Volume 12, Nomor 1 2018 © All Right Reserved Halaman 04
Kebijakan Hukum Pidana Dalam Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korporasi Di Indonesia

dalam lingkungan badan hukum, perseroan, badan hukum ataupun bukan.


perserikatan atas nama yayasan....”. Apakah Pasal 44: korporasi dapat dipertanggungjawabkan
dimaksudkan untuk mengendalikan prilaku dalam melakukan tindak pidana.
menyimpang yang dilakukan dalam suatu
korporasi ataukah ditujukan untuk ditujukan Pasal 45: jika tindak pidana dilakukan oleh atau
untuk mengendalikan prilaku menyimpang yang untuk korporasi, penjatuhan pidananya dapat
dilakukan untuk tujuan atas nama kepentingan dilakukan terhadap korporasi dan atau
korporasi. Secara teknis yuridis pernyataan yang pengurusnya.
demikian dapat menimbulkan penafsiran yang Pasal 46: korporasi tidak dapat
berbeda, bergantung pada cara dan bagaimana dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap
orang menafsirkannya; suatu perbuatan yang dilakukan untuk dan atau atas
3) Ketidak jelasan mengenai kreteria apa yang korporasi, apabila perbuatan tersebut tidak
digunakan sebagai pedoman untuk termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana
mempertanggungjawabkan korporasi, sebab ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan
pertanggungjawaban hukum pidana senantiasa lain yang berlaku bagi korporasi yang
dikaitkan dengan masalah kesalahan dan unsur bersangkutan.
alasan pemaaf; Pasal 47: pertanggungjawaban pidana pengurus
4) Masalah pidana yang dijatuhkan terhadap korporasi dibatasi sepanjang pengurus mempunyai
korporasi. Jenis pidana denda yang dikenakan kedudukan fungsional dalam struktur organisasi
terhadap korporasi walaupun jumlahnya korporasi.
ditingkatkan tetap menjadi tidak efektif, karena Pasal 48 ayat (1): dalam mempertimbangkan suatu
tidak ada aturan khusus yang mengatur tuntutan pidana, harus dipertimbangkan apakah
bagaimana jika denda tidak dibayar oleh bagian hukum lain telah memberikan perlindungan
korporasi. Jika diberlakukan aturan umum Pasal yang lebih berguna daripada menjatuhkan pidana
30 KUHP berdasarkan Pasal 100 UU No. 22 terhadap suatu korporasi;
Tahun 1997, maka akan menimbulkan masalah,
Ayat (2): pertimbangan sebagaimana dimaksud
yakni aturan umum Pasal 30 KUHP ditujukan
dalam ayat (1) harus dinyatakan dalam putusan
pada subjek hukum manusia dan bukan
hakim; dan
korporasi. Khusus mengenai pidana tambahan,
yaitu pencabutan hak-hak yang diperoleh Pasal 49: alasan pemaaf atau alasan pembenar yang
korporasi perlu diperjelas supaya tidak dapat diajukan oleh pembuat yang bertindak untuk dan
menimbulkan perbedaan penafsiran. Apakah atas nama korporasi, dapat diajukan oleh korporasi
yang dimaksudkan dengan pencabutan hak-hak sepanjang alasan tersebut langsung berhuhungan
yang diperoleh korporasi adalah pencabutan ijin dengan perbuatan yang didakwakan pada korporasi.
operasional perusahaan. Hal tersebut perlu Mengenai kedudukan sebagai pelaku dan sifat
dipertegas.3 pertanggungjawaban korporasi disebutkan dalam
penjelasan Pasal 46 Rancangan KUHP 2014-2015
sebagai berikut:
C. Pengaturan Dalam Rancangan KUHP 2014-
2015 1) pengurus koperasi sebagai pelaku dan oleh
Dalam ruang lingkup pembentukan KUHP karena itu penguruslah yang bertanggungjawab;
Nasional Indonesia, muncul perhatian khusus 2) korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang
mengenai perlindungan sosial terhadap aktivitas bertanggungjawab;
korporasi yang bersifat merugikan masyarakat 3) korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang
sehingga korporasi dipandang perlu untuk dirumuskan bertanggungjawab. Oleh karena itu, jika suatu
sebagai pelaku dan yang bertanggungjawab. tindak pidana dilakukan oleh dan untuk suatu
Konsep korporasi dan pertanggungjawaban korporasi, maka penuntutannya dapat dilakukan
korporasi sebagai subjek tindak pidana dirumuskan dan pidananya dapat dijatuhkan terhadap
oleh tim penyusun naskah rancangan KUHP 2014- korporasi sendiri, atau koperasi dan pengurusnya
2015 pasal 162 dan pasal 44 sampai dengan pasal 49. atau pengurusnya saja.
Bunyi rumusan pasal-pasal tersebut adalah sebagai Pidana pokok yang dapat dijatuhkan pada korporasi
berikut: menurut rancangan KUHP 2014-2015 hanyalah pidana
Pasal 162: korporasi adalah kumpulan terorganisir denda dengan ancaman maksimum pidana denda lebih
dari orang dan atau kekayaan, baik merupakan berat dibandingkan dengan ancaman pidana denda

