Professional Documents
Culture Documents
http://quranicsciences.wordpress.com/2009/01/07/segi-segi-kemukjizatan-al-quran/
Perbincangan mengenai i‘jâz al-Qur’an mulai banyak menarik perhatian kaum muslimin pada
abad ke-2 Hijriah ketika berkembang pendapat yang dinisbatkan kepada Wâshil ibn ‘Athâ’
(pemuka Mu‘tazilah, w. 131 H) bahwa kemukjizatan al-Qur’an tidaklah terletak pada sisi
internal al-Qur’an, melainkan karena Allah memalingkan, mencabut, atau menghalangi daya
pikir manusia untuk bisa atau sempat membuat tandingan al-Qur’an. Pandangan ini
mengasumsikan bahwa sejatinya manusia memiliki kemampuan untuk membuat yang serupa
dengan al-Qur’an. Pendapat yang dikenal dengan paham sharfah ini dijabarkan oleh Ibrâhîm ibn
Sayyâr al-Nazhzhâm (w. 231 H).
Ulama yang tampaknya menjadi pengkritik pertama paham ini adalah al-Jâhizh (w. 255 H), yang
juga murid al-Nazhzhâm. Menurutnya, kemukjizatan al-Qur’an terletak pada nazhm atau
redaksinya. Redaksi al-Qur’an mempunyai makna yang amat mendalam padahal kata-katanya
sedikit. Redaksi al-Qur’an juga unik dan jauh berbeda dari perkataan-perkataan selainnya.
Para ulama dan sastrawan setelah al-Jâhizh pun tergerak untuk mengeksplorasi kemukjizatan al-
Qur’an dalam nazhm-nya. Di antara mereka yang juga menulis kitab tentang nazhm al-Qur’an
adalah Abû Bakr ‘Abdullâh al-Sijistânî (w. 316 H), Abû Zayd al-Balkhî (w. 322 H), dan Ibn al-
Ikhsyîd al-Mu‘tazilî (w. 326 H).
Dari kalangan Sunni, agaknya Ibn Qutaybah al-Dînawarî (w. 276 H) termasuk pelopor
pembicaraan mengenai kemukjizatan al-Qur’an. Di sela kitabnya, Ta’wîl Musykil al-Qur’ân, ia
menegaskan bahwa kemukjizatan al-Qur’an terletak pada keajaiban nazhm-nya, yang tak
membosankan saat dibaca atau didengar meski dibaca atau didengar berlama-lama, dan yang
menghimpun makna yang kaya dalam kata-kata yang singkat. Pendapat senada juga telah
ditegaskan mufasir sezamannya, Ibn Jarîr al-Thabarî (w. 310 H).
Sejak masa mereka, kemukjizatan al-Qur’an, terutama dari aspek kebahasaan (nazhm, fashâhah,
dan balâghah), banyak ditulis oleh para ulama, semisal al-Wâsithî (w. 306 H), al-Rummânî (w.
384 H), al-Khaththâbî (w. 388 H), al-Bâqillânî (w. 406 H), dan al-Jurjânî (w. 471 H).
Rumusan tentang segi-segi kemukjizatan al-Qur’an pun karenanya turut pula berkembang,
meskipun para ulama lebih banyak berfokus pada kemukjizatan al-Qur’an dari segi kebahasaan.
Cakupan kemukjizatan al-Qur’an pun dirinci secara berbeda. Ada ulama yang menyebutkan
hingga belasan segi, ada yang cuma beberapa segi, dan ada juga yang menyebutkan hanya satu
segi.
Tampak bahwa pendapat-pendapat ini bisa dirangkum lagi menjadi empat pendapat saja: 1) yang
menyatakan kemukjizatan al-Qur’an terletak pada aspek kebahasaan, 2) yang menganut paham
sharfah, 3) yang menegaskan bahwa kemukjizatan al-Qur’an tak bisa dilukiskan dalam kata-
kata, dan 4) yang membenarkan semua pendapat sebelumnya.
Akan tetapi, di luar ini sebetulnya masih terdapat poin-poin lain yang belum diungkapkan.
Karenanya, marilah kita lihat berbagai rumusan tentang cakupan kemukjizatan al-Qur’an dari
masa ke masa.
4. Balâghah (retorika)
Al-Qurthûbî (w. 671 H) dalam mukadimah al-Jâmî‘ li Ahkâm al-Qur’ân, menyebutkan 10 segi
kemukjizatan al-Qur’an:
1. Susunan redaksi yang begitu indah yang lain dari yang lain
2. Gaya tutur (uslub) yang lain dari yang lain
3. Jazâlah (kefasihan) yang mustahil berasal dari makhluk
4. Pengaruhnya yang besar terhadap bahasa Arab
5. Pemberitaan peristiwa-peristiwa yang telah berlalu sejak bermulanya dunia ini hingga
waktu turunnya al-Qur’an
6. Terbuktikannya janji-janji yang ada di dalamnya
7. Pemberitaan peristiwa-peristiwa gaib di masa mendatang
8. Pengetahuan yang terkandung di dalamnya
9. Hikmah-hikmahnya yang matang
10. Keselarasan kandungannya lahir dan batin.
Pada masa modern, berkembanglah fokus ke segi-segi kemukjizatan yang baru, seperti
kemukjizatan dari segi isyarat atau kandungan saintifik al-Qur’an dan keajaiban matematis
dalam al-Qur’an. Karenanya, rumusan mengenai cakupan kemukjizatan al-Qur’an pada masa
modern umumnya sangat berbeda dari yang dulu ulama rumuskan pada masa klasik.
‘Abdullâh al-Darrâz misalnya, dalam al-Naba’ al-‘Azhîm (1933) menyebutkan tiga sisi
kemukjizatan al-Qur’an (yang juga diikuti oleh Mannâ‘ al-Qaththân dalam Mabâhits fî ‘Ulûm al-
Qur’ân):
Sedangkan Mushthafâ Muslim dalam Mabâhits fî I‘jâz al-Qur’ân menyebutkan empat segi
kemukjizatan al-Qur’an:
Sementara Khâlid ‘Abdurrahmân al-‘Akk dalam Ushûl al-Tafsîr wa Qawâ‘iduh menyebut 12 sisi
kemukjizatan al-Qur’an sebagai berikut:
Sedangkan Quraish Shihab dalam Mukjizat Al-Qur’an dan Sejarah dan Ulum al-Qur’an,
menyimpulkan tiga aspek besar kemukjizatan al-Qur’an, yaitu:
3. Pemberitaan gaibnya.
Beragamnya rumusan para ulama mengenai sisi-sisi kemukjizatan al-Qur’an justru menunjukkan
betapa banyak sisi al-Qur’an yang menakjubkan. Alih-alih saling menegasi, perbedaan pendapat
mereka tampak sekali saling melengkapi. Ya, sebetulnya “dalam al-Qur’an terdapat beribu
mukjizat,” kata al-Zarqânî. Keragaman ini adalah petunjuk bahwa al-Qur’an ialah kitab yang dari
sisi mana saja kita memandangnya, yang tampak adalah kilauan cahaya.[]