Professional Documents
Culture Documents
ARCHIPELASCAPE
BUDI PRAYITNO
ARCHIPELASCAPE
BUDI PRAYITNO
ARCHIPELASCAPE
PROLOG
PROLOG
Buku Rekayasa Tata Ruang Kepulauan merupakan upaya dalam melancarkan dekonstruksi wacana mengenai pembangunan nasional yang selama ini lebih berorientasi pada konsep kontinental ke paradigma baru pembangunan nasional yang berbasis pada tatanan kepulauan dan bahari. Mengapa itu penting?. Kita ketahui bersama bahwa Indonesia merupakan negara bahari dengan 75% (5,8 juta km2) luas kawasan berupa lautan dan 25% (1,9 juta km2) berupa daratan yang terdiri dari 17.508 buah pulau dengan bentangan pantai 81.000 km. Sangatlah disayangkan bahwa dengan fakta tersebut program pembangunan nasional yang ada selama ini masih lebih berorientasi pada kawasan daratan. Pola yang sudah terulang hingga bertahun-tahun tersebut tanpa sadar telah membuat kita lupa akan potensi laut, pesisir dan sebagian besar pulau-pulau kecil yang ada di wilayah kepulauan Indonesia. Teknologi perairan kita sudah sangat tertinggal jauh bahkan dari negara yang tidak berbasiskan perairan. kapal-kapal kita sudah tua dan armada laut kita yang berfungsi sebagai pengaman dan pengawas gugus kepulauan nusantara tidak memiliki cukup sarana dan prasarana dalam beraktivitas. Sistem navigasi kita masih memakai sistem kolonial, bahkan mercusuar kita adalah bangunan lama yang senantiasa direhab tanpa ada peningkatan fasilitas dan teknologi. Realitas lain yang menegaskan ketertinggalan kita adalah nelayan-nelayan nusantara yang masih mempertahankan metode lama dalam mengeksplorasi hasil laut dan tak jarang menggunakan cara-cara yang merusak ekosistem laut, apakah itu dengan bom ikan maupun pukat harimau. Selain itu banyak pula kapal asing yang menyusup ke wilayah kita dan mengambil kekayaan alam laut dengan eksplorasi besarbesaran tanpa kita bisa berbuat banyak. Kita sudah terbiasa mengatasi masalah secara reaktif dan parsial. Hanya bereaksi ketika masalah sudah menjadi besar dan susah dikendalikan. Penyelesaiannya juga tidak menyeluruh dan berorientasi pada hasil jangka pendek. Kemampuan dalam mengantisipasi keadaan atau peristiwa yang bakal terjadi di masa depan sangatlah rendah. Disisi lain kita juga jarang belajar dari masa lalu, yang mendiami benak kita adalah nostalgia hostoris bahwa nenek moyang kita dulu merupakan pelaut ulung, berlayar dari pulau ke pulau hingga ke negeri seberang, menaklukkan ombak dan gelombang. Rupanya budaya maritim yang menjadikan nenek moyang kita maju di bidang kelautan dan merupakan adaptasi dari wilayah kepulauan nusantara belum tersemat rekat dalam sanubari kita. Djoko Sumaryono dalam opini di harian Kompas menjelaskan bahwa ada beberapa indikator dan faktor yang dapat menjelaskan mengapa bangsa kita kehilangan budaya maritim. Pertama adalah kurun waktu lama kita dijajah oleh kolonialis belanda dan dibatasi ruang gerak dan interaksi kita dengan pihak diluar penjajah, konsep sentralisasi dan pemusatan pemerintahan di Jawa juga turut melupakan potensi wilayah pesisir kita. Kedua, kebijakan pemerintah kurang berpihak pada bidang maritim. Sebagai contoh penghitungan Dana Alokasi Umum (DAU) bagi daerah otonom dirumuskan berdasarkan perbandingan luas wilayah
10
PROLOG
Sebuah prasasti pra-sejarah abad IV V berupa relief yang menggambarkan kapal dari Lau Biang, Sumatera Utara. Prasasti ini menandakan awal eksplorasi maritim Indonesia. Sumber : Indonesian Heritage Ancient History. Archipelago Press.
11
PROLOG
darat terhadap penduduk. Ketiga, bangsa kita tidak dapat menangkap momentum kebangkitan asia pasik dimana sea trade semakin meningkat tajam. Ironisnya perusahaan pelayaran nasional menjadi lumpuh karena kalah bersaing dengan perushaan pelayaran asing yang didukung permodalan lebih kuat. Keempat, kita kurang serius memanfaatkan prinsip-prinsip negara kepulauan dalam UNCLOS 1982 yang merupakan prestasi terbaik kita dalam memperjuangkan konsepsi negara kepulauan. Akibatnya isu perbatasan pulaupulau terluar tidak maksimal tertangani. Kemenangan Malaysia dalam kasus kepemilikan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan di Mahkamah Internasional di den Haag karena mereka melakukan penguasaan secara efektif (effective occupation) terhadap kedua pulau itu, dimana mereka telah membangun berbagai fasilitas bahkan resort di pulau-pulau tersebut. Hal itu sebenarnya menjadi pelajaran berharga bagi kita agar tidak lagi menyia-nyiakan potensi maritim yang kita miliki. Kelima, bangsa kita belum memanfaatkan laut dengan sebaik-baiknya. Sebagai contoh, peluang pemanfatan potensi perikanan laut yang begitu melimpah belum dikelola untuk menghasilkan keuntungan ekonomis bagi negara. Selama ini penanganan kelautan Indonesia bersifat sangat sektoral. Seperti perikanan, pertambangan/ migas, perhubungan, pariwisata, penegakan hukum, pertahanan, lingkungan dan lain-lain, termasuk oleh pemerintah daerah dalam perkembangan otonomi. Disisi lain badan-badan dan instansi yang ada hanya bersifat koordinatif dan konsultatif tanpa wewenang eksekutif. Akibatnya mereka tidak bisa mengambil tindakan ataupun program dalam menangani masalah kelautan tapi hanya bisa melaporkan ataupun mendata masalah tanpa proses nyata lebih lanjut. Memang selama 350 tahun kita ditekan dan diarahkan oleh penjajah kolonial bahwa laut adalah pemisah antar pulau dan suku-suku sebagai bagian dari politik adu domba (devide at impera). Hendaknya dalam kurun waktu 62 tahun kemerdekaan kita sudah sepantasnya kita tidak memelihara paradima pemisah tadi dan menggantinya dengan konsep perekat dan penghubung dengan begitu diharapakan laut kita menjadi pemersatu dan pelingkup dari kepulauan nusantara kita. Proses pembangunan berwawasan kebangsaan perlu digalakkan. Dunia mengenal Indonesia sebagai negara maritim dalam bingkai kesatuan nusantara Republik indonesia. Sudah selayaknya kita berorientasi membangun bangsa dengan konsep kepulauan dan laut sebagai perekatnya. Tak pelak lagi wilayah pesisir dengan bandar (pelabuhan) dan fasilitas pendukungnya menjadi sangat signikan untuk dikembangkan. Kita perlu belajar dari negara maju, diantaranya Inggris, yang melalui visi perdana menteri Thatcher merancang gerakan The Action for Cities, melalui langkah konkret regenerasi bandar lama bertema To Discover the Sense of Civic Pride, yang dilaksanakan dengan motto The Decade of Achievement (1980-1990). Kitapun punya semboyan Jalesveva jayamahe yang berarti di laut kita jaya. Namun kita tak pernah mewujudkannya dengan langkah yang konkret. Visi konkret kita hanya terwujudkan dengan landmark patung dan bukan dengan proses pembangunan berbasiskan kepulauan dan maritim. Sudah selayaknya kita harus berbenah dalam perencanaan pembangunan dengan melakukan dekonstruksi paradigma yang selama ini belum beorientasi pada tatanan kepulauan, termasuk dalam perancangan tata
12
PROLOG
ruang yang menyangkut kepentingan pengembangan wilayah, konservasi, budidaya laut (mariculture), ekowisata, energi, industri, perhubungan serta keamanan. Indonesia sebagai negara maritim yang terdiri dari jajaran pulau-pulau di belahan sabuk tropis membutuhkan suatu paradigma perencanaan berbasis pada potensi budaya dan alam perairan bahari serta potensi energi surya yang melimpah. Di samping itu, dituntut pula kewaspadaan yang tinggi terhadap bencana akibat posisi kepulauan yang dikelilingi oleh lempengen tektonik kegempaan. Alur tulisan mengalir melalui empat bagian utama. Pada bagian awal buku ini akan mengulas mengenai perlunya dekonstruksi paradigma pembangunan nasional yang berbasis pada tatanan kepulauan dan bahari. Bagian pertama akan memaparkan alasan mendasar perlunya perubahan konsep Center Nodes menjadi Frontier Nodes, konsep pembangunan di darat (Landbased development) menjadi pembangunan berbasiskan perairan dan kepulauan (Waterfront & Archipelascape Development). Juga mengulas tentang konsep tanah air dan Nusantara konsep-konsep masa lalu tentang hubungan darat dan laut seperti Nyegara-Gunung, Hulu-hilir, Kaja-kelod, Kaulu-kailir. Dan ulasan terakhir adalah konsep tentang benua maritim. Bagian pertama ini diharapkan dapat membuka wacana kita tentang visi pembangunan negara kepulauan yang ideal tanpa bermaksud menggurui. Di samping itu juga sebagai proses pembelajaran bersama tentang paradigma baru mengenai tata ruang dan pembangunan berbasiskan kepulaun. Bagian kedua memaparkan loso simbiosis yang dikemukakan oleh Kisho Kurokawa, sebagai dasar pemikiran yang sangat relevan terhadap kondisi tanah air kita bagi pembentukan konsep tentang tata ruang negara kepulauan yang tetap kontekstual, sinergis, berkesinambungan dan sesuai dengan identitas bangsa sebagai negara bahari. Pada bagian ketiga akan dipaparkan konsep-konsep tata ruang mulai dari yang menekankan pada perkembangan tiap titik kawasan temu darat-laut dari aspek arsitektur sampai dengan infrasttuktur (oceanic frontier design), intra-inter space yang merupakan konsep pengelolaan kawasan dalam hubungan kerja sama dengan kawasan yang lain dalam satu pulau maupun antar pulau, dan berikutnya konsep jaringan informasi dan transportasi (trans-boundary network) yang akan membawa keterhubungan semua daerah pengembangan pada pulau-pulau yang ada di Indonesia secara nasional dan merajut hubungan kerja sama dengan negara lain secara internasional. Bagian keempat bertajuk archipelascape ialah tata ruang negara kepulauan. Akan mengemukakan pertimbangan khusus yang menjadi penekanan dari konsep-konsep yang sudah terpapar dalam bagian sebelumnya. Selain itu, akan dijabarkan studi kasus sebagai contoh implementasi konsep. Bagian ini membahas tentang interaksi daratan dan lautan, peranan Daerah Aliran sungai (DAS) sebagai penghubung antara daratan dan lautan, rekayasa infrastuktur tata ruang negara kepulauan yang mengggambarkan model-model dan konsep-konsep pembangunan kelautan, seperti reklamasi, konsep apung (oating), mitigasi dan adaptasi bencana, pemanfaatan energi samudera serta tak lupa infrastruktur permukiman
13
PROLOG
dan fasilitas keruangan, dan rekayasa keruangan tanggap bencana juga turut dipaparkan sebagai salah satu aspek yang harus diperhatikan dalam pertimbangan penataan keruangan. Penekanan selanjutnya setelah interaksi daratan dan lautan adalah jejaring keruangan yang membahas lebih spesik strategi pengelolaan dalam pengembangan kawasan tepi laut dan bagaimana menyatukan kawasan-kawasan tersebut dalam sebuah jejaring keruangan dan informasi secara nasional dan internasional. Paparan tersebut dilengkapi dengan gagasan tentang skenario penataan dalam konteks tata ruang negara kepulauan yang berisikan manajemen penataan, isu-isu kemiskinan, inasi maupun potensi, sebagai gambaran bagaimana konsep negara kepulauan dapat dijadikan salah satu solusi bagi sejumlah permasalahan fundamental pembangunan yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Gagasan Rekayasa tata ruang kepulauan memang perlu dikaji lebih dalam. Tak bisa dipungkiri negara kita yang berbasiskan kepulauan memerlukan visi dan paradigma baru tentang konsep pembangunan wilayah kita. Dengan gencarnya arus globalisasi terutama sektor ekonomi (global economy) harus mendorong kita untuk meningkatkan kualitas wilayah pesisir kita yang merupakan gerbang dalam lalu lintas ekonomi global. Paradigma dan visi ini memerlukan langkah konkret pembangunan potensi maritim kita dalam bingkai tata ruang kepulauan.
Kota Batavia abad XVII, salah satu kota pelabuhan terbesar di wilayah N akses ekonomi dan politik. Demikian hendaknya kebijakan pembanguna lauan dengan kawasan-kawasan bahari sebagai pintu gerbangnya, sehing seimb
14
PROLOG
REVITALISASI RUANG PUBLIK TEPIAN AIR PERKOTAAN Dalam perkembangannya, kawasan kota tepian air mengalami pasang surut. Pada saat peran angkutan air digeser oleh angkutan darat maka kawasan tepian pantai yang pada mulanya merupakan lokasi pusat kegiatan perkotaan mengalami pergeseran orientasi ke kawasan daratan. Hal ini menyebabkan kawasan tepian pantai menjadi daerah yang kurang terpelihara, bahkan dengan adanya perkembangan kota di kawasan daratan yang pesat menjadikan kawasan pantai sebagai daerah belakang dan sebagai tempat pembuangan berbagai jenis limbah. Namun, pada tahap perkembangan berikutnya karena lahan perkotaan untuk memenuhi kebutuhan kegiatan perkotaan semakin terbatas, tumbuhlah perhatian untuk kembali ke kawasan tepian air perkotaan yang sudah sarat dengan berbagai masalah degradasi lingkungan baik secara ekologis, keruangan maupun visual. Fenomena ini melatarbelakangi tema kajian makalah ini dengan mengangkat topik revitalisasi ruang publik tepian air. Suatu langkah perencanaan yang sangat dibutuhkan saat ini adalah memunculkan kembali suatu paradigma tata ruang nasional yang berbasis kepulauan. Ruang publik yang berada di kawasan tepian kota-kota air merupakan suatu embrio perancangan yang berfungsi sebagai generator atau kutub magnet bagi keberlanjutan suatu sistem tatanan ruang berbasis kepulauan.
Nusantara. Fungsi kota pelabuhan seperti ini sangatlah penting sebagai an nasional kita tetap menempatkan Nusantara ini sebagai negara kepugga pengembangan akan muncul dari dua titik yaitu darat dan laut secara bang.
15
PROLOG
ANALISIS SPASIAL KOTA TEPIAN AIR Dari Sabang sampai Merauke berjajar pulau-pulau. Sambung menyambung menjadi satu. Itulah Indonesia. Syair lagu diatas sudah sangat kita kenal demikian pula wacana politis Wawasan Nusantara sudah sering kita dengar,namun, hal ini belum tercermin dalam tata ruang perkotaan secara nasional. Perkembangan perkotaan yang berorientasi ke arah daratan jauh lebih pesat, bahkan sama sekali tidak memperhatikan kawasan tepian pantai di mana laut merupakan perekat antar pulau. Archipelascape merupakan suatu paradigma baru dalam rancangan urban yang diajukan dalam makalah ini. Memiliki empat konsep utama. Pertama, trans-boundary network, yaitu model pengelolaan tata ruang dengan sistem jejaring lintas batas. Kedua, inter-islands consolidation, yaitu konsep konsolidasi wilayah dengan basis jejaring tata ruang kepulauan. Ketiga, ecoscape network, yaitu konsep ekologis ruang perkotaan berbasis jejaring bentang alam dan kultural dalam upaya mewujudkan kota berkelanjutan (blue design). Keempat, waterfront community empowerment, yaitu suatu program peningkatan kualitas kehidupan masyarakat tepian air yang kondisinya saat ini dalam kategori miskin dan dalam jumlah populasi yang sangat besar. Untuk itu, perancangan ruang publik tepian air yang berada pada posisi sangat strategis sebagai titik temu dan pengikat jejaring pergerakan manusia, barang, dan informasi dalam konteks tata ruang berbasis kepulauan sangat mendesak untuk segera dilakukan penataan. Penataan dalam hal ini tidak sekedar berupa pembangunan proyek-proyek kota marina yang lebih berorientasi pada program investasi jangka pendek yang sering memunculkan berbagai masalah yang berkaitan dengan proses privatisasi kawasan dan berdampak pada konik berbagai kepentingan. Upaya penataan dalam skala pemikiran konsep tata ruang nasional berbasis kepulauan harus dimulai dari identikasi prol masing-masing kota yang akan dimasukkan secara bertahap dengan berbagai skala dan prioritas pengembangan dalam system jejaring lintas pulau (trans-islands network). Bentuk kegiatan dan karakteristik ruang perkotaan mengalami perkembangan yang sedemikian pesat dan kompleks. Untuk itu pendekatan-pendekatan yang normatif dan konvensional sangat sulit diterapkan dalam mengikuti perkembangan tersebut. More Hybrid, More Sustainable. Dua kata kunci yang diajukan dimaksudkan sebagai salah satu upaya untuk menjawab kompleksitas permasalahan desain ruang publik tepian air. Hybrid, disiini diartikan sebagai suatu bentuk kemasan baru yang merupakan kombinasi simbiosis elemen-elemen programatik rancangan ruang. Sedangkan, sustainable disini diartikan sebagai bentuk pendekatan yang diorientasikan pada terwujudnya keharmonisan tatanan eko-kultural ruang secara berkelanjutan. Suatu konsep yang kelihatannya sangat muluk dan ideal ini kalau dicermati lebih dalam sebenarnya sangat sederhana, yaitu upaya menggabungkan beberapa program rancangan ruang secara harmonis (trans programming) dalam konteks kekinian yang menuntut kreativitas tinggi dan respon yang sangat cepat.
16
PROLOG
Skematik Posisi Ruang Publik Tepian Air dalam Sistem Perkotaan Sumber : Penulis
17
PROLOG
Kawasan ruang publik tepian air yang mencakup komponen daratan dan perairan secara ekologis berfungsi sebagai penyangga berkelanjutannya kehidupan perkotaan. Namun, akibat terbengkalainya kawasan tepian air dalam waktu yang relatif cukup lama memunculkan berbagai permasalahan sosiokultural dan sik-spasial perkotaan yang sangat kompleks. Sebagai gambaran, permasalahan ruang publik perkotaan antara lain: jalur pencapaian kearah perairan yang tidak menerus, pemandangan kearah perairan yang terputus, ruang-ruang yang tidak terurus, tidak adanya orientasi kawasan, infrastruktur yang tidak memadai dan bangunan-bangunan bersejarah dimasa kejayaan kota pantai/kota tepian sungai yang terbengkalai. Permasalahan ekologis yang berupa degradasi lingkungan (erosi, pencemaran, perubahan struktur ekologis), tidak adanya keterkaitan ekologis dalam penataan ekosistem perairan dan daratan,
18
PROLOG
perubahan sifat lahan, perubahan komposisi biota dan pola arus perairan merupakan suatu tugas yang sangat berat. Dengan demikian, aspek kegiatan dan pengguna (use-user), aspek tata ruang perkotaan dan aspek keterkaitan ekologis merupakan tiga hal yang mendasari pendekatan perancangan ruang publik tepian air perkotaan. Ketiga aspek tersebut dapat terpenuhi apabila dapat diwujudkan keseimbangan/keharmonisan proses kehidupan perkotaan yang berada pada dua kutub magnet generator, yaitu aquatic generator (kutub penarik kegiatan kearah perairan) dan terrestrial generator (kutub penarik kegiatan kearah daratan).