3. I Dewa Made Suartha, 2015, Hukum Pidana Korporasi, Persfektif Pertanggungjawaban Pidana dalam Kebijakan Hukum Pidana Indonesia,
Setara Press, Malang, hlm.74-76.

KERTHA WICAKSANA Volume 12, Nomor 1 2018 © All Right Reserved Halaman 05
Kebijakan Hukum Pidana Dalam Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korporasi Di Indonesia

terhadap orang, yaitu kategori lebih tinggi berikutnya. b) the offense consists of on ommission to discharge
Pidana denda paling banyak untuk korporasi adalah a spesipic duty of affirmative performence
yang melakukan tindak pidana yang diancam pidana imposed on associations by law.
penjara paling lama 7 tahun sampai dengan 15 tahun 4) As used in this section:
adalah denda kategori V dan pidana mati, pidana
penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama a) “corporation” does not include an entity
20 tahun adalah denda kategori VI. Sedangkan pidana organized as or by governmental agentcy for the
denda paling sedikit untuk korporasi adalah denda execution of a governmental program;
kategori IV (Pasal 75 ayat (4), (5), (6)). Pidana b) “agent” means any director, officer, servant,
tambahan yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi employee or other person authorizhed to act in
berupa pencabutan hak yang diperoleh korporasi behald ofthe corporation or association and, in
(Pasal 84 ayat (2)4 the case of an unincorporated association, a
Sejalan dengan apa yang telah dirumuskan dalam member of such association.
rancangan KUHP Tahun 2014-2015 tentang c) “high managerial agent” means an officer of a
pertanggungjawaban pidana korporasi sebagai subjek corporation or an unincorporated association,
tindak pidana, sebagai bahan perbandingan dapat or, in the case of a partnership, a partner, or any
dilihat rumusan tentang pertanggungjawaban pidana other agent of a corporation or association
korporasi yang diatur dalam Model Penal Code 1985 having duties of such responsibility that his
Section sebagai berikut: conduct may fairly he assumed to represent the
1) A corporation may be convicted of the commision policy of the corporation or association.
of an offense if: 5) In any presecution of a corporation or an
a) the offense is a violation or the offense is defined unicorporated for the commission of an offense
by a statute other the Code in which a legislative include within the terms of Subsection (1)a) or
purpose to impose liability on corporation plainly Subsection (3)a) of this Section, other than an
appears and the conduct is performed by an offense for which absolute liability has been
agent of the corporation acting in behalf of the imposed, it shall be a defense if the defendant
corporation within the scope of his office or proves by apreponderance of evidence that the
emplolyment, except that if the law defining the high managerial agent having supervisory
offense designates the circumstances under which responsibility subject matter of the offence
it is accountable, such provisions shall apply; or employed due diligence to preven its commission.
This pragraph shall not apply if it is plainly
b) the offense consists of an commission to inconsistem with the legislative porpuse in
discharge a specific duty of affirmative defining the particular offense.
performence imposed on corporations by law; or
c) the commission of the offense was authorizhed, 6) (a) A person is legaly accountable for any
requested, commanded, performed or recklessly cunduct he performs or causes to be performent
tolerated by the board of directors or by a high in the name of the corporation or an
managerial agent acting in behalf of the unicorporated association or in its behalf to the
corperation within the scope of his office or same extent as if it performent in his own name
employment. behalf.
2) When absolute liability is imposed for the (b) Whenerver a duty to act is imposed by law
commssion of an affense, a legislative porpuse to upon a corporation or an unincorporated
impose liability on a corporation shall be assumed, association, any agent of the corporation
unless the contrary plainly appears. association having primary responsibility for the
discharge of the duty is legally accountable for a
3) An unincorporated association may be convicted of reckless ommission to perform the required act to
the commission of an offense if: the same extent as if the duty were imposed by
a) the offense is defined by a statute other than the law directly upon himself.
Code that expressly provides for the liability of
such an association and the conduct is performed (c) When a person is convicted of an offense by
by an agent of the scope of this offisce or reason of his legal accountability for the conduct
employment, except that if the law defining the of a corporation or an unincorporated
offense designates the agents for whose conduct association, he is subject to the sentence
the association is accountable or the authorizhed by law when a natural person as
circumstances which it is accountable, such convicted of an offense of the grade and the
provisions shall apply; or degree involved5

4. Ibid. hlm.77-79.
5. Barda Nawawi Arief (penyunting), 1999, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Bahan Bacaan Kapita Selekta Hukum Pidana), Program
S2 (Magister) Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Diponegoro, hlm.32.

KERTHA WICAKSANA Volume 12, Nomor 1 2018 © All Right Reserved Halaman 06
Kebijakan Hukum Pidana Dalam Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korporasi Di Indonesia

Dari uraian di atas, dapat dilihat bahwa terdapat pertanggungjawaban pidana juga dapat dikenakan
tiga keadaan yang membuat korporasi dapat kepada seseorang, meskipun orang tersebut tidak
dipertanggungjawabkan dalam proses pidana, yaitu: mempunyai kesalahan sama sekali.
1) Dasar pertanggungjawaban yang muncul sebagai Alasan utama untuk menerapakan
akibat perbuatan agen koperasi yang bertindak atas pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan itu adalah
nama koperasi dalam lingkup pekerjaannya; demi perlindungan masyarakat, karena untuk delik-
2) Pertanggungjawaban korporasi muncul apabila delik tertentu (seperti tindak pidana korporasi) sangat
tindak pidana tersebut mengandung unsur kelalaian sulit membuktikan adanya unsur kesalahan. Dalam hal
untuk melaksanakan kewajiban tertentu; dan ini ada tiga macam bentuk atau model sistem
pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan, yaitu: a)
3) Bentuk tindak pidana tersebut disahkan, pertanggungjawaban pidana mutlak, b)
dikehendaki, diperintahkan, dilaksanakan atau pertanggungjawaban pidana pengganti, dan c)
ditolerir oleh dewan direksi yang bertindak atas pertanggungjawaban korporasi.
nama perusahaan dalam lingkup pekerjaannya.
Ketentuan-ketentuan pertanggungjawaban mutlak 1) Pertanggungjawaban pidana mutlak (strict liability)
diasumsikan dapat diterapkan terhadap korporasi Pertanggungjawaban mutlak adalah
kecuali ditentukan lain, terdapat pula ketentuan pertanggungjawaban tanpa kesalahan, dimana pelaku
tentang pembelaan “due deligence” bagi korporasi sudah dapat dipidana apabila telah melakukan
berdasarkan bukti yang lebih kuat, sehingga agen perbuatan pidana sesuai yang dirumuskan dalam
manajerial tingkat tinggi yang memiliki tanggung undang-undang tanpa melihat sikap bathinnya. Asas
jawab pengawasan atas masalah pokok dari tindak ini diartikan dengan istilah liability without fault.
pidana yang dilakukan usaha untuk mencegah Unsur pokok dalam strict liability adalah perbuatan
terjadinya tindak pidana. Disamping itu, diatur pula (actus reus), sehingga yang harus dibuktikan hanya
bahwa seseorang bertanggung jawab secara actus reus, bukan mens rea. Curzon, L.B.,
individu atas perbuatan yang dilakukannya atas mengemukakan tiga alasan dianutnya strict liability,
nama korporasi sampaipada tingkat tertentu yang yakni:
sepertinya dilakukan atas namanya sendiri.
Demikian pula terhadap agen korporasi yang
memiliki tanggung jawab utama dalam a) Sangat esensial untuk menjamin dipatuhinya
pelaksanaan kewajiban korporasi lalu dalam peraturan penting tertentu yang diperlukan untuk
melaksanakan kewajiban tersebut, maka ia secara kesejahtraan masyarakat;
individu bertanggungjawab. Setelah mencermati b) Pembuktian adanya mens rea akan menjadi sulit
perkembangan sistem pertanggungjawaban pidana untuk pelanggaran yang berhubungan dengan
dan membandingkan dengan persfekti ius kesejahtraan masyarakat; dan
constituendum sebagaimana tertera dalam
c) Tingginya tingkat bahaya sosial yang
Rancangan KUHP Tahun 2014-2015 menurut
ditimbulkan oleh perbuatan yang bersangkutan.6
hemat penulis tampak dengan jelas kecenderungan
untuk memperbaharui sistem pertanggungjawaban 2) Pertanggungjawaban pidana pengganti (vicarious
pidana yang dianut oleh hukum pidana sekarang liability)
ini. Perkembangan tersebut dilatar belakangi oleh Pertanggungjawaban pidana pengganti adalah
perkembangan masyarakat yang sangat pesat baik pertanggungjawaban seseorang tanpa kesalahan
di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi,maupun pribadi, melainkan bertanggungjawab atas tindakan
di bidang ekonomi dan perdagangan. orang lain (a vicarious liability is one where in one
Perkembangan tersebut ditandai dengan person, though without personal fault, is more liable
kecenderungan untuk menerima penyimpangan for the conduct of another).
atau pengecualian asas kesalahan.
Dalam perkara pidana, ada dua syarat penting yang
harus dipenuhi untuk dapat menerapkan perbuatan
D. Relevansi Penerimaan Pertanggungjawaban pidana dengan pertanggungjawaban pengganti, yaitu:
Pidana Korporasi dalam Hukum Pidana a) There must relationship between X and Y which
Dalam rangka mengatasi perkembangan kejahatan is sufficient to justify the imposition of vicarious
yang semakin konpleks tersebut, nampaknya hukum liabilty;
pidana klasik yang menganut asas kesalahan sudah
b) The criminal conduct commited by Y must be
tidak mampu lagi. Oleh karena itu, perlu dilakukan
referable in some particular way to relationship
pembaruan di bidang hukum pidana dengan mengakui
between X and Y.7
bahwa asas kesalahan bukan bukan lagi satu-satunya
asas yang dapat dipakai. Dalam hukum pidana modern Disamping dua syarat tersebut diatas, terdapat dua