19
PROLOG
PEMETAAN ELEMEN-ELEMEN DESAIN
Ruang publik tepian air perkotaan di dalam pemanfaatannya harus dilihat dari ketiga aspek yang mendasari pendekatannya, yaitu kegiatan, tata ruang, dan ekologis. Secara historis, eksistensi terbentuknya komunitas ruang perkotaan tepian air dapat dibedakan menjadi 2 kelompok. Pertama, masyarakat yang tradisi menetap dan berkembang pada lokasi di kawasan tepian air dengan basis budaya perairan (water culture). Kedua, kelompok masyarakat yang menghuni kawasan tepian air akibat proses urbanisasi dengan dasar pertimbangan budaya huni pada keterbatasan lahan (masyarakat marginal). Maka, kegiatan yang berkembang dikedua kawasan dengan komunitas yang berbeda tersebut menunjukkan karakter yang berbeda. Komunitas water culture mempunyai bentuk komposisi masyarakat yang relatif homogen serta mempunyai karakter kegiatan yang berbasis pada aquatic environment (misalnya: mata pencaharian, festival-festival tradisional, dsb). Sedangkan komunitas urban yang berada di ruang publik kawasan tepian air relatif lebih heterogen serta tidak mempunyai basis kultural kegiatan yang berorientasi pada budaya perairan. Maka, bentuk penanganan terhadap pemenuhan kebutuhan ekspresi kedua komunitas tersebut diatas berbeda sesuai dengan agenda/program yang akan dikembangkan pada kawasan masing-masing. Secara ekologis, penataan ruang publik tepian air perkotaan harus dilihat dari sistem tata ruang sik alami dan buatan dalam sistem keterkaitan ekologis tepian air (waterfront), kawasan kota (city area), kawasan bawah tanah (geo front), kawasan pencakar langit (sky front), serta kawasan perbukitan (hills). Hal ini mengingat keberlanjutan kehidupan perkotaan sangat tergantung pada keseimbangan/ keharmonisan pemanfaatan kawasan hulu-hilir yang utuh. Sehingga, secara singkat dua elemen utama pembentuk ruang publik perkotaan tepian air yang dapat dikenali disini berupa budaya huni tepian air dan sistem keterkaitan ekologis hulu-hilir perkotaan. Kedua elemen ini mendasari program kegiatan serta sistem spasial yang akan dikembangkan dalam menata ruang publik tepian air perkotaan.
20
PROLOG
21
PROLOG
MODEL PENATAAN
Berdasarkan pada paradigma perancangan, tata ruang berbasis kepulauan archipelascape, maka model penataan ruang publik tepian air perkotaan yang diusulkan disini lebih diarahkan pada pemrograman spasial dan kegiatan yang mendukung sistem jejaring lintas pulau (trans-islands network) serta dalam sistem keterkaitan hulu-hilir perkotaan setempat (urban ecoscape linkage). Sehingga, apapun kegiatan yang melingkupi serta yang akan dikembangkan dalam ruang publik tepian air perkotaan harus ditempatkan pada posisi dan sistem tersebut secara tepat. Model ruang publik yang dirancang disesuaikan dengan model rancangan kota yang akan dikembangkan dalam sistem jejaring lintas pulau. Demikian pula dengan rancangan ekologis perkotaannya disesuaikan dengan karakteristik sistem hulu-hilir perkotaannya. Termasuk juga dalam mengembangkan keterkaitan visual serta mengekspresikan citra kawasan tepian air perkotaan dapat dilakukan penataan koridor dan bentang pemandangan yang menghubungkan kawasan tepian air dengan kawasan-kawasan perkotaan yang lain dengan mengatur tata letak bangunan, jaringan dan akses pemandangan (view access and network) serta garis langit (skyline) yang memungkinkan terciptanya garis pemandangan visual yang menerus.
22
PROLOG
Selain itu untuk menghindari terjadinya proses privatisasi ruang publik tepian air perkotaan bagi pemanfaatan eksklusif yang tidak dapat diakses/dimiliki masyarakat umum perlu diciptakan sistem penataan yang bersifat open to public secara benar. Akses publik ini dapat berupa penyediaan jalan-jalan tepian air (boulevard, promenade atau esplanade) serta ruang-ruang terbuka yang secara tidak langsung berhubungan dengan bagian-bagian kota. Hal lain yang harus dilakukan dalam penataan ruang publik tepian air perkotaan adalah upaya pelestarian dan konservasi bangunan dan infrastruktur kawasan peninggalan kota lama yang mendukung citra historis dan konteks lokal kawasan. Beberapa kegiatan pemanfaatan kawasan tepian air perkotaan dapat berupa pembangunan kawasan bisnis dan komersial (central business district), marine residential area, festival market, perluasan dermaga dan bentuk-bentuk pemanfaatan kembali kawasan dan bangunan lama dalam kemasan baru. Konsep hybrid dapat diterapkan dalam menyusun program rancangan ruang secara lintas fungsi (trans programming) untuk menghadapi tuntutan keberagaman dan eksibilitas pilihan-pilihan kegiatan yang ditawarkan bagi masyarakat perkotaan yang semakin kompleks dengan tuntutan esiensi tnggi.
Sydney Opera House icon kota Sydney yang sekaligus menjadi pusat kebudayaan, membentuk karakter khas skyline kota tersebut Sumber : www.globalconstructionwatch.com
23
PROLOG
Buruj Al-arab icon tepian pantai Dubai yang menjadi memberikan arti lebih pada bentukan layar dan mewakili kota tersebut dalam satu bentukan arsitektural maha karya. Sumber : www.globalconstructionwatch.com
24
PROLOG
Buruj Al-arab icon tepian pantai Dubai yang menjadi memberikan arti lebih pada bentukan layar dan mewakili kota tersebut dalam satu bentukan arsitektural maha karya. Sumber : www.globalconstructionwatch.com
25
PROLOG
REGATTA IKON KELAUTAN JAKARTA Regatta Jakarta adalah sebuah desain bertemakan kelautan yang dikerjakan oleh Atkins-design studio. Merupakan pembangunan fasilitas neka guna yang berlokasi di Pantai Mutiara Canal estate, tepi laut jawa. icon dari Regatta adalah bangunan lengkung dengan tinggi 160m, merupakan hotel berbintang lima yang merepresentasikan sebuah mercusuar atau sebuah lentera laut. Hotel tersebut dikelilingi oleh 10 tower apartemen yang masing-masing merepresentasikan layar, sehingga tercipta suatu konstelasi mercusuar yang dikelilingi oleh layar-layar di sekitarnya, mirip seperti suasana lomba perahu atau regatta (bahasa italia).
Regatta icon berupa bangunan lengkung sebagai representasi dari mercusuar atau lentera laut Sumber : www.globalconstructionwatch.com
26
PROLOG
27
PROLOG
PENATAAN KAWASAN NUSA DUA BALI Nusa Dua merupakan sebuah enclave berisi resor besar internasional berbintang 5 di tenggara Bali. Terletak 40 km dari Denpasar, ibukota provinsi Bali. Cukup terkenal sebagai satu lokasi elite dengan hotel-hotel berkelas mulai dari Westin, Hyatt, Melia, Niko, Nusadua Beach, dan yang lain. Semuanya terangkai dalam kawasan Nusa Dua dan Tanjung Benoa. Hal yg menjadi daya tarik utama dalam kawasan ini bukanlah kawasan itu sendiri melainkan pantai nusa dua dengan pulau nusa duanya. Ini adalah contoh cerdas bagaimana melihat kekuatan potensi eksisting. Penataan kawasan Nusa Dua tidak berfungsi sebagai pusat dengan icon ciptaan yang baru, tetapi justru berfungsi sebagai penguat saja dan memfasilitasi potensi kawasan yang sudah ada.
28
PROLOG
Dua pulau atau nusa dua yang menjadi icon kawasan Sumber : www.lombokmarine.com
Suasana pantai dengan fasilitas rekreasi laut yang ada di kawasan Nusa Dua Sumber : www.twohigs.com
29
DEKONSTRUKSI PARADIGMA
DEKONSTRUKSI PARADIGMA
DEKONSTRUKSI PARADIGMA Mengapa Perlu ?
Kondisi ekologis kepulauan yang merupakan karakteristik utama Negara Kesatuan Republik Indonesia membutuhkan suatu pendekatan yang tepat terhadap perencanaan pembangunan Nasional. Selama ini yang terjadi adalah peerapan paradigma perenencanaan pembanguan yang ebih berorientasi pada konsep kontinental yang diberlakukan secara seragam. Akibatnya, banyak terjadi permasalahan kesenjangan antara pembangunan di pulau-pulau kecil dan kontinen yang besar, kesenjangan pemanfaatan sumber daya alam antara suatu kawasan dengan kawasan lain termasuk kesenjangan tingkat kesejahteraan. Hal ini berdampak pada belum meratanya pembangunan, terjadinya berbagai kerusakan lingkungan serta belum termanfaatkannya berbagai seumber daya alam secara optimal. Padahal secara tertulis kita sudah mempunyai konsep Wawasan Nusantara sejak lama, namun pada prakteknya belurn pernah diterapkan secara nyata. Suatu langkah yang sangat tepat adalah sejak munculnya kebijakan baru dalarn Kabinet Persatuan Nasional yang dipimpin Gus Dur dan Megawati dengan dibentuknya suatu Departemen Kelautan dan Perikanan. Untuk itu sudah selayaknya kita harus berbenah dalarn perencanaan pernbangunan dengan melakukan dekontruksi paradigma yang selama ini belurn berorientasi pada tatanan kepulauan termasuk dalarn perancangan tata ruang yang menyangkut kepentingan pengemba.-Igan wilayah, konservasi, budidaya laut (mariculture), ekowisata, energi, industri, perhubungan serta keamanan.
32
DEKONSTRUKSI PARADIGMA
DEKONSTRUKSI PARADIGMA PERENCANAAN TATA RUANG Ditinjau dari keragaman ora, fauna serta budaya maka kepulauan Indonesia dapat dikelompokkan menjadi tiga gugus. Gugus yang pertama meliputi Jawa, Sumatera dan Kalimantan serta pulau-pulau kecil di sekitarnya yang berasosiasi dengan benua Asia, gugus ketiga meliputi Papua dan Kepulauan Aru yang berasosiasi dengan benua Australia serta gugus kedua yang meliputi Nusa Tenggara, Maluku dan Sulawesi yang merupakan penghubung dan transisi dari kedua gugus tersebut. Hal ini menunjukkan adanya tingkat keberagaman yang sangat tinggi dalam konteks negara kepulauan, sehingga diperlukan satu cara pandang yang berwawasan Kesenjangan yang terjadi akibat konsentrasi pengembangan wilayah di Kawasan Barat Indonesia sudah selayaknya perlu diimbangi dengan perhatian yang cukup serius terhadap Kawasan Timur Indonesia baik secara ekonomis maupun secara ekologis. Kawasan Barat Indonesia yang telah memiliki dua segitiga pertumbuhan (growth triangle) yaitu SIJORI (Singapura, Johor dan Riau) dan IMT (Medan, Penang dan Phuket) perlu diimbangi dengan pengembangan di Kawasan Timur Indonesia dengan kerjasama BIMPEAGA (Brunei, Indonesia, Malaysia, Philipine East Asia Growth Area) serta pengembangan kerjasama Australia dan Papua New Guinea. Dengan melihat pertumbuhan penduduk yang saat ini masih terkonsentrasi di Kawasan Barat Indonesia, maka arah pembangunan jangka panjang diharapkan lebih berorientasi pada Kawasan Timur Indonesia untuk menghindari tekanan yang semakin berat terhadap ekosistem daratan serta mengurangi kesenjangan yang selama ini terjadi. Kawasan Timur Indonesia dengan luas wilayah 768.000 km2 (40,04 % dari luas seluruh Indonesia) ternyata baru dihuni 14,5 % dari total penduduk Indonesia.
33
DEKONSTRUKSI PARADIGMA
Kawasan Timur Indonesia yang secara geogras sebagian besar kawasannya berupa perairan berdasarkan proyeksi perkembangan pada abad 21 merupakan kawasan yang mempunyai posisi strategis di kawasan Negara-negara Pasic Basin. Hal ini disebabkan telah bergesernya titik produksi dan perdagangan dunia dari kawasan Atlantik ke kawasan Pasik. Untuk itu, maka paradigma perencanaan yang selama ini lebih berorientasi pada Kawasan Barat Indonesia perlu segera diimbangi dengan pengembangan Kawasan Timur Indonesia dengan basis pembangunan ekonomi maritim dalam bingkai kepulauan yang berperan sebagi perekat antar ribuan pulau yang ada. Konsep kesatuan daratan dan lautan hendaknya menjadi dasar penataan ruang baik secara administratif maupun secara fungsional. Rekayasa ekologis terhadap kawasan lindung dan kawasan budidaya harus dilakukan secara simbiotik-dinamis dalam satu kesatuan bentang daratan (landscape) dan bentang lautan (seascape). Dalam dimensi keruangan prinsip keterkaitan (linkage) dan komplementaritas/ melengkapi (complementary) menjadi dasar pendistribusian kutub-kutub pertumbuhan khususnya di luar Pulau Jawa dengan tetap mempertahankan pertumbuhan di Pulau Jawa dengan prinsip hemat air dan lahan. Pendekatan penataan ruang berbasis kepulauan pada prinsipnya mempertimbangkan wilayah kepulauan Nusantara sebagai satu kesatuan daratan, lautan dan udara dimana didalamnya terjadi suatu interaksi antar unsur-unsur ekosistem tersebut secara dinamis, siklis dan seimbang. Sifat dasar suatu wilayah mengalami dinamika karena berbagai faktor yang mempengaruhi sehingga sering disebut dengan istilah poligenetik. Faktor-faktor pengaruh tersebut meliputi antropodinamik (penggunaan lahan oleh kegiatan-manusia), morfodinamik (erosi, sedimentasi), ekodinamik (terumbu karang, mangrove), hidrodinamik (gelombang arus pasang surut, debit sungai), geodinamik (pengangkatan, penenggelaman), aerodinamik (angin, penguapan, hujan), dan astrodinamik (rotasi, revolusi, gerhana). KESEIMBANGAN DINAMIK Untuk mencapai keseimbangan dinamik (dynamic equillibrium) suatu kawasan maka rekayasa tata ruang yang harus dilakukan tidak hanya mengembangkan kawasan budidaya, saja tetapi harus djImbangj oleh rekayasa pengamanan dan pengawasan kawasan fungsi lindungnya. Rekayasa terhadap kawasan lindung ini meliputi konservasi kawasan dan spesies yang dilindungi, pengaturan garis sempadan pantai dan sungai, konservasi hutan bakau, konservasi padang lamun dan konservasi terumbu karang. Adapun rekayasa pengembangan kawasan budidaya melipub pengembangan pertanian tambak, garam dan budidaya kelautan, industri, permukirnan, perhubungan laut serta pariwisata bahari. Kedua kegiatan rekayasa tersebut diatas tentu saja tidak hanya berupa program yang bersifat sik semata tetapi harus diikuti dengan program rekayasa sosial budaya. Pemberdayaan komunitas serta keseriusan dukungan pada stakeholder menjadi kunci utama keberhasilan program rekayasa tata ruang. Untuk itu sosialisasi akan pentingnya mewujudkan suatu program pembangunan yang lestari merupakan langkah awal yang perlu dilakukan dalam praktek nyata bukan sekedar sloganis semata.
34
DEKONSTRUKSI PARADIGMA
MODEL TATA RUANG BERBASIS KEPULAUAN Pengembangan wilayah kesatuan daratan dan lautan dalam bingkai kepulauan harus dilakukan secara menyeluruh dalam pengertian mampu mengintegrasikan seluruh wilayah dalam sistem rekayesa jejaring keruangan dalam bentuk fungsi, hirarki dan po/a keterkaitan antar kawasan. Strategi pengembangannya meliputi tiga level yaitu level lokal (mikro), level antar pulau-pulau kecil (messo) dan level kontinen, pesisir dan pulau-pulau kecil (makro). Pada level lokal penataan kawasan meliputi pengembangan potensi setempat beserta upaya-upaya konservasi kawasan lindungnya serta pemberdayaan masyarakat setempat melalui pengembangan ekonomi kerakyatan. Sedangkan pada level messo konsep keterkaitan dan pengembangan pusat-pusat kegiatan produksi dan pelayanan menjadi strategi utama pengembangan tata ruangnya sesuai dengan spesialisasi potensi yang dimiliki masing-masing kawasan. Adapun pada level makro konsep ketepatan dan pengembangan pusat-pusat produksi dan pelayanan diterapkan tidak hanya sebatas antar pulau-pulau kecil tetapi dikembangkan menjadi keterkaitan antar gugusan pulau-pulau kecil dan dengan kawasan kontinen dan pesisir menjadi satu kesatuan kawasan andalan.
Konsep keseimbangan dinamik yang tidak hanya mencakup tata ruang sik saja tetapi juga usaha budidaya kawasan alaminya secara sinergis dan proporsional Sumber : Penulis
35
DEKONSTRUKSI PARADIGMA
REKAYASA TATA RUANG DAN INFRASTRUKTUR Untuk mewujudkan suatu tata ruang nasional yang berbasis pada karakteristik negara kepulauan perlu didasari pertimbangan rekayasa jejaring keruangan, rekayesa ekologis kawasan kesatuan interaksi claratan clan kelautan serta rekayasa perencanaan dan pengelolaan lintas batas (transboundary) baik secara administratif maupun fungsional. Maka dari itu beberapa langkah konkrit yang harus dilakukan adalah penyediaan data dan informasi serta pemetaan seluruh kawasan kepulauan, pembangunan pusat penelitian sumber daya kelautan baik perikanan maupun energi, pembangunan sistem pengawasan kelautan serta pembangunan industri perikanan dan pelayaranlperhubungan. Melalui koordinasi ketiga elemen rekayasa tersebut diharapkan dapat mewujudkan suatu model rekayasa tata ruang dan infrastruktur secara terpadu yang meliputi sistem pemetaan dan monitoring kelautan, desain keruangan kawasan dan infrastruktur, sistem pertahanan dan keamanan kelautan, pemberdayaan masyarakat serta hukum dan peraturan.