6. Barda Nawawi Arief dan Muladi, 1992, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, hlm.141.
7. Marcus Flatcher, 1990, A-Level Principle of English Law, Ist Editon, HLT Publiction, London, hlm.194.

KERTHA WICAKSANA Volume 12, Nomor 1 2018 © All Right Reserved Halaman 07
Kebijakan Hukum Pidana Dalam Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korporasi Di Indonesia

prinsip yang harus dipenuhi dalam menerapkan


vicarious liability, yaitu prinsip pendeligasian (the 1) Dasar Pembenar Teoretis
delegation principle) dan prinsip perbuatan buruh
merupakan perbuatan majikan (the servant’s act is the Relevansi teoretis ini perlu dikemukakan dengan
master’s act in law). pertimbangan apakah keberlakuan suatu kaidah
3) Pertanggungjawaban pidana korporasi hukum tidak bertentangan kecenderungan
perkembangan pemikiran secara global. Relevansi
Pada mulanya orang menolak untuk teoretis ini juga harus dikaitkan jalan pikiran ilmiah
mempertanggungjawabkan korporasi dalam perkara kalangan akademisi hukum, artinya, apakah kaidah
pidana. Alasannya, korporasi tidak mempunyai hukum yang baru diintrodusir itu dapat diterima atau
perasaan seperti manusia sehingga ia tidak mungkin ditolak oleh kalangan ilmuwan hukum dengan
kesalahan. Disamping itu pidana penjara tidak berbagai alasan dan argumentasi yang dikemukakan.
mungkin diterapkan terhadap korporasi. Namun,
mengingat dampak negatif yang ditimbulkan oleh Alasan dan argumentasi para ahli hukum tersebut
kegiatan korporasi, maka timbul pemikiran untuk di samping didasarkan pada pemikiran abstrak mereka
mempertanggungjawabkan korporasi dalam perkara juga didasarkan pada realitas yang terjadi dalam
pidana. Dikatakan bahwa korporasi bertanggungjawab masyarakat. Oleh karena itu pembahasan mengenai
atas perbuatan yang dilakukan oleh anggotanya dalam relevansi teoretis ini tidak dapat dilepaskan dan realitas
kaitan dengan ruang lingkup pekerjaannya. Tentu saja yang ada dalam masyarakat, baik realitas mengenai
pidana yang dapat dijatuhkan kepada korporasi peraturan perundang-undangannya, maupun realitas
biasanya pidana denda atau berupa tindakan yang lain, dalam penegakan hukumnya melalui putusan
seperti tindakan tata tertib atau tindakan administratif. 8 pengadilan (Yurisprudensi).
Ada dua cara untuk dapat memidana korporasi, Diinterodusirnya sistem pertanggungjawaban yang
yaitu: (1) korporasi dapat dikenakan menyimpang dari asas kesalahan merupakan pengaruh
pidanaberdasarkan asas vicarious liability atas dari sistem hukum common law. Sistem
kejahatan yang dilakukan oleh pegawainya, dan (2) pertanggungjawaban tersebut dianut mengingat
korporasi dapat dikenakan pidana berdasarkan teori perkembangan masyarakat yang sangat cepat baik di
identifikasi. Pengadilan mengakui tindakan dari bidang industri, ekonomi, maupun perdagangan.
anggota tertentu dari korporasi, selama tindakan itu Kenyataan ini membuktikan bahwa hukum
berkaitan dengan urusan korporasi, dianggap sebagai berkembang dengan mengikuti tahap-tahap
tindakan dari korporasi itu sendiri.9 perkembangan masyarakatnya.
Teori identifikasi tersebut adalah salah satu teori Pendapat Henry Meine yang dikutip oleh Satjipto
yang menjastifikasi pertanggungjawaban korporasi Rahardjo menyebutkan bahwa:”tahap-tahap
dalam hukum pidana. Teori ini menyebutkan bahwa perkembangan dari ikatan kekerabatan yang primitif
“the act and state of ind of the person are the act and menuju menuju negara modern yang bersifat teritorial.
state of mind of the corpotion”.10 (tindakan dan Di sini bisa dilihat betapa hukum yang dibutuhkan
kehendak dari deriktur adalah juga merupakan oleh masyarakat untuk mengatur kehidupan
tindakan dan kehendak dari korporasi). masyarakat itu sendiri seyogyanya harus disesuaikan
dengan perkembangan yang ada dalam masyarakat.11
Korporasi mempunyai sifat yang mandiri dalam hal
pertanggungjawaban pidana, sehingga Dicantumkannya penyimpangan terhadap asas
pertanggungjawaban korporasi (enterprise liability) kesalahan ini mendapat tanggapan pro dan kontra di
tidak dapat disamakan dengan model kalangan ahli hukum Schaffmesiter menganggap
pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability). bahwa penyimpangan itu merupakan hal yang
bertentangan dengan mens rea. Namun, Barda Nawawi
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, pernyataan Arief mengatakan bahwa perkecualian atau
yang muncul adalah sampai sejauh mana asas penyimpangan dari suatu asas jangan dilihat semata-
kesalahan dalam pertanggungjwaban pidana korporasi mata sebagai pertentangan (contradiction), tetapi juga
mempunyai relevansi untuk diterapkan di Indonesia?. harus dilihat sebagai pelengkap (complement) dalam
Dengan kata lain, sampai sejauh mana relevansinya mewujudkan asas keseimbangan, yaitu keseimbangan
dalam rangka pembaharuan hukum pidana Indonesia?. antara kepentingan pribadi dengan kepentingan
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka ada masyarakat, keseimbangan antara kedua kepentingan
beberapa tolok ukur yang dapat dipergunakan sebagai itulah oleh beliau dinamakan sebagai asas
dasar pembenar, yaitu: (1) dasar pembenar teoretis, (2) monodualistik.12
dasar pembenar sosiologis, dan dasar pembenar
filosofis. Namun terlepas dari semua itu, Barda Nawawi
Arief tetap memberikan batas-batas yang harus
8. Sue Titus Reid, 1978, Criminal Law, 3rd Edition, Prentice Hall, New Jersey, hlm.51.
9. Peter Siago, 1989, Criminal Law, 3rd Edition, Sweet & Mazwell, London, hlm.143-144.
10. Richard Card, 1984, Introduction to Criminal Law, 10th Edition, Butterworths, London, hlm.123.
11. Satjipto Rahardjo, 2011, Hukum dan Masyarakat, Angkasa , Bandung, hlm. 102-103
12. Barda Nawawi Arief, 2003, Kapeta Selekta Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.29-30.

KERTHA WICAKSANA Volume 12, Nomor 1 2018 © All Right Reserved Halaman 08
Kebijakan Hukum Pidana Dalam Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korporasi Di Indonesia