Contoh Rekayasa Infrastruktur berkarakteristik kepulauan. Kiri: jembatan Suramadu, Selat Madura, jawa Timur. Kanan : Manhattan Bridge, New York. Sumber : www.globalconstructionwatch.com
36
DEKONSTRUKSI PARADIGMA
37
DEKONSTRUKSI PARADIGMA
FRONTIER NODES
Selama sekitar empat dekade, paradigma pembangunan Indonesia lebih banyak diwarnai dengan cara berkir orang-orang benua (continental), yaitu para ahli dari Amerika dan Eropa serta para ahli Indonesia yang belajar dari mereka. Pada akhirnya, perumusan paradigma, kebijakan dan program pembangunan yang ada selama ini pun lebih berbasis pada konsep continental. Menurut Baiquni, 2004, perubahan paradigma berbasis benua daratan (Continental) menuju paradigma berbasis kepulauan benua maritim (Archipelago) selanjutnya juga akan terjadi pada pengorganisasian pembangunan yang terkait dengan pengelolaan, pengolahan dan pemanfaatan sumberdaya untuk mendukung kebutuhan manusia. Indroyono (2001) dalam Baiquni (2004), mengemukakan bahwa pemahaman karakteristik kepulauan Indonesia diperlukan sebagai landasan mengembangkan kebijakan dan program pembangunan. Berdasarkan hasil identikasi, empat karakteristik yang khas dari lautan Nusantara : a. Lautan Indonesia merupakan wilayah marine-biodiversity terbesar di dunia, memiliki 8500 spesies ikan, 555 spesies rumput laut dan 950 spesies terumbu karang. b. Sejak berabad-abad lalu lautan Indonesia dan selat-selatnya merupakan jalur transportasi internasional yang ramai. c. Tiga lempeng geotektonik bertemu di wilayah Nusantara, yaitu lempeng tektonik Eurasia, lempeng tektonik Indo-Australia dan lempeng tektonik Pasic. Pertemuan tiga lempeng geotektonik tersebut memicu terjadinya gunung api dan gempa bumi di daratan maupun di lautan, namun juga merupakan persyaratan pembentukan sumberdaya mineral, minyak dan gas bumi. d. Arus laut dari Samudra Pasik mengalir melewati kepulauan Nusantara menuju Samudera Hindia. Karakteristik oceanogras khas di lautan Indonesia ini merupakan indikator munculnya dan lenyapnya gejala alam El Nino dan La Nina, yang mempengaruhi iklim global. Lebih jauh, karakteristik kepulauan Nusantara dapat ditambahkan dari tinjauan sosial budaya sebagai wujud interaksi manusia dengan alam lingkungannya yang membentuk peradaban. Pemahaman karakteristik masyarakat yang berkembang di masing-masing wilayah perlu dikaji sebagai dasar kebijakan dan penyusunan program pembangunan. a. Ada tiga basis asosiasi ekologi budaya yang dikaitkan dengan landas wilayah, yaitu wilayah Barat yang berasosiasi dengan benua Asia, wilayah timur yaitu Papua yang berasosiasi dengan benua Australia, dan pulau-pulau di antara kedua garis imajiner yang sering disebut garis Wallacea dan Garis Weber. b. Keragaman budaya dan bahasa maupun adat-istiadat Nusantara memiliki keunikan yang harus dilihat sebagai kekuatan daripada sebagai hambatan komunikasi maupun akulturasi budaya. Konsep Bhinneka Tunggal Ika merupakan cetusan yang luhur untuk dikembangkan lebih lanjut dalam era global.
38
DEKONSTRUKSI PARADIGMA
c. Distribusi penduduk yang tidak merata dan kualitas penduduk yang tidak sama perlu diperhitungkan dalam membangun. Konsentrasi penduduk di Jawa sebagai akibat konsentrasi kekuasaan sejak jaman kolonial dan dilanjutkan hingga kini. d. Ketimpangan pembangunan dan kesenjangan tingkat kesejahteraan masyarakat menjadi masalah serius yang harus dipecahkan segera. Fenomena ini dapat memicu ketegangan dan keresahan sosial. Di sejumlah propinsi yang kaya sumber daya alam, justru terdapat penduduk miskin dalam jumlah besar dan wilayahnya masih terlantar. e. Tingkat kerusakan lingkungan telah terjadi di mana-mana, di gunung, daratan, pantai dan laut. Eksploitasi sumberdaya alam yang berlebihan dan pencemaran yang tinggi menyebabkan sebagian penduduk berada dalam bahaya dan rawan bencana. Sejumlah adapt dan tradisi luntur karena hutan dan laut telah rusak oleh pembangunan yang rakus dan tidak adil, budaya masyarakat menjadimarjinal oleh eksploitasi ekonomis dan kerusakan ekologis.
Jalur perdagangan Nusantara abad XV XVI. Terlihat bagaimana gugus kepulauan Nusantara dengan kota - kota baharinya memegang peranan pokok dalam peri kehidupan waktu itu. Sumber : Indonesian HeritageEarly Modern History. Archipelago Press.
Dokumentasi manusia jaman pra-sejarah Nusantara. Kebudayaan bahari sudah menjadi bagian dari peradaban Nusantara dari dulu hingga kini. Sumber : Indonesian Heritage Ancient History Archipelago Press
39
DEKONSTRUKSI PARADIGMA
Belajar dari Norwegia Awal abad ke-20 Norwegia disebut negara miskin, tetapi menjelang akhir abad yang sama Norwegia menjelma menjadi negara yang kaya raya. Bagaimana ini bisa terjadi? Lantas mengapa atau apa latar belakang keberhasilannya? Keberuntungan bukanlah faktor utama yang dibutuhkan guna menunjang suatu pembangunan ekonomi. Langkah yang persis sama, yang diambil suatu bangsa lain belum tentu akan menghasilkan hasil yang sama. Satu hal yang dianggap keberuntungan adalah keberadaan negara tetangga yang mengalami kemajuan ekonomi sebelum norwegia, seperti Inggris dan Jerman. Norwegia membangun dengan memanfaatkan perdagangan dan gagasan dari kedua negara tersebut. Menarik untuk dicermati, mereka juga ikut menganut etika kerja yang berlaku di negara-negara maju tetangga Norwegia, yang berdasarkan pada pemikiran Max Weber, living to work instead of working to live (hidup untuk bekerja dan bukan bekerja untuk hidup). Sikap hidup inilah yang menjadi bagian dari budaya bangsa Norwegia, meskipun berawal dari kebijaksanaan yang sengaja dipilih. Pada saat armada kapal Inggris berjaya, Norwegia yang dikelilingi laut memanfaatkan gagasan yang sama dengan mengembangkan industri pelayaran. Melihat permintaan dunia terhadap kayu dan kertas meningkat, Norwegia memanfaatkan kekayaan hutannya. Berhubung industri kertas membutuhkan banyak energi, maka Norwegia mengambil alternatif sumber daya yang paling banyak dan murah di negara itu, yakni hydropower (awalnya air terjun dan belakangan gelombang laut) Sejalan dengan berkembangnya industri pelayaran, bangsa Norwegia hidup dari tradisi perikanan sesuai dengan alamnya yang dikelililngi pantai laut yang panjang yang bebas es sepanjang tahun. Dengan bertemunya aliran air hangat dengan air dingin fyord yang dalam menjadi habitat yang ideal bagi berkembangbiaknya ikan salmon. Tahun 1960-an permintaan dunia atas ikan salmon yang dianggap sebagai santapan orang kaya menanjak. Nelayan Norwegia mulai mencoba mengumpulkan telur dan tetasan ikan di berbagai hulu sungai sebagai benih untuk dikembangbiakkan. Sekitar akhir 1960-an ditemukan emas hitam (minyak bumi) di Norwegia. Pendapatan dari sumber energi baru ini mendongkrak tingkat kesejahteraan warga Norwegia sehingga di Eropa mereka mendapat sebutan orang kaya baru. Namun penyelenggara negara dan teknokrat Norwegia berpendapat bahwa cadangan minyak suatu saat akan habis, sekitar 100 tahun mendatang. Karena itu mereka tetap berpegang teguh pada industri perikanan sebagai tulang punggung perekonomian. Pada saat itulah budidaya ikan, terutama salmon, mulai berkembang cepat. Kelebihan dana dari minyak dan gas (migas) disisihkan dalam Government Oil Fund (GOF), yang antara lain digunakan untuk membiayai proyek penelitian budidaya ikan. GOF juga diinvestasikan ke luar negeri sebagai foreign equity markets, surat obligasi dan untuk menutup kekurangan anggaran negara seperti, misalnya, jaminan hari tua, kompensasi untuk pekerja dan sebagainya.
40
DEKONSTRUKSI PARADIGMA
Guna mengkompensasikan keterbatasan alam, Norwegia mengembangkan marine and aquaculture, sehingga ekspor tidak hanya mengandalkan ikan tangkap. Di sepanjang lepas pantai utara Norwegia terbentang jala-jala raksasa (sea cage) yang berkilo-kilo panjangnya. Disitulah ikan salmon, cod dan banyak lagi lainnya diternakkan. Panjang pantai Norwegia adalah panjang pantai Indonesia, dan wilayah lautnya 2/3 dibandingkan Indonesia tetapi nilai ekspornya sekarang sekitar 4 miliar dollar AS yang dikirim ke lebih dari 150 negara di dunia. Government Oil Fund dan Aquaculture Industri Fund terus mendukung riset berbagai jenis ikan seperti cod, fry, halibut dan kerang-kerangan untuk menambah devisa. Agar tidak terlalu bergantung pada dana minyak, pada tahun 2003 pemerintah mengenakan pajak 0,3 persen pada seluruh jenis ikan yang diekspor Norwegia. Dana yang dihitung mencapai 15 juta dollar AS pertahun ini langsung disalurkan ke lembagalembaga riset industri marine dan aquaculture negara tersebut. Dari situ terlihat bahwa industriperikanan tetap menjadi tulang punggung perekonomian Norwegia, selain hidroindustri sebagai sumber energi pengganti minyak, serta perkapalan. Karakter Bahari negara tersebut diyakini akan terus menjamin kesejahteraan penduduk, terutama setelah pasca industri migas. Kebanyakan orang cenderung memilih untuk mencari satu jawaban terhadap suatu keberhasilan. Namun kisah dibalik keberhasilan Norwegia dalam mencapai kemakmuran tidak hanya berpijak pada satu faktor saja, melainkan beberapa. Prinsip mereka sederhana saja. Norwegia ditakdirkan memiliki pantai yang panjang dan dikelilingi oleh lautan yang subur dan luas. Maka masuk akal jika rezeki penduduk juga berasal dari laut. Jika dipelihara dan dijaga dengan baik, laut akan menjamin kesejahteraan hidup turun temurun. Maka, didasari falsafah mensyukuri anugerah alam sebagai negara bahari, Norwegia membuktikan dimata dunia bahwa negara ini sanggup mensejahterakan rakyatnya dengan perikanan. Pengalaman pembangunan ekonomi Norwegia yang setia terhadap khitahnya sebagai negara bahari merupakan contoh yang bisa diambil oleh Indonesia. Setelah lebih dari 30 tahun pembangunan yang mengeksploitasi habis-habisan sumber daya daratan, sudah waktunya Indonesia sadar diri untuk kembali menjadi negara bahari. Apalagi mengingat bahwa 75 persen wilayah kepulauan kita terdiri dari perairan.
41
DEKONSTRUKSI PARADIGMA
Konsep Tanah Air dan Nusantara
Negara Konsentris dan Pesisir Sejarah bangsa kita pernah mencatat beberapa kerajaan besar yang meninggalkan banyak warisan dan masih melekat hingga saat ini, sebut saja Sriwijaya dan Majapahit hingga Mataram pada periode awal islam di Indonesia. Konsep kerajaan konsentris merupakan tipikal pola pemerintahan yang umum dipakai pada masa-masa kerajaan tersebut. Konsep tersebut mengakibatkan wilayah pertumbuhan dimulai dari pusat kerajaan, dalam hal ini wilayah pinggiran akan terpinggirkan dan dianaktirikan. Akibat nyata yang terjadi adalah ketika pusat kerajaan tersebut mendapat serangan musuh dan goyah maka secara tidak langsung kerajaan tersebut telah runtuh sekalipun rajanya masih bertahan. Hal tersebut dikarenakan wilayah-wilayah pinggiran tidak memiliki cukup kapabilitas untuk mendukung dan menjadi pusat kerajaan baru.
Kota pelabuhan Aceh abad XVIII (atas) dan Makassar abad XVII (kanan). Bukti kejayaan maritim Nusantara. Sumber : Indonesian Heritage Early Modern History. Archipelago Press
42
DEKONSTRUKSI PARADIGMA
Dikotomi konsentris pada masa Majapahit dan Mataram hampir mirip, yakni pemisahan Jawa sebagai pusat dan luar Jawa sebagai Negeri seberang. Jika pada jaman Majapahit Jawa Timur menjadi pusatnya, maka pada masa Mataram jawa tengah menjadi pusatnya. Sehingga muncul sebutan Nusa Jawa dan Nusantara. Kota pesisir juga menganut dikotomi yang sama, Jawa dan Buitenbezittingen (milik luar) dalam perkembangannya diganti dengan sebutan Buitengewesten (distrik luar). Kalau kita kembali pada konsep konsentrisitas, nyata jelas bahwa skala Majapahit jauh lebih besar dan lebih luas daripada lingkaran Mataram. Sejak masa Majapahit ini konsep Nusantara mulai dikenal, yang dalam makna aslinya berarti pulau-pulau (nusa) yang lain (antara) daripada Pulau Jawa. Adapun Nusantara ini dibagi menjadi empat, menurut Nagarakertagama, yakni tanah malayu, Pulau tanjungpura, Sakahawan Pahang, dan negeri-negeri di sebelah timur Pulau Jawa (Sawetan ikanang tanah jawa). Yang menarik perhatian sekarang adalah kenyataan bahwa Hindia-Belanda yang juga berpusat di pesisir Jawa (walaupun di sebelah barat) dan juga berambisi menguasai nusantara. Pada abad ke-20 istilah nusantara mulai bergeser maknanya, bukan lagi nusa yang berada di luar Jawa, melainkan keseluruhan kepulauan termasuk Pulau Jawa. Pada masa pergerakan dan masa pasca kolonialpun istilah nusantara dipakai dengan makna yang sama keseluruhan pulau termasuk Pulau Jawa. Di sisi lain warisan gagasan konsentris, yaitu dikotomi Jawa dengan negeri seberang masih berlanjut bahkan di lestarikan di masa pasca kolonial hingga di iklim kemerdekaan saat ini, dimana makin jauh dari pusat makin pudar perhatian para pejabat pemerintahan.
43
DEKONSTRUKSI PARADIGMA
Konsep kosmologis alam semesta yang termanifestasi dalam hubungan hulu hilir, antara gunung, daratan, dan lautan. Sumber : penulis
Indonesia telah merdeka sejak tahun 1945 dengan Pancasila sebagai Ideologi bangsa dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai prinsipnya yang mengusung Wawasan nusantara dalam konsepnya. Dalam konsep ini setiap jengkal wilayah Republik Indonesia sma penting, sehingga secara teoritis pertentangan pusat dan periferi tidak perlu terjadi. Ada kecenderungan warisan kerajaan konsentris masih dipertahankan bahkan diperbaharui dengan konsep sentralisasi pembangunan. Konsep wawasan nusantara bangsa ini hendaknya mengakomodasi prinsip-prinsip negara kepulauan, termasuk di dalamnya konsep wawasan bahari yang merupakan elemen terbesar sebagai penghubung antar nusa (pulau). Hal inilah yang dilupakan oleh kerajaan-kerajaan konsentris yang hanya berorientasi ke pusat daripada daerah pesisir. Istilah tanah air sebenarnya merupakan konsep satu kesatuan antara elemen darat dan laut, bisa juga dimanifestasikan sebagai kesatuan elemen pusat dan perifer. Dalam konsep negara kepulauan dapat dianalogikan sebagai wilayah darat (mainland) dan wilayah lautnya (seascape) dengan daerah pesisir sebagai penghubungnya. Dalam kebudayaan bahari kerajaan-kerajaan di indonesia konsep tanah air sudah sangat mengakar, bahkan di Melanesia dalam skala yang lebih luas. Sebagai contoh masyarakat TanebarEvav mmengenal konsep lor haratut (yang mengandung unsur laut maupun darat). Pada masyarakat tanna di Vanuatu lambang pohon beringin dan kano (niko) dipakai sebgai identitas masyarakat. Pohon melambangkan stabilitas yang mengakar pada satu tempat, sedangkan kano menggambarkan mobilitas masyarakat dengan jalur-jalur pelayaran tertentu.
44
DEKONSTRUKSI PARADIGMA
Benua Maritim Deklarasi Juanda yang Disia-siakan 13 Desember 1957 dicetuskan Deklarasi Djoeanda yang menyatakan bahwa keberadaan negara kepulauan Indonesia dengan wilayah laut dan teritorial berada dalam satu konsep wawasan nusantara. Konsep ini mengintegrasikan kesatuan wilayah daratan berupa pulau-pulau yang dihubungkan oleh wilayah laut sebagai satu kesatuan utuh yaang tidak dapat dipisahkan. Konsep wawasan Nusantara mengklaim bahwa di dalam wilayah perairan kepulauan Indonesia tidak terdapat laut internasional. Dengan kata lain bahwa kedaulatan laut Indonesia meliputi wilayah laut disekitar, di antara, dan di dalam kepulauan Indonesia. Pengakuan konsep ini di dunia internasional berjalan cukup alot, terutama tantangan dari sejumlah negara maju termasuk Amerika dan Australia. Akhirnya wawasan nusantara dapat diterima secara internasional dengan diakuinya prinsip-prinsiop negara kepulauan (Archipelagic State) dalam hukum laut Internasional (UNCLOS 1982). Wacana kesatuan wilayah laut dan daratan berupa pulau-pulau beserta sistern ipoleksosbudhankarn (ideologi, politik, sosial, budaya,. pertahanan dan keamanan) sebenarnya sudah tercetus sejak lama yaitu pada tahun 1957 dalarn Deklarasi Djoeanda. Konsep pengintegrasian wilayah laut dan daratan ini mengklairn bahwa tidak terdapat laut internasional dalarn wilayah perairan kepulauan Indonesia. Upaya pengakuan konsep ini dalarn skala internasional melalui suatu perjuangan yang berat dalarn berbagai perundingan yang berakhir dengan diakuinya prinsip-prinsip negara kepulauan (Archipelagic State) dalarn Hukum Laut Internasional (UNCLOS 1982). Namun, keberhasilan perjuangan ini sampai sekarang belurn begitu diimbangi dengan. keseriusan dalarn hal mengembangkan substansi, sistem, infrastruktur dan penegakan hukum laut dalarn bingkai kedaulatan di darat, laut dan udara. Demikian pula halnya dengan kebijakan pembangunan belum diorientasikan secara menyeluruh dalam satu sistern kesatuan daratan dan lautan. Suatu langkah yang sangat tepat baru dapat dirasakan sejak 1996 dengan dicanangkannya Tahun Bahari serta berdirinya Departemen Kelautan dan Perikanan, dimana konsep negara kepulauan dikembangkan menjadi konsep paradigma benua maritim. Pada Konvensi Nasional Pembangunan Benua Maritim Indonesia yang diselenggarakan di Makassar pada tahun 1996 pemerintah mengajak bangsa Indonesia untuk kembali ke laut. Sejarah pernah mencatat jaman keemasan bangsa Indonesia sebagai bangsa bahari pada jaman kerajaan Sriwijaya dan Majapahit, namun dalarn perjalanannya telah kehilangan jiwa kemaritimannya karena proses pasang surut peradaban serta orientasi pengelolaan negara yang meninggalkanlatanan sistern negara bahari.