diperhatikan dalam menerapkan asas ketiadaan dianggap sebagai hukum apabila ia diakui secara sah
kesalahan dan pertanggungjawaban pidana ini. Batas- oleh masyarakat sendiri. Sedangkan menurut teori
batas tersebut adalah: kekuasaan, berlaku tidaknya suatu norma itu dilihat
a) Sejauh mana akibat-akibat yang ditimbulkan oleh sejauh mana norma itu diperlakukan oleh suatu
perkembangan delik-delik baru itu mengancam kekuasaan tertentu. Secara ekstrem dapat dikatakan
kepentingan umum yang sangat luas dan eksistensi bahwa dalam pandangan teori kekuasaan , suatu norma
pergaulan hidup sebagai totalitas?. hukum itu berlaku karena kekuatannya sendiri yang
bersifat perintah, terpisah dari pertimbangan ada
b) Sejauh mana nilai-nilai keadilan berdasarkan tidaknya pengakuan dari masyarakat yang diaturnya.
Pancasila membenarkan asas ketiadaan kesalahan Pertanggungjawaban pidana yang menyimpang
sama sekali? Dengan demikian inti dari asas kesalahan apabila dikaitkan dengan teori
permasalahannya menurut Barda Nawawi Arief pengakuan masyarakat, pertama-tama dapat dilihat
adalah berkisar pada sejauh mana makna kesalahan kehidupan masyarakat pada waktu dulu hingga
atau pertanggungjawaban pidana itu harus sekarang. Kehidupan pada waktu dulu tidak dapat
diperluas dengan tetap mempertimbangkan dijelaskan dari adat istiadat yang pernah dipakai
keseimbangan antara kepentingan individu dengan sebagai pedoman dalam hidup dan kehidupan
kepentingan masyarakat luas. Masalah ini jelas perkembangan masyarakat yang lebih dikenal dengan
bukan masalah yang mudah. Lebih jauh beliau juga hukum adat.
mengingatkan bahwa pertimbangan harus
dilakukan dengan sangat hati-hati, terlebih Dalam hukum adat disamping orang sebagai subjek
melakukan yang derastis dari konsep kesalahan hukum, juga diakui persekutuan hukum, persekutuan
yang diperluas sedemikian rupa sampai pada keluarga, dan persekutuan daerah. Di beberapa daerah
konsepsi ketiadaan kesalahan sama sekali. Hal kepulauan Indonesia sering terjadi bahwa kampung
yang terakhir ini merupakan akar yang paling pelaku kejahatan atau kampung tempat terjadinya
dalam nilai-nilai keadilan yang berdasarkan suatu pembunuhan atau pencurian terhadap orang
Pancasila. Pembenaran penyimpangan terhadap asing, diwajibkan membayar denda atau kerugian
asas kesalahan dalam pertanggungjawaban pidana golongan keluarga orang yang dibunuh atau yang
korporasi dapat dikaji atas dasar tujuan hukum kecurian. Begitu pula keluarga si penjahat diharuskan
pidana dan pemidanaan yang bersifat integratif menanggung hukuman yang dijatuhkan atas kejahatan
dalam rangka perlindungan sosial, yaitu: (1) yang dilakukan oleh salah seorang wargaya.
pencegahan umum dan khusus, (2) perlindungan Pengakuan terhadap subjek hukum selain orang,
masyarakat, (3) memelihara solidaritas masyarakat, seperti badan hukum, persekutuan, ataupun
dan (4) pengimbalan atau pengimbangan. Alasan perkumpulan masyarakat dapat dikatakan merupakan
perlunya perumusan strict liability dan vicorious pemikiran yang maju, mengingat yang dapat menjadi
liability dalam pemidanaan korporasi merupakan subjek hukum itu tidak hanya manusia sebagai pribadi
refleksi dalam menjaga kepentingan sosial. (manusia alamiah). Dengan adanya pengakuan ini
dapat dikatakan bahwa masyarakat Indonesia sudah
sejak dulu menerima adanya subjek hukum selain
manusia. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan
2) Dasar Pembenar Sosiologis bahwa perkembangan pemikiran subjek delik dalam
Relevansi sosiologis ini dibutuhkan untuk menilai hukum pidana sekarang ini mempunyai relevansi
sejauhmana penyimpangan asas kesalahan dalam secara sosiologis dengan masyarakat Indonesia.
pertanggungjawaban pidana dapat diterima oleh Menurut hukum pidana adat, dalam masalah
masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut, ada dua pertanggungjawaban pidana, tidak semata-mata
teori yang dikenal , yaitu teori pengakuan dan teori menganut asas kesalahan sebagai unsur yang mutlak
kekuasaan. Kedua teori tersebut digunakan oleh yang harus ada dalam suatu delik. Hukum pidana adat
Soerjono Soekanto dalam menilai keberlakuan hukum juga menuntut seseorang untuk bertanggungjawab
adat di Indonesia, juga akan dipergunakan dalam walaupun tidak ada kesalahan sama sekali (seperti:
menilai sejauhmana penyimpangan asas kesalahan itu strict liability). Disamping itu, hukum adat juga
dapat diperlakukan atau tidak dalam masyarakat memberikan kemungkinan untuk
Indonesia.13 mempertanggungjawabkan orang lain atau
Menurut teori pengakuan, berlaku tidaknya suatu persekutuannya atas delik yang telah dilakukan oleh
norma hukum itu ditentukan oleh sejauh mana anggota persekutuan tersebut. Tindakan reaksi atau
masyarakat menerima dan mengakui sebagai norma koreksi itu tidak hanya dapat dikenakan pada kerabat
yang ditaati. Secara ekstrem menurut pandangan teori atau keluarganya, atau mungkin juga dibebankan
pengakuan, suatu ketentuan hukum baru boleh kepada masyarakat yang bersangkutan untuk
mengembalikan keseimbangan yang terganggu