45
DEKONSTRUKSI PARADIGMA
Paradigma tersebut dikumandangkan antara lain oleh, the Habibie Center, Departemen Parikanan dan Kelautan dan Dewan Maritim Indonesia. Intinya wilayah negara kepulauan (nusantara), dipandang sebagai satu benua, karena semula, berjuta tahun silam sebelum es dunia mencair menjadi laut, memang merupakan satu benua yang tidak terpisah-pisah. Secara sederhana sebenarnya benua maritim merupakan manifestasi dari konsepsi Tanah dan Air yang menyatu dalam tanah air. Benua diidentikasikan sebagai daratan sedangkan maritim sebagai laut dan perairan yang ada. Benua Maritim Indonesia didenisikan sebagai satu kesatuan alamiah darat, laut dan dirgantara diatasnya dengan karakteristik yang khas dari sudut pandang iklim dan cuaca , keadaan airnya (oceanogra), tatanan kerak bumi, keragarnan biota serta tatanan sosial budaya yang menjadi wilayah yurisdiksi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk itu berkaitan dengan perencanaan tata ruang nasional diperlukan suatu konsep pengembangan jejaring (network) sebagai pengganti konsep pengembangan hirarki yang selama ini digunakan. Kita tidak perlu malu belajar dari kejayaan masa lampau dirnana nenek moyang kita yang pelaut memanfaatkan laut sebagai suatu infrastruktur perekat antar pulau dalarn melakukan interaksi. Selama masa pemerintahan orde baru dalam kurun waktu 32 tahun konsepsi pembangunan nasional bersifat sentralistik dengan menganut sistem konsentris dan node. Dalam hal ini pembangunan dilaksanakan dengan membagi wilayah menjadi beberapa node (pusat pertumbuhan). Sebagai contoh, Medan, Jakarta, Surabaya dan Ujung pandang. Dalam perkembangannya pusat-pusat pembangunan itu tumbuh menjadi wilayah metropolitan yang diidentikasikan sebagai satuan wilayah perkotaan yang terdiri dari satu atau lebih kota induk (metro=mater=induk) beserta kota satelit di sekitarnya, yang saling berhubungan membentuk satu kesatuan sosial, ekonomi, dan ekologi perkotaan. Contoh wilayah metropolitan adalah Jabodetabek, yaitu DKI Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Kemudian kawasan perkotaan Surabaya Raya yang dikenal dengan sebutan Gerbangkertosusilo, yang meliputi daerah-daerah Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo dan Lamongan. Ironis sekali sampai saat ini substansi, sistem, infrastruktur dan penegakan hukum laut kita belum berkembang sebagaimana mestinya, yang seharusnya menjadi payung hukum yang memadukan kedaulatan di darat, laut dan udara. Begitu juga kebijakan dan program pembangunan belum berorientasi secara menyeluruh di laut dan darat. Cukup memprihatinkan juga selama ini kita melupakan eksistensi laut sebagai potensi besar bangsa ini, para pelayar dan nelayan asing banyak menguasai bisnis perairan kita, bahkan beberapa pulau-pulau kecil kita dijual kepada para investor asing sebgai kepemilikan swasta. Bisa jadi hal tersebut diakibatkan kebijakan yang rumit dan birokrasi yang tidak esien serta merebaknya KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). Kita tentunya tidak mau dicap sebagai bangsa yang tidak menghargai perjuangan para pendahulu kita. Bagaimana pendahulu kita berjuang dengan keras untuk mendapatkan pengakuan internasional dalam lingkup wilayah kepulaun kita. Sementara itu kita sebagai generasi penerus justru menyia-nyiakan potensi
46
DEKONSTRUKSI PARADIGMA
laut dan kepulauan kita. Tidak ada waktu untuk menyesal atau menyalahkan pihak-pihak lain sudah saatnya kita berbenah dan membangun kembali konsepsi dan implementasi pembangunan wilayah kepulauan. setempat dengan memperhatikan keberagaman dan kompleksitas ekosistemnya untuk menggantikan cara pandang yang sentralistik dan seragam yang selama ini banyak dilakukan.
47
50
51
52
Arsitektur tradisional khas Nusantara, bukan pelingkup tetapi pernaungan. Sumber : google image
Rumah panggung, hidup bersama dengan alam tanpa merusaknya, sekaligus menunjukkan derajat manusia yang mengatasi alam. Sumber : google image
53
54
Alternatif penataan ruang temu batas darat - laut Sumber : Google Image
Contoh Potongan sinergi pertemuan ruang batas darat - laut Sumber : Google Image
55
Peleburan dikotomi dart-laut; bring water into land and bring land into water. Sumber : Buku Jepang
Alternatif penyelesaian desain untuk ruang sinergi darat-laut Sumber : Buku Jepang
56
Perpaduan harmonis pemanfaatan ruang darat-laut dalam penciptaan pusat akitivitas tepian air Sumber : google image
57
Atas: Kota tepian air dalam sejarah nusantara. Bawah: Kota tepian air di Indonesia yang hampir punah oleh modernisasi dan pembangunan dewasa ini. Sumber : Google Image
58
59
Koridor perairan sebagai area multifungsi kota, atas: transportasi dan sanitasi, bawah: area terbuka kota Sumber: Penulis
Contoh penataan waterfront dengan view tak terhalang ke area perairan Sumber: Google Image
60
Penataan waterfront area dengan pemanfaatan tambahan berupa panggung hiburan Sumber: Google Image
61
Penataan kawasan hunian yang menggunakan unsur air sebagai penghubung dan area terbuka Sumber: Penulis
62
Penataan waterfront area dengan pemanfaatan penataan area pelabuhan Saint Loius tambahan berupa panggung hiburan Sumber: Penulis
63
64
65
66
67
Implementasi ecopolis Simbiosis Amphibi dan Kota Apung dalam Desain Sumber: Penulis
68
Perspektif kawasan Arthurs Landing Project at Marina Park Sumber : Urban Design Guideline
69
Siteplan kawasan Arthurs Landing Project at Marina Park. Sebuah contoh penataan kawasan tepi laut yang baik. Sumber : Urban Design Guideline
70
71
72
Gambar konseptual dari Arthurs Landing Project at Marina Park. pembuatan akses yang menerus, membuka simpul aktivitas baru, dan bagaimana menciptakan kesan dari karakter kawasan, tergambar dengan baik dalam rencana ini. Sumber : Urban Design Guideline
73
74
Penataan sik kawasan secara menyeluruh dapat diidentikasi dalam beberapa elemen kawasan. Meskipun demikian, keberhasilan sebuah pekerjaan penataan tidaklah cukup hanya dari sisi teknis semata, tetapi hendaknya didukung oleh sumber dana yang mencukupi dan menajemen proyek yang baik. Tidak kalah pentingnya adalah sosialisasi dan akurasi data lapangan, mengingat cakupan dari sebuah desain kawasan sangatlah luas dan berpengaruh terhadap banyak pihak dengan kepentingannya masingmasing. Meskipun demikian, informasi yang diemban dalam paparan ini lebih menekankan pada sisi teknis keruangan.
Pemandangan kawasan tepi laut Abu Tig, ElGouna, Mesir. Sumber : www.architecturelist.com
75
76
Tata massa kawasan tepi laut di Yokohama, Jepang. Sumber : Yokohama Exotic Showcase
Perencanaan sirkulasi kawasan pada Southeast Community Urban Waterfront Design Study. Sumber : Seafront
77
Ruang Terbuka Elemen ruang terbuka terdiri dari taman dan square, ruang hijau kota, (termasuk didalamnya pepohonan, perabot jalan, penerangan, fasilitas umum dan sosial, sclupture), area pejalan kaki, tetanda. Penting untuk diperhatikan bahwa ruang terbuka seperti halnya bentuk dan tata bangunan adalah elemen pembentuk struktur kota yang unik. Jejalur pejalan kaki Area pejalan kaki merupakan suatu sistem kenyamanan seperti halnya fungsi penunjang dan berperan dalam menentukan vitalitas ruang kawasan. Area pejalan kaki dapat meningkatkan kualitas lingkungan dengan membawa sistem skala manusia, menciptakan lebih banyak aktivitas, dan membantu meningkatkan kualitas lingkungan terutama kualitas udara pada sebuah kawasan. Pertimbangan desain tentang area pejalan kaki dapat disebutkan dalam tiga kriteria yaitu fungsi dan kebutuhan, kenyamanan psikologis, dan kenyamanan sik. Dari sini muncul dua resep dalam menata area pejalan kaki, yaitu: mengembangkan aktivitas pendukung di sepanjang jejalur dan melengkapi area pejalan kaki dengan perabot dan penerangan jalan.
Desain ruang terbuka dalam rencana penataan kawasan tepi laut Wilmington, California. Sumber : http://aia-awards.com
Desain area pejalan kaki dalam rencana penataan kawasan tepi laut Wilmington, California. Sumber : http://aia-awards.com
78
Desain ruang terbuka sebagai aktivitas penunjang pada Arthurs Landing Project at Marina Park. Aktivitas penunjang kawasan seperti street amenity, dan fasilitas rekreasi akan memberikan suatu kenyamanan dan dapat memperkuat fungsi-fungsi utama kawasan. Sumber : Urban Design Guideline
Aktivitas penunjang Aktivitas penunjang terdiri dari semua guna dan aktivitas yang membantu memperkuat ruang publik kawasan. Bukan hanya sebagai penunjang dari ruang seperti area pejalan kaki atau plaza, tetapi juga sebagai penunjang fungsi utama dan elemen fungsional lain yang bisa membangkitkan aktivitas. Hal ini karena tujuan penataan kawasan sekarang ini adalah alokasi aktivitas utama di tempat yang paling membutuhkan secara fungsional, mencampurnya dengan fungsi pelengkap, kemudian menghubungkan satu sama lain dengan sistem pergerakan yang aman, bervariasi, dan menarik.
79
Lampu jalan, papan informasi, dan street furniture yang lain meupakan salah satu elemen desain kawasan. Keberadaannya dapat memperkuat tema dan identitas kawasan. Sumber : Urban Design Guideline
Rekonstruksi kapal bersejarah di Korea. Sebuah usaha mendukung preservasi kawasan tepi laut. Sumber : www.gcaptain.com
80
Contoh material nishing bangunan. Padu-padan warna, tekstur, dan skkala sangat menentukan kualitas desain secara keseluruhan. Sumber : Urban Design Guideline
81
View kawasan dan area studi East River Waterfront . Sumber : Transforming The East River Waterfront
82
83
Tiga lokasi pengembangan dan tipologi area tepian laut eksisting. Sumber : Transforming The East River Waterfront
84
Tipe aktivitas yang akan dikembangkan. Sumber : Transforming The East River Waterfront
85
Skema konsep ekologi kawasan. Sumber : Transforming The East River Development
86
Strategi desain dermaga yang mengusahakan ruang lebih luas dengan mengurangi kolom-kolom stuktur. Hal ini berguna untuk mengurangi endapan, memperlancar arus, dan menciptakan habitathabitat kecil yang baru. Sumber : Transforming The East River Waterfront
87
Skema skenario desain berkelanjutan pada kawasan Sumber : Transforming The East River Waterfront
88
Spot-spot desain berkelanjutan yang dikembangkan pada kawasan. Tampak ruang terbuka hijau dan jalur hijau menjadi prioritas dalam desain ruang publik kawasan. Sumber : Transforming The East River Waterfront
89
Rencana pengembangan taman dan area terbuka (esplanade) Sumber : Transforming The East River Waterfront
90
Perspektif dan detil material spot taman dan ruang terbuka Sumber : Transforming The East River Waterfront
91
Perspektif dan detil material spot taman dan ruang terbuka Sumber : Transforming The East River Waterfront
92
93
Desain struktur dermaga yang menitikbertakan pada pertimbangan ekologi kawasan. Sumber : Transforming The East River Waterfront
94
Salah satu desain spot dermaga yang (perspektif dan siteplan) Sumber : Transforming The East River Waterfront
95
Rencana pengembangan koridor kawasan East River Sumber : Transforming The East River Waterfront
96
Tipologi koridor dan skema vegetasiyang direncanakan. Tampak bagaimana usaha membawa air ke darat untuk semakin memperkuat citra kawasan tepi laut. Sumber : Transforming The East River Waterfront
97
Perspektif spot koridor dalam kawasan Sumber : Transforming The East River Waterfront
98
Rencana pengembangangerbang kawsan East River Sumber : Transforming The East River Waterfront
99
Siteplan dan tampak dari gerbang kawasan East River Sumber : Transforming The East River Waterfront
100
Bangunan bersejarah yang direvitalisasi dan ruang terbuka hijau sebagai gerbang kawasan. Sumber : Transforming The East River Waterfront
Reklamasi lahan untuk ruang terbuka hijau sekaligus fasilitas rekreasi merupakan gerbang yang mempunyai daya tarik yang tinggi. Sumber : Transforming The East River Waterfront
101
Ruang terbuka hijau yang menjadi fokus perhatian berikut fasilitas rekreasi yang dapat menyatukan kembali masyarakat New York kepada kawasan tepi laut mereka begitu jelas terwadahi ruang publik di atas yang sekaligus merupakan gerbang kawasan. Sumber : Transforming The East River Waterfront
102
103
104
Area pelabuhan dan stasiun di Yokohama MM21 Sumber : Yokohama Exotic Showcase
105
106
107
108
Proyek ini sangat berhasil menggali dan mengolah art of water dengan ow, transparency dan reection / mirror yang merupakan karakter dasar air melalui media stream, waterfalls, cascades, dan pools serta didukung oleh pekerjaan water artist (seniman bentang air) dalam mengolah sculpture dan art fountainnya. Efek kabut yang mengitari kubah sebagai hasil rekayasa percikan air serta soundscape yang ditimbulkan akibat water motion yang menerpa dinding maupun permukaan air semakin mendramatisir ekspresi karya aquatic architecture. Indonesia sebagai negara kepulauan sudah selayaknya juga mengembangkan model tata ruang berbasis perairan sungai dan bahari. Arsitek dan urban desainer yang tertarik untuk mengembangkan aquascape dan waterfront space design mestinya akan lebih banyak menggalang komunitasnya untuk menggali dan mengembangkan Indonesian tropical aquascape and waterfront space design.
109
110
111
112
113
114
115
116
3.
4. 5.
6.
Beberapa negara maju yang telah berhasil menerapkan konsep-konsep ekologisnya dalam penataan kawasan perkotaannya antara lain Jerman dengan konsep biotopnya, Jepang dengan wawasan lingkungannya yang sangat dominan, atau Singapura dengan konsep kota taman tropisnya. Sebagai contoh kota Stuttgart di Jerman yang telah melakukan survey biotop tidak hanya terhadap konservasi vegetasi dan binatang tetapi juga melakukan survey pengukuran terhadap udara, kelembaban dan kondisi permukaan tanah perkotaan yang ditujukan untuk mewujudkan keseimbangan dan keamanan lingkungan. Salah satu bentuk kegiatannya adalah melakukan survey bagi usaha pengaturan aliran udara sejuk dari perbukitan menuju kawasan daratan, cekungan dan perairan pantai untuk menghindari terjadinya kawasan pusat terjadinya akumulasi suhu tinggi (heat island). Contoh lain dari usaha memasukkan aspek ekologis dalam tata ruang kotanya adalah Singapura dengan konsep kota taman tropisnya yang berusaha memadukan konsep ekologis kota tropis dengan konsep teknologi inovatif yang terkenal slogan Towards a Tropical City of Excellence. Demikian juga negara Jepang yang beriklim empat musim di kawasan paling selatan yang mendekati kawasan tropis terdapat kepulauan kecil Okinawa. Disitu terdapat satu kota bernama Naha yang dalam pengembangannya menggunakan konsep kota alam dengan panduan teknis yang berusaha mewujudkan kota taman tropis (tropical garden city) sehingga seluruh program penataannya diarahkan menuju kota yang berorientasi ekologis (ecologically oriented city).
117
118
119
PENDEKATAN REGIONALISME EKOLOGIS ASPEK DASAR PENDEKATAN FAKTOR KUNCI LANGKAH 1 Identifi kasi Profil 2 Program Penataan 3 Prediksi Dampak Solusi dan Sinergi
REGIONAL
Kesesuaian Karakter Lokal (Lokal- Based) Keterkaitan Dalam Skala Kota (Citywide Linkage)
EKOLOGIS
120
121
ARCHIPELASCAPE
ARCHIPELASCAPE
MASTERPLAN NEGARA KEPULAUAN Penggabungan Simbiotik Kota-Kota Pesisir Kebijakan nasional tentang desentralisasi memandang kepada pengembangan kota-kota pesisir yang selama ini terlalu terpusat ke daratan. Kebijakan ini sepertinya menjadi rencana ideal bagi pengembangan konteks lokal di seluruh Indonesia, keuntungan yang besar bagi masyarakat yang tinggal di masing-masing tempat dan pada kenyataannya tetap efektif dalam banyak keterbatasannya Namun, desentralisasi total mempunyai beberapa kelemahan bagi daerah. Pertama, hal ini akan mengakibatkan pengeluaran yang sangat banyak bagi pembiayaan infrastruktur pekerjaan umum. Kedua, perpindahan manusia antar daerah menjadi semakin sulit dan jarang. Mobilitas yang merupakan karakter masyarakat modern tidak bisa begitu saja diterjemahkan dalam bentuk pembangunan transportasi. Oleh karena itu, pada era masyarakat informasi, mobilitas mulai meminta nilai-nilai yang lebih essensial untuk kepentingan transportasi itu sendiri. Ketiga, dalam kerangka ekonomi, kota pesisir yang kecil jelaslah tidak bisa bersaing dengan kota lain yang besar. Hampir tidak mungkin sebuah kota kecil dapat menandingi kota besar dalam hal ketersediaan modal, aktivitas konsumsi dan populasi. Desentralisasi sederhana justru mampu membuat kemajuan untuk mencapai hal-hal yang belum pernah tercapai. Walau begitu, kebijakan desentralisasi total mempunyai beberapa kelemahan dan tidaklah lebih baik dari kebijakan sentralisasi dalam sebuah wilayah. Oleh karena itu, kebijakan simbiotik pada kota-kota pesisir di daerah bukanlah sentralisasi atau desentralisasi, tetapi terbentuknya sebuah jejaring kota-kota pesisir. Sehubungan dengan letak kota-kota tersebut yang berada di pinggiran, maka mofologi garis pesisir, dimensi pulau, posisi, dan aksesibilitas, haruslah ditingkatkan sehingga mampu berfungsi sebagai area distribusi dan produksi. Selain itu, karena kondisi alamnya banyak yang merupakan kawasan lindung, maka pemanfaatan lahan oleh swasta hendaknya diatur di bawah pengelolaan pemerintah melalui berbagai macam peraturan. Beberapa pertimbangan sebagai pendekatan kepada kawasan perkotaan, bukaan, dan akses menuju tepian air merupakan faktor penting dalam menciptakan penataan tepi batas yang baru untuk menanggulangi kondisi dan permasalahan kota-kota pesisir saat ini. Oleh karena itu, metode jejaring untuk meningkatkan kesatuan kota-kota pesisir sebagai sebuah keseluruhan dalam konteks kepulauan sangatlah penting.