13. Soerjono Soekanto, 1979, Masalah Kedudukan dan Peranan Hukum Adat, Akademika, Jakarta, hlm. 5-6.

KERTHA WICAKSANA Volume 12, Nomor 1 2018 © All Right Reserved Halaman 09
Kebijakan Hukum Pidana Dalam Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korporasi Di Indonesia

(seperti: vicarious liability).14 pertanggungjawaban pidana korporasi sangat sulit


Apabila dikaitkan dengan teori kekuasaan, maka dalam praktik penegakan hukumnya. Adanya
berpengaruh tidaknya asas yang menyimpang dari asas keharusan untuk membuktikan kesalahan (terutama
kesalahan dalam situasi Indonesia dewasa ini sehingga unsur kesengajaan) dalam pertanggungjawaban pidana
dikatakan relevan untuk dijadikan bahan bagi kekuatan korporasi, cenderung akan memberi peluang kepada
moral dan politik. Artinya, sejauh mana penyimpangan korporasi untuk memperoleh profit (menguntungkan)
asas kesalahan itu didukung oleh moralitasnya sendiri dengan tidak mematuhi peraturan-peraturan yang
untuk berlaku dan sejauh mana penyimpangan asas penting tertentu yang bertujuan untuk memelihara
kesalahan itu dibeikan kekuatan untuk berlaku dalam kepentingan sosial. Akibatnya, kepentingan sosial dan
masyarakat Indonesia. Hal ini berarti juga kepentingan umum menjadi terancam.
diberlakukan tidaknya penyimpangan asas kesalahan Dari uraian di atas, tampak dengan jelas terdapat
itu di Indonesia menyangkut persoalan politik hukum tarik menarik antara kepentingan pribadi (pelaku delik)
dan politik kriminal yang diterapkan di Indonesia. dengan kepentingan umum. Seandainya asas kesalahan
Penyimpangan asas kesalahan itu, dengan pembatasan- tetap dipertahankan berarti kepentingan pelaku delik
pembatasan yang ketat dapat saja diperlakukan atau didahulukan, tetapi kepentingan umum dikorbankan.
tidak diberlakukan di Indonesia, bergantung pada Sebaliknya, jika penyimpangan asas kesalahan
bagaimana sikap pembentuk undang-undang untuk ditetapkan pada semua perbuatan pidana, berarti
menentukannya.15 kepentingan umum didahulukan dan kepentingan
Melihat hukum pidana dalam persfektif ius pelaku delik dikorbankan. Oleh karena itu, diambil
constituendum, penyimpang asas kesalahan itu sudah jalan tengah, yaitu penyimpangan asas kesalahan
diterima oleh pembentuk Rancangan KUHP 2014- diterima, tetapi dibatasi hanya terhadap perbuatan
2015. Pertimbangannya adalah mengingat pidana tertentu yang mengatur mengatur kepentingan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang umum atau sifatnya ringan (regulatory offences, public
yang sangat cepat yang diikuti perkembangan bentuk welfare offences, mala prohibita). Apabila kebijakan
dan modus operandi kejahatan dalam seperti itu dijalankan, maka berarti salah satu prinsip
pertanggungjawaban pidana korporasi merupakan dasar dari Pancasila, yakni adanya keseimbangan
refleksi tanggung jawab pemerintah untuk menjaga antara kepentingan umum dengan kepentingan pribadi
keseimbangan kepentingan sosial dalam kehidupan (asas monodualistik) telah dijalankan. Berdasarkan
masyarakat. dari argumen di atas, hemat penulis penerimaan
terhadap asas yang menyimpang dari asas kesalahan
Dengan demikian, sejauh mengenai pertimbangan- adalah tidak bertentangan dengan falsafah Pancasila.
pertimbangan yang bersifat sosiologis, baik menurut Dengan kata lain, penyimpangan asas kesalahan itu
teori pengakuan masyarakat maupun teori kekuasaan, mempunyai relevansi folosifis.
dapat dikatakan bahwa penyimpang asas kesalahan
cukup mempunyai relevansi dijadikan sebagai salah
satu bahan utama dalam rangka pembaharuan hukum III.SIMPULAN
pidana nasional. KUHP tidak dapat menjaring korporasi sebagai
subjek hukum yang dapat dipidana, karena masih
3) Dasar Pembenar Filosofis menganut prinsip subjek hukum hanyalah manusia
alamiah. Beberapa peraturan perundang-undangan
Keberlakuan secara teoretis dan sosiologis diluar KUHP telah mulai menyimpang dari asas umum
sebagaimana telah diuraikan di atas perlu ditelaah tersebut, dengan mencoba menempatkan korporasi
lebih jauh kesesuaiannya dengan alam pikiran hukum sebagai subjek hukum pidana dan masalah
dan falsafah hukum nasional adalah Pancasila. Sebagai pertanggungjawaban pidananya.
idiologi negara Pancasila, bahwa kelima sila yang
menerapkan prinsip dasar serta pedoman bagi bangsa Dalam perspektif ius constituendum subjek tindak
Indonesia dan hidup kenegaraannya. pidana korporasi dan pertanggungjawaban pidananya
telah dirumuskan secara tegas dan terperinci dalam
Diintrodusirnya penyimpangan terhadap asas naskah rancangan KUHP 2014-2015, Pasal 162, Pasal
kesalahan pada dasarnya merupakan hal yang 44 sampai dengan Pasal 49. Dengan demikian secara
bertentangan dengan asas mens rea, karena menurut prinsip telah diterima korporasi sebagai subjek hukum
asas mens rea, seseorang yang dituduh dibuktikan dalam hukum pidana, sehingga korporasi dapat
terlebih dulu kesalahannya. Namun, dengan dituntut dan dijatuhi pidana.
perkembangan sosial-ekonomi masyarakat yang diikuti
pula dengan perkembangan kejahatan yang semakin Penerimaan terhadap asas yang menyimpang dari
kompleks, yaitu munculnya perbuatan yang sifatnya asas kesalahan adalah tidak bertentangan dengan
ringan tetapi sangat membahayakan masyarakat, maka falsafah Pancasila. Dengan kata lain, penyimpangan
pembuktian unsur kesalahan dalam asas kesalahan itu mempunyai relevansi yuridis,