124
ARCHIPELASCAPE
Contoh kesatuan kawasan pesisir dalam konteks jejaring antar kota. Sumber: Pleasure Harbour
125
ARCHIPELASCAPE
126
ARCHIPELASCAPE
Konsep Cluster dan Jejaring Rencana pembangunan nasional mempunyai titik berat pembangunan pada kota metropolitan Jakarta dan area megapolitan Jabodetabekpunjur. Untuk memastikan bahwa seluruh megapolitan Jakarta dapat berfungsi sebagai salah satu kota Internasional dalam waktu dekat, pembangunan kawasan pantai di Jakarta yang mempunyai fungsi yang strategis terus dikembangkan pada kawasan-kawasan pesisir di Jakarta, sembari mendorong pembangunan tersebut, pada saat yang sama dilakukan desentralisasi pusatpusat bisnis pada daerah yang lain dan membentuk kembali struktur regional. Kota-kota pesisir tersebut haruslah dihubungkan ke dalam sebuah penciptaan jejaring sehingga dapat bersanding dengan Jakarta. Disamping penciptaan jejaring kota-kota peisisr secara nasional, pembangunan utama di Jakarta haruslah mampu menyediakan kapasitas yang dibutuhkan bagi penciptaan jejaring kota-kota secara global. Pembangunan ini tidak hanya ditekankan bagi kemajuan Jakarta semata, melainkan untuk memepersiapkan sebuah jejaring global yang dibutuhkan pada level yang lebih tinggi lagi, sebuah jejaring yang akan menciptakan era baru di setiap wilayah pesisir di Indonesia. Pembangunan kawasan pesisir memainkan peran yang sangat penting bagi perkembangan kota-kota metropolitan di daratan. Namun demikian, hampir semua pendekatan yang dilakukan sering diabaikan oleh kepentingan lain yang lebih besar dalam skala nasional. Selain itu sering area tepian air menjadi eksperimen sebuah pengembangan rencana baru yang diselenggarakan oeh pemerintah bekerja sama dengan pihak swasta, yang bertujuan untuk menarik investasi. Semua kegiatan perencanaan tersebut di atas menunjukkan adanya uraian yang cukup panjang akan segala potensi dan permasalahan mengenai jejaring keruangan kawasan pesisir pada kota-kota metropolitan. Dimulai dengan menumbuhkan simpul-simpul pusat aktivitas pesisir (cluster), menggabungkannya ke dalam beberapa sub jejaring keruangan melalui sistem transportasi air, akhirnya semua proses ini dibentuk dengan menciptakan jejaring berlapis dari kota-kota pesisir secara regional ke dalam beberapa cluster dan koridor dalam konteks pembaharuan metropolitan tepian air negara kepulauan.
127
ARCHIPELASCAPE
REKAYASA JEJARING KOTA-KOTA PANTAI NEGARA KEPULAUAN Secara geogras, perairan Indonesia merupakan jalur kapal laut yang aman karena perairannya yang relatif tenang sehingga sejarah telah menunjukkan betapa majunya kerajaan Sriwijaya yang mengandalkan kelautan sebagai basis dan tiang utama kekuatan serta kerajaan Majapahit yang memiliki beberapa pelabuhan perdagangan dan menguasai lautan Nusantara bahkan sampai ke Malaka. Pola kehidupan maritim Nusantara telah dirintis oleh nenek moyang bangsa Indonesia yang melahirkan kerajaan-kerajaan besar berbasis ketautan yang cukup modern dan kuat saat itu. Namun, semenjak datangnya era kolonial yang telah memecah belah dan melumpuhkan maritim serta mengalihkan pola kehidupan maritim menjadi continental, bangsa Indonesia semakin jauh dari sebutan bangsa bahari. Terlebih, sejak era kemerdekaan, pembangunan kota kurang diorentasikan pada potensi kebaharian. Laut masih dianggap sebagai batas antar pulau bukan sebagai pengikat / pemersatu. Wacana kesatuan wilayah laut dan daratan berupa pulau-pulau beserta sistem ipoleksosbudhankam (ideologi, politik, sosial, budaya dan keamanan) baru muncul pada tahun 1957 yang tercetus dalam Deklarasi Djoeanda. Seperti yang telah disebutkan pada prolog, konsep pengintegrasian wilayah laut dan daratan ini mengklaim bahwa tidak terdapat laut internasional dalam wilayah perairan kepulauan Indonesia. Upaya pengakuan konsep ini dalam skala internasional melalui suatu perjuangan yang berat dalam berbagai perundingan yang berakhir dengan diakuinya prinsip-prinsip negara kepulauan (Archipelagic State) dalam Hukum Laut Intemasional (UNCLOS 1982). Namun, keberhasilan perjuangan ini sampai sekarang belum begitu diimbangi dengan keseriusan dalam hal mengembangkan substansi, sistem, infrastruktur dan penegakan hukum laut dalam bingkai kedaulatan di darat, laut dan udara. Demikian pula halnya dengan kebijakan pembangunan yang belum diorientasikan secara menyeluruh dalam satu sistem kesatuan daratan dan lautan. Suatu langkah yang sangat tepat baru dapat dirasakan sejak 1996 dengan dicanangkannya Tahun Bahari serta berdirinya Departemen Kelautan dan Perikanan, dimana konsep negara kepulauan dikembangkan menjadi konsep benua maritim. Pada Konvensi Nasional Pembangunan Benua Maritim Indonesia yang diselenggarakan di Makassar pada tahun 1996 pemerintah mengajak bangsa Indonesia untuk kembali ke laut. Sejarah pernah mencatat jaman keemasan bangsa Indonesia sebagai bangsa bahari pada jaman kerajaan Sriwijaya dan Majapahit, namun dalam perjalanannya telah kehilangan jiwa kemaritimannya karena proses pasang surut peradaban serta orientasi pengelolaan negara yang mementingkan sistem tatanan negara bahari.
128
ARCHIPELASCAPE
129
ARCHIPELASCAPE
Benua Maritim Indonesia didenisikan sebagai satu kesatuan alamiah darat, laut dan dirgantara diatasnya dengan karakteristik yang khas dari sudut pandang iklim dan cuaca, keadaan airnya (oceanogra), tatanan kerak bumi, keragaman biota, serta tatanan sosial budaya yang menjadi wilayah yurisdiksi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk itu berkaitan dengan perencanaan tata ruang nasional diperlukan suatu konsep pengembangan jaringan (network) sebagai pengganti konsep pengembangan hirarki yang selama ini digunakan. Kita perlu belajar dari kejayaan masa lampau dimana nenek moyang kita yang pelaut memanfaatkan laut sebagai suatu infrastruktur perekat antar pulau dalam melakukan interaksi
130
ARCHIPELASCAPE
KONSEP PENATAAN REKAYASA JEJARING KOTA-KOTA PANTAI NEGARA KEPULAUAN Untuk memudahkan penjelasan mengenai konsep-konsep penataan yang dipakai, maka setiap konsep diwakili oleh sebuah ikon.
131
ARCHIPELASCAPE
132
ARCHIPELASCAPE
DARI HIRARKI KE JARINGAN Kecenderungan perkembangan kota-kota menunjukkan semakin luas dan kuatnya interaksi dalarn meraih perkembangan yang paling maju. Kota tidak saja berfungsi sebagai pusat dari kawasan hinterland disekitarnya, tetapi merupakan simpul-simpul jaringan global. Peran kota menjadi jembatan hubungan lokal dengan global. Bahkan, dengan semakin berkembangnya peradaban teknologi informasi yang sangat pesat, desa-desa yang berada di pelosok daerah pun mampu berinteraksi secara global. Indonesia sebagai negara dengan kondisi geogras kepulauan, sudah selayaknya merubah pola pembangunan kota-kotanya untuk lebih diarahkan pada pembangunan pusat-pusat di kawasan pinggiran / frontier area, khususnya pesisir. Hal ini sebenarnya sudah kita rasakan diperlukan sejak keberhasilan perjuangan konsep pengintegrasian wilayah laut dan daratan dalarn Deklarasi Djoeanda serta diikuti dengan beberapa perancangan Tahun Bahari sejak 1996 dengan berdirinya Departemen Kelautan dan Perikanan. Oleh karena itu, wacana pembangunan yang selama ini mengedepankan pusat yang berada di tengah dengan sistem hirarki tersentralisasi perlu diarahkan menjadi pusat yang berada di kawasan pinggiran / frontier dengan sistem jaringan desentralisasi. Untuk itu perlu dipetakan keberagaman kepulauan nusantara, bukan berdasarkan hirarki pusat-pusat pertumbuhan yang saat ini ada tetapi lebih berdasarkan pada pertimbangan keseimbangan dan pemerataan pertumbuhan dengan mempertimbangkan jejaring (network) yang bisa dikembangkan baik secara lokal, nasional, regional, maupun global. Ditinjau dari keragaman ora, fauna serta budaya maka kepulauan Indonesia dapat dikelompokkan menjadi tiga gugus. Gugus yang pertama meliputi Jawa, Sumatra, dan Kalimantan serta pulau-pulau kecil disekitarnya yang berasosiasi dengan benua Asia, gugus kedua meliputi Papua dan Kepulauan Aru yang berasosiasi dengan benua Australia serta gugus ketiga yang meliputi Nusa Tenggara, Maluku dan Sulawesi yang merupakan penghubung dan transisi dari kedua gugus tersebut. Hal ini menunjukkan adanya tingkat keberagaman yang sangat tinggi dalam konteks negara kepulauan, sehingga diperlukan satu cara pandang yang berwawasan setempat dengan memperhatikan keberagaman dan kompleksitas ekosistemnya untuk menggantikan cara pandang yang sentralistik dan seragam yang selama ini banyak dilakukan. Kesenjangan yang terjadi akibat konsentrasi pengembangan wilayah di Kawasan Barat Indonesia sudah selayaknya perlu diimbangi dengan perhatian yang cukup serius terhadap Kawasan Timur Indonesia baik secara ekonomis maupun secara ekologis. Kawasan Barat Indonesia yang telah memiliki dua segitiga pertumbuhan (growth triangle) yaitu SIJORI (Singapura, Johor dan Riau) dan INIT (Medan, Penang dan Phuket) perlu diimbangi dengan pengembangan di Kawasan Timur Indonesia dengan kerjasama BIMP-EAGA (Brunei, Indonesia, Malaysia, Philipine - East Asia Growth Area) serta pengernbangan kerjasarna dengan Australia dan Papua New Guinea
133
ARCHIPELASCAPE
Dengan melihat pertumbuhan penduduk yang saat ini masih terkonsentrasi di kawasan Indonesia Barat, maka arah pembangunan jangka panjang diharapkan lebih berorientasi pada kawasan Indonesia Timur untuk menghindari tekanan yang semakin berat terhadap ekosistem daratan serta mengurangi kesenjangan yang selama ini terjadi. Kawasan Timur Indonesia dengan luas, wilayah 768.000 km2 (40,04 % darl luas seluruh Indonesia) ternyata baru dihuni 14,5 % dari total penduduk Indonesia. Kawasan Timur Indonesia yang secara geogras sebagian besar kawasannya berupa perairan berdasarkan proyeksi perkembangan pada abad 21 merupakan kawasan yang mempunyai posisi strategis di kawasan negara-negara Pasic Basin. Hal ini disebabkan telah bergesernya titik produksi dan perdagangan dunia dari kawasan Atlantik ke kawasan Pasik. Untuk itu, maka paradigma perencanaan yang selama ini tebih berorientasi pada Kawasan Barat Indonesia perlu segera diimbangi dengan pengembangan Kawasan Timur Indonesia dengan basis pembangunan ekonomi maritim dalarn bingkai kepulauan yang berperan sebagai perekat antar ribuan pulau yang ada. OCEANIC FRONTIER DESIGN Dengan melakukan dekonstruksi paradigma perencanaan tata ruang yang selama ini lebih berbasis kontinental menjadi berbasis kepulauan dan bahari, maka kawasan pantai harus didudukkan sebagai simpul dan motor penggerak jaringan interaksi baik secara lokal, nasional, regional maupun global. Kawasan pantai yang secara ekologis merupakan daerah pertemuan perairan dan daratan, keberadaannya tidak dapat dipisahkan dari tata ruang kota pesisir. Terbentuknya kawasan pantai disuatu kota bersamaan dengan lahirnya kota itu sendiri. Hal ini terjadi karena kegiatan perkotaan bermula dari suatu pusat kegiatan perdagangan yang berhubungan dengan sarana angkutan yang ada pada saat itu yaitu angkutan air. Dalam perkembangannya, kawasan pantai ini mengalami ketidakstabilan. Pada saat peran angkutan air digeser oleh angkutan darat, maka kawasan pantai yang pada mulanya merupakan lokasi pusat kegiatan perkotaan pergeseran orientasi ke kawasan daratan. Hal ini menyebabkan kawasan pantai menjadi daerah yang kurang terpelihara bahkan dengan adanya perkembangan kota di kawasan daratan yang pesat, menjadikan kawasan pantai sebagai daerah belakang dan sebagai tempat pembuangan berbagai jenis limbah. Namun, pada tahap perkembangan berikutnya dimana lahan perkotaan untuk memenuhi kebutuhan investasi semakin langka, menumbuhkan perhatian untuk menata kembali kawasan pantai yang sarat dengan berbagai permasalahan degradasi lingkungan baik secara ekologis, keruangan, maupun visual. Secara historis, keberadaan kota pantai mempunyai keterkaitan dengan budaya masyarakat yang membangunnya dengan berbagai motivasinya, baik ekonomis bagi perdagangan, strategis bagi pertahanan maupun motivasi-motivasi yang lain. Dalam perkembangannya dewasa ini, tidak hanya aspek ekonomis saja yang menjadi sasaran dari penataan kawasan pantai tetapi juga berusaha mewujudkan sasaran ekologis bagi peningkatan kualitas lingkungannya. Sebagai contoh pengembangan Darling Harbor di Sidney, rehabilitasi kawasan bekas pelabuhan di London, pengembangan kawasan pelabuhan lama Sunda Kelapa, dan sebagainya.
134
ARCHIPELASCAPE
Dengan perkembangan teknologi yang sedemikian pesatnya menawarkan berbagai metoda penataan kawasan pantai yang kadang-kadang apabila tidak tepat dalam memilihnya melahirkan bentukan tata ruang yang tidak sesuai dengan kondisi lokal dan hanya sekedar mengadopsi penampilan simbol futuristik kota masa depan. Untuk itu diperlukan suatu metoda pendekatan regionalisme ekologis yang mengandung pengertian interaksi antara lingkungan dengan kegiatan manusia dalam memanfaatkan alam sebagai ruang kegiatan sesuai dengan karakter lokalnya. Pendekatan ini dimaksudkan untuk mencapai keharmonisan antara pembangunan kawasan kota pantai yang berwawasan masa depan dengan konservasi ekologis pantai tropis dan konservasi kultural terhadap peninggalan-peninggalan kota lama pelabuhan dalam upaya pencarian identitas eko-kultural kawasan pantai tropis (ecocultural identity of tropical coastal zone). Sehingga grand concept dari perancangan keruangan yang berbatasan dengan laut (oceanic frontier space design) tidak hanya didasarkan pada kepentingan pembangunan sik-ekonomis semata, tetapi juga harus didasarkan pada pertimbangan keberagaman ekologis dan kultural dari kepulauan Nusantara. INTRA DAN INTER SPASIAL Penataan dan pengelolaan kota-kota pantai baik di kawasan pesisir kontinen maupun pulau-pulau kecil tidak hanya berhadapan dengan permasalahan ekologis dan kultural setempat saja, tetapi menyangkut berbagai aspek yang sangat luas yang meliputi permasalahan nilai strategis sebagai sumber daya ekonomi untuk kepentingan nasional maupun nilai strategis dalam kerangka/ payung globalisasi. Selain itu, masalah kesenjangan antar kawasan seperti antar masyarakat pantai dengan masyarakat daratan, aksesibilitas serta ketersediaan infrastruktur menjadi dasar pertimbangan pula dalam perekayasaan. Untuk itu paradigma perencanaan tata ruang nasional yang berbasis kepulauan dan bahari harus mendudukkan kota-kota pantai sebagai satu kesatuan pengembangan 108 sub-sub kawasan andalan dan 29 kawasan laut yang tersebar di seluruh Nusantara yang didukung oleh sistem pelayanan kotakota yang mendukung setiap kawasan pengembangan. Kota-kota dalam kawasan andalan akan berfungsi sebagai pusat pengembangan berskala nasional yang berorientasi pada outlet pelayanan jejaring global, sedangkan kota-kota dalam jenjang berskala wilayah akan berfungsi sebagai penghubung antar kawasan yang melingkupi sentra-sentra pelayanan lokal dalam gugus pulau-pulau kecil. Dengan demikian, maka upaya regenerasi terhadap kota-kota pantai dalam bingkai kepulauan melalui perekayasaan keruangan baik secara intra-spasial maupun inter-spasial diharapkan mampu membangun jaringan/ network keterkaitan serta komplementaris/ saling mendukung dan melengkapi kota-kota pantai baik secara ekologis, cultural maupun ekonomis. Untuk itu perlu didukung rekayasa jejaring keruangan, rekayasa ekologis kawasan interaksi daratan dan perairan serta rekayasa perencanaan dan pengelolaan lintas batas (trans-boundary) baik secara administratif maupun fungsional.