14. I Made Widnyana, 1993, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, PT. Eresco, Bandung, hlm.19-27.
15. Jimly Asshiddiqi, 1995, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Angkasa, Bandung, hlm.216-217.

KERTHA WICAKSANA Volume 12, Nomor 1 2018 © All Right Reserved Halaman 10
Kebijakan Hukum Pidana Dalam Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korporasi Di Indonesia

sosiologis, dan filosofis pidana dalam Kebijakan Hukum Pidana


Indonesia, Setara Press, Malang.
DAFTAR PUSTAKA Widnyana, I Made, 1993, Kapita Selekta Hukum
Pidana Adat, PT. Eresco, Bandung.
Barda Nawawi Arief (Penyunting), 1999,
Pertanggungjawaban pidana korporasi (Bahan
Bacaan Kapita Selekta Hukum Pidana), Perundang-undangan
Program S2 (Magister) Pascasarjana, Undang Undang RI No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab
Universitas Diponegoro, Semarang. Undang Undang Hukum Pidana.
----------------------------, 2003, Kapita Selekta Hukum
Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Undang Undang RI No. 12 Drt Tahun 1951 tentang
---------------------------, dan Muladi, 1992, Teori-Teori Senjata Api dan Bahan Peledak.
& Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung.
Jimly Asshiddiqi, 1995, Pembaharuan Hukum Pidana
Indonesia, Angkasa, Bandung. Undang Undang Nomor RI 7 Tahun 1957 Tentang
Tindak Pidana Ekonomi.
Muladi, 1995, Korban Kejahatan Korporasi, Bahan
Penataran Nasional Hukum Pidana dan
Kriminologi, Fakultas Hukum UNDIP, 3-15 \Undang Undang RI No.1 Tahun 1981 tentang Kitab
Desember. Undang Undang Hukum Acara Pidana.
Marcus Flatcher, 1990, A-level Principle of English
Law, Ist Edition, HLT Publiction, London.
Undang Undang RI No.31 Tahun 1999 jo. Undang
Peter Siago, 1989, Criminal Law, 3rd Edition, Sweet Undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
& Mazwell, London. TindakPidana Korupsi.
Richard Card, 1984, Introduction Criminal Law, 3rd
Edition, 10th Edition, Butterworths, London.
Undang Undang RI No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak
Sue Titus Reid, 1978, Criminal Law, 3rd Edition, Pidana Pencucian Uang.
Prentice Hall, New Jersey.
Soerjono Soekanto, 1979, Masalah Kedudukan dan
Perpu No. 1 Tahun 2002 jo. Undang Undang RI No. 2
Pranan Hukum Adat, Akademika, Jakarta.
Tahun 2002 jo. Undang Undang RI No. 15 dan 16
Satjipto Rahardjo, 2011, Hukum dan Masyarakat, Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Teroris
Angkasa, Bandung.
Shofie, Yusuf, 2002, Pelaku Usaha dan Tindak Pidana
Korporasi, Chalia Indonesia, Jakarta.
Suartha, I Dewa Made, 2015, Hukum Pidana
Korporasi, Persfektif Pertanggungjawaban

KERTHA WICAKSANA Volume 12, Nomor 1 2018 © All Right Reserved Halaman 10

You might also like