135
ARCHIPELASCAPE
136
ARCHIPELASCAPE
Beberapa langkah konkrit yang harus segera dilakukan adalah rekayasa tata ruang dan infrastruktur yang meliputi penyediaan data dan informasi serta pemetaan seluruh kawasan kepulauan, pembangunan pusat penelitian sumber daya kelautan baik perikanan maupun energi, pembangunan sistem pengawasan kelautan serta pembangunan industri perikanan dan pelayaran/ perhubungan. Namun, tentu saja langkah perekayasaan sik harus didukung oleh sistem budaya, kelembagaan, hukum dan peraturan serta kesatuan pemikiran dan tekad bersama dalam membangun kembali kejayaan kota-kota bandar kerajaan Sriwijaya dan Majapahit dalam konteks negara kesatuan kepulauan Nusantara
Kawasan tepi laut Ontario, salah satu contoh kawasan tepi laut modern. Sumber : Composition Of Oceanic Architecture
137
ARCHIPELASCAPE
Interaksi Daratan dan Lautan
Daerah pertemuan interaksi antara daratan dan lautan adalah wilayah pesisir pantai. Wilayah tersebut (coastal zone) merupakan area yang unik berdasarkan kondisi sistem eko-sosialnya, seperti: area multifungsi dengan keragaman yang tinggi, area fasilitas umum, akses ruang terbuka, habitat untuk spesies endemik dan yang dilindungi, tempat ikan bertelur, area pembibitan dan penangkaran organisme laut dan tempat penampungan buangan dari daratan. Terdapat juga beberapa fungsi area pesisir untuk permukiman, seperti fasilitas pendukung permukiman, fasilitas rekreasi, kawasan lindung dan penampungan zat buangan. Dalam konteks manajemen wilayah pantai, faktanya masalah-masalah yang muncul di wilayah pantai disebabkan oleh faktor-faktor luar, seperti dari aktivitas manusia dan permukiman di darat yang melalui area pesisir (batas darat dan laut) secara langsung maupun tak langsung memberi dampak pada area pantai. Untuk memecahkan atau setidaknya meminimalkan efek masalah tersebut. Manajemen pesisir dan area pantai sangat diperlukan untuk mencapai pengembangan area pesisir yang berkelanjutan.Dalam konteks simbiotik pengelolaan daratan dan lautan peranan sungai dalam hal ini DAS (Daerah Aliran Sungai) sangat penting. Fungsinya yang sebagai penghubung lahan atas dan laut lepas membentuk mekanisme hulu-hilir, dimana segala aktivitas yang terjadi di sepanjang DAS akan berimbas baik secara langsung maupun tak langsung pada kondisi hulu-hilir. DAERAH ALIRAN SUNGAI Daerah Aliran Sungai (DAS) disebut juga sebagai suatu lembah sungai (River Basin), yang dialiri oleh sungai induk dengan semua anak-anak sungainya. Pusat-pusat kebudayaan manusia pada masa lampau umumnya berkembang di lembah-lembah sungai, seperti bangsa Mesir di Sungai Nil, kebudayaan Mesopotamia di lembah Euphrat dan Tigris di Irak, lembah sungai Yang Tse Kiang di Cina, lembah sungai Indus di India dan banyak lagi yang lainnya. DAS didenisikan sebagai unit lahan alami, di atas lahan mana air yang jatuh (air hujan) atau yang keluar dari sumber mata air atau yang mencair dari es atau salju yang gagal menguap dan terkumpul oleh gaya berat dan mengalir bersama menuju outlet. Outlet tersebut dapat berupa sungai, danau atau laut. Dalam banyak literatur watershed disebut juga sebagai drainage basin (lembah yang mengalirkan air) atau catchment area sebagai daerah penampung air. Karena manusia yang hidup di lembah-lembah sungai dengan aktivitas ekonominya yang meningkat, maka akhirnya sungai menjadi tempat pembuangan limbah, baik limbah padat maupun limbah cair, baik yang beracun maupun tidak. Larutan material seperti nutrien dari bahan pemupukan tanaman dan bahan pencemar lainnya dapat mempengaruhi kehidupan biota akuatik di wilayah laut pesisir. Apapun yang dibangun di hulu akhirnya akan berdampak terhadap hilir dan laut pesisir (coastal waters).
138
ARCHIPELASCAPE
Daerah Aliran Sungai (DAS) pada suatu pegunungan. Sumber : google image
139
ARCHIPELASCAPE
Penataan DAS dengan semua sub-DASnya dipakai sebagi satu kesatuan dasar pengelolaan biosis. Konsep dasar ini menggunakan siklus hidrologi sebagai jalan yang mengintegrasi proses-proses sik, kimiawi dan biologis dari DAS. Dengan kata lain, DAS adalah unit dasar dengan batas-batas ekologi yang nyata, yang kemudian dipakai sebagai acuan kuantitatif untuk mengkaji isu-isu ekologis dan dampak kumulatif dari penggunaan lahan. Perencanaan pengelolaan DAS terjadi pada multiskala dan untuk tujuan bervariasi. Proses perencanaan memberikan kita fokus pada tujuan yang ingin dicapai dengan memilih pendekatan alternatif pengelolaan dan implementasi yang terbaik, mendenisi tantangan dan peluang. Adapun sasaran dari pengelolaan DAS adalah: Penggunaan dan pengelolaan terpadu Penggunaan dan pengelolaan Sumber daya alam Penggunaan dan pengelolaan sumber daya air Saat ini, pengelolaan DAS harus dilihat sebagai proses daripada sebagai produk. Daerah aliran sungai atau river basin (lembah sungai) merupakan salah satu fokus kegiatan internasional dalam program LandOcean Interaction in the Coastal Zone(LOICZ) yang membawa kita dalam dekade baru dari riset-riset darat-laut terpadu. Tujuannya adalah untuk mengkaitkan dampak yang diamati di pesisir dengan kegiatan di daerah tangkapan air. Harus kita akui bahwa memperbaiki dampak perubahan pesisir yang merugikan harus dicari solusinya di tingkat daerah tangkapan air. Daerah aliran sungai memperlakukan daerah tangkapan air dan pesisir sebagai satu sistem yang menyambung. Untuk mengarahkan kegiatan manusia dalam sistem DAS ada tekanan lain yang berawal dari kegiatan pada skala global yang menghasilkan perubahan iklim, yaitu terpacunya kenaikan muka laut (dikatakan accelerated sea level rise karena kenaikan muka air laut telah terjadi kira-kira 10.000 tahun lalu dan kini terpacu oleh kegiatan manusia setelah revolusi industri pada abad ke-18). Kegiatan manusia di daerah aliran sungai secara langsung merupakan pendorong bagi perubahan di hilir. Muka laut telah berubah sepanjang sejarah. Wilayah pesisir merupakan wilayah yang paling rawan oleh perubahan muka air laut. Penataan ruang terpadu darat, laut, dan udara merupakan suatu konsep baru di Indonesia, yang berkaitan dengan konsep lama, yaitu konsep one river one management (satu sungai dengan satu sistem pengelolaan), yang mengharuskan kita menata ruang berdasarkan sistem daerah aliran sungai (Watershed System) dari hulu sampai ke laut sebagai satu bioregion (suatu wilayah yang memiliki keterkaitan biosik) dengan mempertimbangkan naiknya muka air laut sebagai dampak perubahan iklim dan konsekuensinya untuk hidrologi dan manajemen air. Konsep ini sangat terkait pula dengan pengelolaan lingkungan hidup, khususnya keterkaitan dengan pengelolaan sumber daya air dan sumber daya alam (darat dan laut) secara terpadu.
140
ARCHIPELASCAPE
BINGKAI KEPULAUAN TATA RUANG PERMUKIMAN Program pernbangunan permukiman di Indonesia saat ini lebih banyak didominasi oleh pemenuhan kebutuhan pasar properti komersial daripada pemenuhan kebutuhan rumah sederhana sehat bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Dari sisi kontribusinya, kondisi seperti ini memang dapat dinilai sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi dan pembukaan lapangan kerja. Namun, apabila dilihat dari sisi yang lebih luas yaitu pernbangunan permukiman nasional, hal ini dapat menimbulkan kesenjangan yang lebih tajam akibat semakin tidak seimbangnya antara target pemenuhan rumah sehat sederhana dengan kondisi booming properti komersial. Hal lain yang lebih mempertajam kesenjangan ini adalah semakin tidak seimbangnya pembangunan perkotaan dan pedesaan. Kota-kota besar, pembangunannya semakin pesat yang berdampak pada tekanan urbanisasi yang semakin besar sementara kota-kota kecil dan pedesaan semakin banyak ditingggalkan penduduknya. Akibatnya, beban permasalahan perkotaan semakin kompleks dan permasalahan pedesaan pun tidak kalah beratnya. Padahal kita semua paham bahwa negara Indonesia adalah negara agraris dengan konsekuensi logis pertanian sebagai prime mover roda pernbangunan. Tetapi, kenyataannya gambaran kehidupan petani belum dapat dikatakan sebagai masyarakat yang sejahtera. Keadaan lain yang menggambarkan pemungkiran terhadap kondisi geogras Indonesia adalah terlambatnya kesadaran penerapan paradigma, pembangunan berbasis kelautan terhadap negara kepulauan Indonesia yang dikelilingi oleh lautan atau sering disebut sebagai benua maritim. Seperti kita ketahui bahwa revolusi biru yang dilakukan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan pada belakangan ini menunjukkan suatu langkah startegis yang sangat tepat dalarn mensiasati pembangunan Indonesia yang mempunyai basis karakter nasional sebagai negara kepulauan. Ketiga fenomena tersebut diatas, yaitu ketimpangan pembangunan properti komersial dengan rumah sehat sederhana, ketimpangan pembangunan perkotaan dengan pembangunan desa agraris serta perlunya revolusi biru bagi negara kepulauan, mendasari gagasan paradigma perencanaan tata ruang permukiman. Heterogenitas kondisi alam dan budaya huni negara kepulauan Indonesia dengan 17.600 pulau dengan garis pantai yang mencapal 81.000 km dan 70% wilayah kotanya serta keseluruhan propinsinya berbatasan dengan perairan membutuhkan suatu pemikiran terhadap keberlanjutan (sustainability) dan keseimbangan antara tata ruang berbasis daratan dan perairan. Secara historis, kita tahu bahwa Indonesia pernah mengalarni pasang surut perkembangan kota-kota Mega pesisir dan perkembangan kota (urbanisasi) ke arah kawasan desa agraris. Hal ini sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial-politik dan ekonomi pada saat itu balik pada masa pra-kolonial, kolonial clan pasca kolonial.
141
ARCHIPELASCAPE
Ketidakseimbangan pemanfaatan tata ruang serta ketidaktepatan orientasi tata ruang secara nasional ini mengakibatkan berbagai kesenjangan, belum optimainya pemanfaatan potensi dan kondisi yang ada serta kekumuhan dan ketidakteraturan kondisl permukiman yang berdampak pada timbulnya konik berbagai kepentingan. Maka, dalam memayungi program pembangunan permukiman perlu diupayakan adanya suatu paradigma baru yang berorientasi pada penciptaan jejaring (network) antar kawasan dalam berbagal hirarki (lokal, regional/propinsi, nasional) berbasis pada simbiosis budaya huni perairan (kota pesisir dan sungai) dan budaya huni daratan (kota agraris) dalam bingkai pembangunan dan modernisasi ketataruangan. Untuk itu, situasi terkini yang memberikan suatu harapan akan terciptanya perubahan dan reorientasi pembangunan yang mendudukkan perairan sebagai prime mover pembangunan harus segera kita ikuti dengan melakukan evaluasl terhadap pola pembangunan permukiman didasarkan pada skenario tata ruang berbasis kepulauan melalui upaya penciptaan simbiosis tata ruang, ruang agro-pesisir daratan-perairan dan perkotaan-pedesaan dalarn bingkai wacana pembangunan global.
Permukiman tepian air tradisional merupakan suatu penerapan tata ruang permukiman berbasis kepulauan Sumber: Penulis
142
ARCHIPELASCAPE
KETERKAITAN DAN KOMPLEMENTARITAS DALAM BINGKAI KEPULAUAN Penataan dan pengelolaan kota-kota pantai baik di kawasan pesisir kontinen maupun pulau-pulau kecil, tidak hanya berhadapan dengan permasalahan ekologis dan kultural setempat saja tetapi menyangkut berbagai aspek yang sangat luas yang meliputi permasalahan nilai strategis sebagai sumber daya ekonomi untuk kepentingan nasional maupun nitai strategis dalam kerangka / payung globalisasi. Selain itu, masalah kesenjangan antar kawasan seperti antar masyarakat pantai dengan masyarakat daratan, aksesibilitas serta ketersediaan infrastruktur menjadi dasar pertimbangan pula dalam perekayasaan. Sejarah menunjukkan bahwa bencana alam yang sering terjadi di Indonesia ini baik berupa banjir, tanah longsor, kekeringan, bahkan tsunami diakibatkan oleh ketidakmampuan membaca hukum-hukum alam yang seharusnya bisa diantisipasi sejak dini. Demikian pula, potensi kelautan yang belum dikelola secara baik, membawa dampak terciptanya image bahwa laut sebagai daerah gelap / abu-abu untuk berlalu lalangnya kegiatan illegal serta sebagai pembatas antar putau bukan sebagai perekat / pemersatu. Untuk itu, wacana paradigma perencanaan tata ruang berbasis kepulauan melalui perekayasaan jejaring kota-kota pantai diharapkan mampu membuka kesadaran bangsa Indonesia sebagai bangsa bahari. Sehingga, bait lagu nenek moyangku seorang pelaut harus diikuti dengan cucuku juga. Keberagaman Budaya Huni Karakteristik geogras kepulauan Indonesia yang bercirikan suatu wilayah dengan dua pertiga bagiannya perairan, menjadikan titik awal pertumbuhan permukimannya dari kawasan garis pantai, tepian sungai dan danau. Hal ini bisa dilihat dari sejarah perkembangan kota yang dimulai dari kawasan warga pesisir dan tepian-tepian sungai. Sehingga pada saat Itu budaya huni lebih berorientasi pada perairan baik laut maupun sungai bahkan pernah mengalami masa-masa kejayaan, misalnya pada masa pemerintahan kerajaan Sriwijaya dan Majapahit yang dikenal sebagai kerajaan maritim yang cukup berpengaruh sangat luas dalam skala global. Namun keadaan ini tidak dapat berlangsung langgeng akibat situasi politik yang mengakibatkan surutnya kejayaan kerajaan maritim yang dampaknya bisa kita rasakan hingga sekarang. Kondisi permukiman dikawasan pesisir dan teplan sungai sampai saat ini berada dalarn kondisi kekumuhan bahkan yang lebih memprihatinkan adalah sikap kepasrahan masyarakatnya yang sudah tidak begitu mengharapkan lagi adanya perbaikan terhadap nasib mereka. Ide-lde perencanaan dan perancangan terhadap bentuk dan penataan tata ruang permukiman tepian air masih belum begitu dirasakan manfaatnya secara luas dan pada umumnya masih berupa wacana. Kondisi ini juga dirasakan dalarn masyarakat yang bermukim di pedesaan agraris maupun masyarakat margiinal yang bermukim di kawasan perkotaan, akibat tidak berkembangnya kawasan pedesaan yang mendorong masyarakat pedesaan melakukan urbanisasi ke kota-kota besar.
143
ARCHIPELASCAPE
Untuk itu, perlu diupayakan suatu sinergi pembangunan perkotaan-pedesaan sesuai dengan karakteristik dan keberagaman budaya, huni, dan alam permukimannya. Secara garis besar, dapat kita kenali dua bentuk permukiman yaitu perkotaan dan pedesaan dengan masing-masing karakteristik budaya huni perairannya (rumah panggung, rumah terapung, rumah kapal) dan budaya huni daratannya (rumah susun, rumah tak bertingkat, rumah panggung).
144
ARCHIPELASCAPE
Simbiosis Ruang Permukiman Satu model pendekatan terhadap upaya pencapaian sinergi pembangunan perkotaan-pedesaan, agro-pesisir dan perairan-daratan adalah penggunaan loso dan prinsip-prinsip simbiosis. Pendekatan ini didasarkan pada sistem yang menghindari dikotomi/ pembedaan kutub-kutub yang dapat mengakibatkan pengkotak-kotakan secara sektoral yang dapat berdampak pada timbulnya kesenjangan. Maka, diharapkan dalam menangani penataan ruang permukiman dalam suatu kawasan tidak terpisahkan dan terintegrasi dengan program penataan terkait yang lain dalam satu payung skenario. Simbiosis ruang permukiman kawasan hulu dengan kawasan hilir, kawasan pusat perkotaan dengan kawasan sub-urban dan pedesaan disekelilingnya, kawasan daratan dengan perairan, kawasan kota niaga, pesisir dengan desa, agraris disekelilingnya, dan sebagainya, merupakan beberapa contoh bentuk keterkaitan program penataan tata ruang. Hal ini tentunya harus didukung oleh sistem jaringan infrastruktur yang menopangnya. Upaya simbiosis ini sangat diperlukan untuk mewujudkan suatu keberlanjutan (sustainability) dan kesetaraan (equity) tata ruang permukiman karena kondisi geogras dan heterogenitas budaya huni negara kepulauan yang sangat berpotensi untuk menjadi negara yang besar dan sejahtera sekaligus sangat rentan untuk terpecah belah akibat kesenjangan yang dapat terjadi.
145
ARCHIPELASCAPE
Bingkai Kepulauan Seperti kita ketahui bahwa perkembangan budaya manusia sebagai homo sapiens (man as thinker) dan homo faber (man as maker) semakin berkembang menjadi homo movens (man on the move). Sehingga yang disebut dengan hunian tidak lagi sesederhana bermukim dan bekerja saja tetapi kini justru tuntutan untuk bergerak dan berkomunikasi semakin besar. Untuk itu prinsip keterkaitan dalam bentuk sistem jaringan (network/ dalam bahasa Inggris atau netz/ dalam bahasa jerman) sangat popular saat ini digunakan dalam perencanaan tata ruang di negara-negara maju. Perencanaan jaringan pergerakan orang, barang, dan informasi menjadi basis utama perencanaan tata ruang permukiman di era saat ini. Indonesia sebagai sebuah negara besar baik dalam hal keluasan, wilayah maupun populasi penduduknya terlebih sebagai negara kepulauan yang dikelilingi lautan, mutlak membutuhkan suatu pendekatan jaringan (network) dalam menangani perencanaan tata ruang permukimannya. Lautan yang saat ini masih dipandang suatu pernbatas dan halaman belakang (backyard) sudah selayaknya untuk segera dipandang sebagai suatu pengikat (pemersatu) dan halaman muka (frontyard). Untuk itu kawasan-kawasan permukiman yang saat ini direncanakan secara sektoral dan berskala lokal harus dikaitkan dalam sistem jaringan berskala regional, nasional, bahkan global. Hal ini mengingat bahwa perencanaan infrastruktur yang menyertai perencanaan permukiman tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain (merupakan satu program terpadu). Model pendekatan yang diusulkan dalam konsep bingkai kepulauan ini memiliki empat elemen utama pembentuk jaringan yaitu: nodes (simpul kegiatan), connections (kaitan), borders (batas) dan scale (skala). Dengan adanya pengguliran konsep otonomi daerah dengan seperangkat aturan desentralisasinya sering menimbulkan permasalahan yang berkaitan dengan lintas batas (trans-boundary). Fenomena ini sangat mungkin terjadi apabila tidak digunakannya kesepakatan yang didasari oleh 3 C (consultation, cooperation, and coordination) dalam mengelola kawasan yang berada di lintas batas (trans-boundary management). Dengan kondisi geogras yang terdiri dari pulau-pulau kecil pada umumnya, serta dipisahkan oleh lautan yang lebih luas dibandingkan dengan daratannya, Indonesia sangat mebutuhkan payung jejaring yang membingkai berbagai pusat-pusat kegiatan (nodes) dalam empat hirarki yaitu lokal, regional (intra-island), nasional (inter-island) ,dan global. Payung jejaring ini diperlukan dalam program mewujudkan target keseimbangan-kesetaraan pembangunan, permukiman perkotaan-pedesaan, pesisir-agraris dan daratan-perairan secara sinergis dan harmonis.
146
ARCHIPELASCAPE
REKAYASA INFRASTRUKTUR
Infrastruktur Transportasi Dalam rekayasa infrastruktur banyak hal yang bisa dilakukan, berbagai ide dan teknologi yang inovatif telah banyak yang digulirkan. Dewasa ini aspek bencana dan energi alternatif menjadi bahan pertimbangan yang penting, termasuk dalam konteks tata ruang negara kepulauan. Hal yang perlu mendapat perhatian pertama kali adalah elemen transportasi yang merupakan penghubung sekaligus pengikat aktivitas antar pulau. Arus barang, jasa, dan orang hampir setiap hari terjadi. Untuk itulah diperlukan sebuah model transportasi yang efektif dan esien, baik dari segi waktu, kenyamanan, keamanan, serta faktor-faktor pendukung lainnya. Dari tiga moda transportasi darat, laut, dan udara, masing-masing memiliki keunggulan dan kelemahan dalam menghubungkan transportasi antar pulau. Hal yang menarik adalah jalur udara yang memiliki esiensi paling tinggi dalam segi waktu, namun kurang efektif untuk mengangkut orang dan barang dalam jumlah yang besar. Biaya operasionalnya yang tinggi juga turut membebani. Sehingga, dalam hal ini masyarakat cenderung memilih transportasi darat dan laut sebagai transportasi massal yang murah. Kelemahan dari transportasi darat adalah keterbatasan dalam menyeberangi antar pulau. Laut sebagai pemisah telah memberikan halangan yang cukup signikan bagi kendaraan darat untuk menyeberangi antar pulau. Solusi yang paling mudah adalah melalui kapal pengangkut, tetapi hal itu kurang esien karena potensi terjadinya penumpukan kendaraan, disamping juga jumlah kendaraan yang dapat diakomodasi oleh kapal penyeberang juga terbatas. Konsep jembatan antar pulau sudah sangat berkembang di luar negeri. Namun di Indonesia aplikasinya masih belum nampak. Hal tersebut dapat dimaklumi, karena segi pembiayaan dan struktur yang relatif besar dan beresiko. Teknologi bridgescape sudah sepantasnya menjadi milik Indonesia dengan negara kepulauannya. Jarak antar pulau yang relatif jauh memang menjadi kendala bagi teknologi penghubung antar pulau. Pulau-pulau yang paling potensial untuk dihubungkan adalah antara Jawa dan Sumatera melalui Selat Sunda. Alternatif dalam menghubungkan kedua pulau tersebut adalah melalui terowongan bawah laut. Terowongan bawah laut ini beroperasi dengan menggunakan kereta listrik sebagai alat transportasinya. Dalam segi esiensi waktu lebih cepat dari pada penyeberangan dengan kapal fery, yakni hanya sekitar 30 menit dari Banten ke Lampung.
147
ARCHIPELASCAPE
Gambar Rencana dan Model jembatan penghubung Jawa dengan Sumatera. Melintang di atas Selat Sunda dari Anyer sampai dengan Bakahuni. Sumber : Google Image
148
ARCHIPELASCAPE
Jembatan antar pulau, infrastruktur penghubung antar pulau. Salah satu solusi untuk menghubungkan pulau pulau di Indonesia. Sumber : Google Image
149
ARCHIPELASCAPE
Jembatan SURAMADU menghubungkan Pulau Jawa dengan Madura. Jembatan yang diresmikan Juni 2009 ini, diharapkan mejadi pelopor bagi usaha untuk membuat penghubung antar pulau yang lain, sehingga jejaring antar Pulau dalam gugus Nusantara bisa terwujud. Sumber : Google Image
Dalam transportasi laut, pelabuhan masih menjadi elemen utama. Selain sebagai tempat berlabuhnya kapal, juga merupakan pusat kegiatan di wilayah pesisir. Bukan rahasa umum bahwa kondisi pelayaran bangsa kita cukup memprihatinkan, 95% bisnis pelayaran kita dikuasai oleh asing. Hal tersebut diperparah dengan kondisi pelabuhan kita yang rata-rata masih kurang memenuhi syarat. Diperlukan suatu konsep berkelanjutan dalam membangun infrastruktur pelabuhan kita. Dalam hal ini kita patut belajar dari negara Jepang yang sudah sangat maju dalam membangun pelabuhannya. Keterbatasan lahan dan panjang pantai tidak menghalangi Jepang dalam membangun fasilitas infrastruktur pelabuhan yang maju. Dalam konteks tata ruang wilayah pesisir, keterbatasan lahan diatasi dengan cara reklamasi, yakni penambahan lahan atau daratan dengan menimbun wilayah laut. Sebgai contoh pelabuhan Yokohama di Jepang. Dalam pengembangan fasilitas infrastruktur pelabuhannya, program reklamasi yang dilakukan sangat esien, bahkan fungsi tiap zona sudah tertata dengan baik. Proses reklamasi umumnya ditentang, karena alasan mengganggu ekosistem. Dalam hal ini teknologi dan kesadaran akan lingkungan memegang peranan yang penting dalam mengendalikan proses reklamasi itu sendiri.
150
ARCHIPELASCAPE
Pengembangan pelabuhan di Yokohama, Jepang dengan melakukan reklamasi sebagai solusi atas keterbatasan lahan. Sumber : Yokohama Exotic Showcase
151
ARCHIPELASCAPE
Infrastruktur Navigasi dan Sistem Informasi Di zaman tekhologi maju seperti saat ini peranan tekhnologi informasi dan sistem navigasi sangat penting. Indonesia sebagai negara kepulaun sangat memerlukan kedua teknologi tersebut. Terutama dalam bidang perikanan dan pengamanan laut kita. Setiap tahunnya sumber daya laut kita yang dicuri oleh kapal asing mencapai 1-1,5 juta Ton. Bukan jumlah yang sedikit jika kita menilik produktivitas para nelayan kita. Salah satu cara dalam mengawasi pergerakan kapal di perairan Indonesia adalah dengan citra satelit. Dengan pemasangan Vessel Monitoring System (VMS) pada kapal-kapal penangkap ikan, maka satelit dapat mendapatkan informasi lokasi dari kapal tersebut, sehingga dapat memberitahukan jika kapal tersebut melewati zona perikanan yang ditetapkan. Dengan hal tersebut diharapkan proses penangkapan ikan secara ilegal dapat dikurangi dan diawasi lebih cermat. Bahkan jika terjadi pembajakan kapal ikan, maka lokasi lintang dan bujur kapal yang dibajak dapat diketahui, sehingga dapat diambil tindakan pengejaran yang efektif berdasarkan informasi dari satelit. Dalam hal eksplorasi ikan, telah berkembang tekhnologi pendeteksian sumber daya ikan dengan metode yang lebih canggih. Metode tersebut adalah Hydro-acoustic, merupakan teknologi pendeteksian bawah air dengan menggunakan perangkat akustik, antara lain Echosounder, Fish Finder Sonar, ADCP (Acouistic Doppler Current Proler). Kelebihan dari teknologi ini antara lain: informasi pada areal yang dideteksi dapat diperoleh lebih cepat (real time), tidak perlu bergantung pada data statistik, tidak berbahaya bagi ekosistem, untuk estimasi menghasilkan nilai absolut Aplikasi teknologi ini dapat dipakai untuk berbagai keperluan, antara lain : eksplorasi bahan tambang, minyak dan energi dasar laut (seismic survey), estimasi biota laut, mengukur laju sedimentasi (sedimentation velocity), mengukur arus dalaam kolom perairan (internal wave), mengukur kecepatan arus (current speed), mengukur kekeruhan air (turbidity) dan kontur dasar laut (bottom contour). Aplikasi yang begitu banyak tentu sangat mendukung eksplorasi perairan nasional yang masih belum maksimal. Dalam perkembangannya dapat pula memcu tingkat perekonomian nelyan khususnya dan negara dalam skala makro. Infrastruktur Energi Alternatif Dewasa ini kebutuhan energi terutama bahan bakar dari minyak bumi semakin meningkat. Peningkatan jumlah dan aktivitas manusia memicu kenaikan kebutuhan akan energi. Di sisi lain ketersediaan akan bahan bakar terutama dari fosil semakin menyusut. Bahkan negara kita yang tergabung dalam organisasi pengekspor minyak bumi telah menjadi importir BBM yang aktif. Maka sudah sewajarnyalah pemerintah berusaha mencari sumber bahan bakar dan energi alternatif yang lebih murah yang dapat memenuhi kebutuhan energi dalam negeri. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana minyak Jarak menjadi komoditi yang diteliti sebagai salah satu alternatif pengganti BBM.
152
ARCHIPELASCAPE
Satelit Aqua milik NASA, dapat dimanfaatkan untuk mengawasi pergerakan kapal, sehingga sangat strategis untuk sistem navigasi, perikanan, dan pertahanan. Sumber : Kompas
Hydro-acoustic, Fish Finder Sonar, dan ADCP (Acoustic Doppler Current Proler). Sumber : Kompas
153
ARCHIPELASCAPE
Ketersediaannya yang dapat diperbaharui menjadi nilai tambah walaupun teknologi untuk memanfaatkannya secara maksimal belum dapat terwujud. Bentuk kepulauan negara Indonesia dengan perairannya memiliki laut dengan banyak potensi energi alternatif. Energi dari laut ini dapat dikonversikan menjadi sumber energi terbarukan dan dapat dimanfaatkan sepanjang masa. Beberapa tipe pemanfaaatan energi dari laut yang dapat dikembangkan teknologinya di Indonesia antara lain : - Energi Termal Laut Energi ini dapat dikonversikan menjadi energi listrik dengan memanfaatkan perbedaaan suhu permukaan dan dalam laut (Ocean Thermal Energy Conversion/OTEC). Kendala pada penerapan teknologi konversi energi panas laut adalah pada esiensi pemompaan yang masih rendah sehingga diperlukan pengembangan teknologi pompa dan mengatasi korosi pada pipa dengan teknologi material. Daerah di Indonesia yang dapat dikembangkan menjadi sumber OTEC adalah yang berjarak sekitar 50 km dari pantai dengan luas 1000 km2, tertuma di kawasan Indonesia Timur seperti Laut banda. Di situ lautnya sedalam lebih dari 500 meter dan tergolong tenang. - Energi Pasang Surut Energi pasang surut dapat dihasilkan karena adanya beda ketinggian pada waktu air laut pasang dan surut. Indonesia yang memiliki banyak pulau, selat sempit dan teluk mempunyai potensi energi pasang surut yang besar. Untuk membangkitkan listrik, aliran air saat pasang surut akan menggerakkan turbin. Namun, agar pusat listrik energi pasang surut bekerja dengan baik ada beberapa faktor yang mempengaruhi, yaitu arah angin, kecepatan, dan lamanya angin bertiup. Selain itu untuk memanfatkan energi ini diperlukan daerah yang luas untuk menampung air laut. Beberapa daerah yang mempunyai energi pasang surut besar adalah Bagansiapi-api, teluk Palu yang merupakan daerah patahan (Palu Graben), teluk Bima di Sumbawa (Nusa Tenggara Barat), kalimantan Barat, Papua dan pantai Selatan Pulau Jawa. - Energi Gelombang Laut Energi gelombang laut dapat dimanfaatkan dengan mengetahui tinggi gelombang panjang dan periode waktunya. Tinggi gelombang laut di perairan Indonesia rata-rata berkisar 1,5 hingga 2,5 meter dan di beberpa tempat ketinggian bisa mencapai lebih dari 5 meter. Energi gelombang laut tergolong besar, 20-70 Kilowatt permeter. Jika sumber daya ini dikonversikan menjadi listrik dengan esiensi 50 persen maka dihasilkan listrik 10-35 MW. Banyak selat dan perairan semi tertutup yang punya arus deras. Namun, arus laut ini merupakan sumber daya energi yang belum tergarap.
154
ARCHIPELASCAPE
- Perbedaan Salinitas Alternatif sumber energi lain yang dapat dibangkitkan dari laut bersumber dari perbedaan salinitas, yang merupakan prinsip termodinamika. Percampuran air bolak-balik (reversible) dari dua lautan dengan konsentrasi garam yang berbeda pada suhu tetap akan melepaskan sejumlah energi bebas yang dapat dikonversi menjadi energi berdaya guna. Proses pencampuran antara 1 meter kubik air tawar dengan 1 meter kubik air laut dapat melepaskan energi bebas 2,24 MW. Indonesia memiliki potensi yang besar karena banyak memiliki muara sungai, seperti di Sumatera, Kalimantan dan Papua yang merupakan daerah pertemuan air laut dan air tawar.
Dengan banyaknya energi alternatif di laut kita, sudah sepantasnya pemerintah memberikan perhatian yang lebih pada penelitian tentang metode pemanfaatan sumber-sumber energi tersebut. Para akademisi pun saling berlomba untuk memaksimalkan potensi energi alternatif dari laut tersebut. Salah satunya adalah Balai Pengkajian Dinamika Pantai (BPDP) Yogyakarta. Mereka meneliti pemanfaatan energi gelombang laut dengan metode Oscilating Water Column (OWC). Penelitian prototipe OWC BPDP dengan ukuran 3x3 meter dengan ketinggian 4 meter berhasil mencatat potensi gelombang yang dapat menghasilkan daya sebesar 522 Watt.
Hydro-acoustic, Fish Finder Sonar, dan ADCP (Acoustic Doppler Current Proler).Skema pusat listrik energi pasang surut Sumber : Kompas
Hydro-acoustic, Fish Finder Sonar, dan ADCP (Acoustic Doppler Current Proler). Sumber : Kompas
155
ARCHIPELASCAPE
Skema Hydro-acoustic, Fish Finder Sonar, dan ADCP (Acoustic Doppler Current Proler) alternatif generator energi listrik dari perbedaan salinitas. Sumber : Kompas???
156
ARCHIPELASCAPE
Hydro-acoustic, Fish Finder Sonar, dan ADCP (Acoustic Doppler Current Proler).Pemanfaatan angin sebagai sumber energi listrik dengan menggunakan kincir generator Sumber : Kompas
157
ARCHIPELASCAPE
Hidup Dengan Bencana Dalam Konteks Kepulauan Gempa bumi yang melanda Nangroe Aceh Darussalam pada 26 Desember 2004 telah membuka mata bangsa akan kerawanan bangsa ini terhadap potensi gempa dan tsunami yang sewaktu-waktu bisa melanda. Dari seluruh pulau di Indonesia hanya pulau Kalimantan yang relatif aman dari gempa. Hal tersebut tentu membuat mayoritas warga bangsa ini khawatir dan was-was dalam menjalani kehidupannya. Indonesia terletak disepanjang area dua lempeng tektonik tempat pertemuan lempeng-lempeng aktif Indo-Australia yang bergerak ke utara dengan kecepatan 7 sentimeter pertahun, Lempeng Pasik yang bergerak ke barat 10 cm pertahun, dan lempeng Eurasia yang relatif diam memang menjadi kawasan yang rawan gempa dan Tsunami. Indonesia memiliki frekuensi gempa yang tinggi. Selama 10 tahun (19901999) terjadi 1.967 kali gempa berkekuatan lebih dari 5 pada skala Ritcher.
Garis batas dua empeng tektonik dan area rawan gempa. Sumber : Kompas
158
ARCHIPELASCAPE
Teknik pemantauan Tsunami TRTRS (Tsunami Real Time Reporting System), dikembangkan oleh Universitas Cornell. Sumber : Kompas
Selain ancaman akitivitas gempa bumi dan Tsunami, Indoensia juga rawan terhadap banjir dan tanah longsor yang diakibatkan curah hujan yang tinggi, lumpur dan kekeringan yang menyebabkan kematian dan kerusakan hampir tiap tahun. Kondisi ini diperburuk dengan sebaran pertumbuhan kota pada area yang rawan, seperti pada lembah sungai yang sewaktu-watu dapat hancur karena banjir atau tanah longsor, pembangunan area tepian air yang terletak pada kawasan laut yang rawan akan tsunami, pengembangan kawasan pada area tangkapan air, dan lain sebagainya. Dalam konteks Tata Ruang Kepulauan hal yang paling ditakuti dari gempa bumi adalah potensi terjadinya Tsunami. Pada bencana gempa dan tsunami di Aceh korban yang jatuh justru lebih banyak karena tersapu tsunami. Wilayah pesisir yang telah terdegradasi menjadi kawasan permukiman yang padat tak pelak lagi menjadikannya sebagai pusat kegiatan manusia. Di sisi lain ekosistem alami yang adapun telah terkikis oleh aktivitas manusia. Tsunami berasal dari bahasa Jepang. Tsu berarti pelabuhan dan Nami berarti gelombang. Tsunami adalah gelombang laut yang terjadi karena adanya gangguan impulsif pada volume air laut akibat terjadinya deformasi dasar laut secara tiba-tiba. Adanya penumpukan massa air laut akibat berkurangnya kecepatan membuat tinggi gelombang tsunami bertambah besar saat mendekati pantai. Minimnya sistem rambu, sistem peringatan dari pemerintah yang tidak esien, dan rendahnya kesadaran akan bagaimana menanggulangi bencana dapat mempengaruhi skala kerusakan dan korban jiwa.
159
ARCHIPELASCAPE
Dengan rawannya Kepulauan Indonesia terhadap potensi bencana alam, sudah sepantasnya pembangunan berbasiskan bencana diterapkan di Indonesia. Kawsan pesisir yang memiliki kerentanan tinggi terhadap potensi tsunami perlu mendapat penanganan yang lebih cermat. Dalam konteks tanggap bencana rekayasa infrastruktur tata ruang yang ada meliputi : - Infrastruktur pendeteksi gempa bumi dan tsunami - Penataan tata ruang wilayah pesisir dengan delinasi dan zonikasi wilayah rentan dan aman - Rekayasa ruang-ruang daratan sebagai barrier gelombang tsunami dengan konsep alamiah (hutan bakau) atau konsep pemecah gelombang. - Rekayasa tata ruang dengan konsep mitigasi bencana (seperti jalur penyelamatan, escape hill dll).
160
ARCHIPELASCAPE
161
ARCHIPELASCAPE
Simulasi terjangan gelombang laut yang ditahan oleh hutan bakau. Sumber : Kompas
162
ARCHIPELASCAPE
Pengelolaan Bencana dan Pencegahan Ide arsitektur tradisional masa lalu menggunakan teknologi yang tepat untuk rumah dan dibangun melalui kreativitas khas dari rancangan mereka sendiri dan konstruksi pada area rawan. Ini membantu kota untuk memahami cara untuk hidup pada budaya kepulauan yang digunakan dalam hidup berdampingan dengan daerah yang rawan. Aksi program pengelolaan dan pencegahan bencana biasanya terbentuk dalam agenda khusus dalam hal mengurangi efek dari bencana pad sebuah negara atau komunitas. Program berikut ini adalah yang pada umumnya berkenaan dengan mitigasi bencana : Peningkatan sistem rambu Regulasi tata guna lahan Regulasi rambu keselamatan Sistem untuk melindungi pasokan sumber daya dan komunikasi vital Pembangunan infrastruktur Program mitigasi meliputi aspek teknis dan non teknis. Mitigasi non teknis termasuk insentif, pelatihan, dan pendidikan, penyadaran masyarakat, bangunan institusi, dan sistem peringatan. Mitigasi non teknis haruslah dilengkapi dengan mitigasi yang bersifat teknis. Termasuk, perencanaan lokasi, prediksi kekuatan dari bencana yang terjadi, perencanaan dan analisis untuk memcegah terjadinya bencana, desain bangunan yang lebih layak dan detil secara struktural oleh pekerja yang lebih baik lagi dalam pengawasan yang ketat.
Dari konteks kepulauan dapat dilihat bahwa peradaban perairan muncul dari lingkungan yang bersifat terus berubah dan mengalir, membutuhkan eksibilitas yang konstan, adaptabilitas, dan berdampingan dengan lingkungan yang rawan. Sumber: ???
163
EPILOG
EPILOG
Relief perahu cadik di sebuah candi jaman pra sejarah. Sekali lagi bukti yang menunjukkan jati diri Nusantara sebagai bangsa bahari. Budaya bahari merupakan salah satu akar peradaban Nusantara yang hendaknya terus dihidupi dalam setiap nafas pembangunan manusia Indoneisa. Sumber : http://ketikataku.les.wordpress.com
166
EPILOG
Kembali ke Budaya Bahari Menilik kembali catatan sejarah panjang bangsa Indonesia dari jaman pra-sejarah sampai dengan masa berdirinya kerajaan-kerajaan besar di Nusantara, ini, tidak lain membuktikan bahwa bangsa Indonesia dinobatkan sebagai bangsa bahari dengan laut sebagai perekat di antara gugusan kepulauan yang menjadi segenap wilayahnya. Peninggalan sejarah masa sebelum Masehi berupa bekas Kerajaan Marina yang didirikan oleh para perantau dari Nusantara yang ditemukan di wilayah Madagaskar, menunjukkan dengan jelas bahwa nenek moyang bangsa Indonesia pada masa itu ternyata telah dapat membangun kapal-kapal layar yang mampu mengarungi lautan sejauh kurang lebih 6.500 km yang merentang dari wilayah Nusantara sampai ke Madagaskar. (Djoko Pramono 2005 : 4). Pada catatan sejarah berikutnya, ditemukan berbagai kerajaan di wilayah Nusantara yang pada umumnya memliki nilai kebudayaan bahari. Sebutlah Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit yang merupakan dua kerajaan besar yang bercirikan kemaritiman kuat, selain juga masih banyak kerajaan lain yang lebih kecil. Senada dengan Kerajaan Sriwijaya yang menitikberatkan pemerintahan negaranya pada penguasaan jalur pelayaran dan perdagangan, serta penguasaan wilayah strategis sebagai basis armada kekuatan lautnya, Kerajaan Majapahit bertindak lebih jauh lagi dengan usaha mempersatukan seluruh wilayah Nusantara di bawah kedaulatannya yang sudah barang tentu banyak menggunakan kekuatan maritimnya dalam mendukung strategi politiknya tersebut. Hal ini juga dikukuhkan dengan Sumpah Amukti Palapa dari Mahapatih Gadjah Mada. Percikan fakta sejarah di atas menunjukkan bahwa bangsa kita melalui kerajaan-kerajaan yang ada telah mampu mengembangkan peradaban dengan menyadari keunggulan posisi strategis dari wilayah Nusantara berikut kelimpahan sumber dayanya yang di terjemahkan dalam visi kebijakan politik dan kedaulatan mereka. Tetapi kontras dengan hal ini, kebijakan dan strategi pembangunan kita sekarang justru bergeser menjadi lebih dominan kepada pola budaya darat (kontinental). Barangkali hal ini sebagai akibat dari stigma sejarah pada jaman kolonialisme meraja di Indonesia, dengan titik nadirnya yang jatuh pada Perjanjian Giyanti tahun 1755 oleh Belanda dengan Raja Surakarta dan Jogjakarta. Salah satu inti perjanjian Giyanti tersebut adalah diktum bahwa kedua raja keturunan Mataram tersebut menyerahkan perdagangan laut, hasil bumi, dan rempah-rempah dari wilayahnya kepada Belanda. Keputusan kedua raja yang telah dikendalikan oleh otoritas Belanda tersebut akhirnya memasung perkembangan budaya bahari Nusantara yang masih kita rasa dan alami sampai dengan saat ini. (Djoko Pramono 2005 : 7).
167
EPILOG
Meski dalam rentang waktu kurang lebih 4 dekade terakhir pembangunan Indonesia lebih banyak diwarnai dengan kebijakan kontinen atau daratan, bukan berarti bahwa bangsa kita terlambat atau tidak bisa mengembangkan wawasan kebaharian dalam strategi dan kebijakan pembangunannya. Hal ini dibuktikan dengan perjuangan keras para pendahulu negeri ini seperti Presiden Sukarno yang mendeklarasikan Wawasan Nusantara yang pada intinya wawasan kebangsaan Indonesia yang mengetengahkan diteguhkannya asas Negara Nusantara (archipelagic state). Usaha ini diteruskan oleh Perdana Menteri Juanda yang memperjuangkan zona perairan Indonesia dalam kancah hukum kelautan internasioal. Bertolak dari kesadaran geogras, historis kultural, dan ekonomis bahwa bangsa Indonesia menyandang posisi strategis pada titik persilangan jalur lalu lintas perdagangan dunia (antara Samudra Pasik dan Hindia) juga kedaulatan wilayah perairan Nusantara yang didalamnya terkandung limpahan kekayaan sumber daya, dan konsekuensi geogras kepulauan yang mengkonstruksikan budaya bahari yang kuat, maka sudah layak dan sepantasnyalah identitas Bangsa Indonesia sebagai negara kepulauan Nusantara ini kita sandang kembali dan dijadikan dasar pijakan bagi pembangunan nasional pada masa sekarang ini dan ke depan. Sudah saatnya kita kembali kepada kodrat awal bangsa yang mewarisi budaya bahari dalam usaha membangun peradaban dan bersinergi harmonis dengan daratan dalam gugus-gugus kepulauannya untuk membentuk suatu tubuh Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menata Ruang Negara Kepulauan Mengkaji lebih jauh kepentingan nasional laut kita, maka akan kita jumpai berbagai potensi strategis yang bisa dikembangkan sebagai landasan kuat pembangunan bangsa. Ditinjau dari pertahanan keamanan, posisi startegis kelautan Indonesia dapat dikembangkan secara strategis bagi basis keruangan dan medan pertahanan yang tangguh. Dari sudut pandang kesejahteraan, potensi sumber daya kelautan Indonesia adalah aset yang sangat besar yang masih belum optimal dimanfaatkan bagi kesejahteraan rakyat Indonesia, ditambah lagi dengan potensi wisata bahari yang membuat Indonesia masyhur di mata kepariwisataan internasional. Secara ekonomis, posisi strategis dan kekayaaan bahari kita merupakan modal yang besar yang mendatangkan nilai tawar yang tinggi bagi negara lain yang mengadakan kerja sama ekonomi dengan Indonesia yang tentunya akan menguatkan pendapatan nasional yang nantinya berimbas ke seluruh lapisan rakyat. Untuk mendukung hal diatas diperlukan perencanaan dan strategi yang matang dalam menata keruangan negara kepulauan. Menurut Riawan Tjandra, pembangunan kawasan pesisir saat ini perlu memadukan konsep yang serasi tentang penataan ruang dalam UU no.26/2007, penanaman modal dalam UU No.25.2007, dan pembangunan kawasan pesisir dalam UU No.27/2007 di samping itu, pembangunan kawasan peisisir harus dapat mewujudkan tujuan untuk meningkatkan nilai sosial,
168
EPILOG
ekonomi, dan budaya masyarakat melalui peran serta masyarakat dalam pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil. Keterkaitan pembangunan wilayah peisisir dan dengan regulasi yang terkait dengan tata ruang diperlihatkan dari pengaturan mengenai zonasi. Zonasi adalah suatu bentuk rekayasa teknik pemanfaatan ruang melalui penetapan batas-batas fungsional sesuai dengan potensi sumber daya dan daya dukung serta proses ekologis yang berlangsung sebagai satu kesatuan dalam ekosistem pesisir. Lebih lanjut, sejalan dengan ketentuan pasal 6 UU No.27/2007 yang menegaskan watak pengelolaan kawasan pesisir yang bersifat integrated, yaitu bahwa pembangunan wilayah pesisir harus mampu mengintegrasikan kegiatan: (a) antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, (b) antar Pemerintah Daerah, (c) antar sektor, (d) antara Pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat, (e) antara ilmu pengetahuan dan prinsip-prinsip manajemen. (Artikel Kawasan Pesisir dimuat oleh SKH Kedaulatan Rakyat). Beranjak dari strata kebijakan dan strategi ke wilayah penataan teknis keruangan, beberapa konsep keruangan yang sudah dipaparkan pada bagian sebelumnya dari buku ini mencoba untuk responsif terhadap apa yang dituntut dalam penataan keruangan negara kepulauan dan menjadi kepanjangan tangan dari kebijakan yang sudah terbentuk dan diharapkan dapat turut mengembangkan kebijakankebijakan baru dalam tata keruangan negara kepulauan. Konsep tentang Oceanic frontier space design, upstream-downstream, intra-inter space, trans-boundary network, dan ecoscape network, merupakan konsep tata ruang yang ditatapadukan secara holistik dan integratif dalam menyikapi kondisi kepulauan Nusantara mulai dari tata ruang temu darat laut yang berskala titik kawasan pengembangan, berlanjut kepada pengelolaan di dalam kawasan tersebut dan hubungannya dengan kawasan yang lain, sampai dengan jejaring keruangan dan informasi yang dibutuhkan untuk membentuk pola tubuh negara kepulauan Indonesia yang solid secara internal merujuk kepada hubungan antar daerah dan eksternal yang merujuk pada kerja sama dengan negara-negara lain di dunia. Selain itu, tidak kalah penting untuk dikemukakan adalah rekayasa infrastruktur yang memberikan gambaran akan kemungkinan teknologi yang bisa diterapkan dalam mendukung upaya penataan negara kepulauan secara sik keruangan. Sementara itu, rekayasa ruang tanggap bencana yang dipaparkan mengandung sebuah ajakan untuk melihat bencana sebagai hal yang sudah sewajarnya harus ditanggapi secara aktif-responsif dalam pencegahan dan penanggulangannya, bukan justru bersikap pasif-skeptis dalam nuansa sikap pasrah yang kurang bijaksana karena menerima bencana begitu saja sebagai sesuatu yang tidak terhindarkan tanpa berusaha terlebih dahulu untuk belajar dari pengalaman yang sudah terjadi dan melakukan persiapan dalam menghadapi bencana.
169
EPILOG
Cakrawala Jati Diri Nusantara Kembali menyoal pelaksanaan pembangunan yang masih condong pada kebijakan kontinental daripada kepulauan, yang memang menjadi salah satu maksud ditulisnya buku ini, maka kita perlu melihat landasan denisi ruang yang sudah digariskan oleh negara kita sendiri melalui peraturan perundangannya. Pasal 1, UU No.24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, mendenisikan ruang sebagai wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. Mencermati denisi di atas, hendaknya masing-masing keruangan tidak dilihat sebagai wilayah geogras yang terpisah, melainkan sebagai satu kesatuan yang saling terkait satu dengan yang lainnya. Terlebih lagi dalam konteks tata ruang negara kepulauan, tanpa menakkan kenyataan eksistensi keruangan yang lain, keruangan laut dengan gugus-gugus kepulauannya mempunyai konteks yang sungguh kuat secara historis kultural yang membentuk jati diri nusantara itu sendiri. Maka sekali lagi diteguhkan keyakinan untuk segera menilik kembali kebijakan pembangunan supaya mendasarkan diri pada akar jati diri nusantara. Demikian akan terbentang cakrawala yang cerah sejauh mata pembangunan bangsa ini memandang ke depan. Belajar dari pengalaman keberhasilan negara-negara maritim yang lain, terdapat tiga hal utama yang selalu ditekankan dalam perencanaan tata ruangnya, yaitu: terintegrasi, berkelanjutan, tertuang dalam undang-undang.
Kota pelabuhan Malaka abad XVI. Sumber : Indonesian Heritage Early Modern History. Archipelago Press
170
EPILOG
Artinya masa depan kelautan sudah mulai dipikirkan kaitannya dengan sektor-sektor lain, yang tentunya bagaimana mempertahankan agar setiap aktivitasnya dapat berkelanjutan, termasuk juga memperhatikan kelestarian lingkungan yang berkelanjutan, dan lebih spesik tertuang dalam bentuk aturan hukum, apakah undang-undang, ketetapan ataupun lainnya. (Dra. Ir. Monique Sumampouw, M.Si 2004 : 96). Perlu segera untuk berpikir membenahi segala instrumen tata ruang kepulauan yang sudah kita punya supaya menjadi baik, terutama dalam tahap implementasinya. Dan untuk menyesuaikan dengan kondisi pemerintahan dan kerakyatan negara kita, penekanan dalam perencanaan tata ruang di atas perlu dilengkapi dengan aspek perencanaan yang partisipatif dengan semangat kemitraan yang tinggi dari segenap pelaku pembangunan. Sedangkan prinsip-prinsip kemitraan meliputi cakupan kemitraan, kesetaraan dan kemitraan (equal partnership), transparansi, kesetaraan kewenangan (power sharing / equal powership), kesetaraan tanggung jawab (responsibility sharing), pemberdayaan (empowerment), dan kerja sama antar komponen kemitraan (Dra. Ir. Monique Sumampouw, M.Si 2004 : 106). Apabila Indonesia mampu secara total dan sinergis merubah paradigma kontinen menjadi kepulauan, merumuskan kebijakan-kebijakan yang berakar pada jati diri nusantara, melakukan perencanaan dan penataan secara total, sinergis, dan kontekstual, maka senada dengan semangat yang tersirat dalam penulisan buku ini, bukan tidak mustahil tata negara kepulauan Indonesia akan mampu membuahkan pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan (sustained economic growth) dan mengatasi segala permasalahan fundamental pembangunan di negeri ini. Semoga.
Kota pelabuhan Malaka abad XVI. Sumber : Indonesian Heritage Early Modern History. Archipelago Press
171
DAFTAR PUSTAKA
Buku Acuan
Abdullah, Tauk. Indonesian Heritage Early Modern History, Archipelago Press, Jakarta, 1999. Ardika, I wayan. Indonesian Heritage Ancient History, Archipelago Press, Jakarta, 1999. Arismunandar, Agus. Indonesian Heritage Architecture, Archipelago Press, Jakarta, 1999. Baiquni.M. Membangun Pusat-pusat Di Pinggiran: Otonomi di Negara Kepulauan, ideas PKPEK, Yogyakarta, 2004. Budihardjo, Eko. Tata Ruang Perkotaan, Penerbit Alumni, Bandung, 1997. Diposaptono, Subandono dan Budiman. Tsunami, Penerbit Buku Ilmiah Populer, Jakarta, 2006. Kodoatie, J. Robert dan Sjarief, Roestam. Pengelolaan Bencana Terpadu, Yarsif Watampone, Jakarta, 2006. Kurokawa, Kisho. Intercultural Architecture The Philosophy Of Symbiosis, Academy Editions, London, 1991. Kuroyanagi, Akio. Town Planning with Pleasure Harbor, Process Architecture Co., Ltd, Japan, 1994. Murotani, Bunji. Composition Of Oceanic Architecture, Process Architecture Co., Ltd, Japan, 1991. Murotani, Bunji. Italian Aquascape, Process Architecture Co., Ltd, 1993. Oswald, Franz dan Baccini, Peter. Netzstadt, Birkhauser, Berlin. Pramono, Djoko. Budaya Bahari, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005. Prijotomo, Josef. Pasang Surut Arsitektur Indonesia, CV. Wastu Lanas Graka, Surabaya, 2008. Rais, Jacob dkk. Menata Ruang Laut Terpadu, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2004. Shirvani, Hamid. The Urban Design Process, Van Nostrad Reinhold Company, New York, 1985.
The Port Of San Fransisco and The San Fransisco Planning Department. Waterfront Design and Access, 1997. Torre, Azeo L. Waterfront Development, Van Nostrad Reinhold, New York, 1989. Brook Mcllroy Planning and Urban Design. Urban Design Guideline, Prince Arthuts Landing at Marina Park Urban Design Guideline and Master Plan Summary, 2007. Michael R. Bloomberg Mayor City Of New York, Daniel L. Doctoroff Deputy Mayor For Economic Development and Bulding, Amanda M. Burden Director Of City Planning. Transforming The East River Waterfront The City Of New York. Recommendation City Council Planning Commision Join Work Session. Southeast Community Urban Waterfront Design Study, 2007.
Prayitno, Budi. Model Penataan Permukiman Tepian Sungai Berbasis Budaya Huni Kota Air. Seminar in Quality in Research, Jakarta: UI, 2003. Prayitno, Budi. Urban Symbiosis in the Aquatic Public Space. International Seminar, Exhibition and Workshop in Urban Design. Yogkakarta: UGM, 2004. Prayitno, Budi, Pemodelan Lansekap Kota Tepian Air, Seminar Nasional Pembangunan Lingkungan Perkotaan di Indonesia, Fakultas Arsitektur Lansekap dan Teknik Lingkungan Universitas Trisakti, Jakarta, 2005. Prayitno, Budi. Aquatic Living Culture of Marine and Riverine Ecopolitan International Seminar in Rekayasa Tata Ruang Negara Kepulauan. Seminar Nasional Peran Teknologi dalam Transformasi Budaya Manusia , Universitas Teknologi Yogyakarta, 2004. Prayitno, Budi. Pemodelan Kota Air di Kalimantan dengan Menggunakan Metode Eco-Urban Tissue Plan. Simposium Nasional Rekayasa Aplikasi Perancangan dan Industri II, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2003. Prayitno, Budi. The Formaton Of Coastal Cities Network In The Nusantara Archipelascape Context. Prayitno, Budi. A sustainable Regenaritive Study For Borneo Tropical Aquapolis. Prayitno, Budi. Aquatic Living Culture Of Marine And River. Prayiyno, Budi. A Master Plan For Regenarative The Archipelago. Prayitno, Budi. Living With Disaster In The Archipelagic Context. Prayitno, Budi. Model Desain Keruangan Kawasan Interface Kota-Kota Kanal di Kalimantan. Prayitno, Budi. Rekayasa Perancangan Ekologis Kawasan Permukiman Tepi Pantai. Rekayasa Perancangan Ekologis Kawasan permukiman Tepi Pantai . Simposium Nasional Rekayasa Aplikasi Perancangan dan Industri II, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2004. Urban Symbiotic in the Aquatic Public Space International Seminar in Urban Design , Culture of Living, UGM , Yogyakarta, 2005.
Website
http://aia-awards.com www.architecturelist.com